Beranda blog Halaman 19

MediaTek Dimensity 9500 vs 9400: Analisis Benchmark dan Upgrade Nyata

0

Telset.id – Bayangkan Anda memegang chipset yang menjanjikan lompatan performa hingga 76% lebih cepat dari pendahulunya. Itulah janji yang dibawa MediaTek Dimensity 9500, sang penerus Dimensity 9400 yang baru saja diumumkan September 2024. Tapi seberapa besar peningkatan sebenarnya? Mari kita selami data benchmark dan spesifikasi untuk melihat apakah upgrade ini sepadan dengan hype-nya.

Perbedaan pertama yang langsung terlihat adalah proses manufaktur. Dimensity 9500 dibangun di atas node 3nm TSMC N3P, sementara pendahulunya menggunakan N3E. Perbedaan ini mungkin terdengar teknis, namun inilah fondasi yang menentukan efisiensi daya dan kemampuan thermal chipset. Node N3P yang lebih matang ini menjadi dasar bagi semua peningkatan yang akan kita bahas.

Yang menarik, meski sama-sama mengusung konsep “All Big Core”, arsitektur CPU kedua chipset ini berbeda secara fundamental. Dimensity 9500 mengadopsi generasi ketiga desain ini dengan prosesor C1-series terbaru dari ARM, sementara Dimensity 9400 masih mengandalkan konfigurasi Cortex-X925, X4, dan A720. Perbedaan inilah yang menjadi kunci peningkatan performa signifikan yang terlihat dalam benchmark.

Bukti Nyata di Lapangan: Benchmark Geekbench dan AnTuTu

Mari kita lihat bukti konkret dari klaim-klaim tersebut. Berdasarkan bocoran listing Vivo X300 Pro yang membawa Dimensity 9500, skor Geekbench 6 menunjukkan peningkatan yang cukup mengesankan. Di single core, chipset baru ini mencetak 3.177 poin, mengungguli Dimensity 9400 sebesar 18%. Yang lebih mencolok adalah performa multi-core, di mana Dimensity 9500 berhasil menembus 9.701 poin sementara pendahulunya hanya mencapai 7.752 poin.

Dimensity 9500 vs Dimensity 9400 - Geekbench score

Peningkatan 25% dalam multi-core ini bukan angka main-main. Dalam praktiknya, ini berarti loading aplikasi yang lebih cepat, multitasking yang lebih smooth, dan kemampuan menangani tugas-tugas berat secara bersamaan tanpa lag. Bagi Anda yang sering menggunakan smartphone untuk produktivitas tinggi, perbedaan ini akan terasa sangat signifikan.

Tapi cerita sesungguhnya justru terungkap di platform AnTuTu. Dimensity 9500 berhasil menembus barrier psikologis 4 juta poin dengan skor total 4.011.932. Bandingkan dengan Dimensity 9400 yang hanya mencapai 2.541.756 poin – selisih yang mencapai 57%! Breakdown skornya bahkan lebih mencengangkan: CPU meningkat 76%, GPU naik 32%, memory melonjak 62%, dan UX mengalami peningkatan fantastis sebesar 100%.

Dimensity 9500 vs Dimensity 9400 - AnTuTu score

Namun, kita perlu bersikap kritis di sini. Sebagian dari gap besar ini mungkin disebabkan perbedaan versi AnTuTu. Vivo X200 Pro dengan Dimensity 9400 dites menggunakan AnTuTu v10, sementara X300 Pro dengan Dimensity 9500 menggunakan v11 yang lebih baru. Untuk perbandingan yang benar-benar apple-to-apple, kita perlu menunggu hasil benchmark dengan versi yang sama.

Revolusi Gaming dan AI yang Lebih Cerdas

Di sektor gaming, Dimensity 9500 bukan sekadar peningkatan inkremental – ini adalah lompatan generasi. Dengan GPU Mali-G1 Ultra MP12 dan teknologi HyperEngine Gaming terbaru, chipset ini menawarkan peningkatan performa GPU 33% dengan efisiensi daya 42% lebih baik. Tapi yang paling mengesankan adalah kemampuan ray tracing-nya yang meningkat 119%.

Bayangkan: untuk pertama kalinya dalam sejarah mobile gaming, Anda bisa menikmati game dengan ray tracing pada 120fps. Teknologi MRFC 3.0 bahkan mampu meng-upgrade game 60fps menjadi 120fps. Ditambah dengan dukungan native untuk Vulkan Ray Tracing Pipeline dan Unreal Engine 5.5+, pengalaman gaming di smartphone kini benar-benar setara dengan konsol.

Sementara itu, di front AI, MediaTek NPU 990 generasi kesembilan menghadirkan komputer power dua kali lipat berkat Generative AI Engine 2.0. Hasilnya? Output LLM 3 miliar parameter 100% lebih cepat, pemrosesan teks panjang 128K token, dan generasi gambar 4K on-device. Yang lebih menarik lagi, semua kemampuan ini diklaim mengonsumsi daya 56% lebih sedikit pada kondisi puncak.

Bagi Anda yang penasaran perangkat mana saja yang akan membawa chipset powerhouse ini, kabar baiknya sudah mulai bermunculan. Bocoran lengkap Oppo Find X9 mengungkap akan menggunakan Dimensity 9500 dengan baterai raksasa 7.025mAh. Sementara Vivo X300 yang resmi rilis 13 Oktober juga dikonfirmasi membawa chipset ini bersama kamera 200MP.

Fotografi dan Konektivitas: Upgrade di Semua Sisi

Di bidang fotografi, meski kedua chipset sama-sama mendukung kamera hingga 320MP, Dimensity 9500 membawa ISP Imagiq 1190 baru dengan bandwidth lebih tinggi dan latency lebih rendah. Teknologi AI denoise yang ditingkatkan bekerja optimal dengan kamera hingga 200MP, menjanjikan hasil foto yang lebih bersih dengan color fidelity yang lebih akurat.

Kemampuan video recording juga mengalami peningkatan signifikan. Dimensity 9500 kini mendukung perekaman 4K/120fps dengan EIS dan 4K/60fps cinematic video capture – fitur yang tidak dimiliki pendahulunya. Vivo X300 dengan Dimensity 9500 dan V3+ bahkan diklaim mampu merekam video 4K 60fps pertama di dunia, menunjukkan betapa seriusnya MediaTek dalam bersaing di segmen konten kreator.

Di sisi konektivitas, efisiensi menjadi kata kunci. Dimensity 9500 menawarkan pengurangan konsumsi daya 10% untuk 5G dan 20% untuk Wi-Fi, plus pengurangan latency hingga 50% berkat teknologi berbasis AI. Kecepatan puncak 5G juga ditingkatkan menjadi 7.4Gbps dari sebelumnya 7Gbps, sementara Wi-Fi tetap di 7.3Gbps.

Lalu, apakah upgrade ke Dimensity 9500 worth it? Berdasarkan data yang ada, jawabannya adalah ya – terutama bagi power user, gamer, dan content creator. Peningkatan performa yang signifikan di semua aspek, ditambah efisiensi daya yang jauh lebih baik, membuat chipset ini layak menjadi pertimbangan utama untuk smartphone flagship 2024-2025. Meski harga pasti perangkat yang membawanya belum diketahui, nilai tambah yang ditawarkan tampaknya sepadan dengan investasi yang akan Anda keluarkan.

Deloitte Ganti Rugi Rp 4,7 Miliar ke Australia Gara-gara AI

0

Telset.id – Perusahaan konsultan keuangan Deloitte terpaksa mengembalikan dana sebesar 291.000 dolar AS (sekitar Rp 4,7 miliar) kepada pemerintah Australia setelah ketahuan menggunakan AI yang menghasilkan angka dan kutipan palsu dalam laporannya. Departemen Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Australia (DEWR) mengonfirmasi bahwa Deloitte setuju membayar kembali sisa pembayaran terakhir dari kontrak yang ditandatangani Desember lalu.

Deloitte ditugaskan melakukan tinjauan independen terhadap sistem otomatisasi sanksi dalam program kesejahteraan bagi pencari kerja yang tidak memenuhi kewajiban mutual. Namun, laporan yang seharusnya menjadi “tinjauan jaminan independen” justru memuat berbagai kesalahan fatal, termasuk referensi kepada kutipan yang tidak pernah ada – ciri khas dari kesalahan AI yang dikenal sebagai hallucination.

Christopher Rudge, dosen sosiologi Universitas Sydney yang pertama kali mengungkap masalah dalam laporan Deloitte, menyatakan perusahaan tersebut berusaha menutupi kesalahannya dengan membagikan versi laporan yang telah diperbarui. “Alih-alih mengganti satu referensi palsu dengan referensi baru yang nyata, mereka mengganti referensi palsu tersebut dengan lima, enam, tujuh, atau delapan referensi baru,” ujarnya kepada The Guardian.

Upaya Penutupan Masalah yang Justru Memperparah

Rudge menambahkan bahwa tindakan Deloitte justru memperkuat dugaan bahwa klaim utama dalam laporan tidak didasarkan pada sumber bukti tertentu. “Apa yang terjadi menunjukkan bahwa klaim asli yang dibuat dalam tubuh laporan tidak didasarkan pada satu sumber bukti tertentu mana pun,” tegasnya.

Meski tertangkap basah menggunakan AI untuk menghasilkan kutipan palsu, Deloitte bersikeras bahwa substansi utama panduan mereka tidak berubah. Dalam catatan kaki versi revisi, perusahaan mengakui stafnya menggunakan GPT-4o dari OpenAI untuk menyusun laporan tersebut.

“Deloitte melakukan tinjauan jaminan independen dan telah mengonfirmasi beberapa catatan kaki dan referensi tidak benar,” ujar juru bicara Deloitte kepada The Guardian. “Substansi tinjauan independen dipertahankan, dan tidak ada perubahan pada rekomendasinya.”

Reaksi Keras dari Parlemen Australia

Insiden ini memicu kemarahan para anggota parlemen Australia yang menuntut pengawasan lebih ketat terhadap perusahaan konsultan. Senator Deborah O’Neill dari Partai Buruh menyatakan Deloitte memiliki “masalah kecerdasan manusia.”

“Ini akan menjadi lucu jika tidak begitu menyedihkan,” ujar O’Neill kepada Australian Financial Review. “Terlalu sering, seperti yang ditunjukkan penyelidikan parlemen kami, perusahaan konsultan ini memenangkan kontrak dengan menjanjikan keahlian mereka, dan ketika kesepakatan ditandatangani, mereka memberikan staf apa pun yang paling murah bagi mereka.”

O’Neill menambahkan bahwa siapa pun yang ingin mengontrak perusahaan-perusahaan ini harus memastikan tepatnya siapa yang melakukan pekerjaan yang mereka bayar, dan memverifikasi keahlian serta tidak adanya penggunaan AI. “Kalau tidak, mungkin alih-alih perusahaan konsultan besar, pengguna jasa akan lebih baik berlangganan ChatGPT,” sindirnya.

Senator Penny Allman-Payne dari Partai Hijau juga menyoroti ironi situasi ini. “Laporan ini seharusnya membantu mengungkap kegagalan dalam sistem kesejahteraan kami dan memastikan perlakuan yang adil bagi penerima dukungan pendapatan, tetapi malah Partai Buruh membiarkan Deloitte membodohi mereka,” katanya.

Kasus Deloitte ini bukan yang pertama kalinya AI menyebabkan masalah dalam dunia kerja. Sebelumnya, pengacara pernah ketahuan mengutip kasus yang tidak ada, dan Pusat Pengendalian Penyakit di era Trump merujuk pada studi yang dikarang oleh AI awal tahun ini.

Financial Times melaporkan bahwa Deloitte dan perusahaan konsultan lainnya telah mengucurkan miliaran dolar untuk mengembangkan alat AI yang mereka klaim dapat mempercepat proses audit. Namun, hari ini juga surat kabar tersebut mencatat bahwa enam firma akuntansi terbesar Inggris belum secara formal memantau bagaimana AI mempengaruhi kualitas audit mereka.

Fenomena ini mengkhawatirkan mengingat besarnya investasi dalam proyek-proyek teknologi yang melibatkan dana publik. Seperti dalam proyek satelit yang membutuhkan perhitungan matang, penggunaan AI dalam analisis kebijakan publik memerlukan verifikasi ketat untuk menghindari kesalahan yang berpotensi merugikan masyarakat.

Insiden Deloitte ini menyoroti perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan teknologi AI, terutama ketika menyangkut urusan publik dan pengelolaan dana negara. Para ahli menekankan bahwa meskipun AI dapat mempercepat proses, verifikasi manusia tetap menjadi komponen kritis yang tidak bisa diabaikan.

OpenAI Hadapi Kendala Teknis untuk Perangkat AI Tanpa Layar

0

Telset.id – OpenAI menghadapi sejumlah kendala teknis dan filosofis dalam pengembangan perangkat AI baru tanpa layar yang dikembangkan bersama mantan desainer Apple, Jony Ive. Menurut laporan Financial Times, tantangan ini berpotensi menunda peluncuran perangkat yang digambarkan sebagai “Siri, tetapi lebih baik” tersebut.

Sumber yang dekat dengan proyek mengungkapkan bahwa perangkat berukuran genggam ini dirancang tanpa layar digital dan akan terus memantau lingkungan sekitarnya untuk isyarat audio dan visual. Perangkat ini akan merespons permintaan pengguna secara otomatis tanpa perlu diaktifkan dengan frasa tertentu seperti “Hey Siri” pada perangkat Apple.

“Konsepnya adalah Anda harus memiliki teman yang merupakan komputer, bukan pacar AI yang aneh,” kata seorang sumber kepada Financial Times, seperti dikutip Telset. Perangkat ini diharapkan menjadi “aksesibel tetapi tidak mengganggu” dengan kepribadian AI yang seimbang – tidak terlalu bersifat menjilat namun juga tidak terlalu langsung.

Tantangan Teknis dan Filosofis

OpenAI dan Ive menghadapi dua jenis tantangan utama dalam pengembangan perangkat AI ini. Di sisi teknis, masalah komputasi menjadi faktor penghambat signifikan. “Komputasi adalah faktor besar lain untuk penundaan,” ungkap sumber dekat Ive kepada Financial Times.

Masalah ini semakin kompleks mengingat OpenAI dan Jony Ive Hadapi Kendala Teknis untuk Perangkat AI 2026. Sumber tersebut menambahkan bahwa Amazon memiliki komputasi untuk Alexa, begitu pula Google, tetapi OpenAI kesulitan mendapatkan komputasi yang cukup untuk ChatGPT, apalagi untuk perangkat AI.

Di sisi filosofis, tim pengembang kesulitan menemukan keseimbangan kepribadian AI yang tepat. “Kepribadian model adalah hal yang sulit untuk diseimbangkan,” kata sumber dekat proyek tersebut. “Tidak bisa terlalu menjilat, tidak terlalu langsung, membantu, tetapi tidak terus berbicara dalam lingkaran umpan balik.”

Spesifikasi dan Fitur Perangkat

Perangkat AI ini dirancang dengan filosofi nol layar. Untuk mengkompensasi tidak adanya layar, perangkat kecil ini akan mengandalkan kamera, mikrofon, dan speaker untuk berinteraksi dengan pengguna. Sumber FT bahkan menyebutkan kemungkinan penggunaan beberapa kamera.

Berbeda dengan asisten virtual konvensional yang diaktifkan dengan frasa tertentu, perangkat OpenAI ini akan “selalu aktif,” terus mengumpulkan data untuk membangun “memori”nya. Fitur ini mirip dengan teknologi AI wearable lainnya, namun berpotensi menimbulkan kekhawatiran privasi yang besar jika benar-benar diluncurkan.

Perangkat ini tidak hanya ditujukan sebagai perangkat wearable, tetapi juga dirancang untuk diletakkan di meja atau meja dengan ukuran kasar sebesar smartphone. Tujuannya tidak hanya menjadi Siri yang lebih baik, tetapi juga peningkatan dari smart speaker seperti Amazon Alexa atau perangkat Google Home.

Kolaborasi antara OpenAI dan Ive semakin kuat setelah OpenAI Rekrut Jony Ive, Desainer iPhone, untuk Kembangkan Perangkat AI. OpenAI mengakuisisi startup Ive, io, senilai $6,5 miliar pada Mei lalu, meskipun detail pengaturan mereka sebagian besar masih ditutup-tutupi.

CEO OpenAI Sam Altman mengatakan kepada stafnya bulan Mei bahwa ia berencana mengirimkan 100 juta perangkat yang dirancang bersama Ives, yang ia gambarkan sebagai “pendamping” AI. Target ambisius ini menunjukkan komitmen besar OpenAI dalam memasuki pasar perangkat keras AI.

Tantangan Pasar dan Masa Depan

Meskipun menghadapi berbagai kendala, pertanyaan besar tetap muncul: apakah akan ada permintaan yang cukup untuk membenarkan miliaran dolar yang diinvestasikan OpenAI untuk membuat kolaborasi ini terjadi?

ChatGPT mengklaim memiliki lebih dari 700 juta pengguna aktif mingguan, sehingga secara teknis bukan tidak mungkin OpenAI dapat mengirimkan 100 juta gadget AI kecil. Namun, pada April lalu, hanya memiliki 20 juta pelanggan berbayar, yang menunjukkan bahwa sebagian besar basis penggunanya tidak mau mengeluarkan uang untuk produk OpenAI.

Perangkat fisik mungkin lebih menarik, tetapi ini merupakan taruhan besar. Ex-Desainer Apple Kembangkan Perangkat AI Milik OpenAI menjadi bukti komitmen perusahaan dalam berekspansi ke hardware, meskipun pasar perangkat AI masih dalam tahap perkembangan.

Industri chatbot secara keseluruhan menghadapi masalah menemukan keseimbangan yang tepat dalam kepribadian AI. OpenAI sendiri sudah berjuang untuk mengendalikan disposisi ChatGPT yang menarik tanpa membuat marah penggemarnya sendiri. Kini perusahaan perlu menjembatani kesenjangan ini dalam model yang lebih baru dan lebih ringan.

Keberhasilan perangkat ini tidak hanya bergantung pada kemampuan teknis, tetapi juga pada penerimaan konsumen terhadap perangkat AI yang selalu aktif dan terus memantau lingkungan. Isu privasi dan keamanan data menjadi pertimbangan kritis yang harus diatasi OpenAI sebelum peluncuran produk.

Sora 2 OpenAI Picu Kontroversi Deepfake dan Pelanggaran Hak Cipta

0

Telset.id – OpenAI menghadapi badai kontroversi setelah meluncurkan Sora 2, aplikasi pembuat video dari teks yang memicu gelombang konten deepfake dan pelanggaran hak cipta. Aplikasi mirip TikTok ini langsung disalahgunakan pengguna untuk menghasilkan video tokoh kartun memasak narkoba hingga selebritas yang telah meninggal, memaksa perusahaan Sam Altman melakukan pembatasan ketat.

Dalam seminggu sejak peluncurannya, Sora 2 menjadi ajang eksperimen konten-konten kontroversial. Pengguna dengan cepat memproduksi video SpongeBob SquarePants memasak kristal biru di laboratorium metamfetamin dan Sam Altman memanggang Pikachu yang terlihat nyata. Bahkan episode lengkap South Park yang seluruhnya dibuat AI dibagikan secara luas di platform.

Para ahli keamanan digital mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap implikasi teknologi ini. Kemampuan menghasilkan rekaman yang menjebak menggunakan wajah orang lain dinilai berpotensi mempercepat erosi kepercayaan terhadap konten online. Seperti yang terjadi sebelumnya, Sora 2 OpenAI Disalahgunakan untuk Stalking dan Deepfake menunjukkan betapa seriusnya ancaman ini.

Respons Cepat dan Kontroversial OpenAI

OpenAI awalnya menerapkan pendekatan “move fast and break things” dengan pengamanan konten yang minimal. Staf OpenAI sendiri, Gabriel Petersson, membuat video CCTV viral yang menunjukkan Sam Altman mencuri di Target, memicu debat tentang batasan etika dalam pengembangan AI.

Pengguna juga membuat video realistik selebritas yang telah meninggal seperti Michael Jackson, Tupac Shakur, dan Bob Ross. Meski OpenAI berjanji memblokir penggambaran figur publik, perusahaan menyatakan tetap mengizinkan generasi figur sejarah, membuat selebritas yang telah meninggal menjadi sasaran empuk.

Situasi semakin memanas ketika seorang pengguna membagikan iklan TV tahun 1990-an untuk mainan anak bertema pulau Karibia milik Jeffrey Epstein. Insiden ini memaksa OpenAI mengambil tindakan tegas dengan memperketat filter konten, meski kemudian dikeluhkan pengguna karena membuat aplikasi “secara harfiah tidak bisa digunakan untuk hal kreatif.”

Perubahan Kebijakan dan Model Bisnis

Dalam posting blog terbaru, Sam Altman mengaku perusahaan “sangat bersemangat” bahwa pengguna menghasilkan video terinspirasi kekayaan intelektual mereka. “Kami harus menghasilkan uang dari generasi video,” tulis Altman, mengumumkan rencana memberikan bagian pendapatan kepada pemegang hak.

Namun, detail model bisnis ini masih belum jelas. Tidak disebutkan apakah pengguna akan dikenai biaya per generasi video atau dari mana pendapatan akan berasal. Altman mengakui, “Orang menghasilkan lebih banyak dari yang kami perkirakan per pengguna, dan banyak video dibuat untuk audiens yang sangat kecil.”

OpenAI juga melakukan reversal kebijakan signifikan. Awalnya perusahaan menyatakan pemegang hak harus aktif memilih keluar dari penggunaan materi berhak cipta. Kini kebijakan berubah menjadi opt-in, dimana pemegang hak harus menyetujui secara eksplisit.

Perusahaan semakin memperketat kontrol dengan perjanjian unggah media yang mewajibkan pengguna mencentang kotak persetujuan bahwa mereka memiliki semua hak必要 untuk media yang diunggah. Perjanjian ini mengancam akan menangguhkan atau melarang akun tanpa pengembalian dana jika terjadi penyalahgunaan.

Perkembangan Sora 2 ini terjadi di tengah lanskap AI yang semakin kompetitif. Seperti dilaporkan sebelumnya, Grok 2.5 Resmi Open Source, Elon Musk Janji Grok 3 Menyusul, menunjukkan percepatan inovasi di bidang AI.

Sementara OpenAI terus mengembangkan kemampuan AI-nya, termasuk OpenAI Resmi Umumkan Model AI GPT-4o, Makin Mirip Manusia, tantangan regulasi dan etika semakin kompleks. Perusahaan kini harus menyeimbangkan antara inovasi teknologi dan tanggung jawab sosial dalam menghadapi realitas baru konten generatif AI.

Dengan Sora 2 menduduki peringkat teratas di app store, OpenAI kini fokus memadamkan kebakaran hukum yang diakibatkan popularitas aplikasi tersebut. Masa depan platform video AI ini akan sangat bergantung pada kemampuan perusahaan menavigasi kompleksitas hak cipta dan perlindungan privasi di era konten generatif.

Sora 2 OpenAI Disalahgunakan untuk Stalking dan Deepfake

0

Telset.id – Peluncuran Sora 2, aplikasi pembuat video AI terbaru OpenAI, diwarnai kontroversi setelah digunakan untuk aksi stalking dan pembuatan deepfake tanpa izin. Jurnalis Taylor Lorenz melaporkan seorang stalker menggunakan tool tersebut untuk membuat video AI dirinya, hanya sehari setelah aplikasi Sora diluncurkan.

Dalam cuitannya, Lorenz menyebut pelaku sebagai “stalker psikotik” yang telah menjalankan ratusan akun khusus untuknya. “Menakutkan memikirkan apa yang dilakukan AI untuk memicu delusi stalker saya,” tulisnya. Ia mengungkapkan pria tersebut pernah menyewa fotografer untuk mengawasinya, muncul di acara yang dihadirinya, dan memalsukan identitas teman serta keluarga secara online untuk mengumpulkan informasi.

Meski Lorenz mengatakan bisa memblokir dan menghapus video tak diizinkan yang memuat gambarnya dari aplikasi, kekhawatiran tetap muncul. Video AI buatan stalker mungkin sudah terunduh, dan fakta bahwa konten semacam itu awalnya diizinkan oleh sistem menimbulkan alarm.

Kasus Lorenz bukanlah insiden terisolir. Fitur “Cameo” di Sora 2, yang oleh OpenAI digambarkan sebagai “karakter yang dapat digunakan kembali” yang disintesis dari video yang diunggah pengguna, menjadi pintu masuk potensial untuk penyalahgunaan. Meski secara teori penggunaan Cameo orang lain memerlukan izin, kenyataannya pagar pengaman Sora 2 terbukti tidak andal.

Pagar Pengaman yang Gagal

OpenAI mengakui dalam system card Sora 2 bahwa aplikasi AI mereka gagal memblokir perintah untuk menghasilkan video dengan konten ketelanjangan atau seksual menggunakan kemiripan orang sungguhan sebanyak 1,6 persen dari waktu, seperti dilaporkan PCMag. Angka ini berarti ribuan video bisa lolos dari jutaan perintah yang diproses.

Beberapa pengguna telah mendemonstrasikan kemampuan menghasilkan video provokatif dan sugestif tentang orang lain. Meski OpenAI mengklaim aplikasi memblokir pengunggahan foto berisi wajah, mekanisme ini tampaknya tidak cukup untuk mencegah penyalahgunaan.

Eskalasi Ancaman Deepfake

Teknologi pembuatan video AI seperti Sora 2 membuat deepfake semakin mudah dibuat dan lebih meyakinkan daripada sebelumnya. Tren ini mengkhawatirkan mengingat sejarah penyalahgunaan tool AI untuk pelecehan seksual, terutama terhadap perempuan.

Bahkan sebelum Sora 2, OpenAI dan perusahaan teknologi lain telah menghadapi kritik terkait pelatihan AI mereka. Tahun lalu, penyanyi Taylor Swift menjadi target gelombang “foto bugil” palsu yang dibuat dengan AI. Bukan hanya selebritas, masyarakat biasa juga rentan.

Beberapa kasus dokumentasi menunjukkan stalker menggunakan AI untuk membuat foto bugil palsu korban dan membuat chatbot yang meniru rupa mereka. Dalam kasus lain, pelaku dituduh membuat video porno AI dari hampir selusin korbannya dan mengirimkannya ke keluarga mereka.

Peluncuran Grok 2.5 yang open source oleh pesaing OpenAI juga menambah kompleksitas lanskap AI. Sementara CEO OpenAI Sam Altman tampak meremehkan keseriusan deepfake dengan membiarkan penggemar menggunakan kemiripannya secara bebas, implikasi etis dari teknologi ini semakin mendesak untuk diatasi.

Kekacauan peluncuran Sora 2 semakin diperparah dengan viralnya video parodi yang menampilkan Altman melakukan kejahatan dalam rekaman CCTV palsu. Konten semacam ini menggarisbawahi betapa mudahnya teknologi ini digunakan untuk memalsukan video merusak tentang seseorang tanpa izin mereka.

Kontroversi Sora 2 terjadi di tengah proyek besar OpenAI lainnya yang dikabarkan mengalami kendala di belakang layar. Seiring teknologi AI video terus berkembang, tekanan untuk menerapkan pengamanan yang lebih kuat dan kebijakan konten yang jelas semakin meningkat, terutama menyangkut perlindungan privasi dan pencegahan penyalahgunaan.

Mercedes-Benz Wireless Headphone 2 Bocor, Siap Guncang Pasar Audio Premium

0

Telset.id – Bayangkan mendengarkan musik favorit Anda dengan kualitas audio setara mobil mewah Mercedes-Benz. Itulah yang akan dihadirkan oleh Mercedes-Benz Wireless Headphone 2, yang baru saja terlihat di database sertifikasi TDRA Uni Emirat Arab. Bocoran ini mengindikasikan bahwa brand otomotif legendaris tersebut serius menggarap segmen audio premium konsumen.

Setelah peluncuran perdana headphone nirkabel mereka pada 2020, Mercedes-Benz kini bersiap meluncurkan generasi kedua. Model dengan kode MB WHP 2 ini terdaftar sebagai perangkat berkemampuan Bluetooth, menandakan langkah persiapan menuju peluncuran resmi. Bagi Anda yang menggemari teknologi audio high-end, ini adalah perkembangan yang patut ditunggu.

Pasar headphone premium memang semakin ramai dengan kehadiran berbagai merek ternama. Sebelumnya, Apple dikabarkan akan merilis headphone over-ear untuk melengkapi lini produk audio mereka. Sementara itu, Apple AirPods Max akhirnya dapat update canggih dengan beberapa syarat tertentu. Persaingan di segmen ini semakin panas, dan kehadiran Mercedes-Benz Wireless Headphone 2 diprediksi akan menambah dinamika pasar.

Warisan Desain Ikonik dengan Penyegaran Teknologi

Generasi pertama Mercedes-Benz Wireless Headphones hadir dengan desain over-ear yang distinctif dan menampilkan logo tiga bintang ikonik merek tersebut. Body hitam yang elegan dikontraskan dengan emblem silver dalam border circular yang tebal—sebuah pernyataan style yang tak perlu berteriak. Desain ini mencerminkan filosofi Mercedes-Benz: luxury yang understated namun powerful.

Meski sertifikasi TDRA tidak mengungkap detail spesifik tentang Mercedes-Benz Wireless Headphone 2, kita bisa berharap pada berbagai peningkatan signifikan. Headphone generasi pertama sudah dilengkapi dengan Bluetooth 5.0 untuk konektivitas nirkabel dan jack audio 3.5mm untuk koneksi kabel. Fitur-fitur seperti microphone terintegrasi, touchpad untuk kontrol yang mudah, dan dukungan 3D surround sound sudah menjadi standar. Dengan baterai yang mampu bertahan hingga 18 jam sekali charge, headphone ini memang dirancang untuk pengalaman listening yang tak terputus.

Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari generasi kedua? Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri audio personal terus berinovasi. ANC (Active Noise Cancellation) menjadi fitur yang hampir wajib di segmen premium. Peningkatan jumlah microphone untuk kualitas panggilan yang lebih jernih, driver audio yang lebih responsif, dan teknologi konektivitas terbaru seperti Bluetooth 5.2 atau 5.3 sangat mungkin diadopsi.

Pasar Audio Premium: Medan Pertempuran Baru Brand Otomotif

Langkah Mercedes-Benz ini bukanlah yang pertama dalam dunia crossover antara otomotif dan audio. Beberapa brand mobil mewah telah mencoba peruntungan di segmen ini dengan berbagai tingkat kesuksesan. Yang menarik adalah bagaimana Mercedes-Benz memposisikan produk audio mereka sebagai ekstensi dari filosofi brand—bukan sekadar merchandise biasa.

Di tengah persaingan ketat, inovasi menjadi kunci. Sementara Adidas meluncurkan headphone yang bisa charge pakai cahaya matahari, Mercedes-Benz tampaknya fokus pada penyempurnaan pengalaman audio premium. Pendekatan yang berbeda, namun sama-sama menarik perhatian konsumen yang menginginkan sesuatu lebih dari sekadar headphone biasa.

Pertanyaannya: apakah konsumen bersedia membayar premium untuk headphone dengan embel-embel brand otomotif? Jawabannya mungkin terletak pada keseimbangan antara brand prestige dan kualitas audio yang benar-benar exceptional. Mercedes-Benz memiliki warisan dalam rekayasa presisi—sebuah nilai yang bisa ditransfer ke dunia audio jika dilakukan dengan benar.

Dengan peluncuran Mercedes-Benz Wireless Headphone 2 yang semakin dekat, kita bisa berharap pada produk yang tidak hanya mengandalkan nama besar, tetapi juga memberikan nilai tambah nyata dalam hal kualitas suara, kenyamanan, dan fitur-fitur inovatif. Bagaimana pendapat Anda? Apakah headphone dari brand otomotif bisa bersaing dengan specialist audio murni? Mari kita tunggu jawabannya ketika produk ini resmi diluncurkan.

Apple Hadapi Investigasi Kriminal di Prancis Terkait Rekaman Siri

0

Telset.id – Bayangkan asisten digital pribadi Anda yang paling setia ternyata menyimpan rahasia terdalam Anda. Itulah yang sedang dihadapi Apple di Prancis, di mana perusahaan teknologi raksasa itu kini berhadapan dengan investigasi kriminal terkait pengumpulan dan penggunaan rekaman suara melalui asisten virtual Siri.

Kejaksaan Paris secara resmi mengonfirmasi penyelidikan pada 6 Oktober dan menyatakan telah menyerahkan kasus ini kepada Kantor untuk Memerangi Kejahatan Siber. Langkah hukum ini muncul menyusul pengaduan yang diajukan awal tahun ini oleh organisasi hak asasi manusia Prancis, Ligue des Droits de l’Homme. Apa yang membuat kasus ini semakin menarik adalah bahwa pengaduan tersebut didasarkan pada kesaksian mantan subkontraktor Apple yang berani membongkar praktik yang mungkin tidak pernah Anda duga.

Thomas Le Bonniec, mantan pekerja di mitra Apple Globe Technical Services di Irlandia pada 2019, menjadi whistleblower dalam kasus ini. Dalam kesaksiannya, Le Bonniec mengungkapkan bahwa selama bekerja di perusahaan tersebut, ia meninjau ribuan rekaman Siri yang mencakup percakapan berisi informasi pribadi sensitif. Rekaman-rekaman ini, menurutnya, bisa berisi detail intim tentang kehidupan pengguna dan beberapa di antaranya bahkan dapat diidentifikasi.

Pihak berwenang Prancis kini menyelidiki apakah Apple mengumpulkan dan memproses data suara pengguna tanpa persetujuan yang tepat. Yang menarik, Le Bonniec sebelumnya telah mengangkat masalah ini kepada regulator data Eropa, termasuk CNIL Prancis dan Komisi Perlindungan Data Irlandia, namun upaya tersebut tidak berujung pada penyelidikan formal sampai sekarang.

Respons Apple dan Komitmen Privasi

Apple memilih untuk tidak berkomentar langsung mengenai kasus ini, namun perusahaan merujuk pada posting blog Januari lalu. Dalam pernyataan resmi tersebut, Apple menegaskan bahwa mereka tidak menyimpan rekaman audio Siri kecuali pengguna secara eksplisit memilih untuk berpartisipasi. Perusahaan menyatakan menggunakan rekaman tersebut semata-mata untuk meningkatkan kinerja Siri dan tidak membagikannya kepada pemasar atau menjualnya kepada pengiklan.

Apple juga mengklaim telah memperkuat kontrol privasi Siri pada 2019 dan kembali pada 2025. Namun, pertanyaannya adalah: apakah langkah-langkah ini sudah cukup untuk melindungi privasi pengguna? Apakah Anda sebagai pengguna merasa yakin bahwa percakapan pribadi Anda benar-benar aman?

Dampak Hukum yang Meluas

Pengaduan ini tidak hanya memicu investigasi kriminal, tetapi juga telah menyebabkan gugatan class-action di Prancis. Kasus ini mengikuti pola serupa di Amerika Serikat, yang berakhir dengan penyelesaian senilai 95 juta dolar AS tahun lalu. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa Apple tidak mengakui kesalahan apa pun dalam kasus AS tersebut.

Fenomena ini mengingatkan kita pada kasus di Australia, di mana Apple Watch bisa menemukan tersangka pembunuhan, menunjukkan betapa dalamnya perangkat Apple dapat terlibat dalam kehidupan pengguna. Sementara di sisi lain, ada cerita unik tentang bocah 13 tahun yang diciduk polisi gara-gara “curhat” ke Siri, yang memperlihatkan bagaimana interaksi dengan asisten virtual bisa memiliki konsekuensi tak terduga.

Kejaksaan Prancis belum mengungkapkan detail lebih lanjut tentang ruang lingkup penyelidikan saat ini. Namun, yang jelas, kasus ini menimbulkan pertanyaan penting tentang sejauh mana perusahaan teknologi boleh “mendengarkan” kehidupan pribadi kita. Di era di asisten digital menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian, mulai dari mengatur jadwal hingga mengontrol perangkat rumah cerdas, batasan antara kenyamanan dan privasi menjadi semakin kabur.

Perkembangan teknologi asisten virtual memang tak terbendung. Google Assistant belajar mengenali suara pengguna dengan semakin canggih, menawarkan personalisasi yang lebih baik. Namun, dengan kemampuan yang semakin maju ini, muncul tanggung jawab yang lebih besar bagi perusahaan untuk melindungi data pengguna.

Kasus Apple di Prancis ini mungkin hanya puncak gunung es dari masalah privasi yang lebih besar di industri teknologi. Sebagai pengguna, mungkin saatnya kita bertanya: seberapa banyak yang kita rela korbankan dari privasi kita untuk mendapatkan kenyamanan teknologi? Dan yang lebih penting, apakah kita benar-benar menyadari apa yang sebenarnya terjadi di balik layar ketika kita berkata, “Hei Siri”?

Samsung Galaxy S22 Dapat One UI 8, Tapi Ini Update Terakhir?

0

Telset.id – Kabar yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah berbulan-bulan menanti, seri flagship Samsung Galaxy S22, termasuk S22, S22+, dan S22 Ultra, mulai menerima pembaruan besar ke One UI 8. Namun, di balik kegembiraan ini tersimpan fakta pahit: inilah update Android terakhir untuk deretan ponsel yang pernah menjadi kebanggaan Samsung ini.

Bagaimana tidak? Update yang berbasis Android 16 ini telah terdeteksi menggelinding ke perangkat Galaxy S22 di beberapa wilayah, termasuk Eropa dan India. Dengan ukuran file sekitar 3,1GB, pembaruan ini tidak main-main. Ia membawa serta tambalan keamanan terbaru per 1 September 2025, menjadikan perangkat Anda lebih aman dari ancaman siber terkini. Tapi benarkah ini akhir dari perjalanan update untuk Galaxy S22 series?

Bagi Anda pemilik Galaxy S22, momen ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ada kegembiraan karena akhirnya bisa merasakan fitur-fitur terbaru One UI 8. Di sisi lain, ada kekecewaan karena Samsung telah mengonfirmasi bahwa ini adalah update Android besar terakhir untuk seri ini. Janji empat update utama Android yang diumbar Samsung sejak awal memang terpenuhi, namun rasanya tetap saja meninggalkan rasa getir.

Samsung Galaxy S22 Ultra in 2024

Bayangkan saja, Galaxy S23 FE yang menggunakan chipset yang sama—baik Exynos 2200 maupun Snapdragon 8 Gen 1—justru mendapatkan semua fitur Galaxy AI yang sedang tren. Sementara Galaxy S22 series, yang notabene lebih premium, justru ditinggalkan dalam hal kecerdasan buatan. Keputusan yang cukup membingungkan, bukan?

Apalagi jika melihat komitmen terbaru Samsung yang menjanjikan tujuh tahun update untuk seri Galaxy S24 dan S25. Seolah ada jurang pemisah yang lebar antara generasi lama dan baru. Tapi jangan khawatir, perangkat Galaxy S22 Anda tidak serta-merta menjadi usang. Samsung masih akan memberikan pembaruan keamanan hingga tahun 2026, memenuhi siklus dukungan lima tahun yang dijanjikan sejak peluncurannya di Februari 2022.

Masa Depan Galaxy S22 Setelah One UI 8

Pertanyaan besar yang kini menghantui para pengguna Galaxy S22 adalah: akankah mereka mendapatkan One UI 8.5? Secara teknis, karena One UI 8 berbasis Android 16, seharusnya seri S22 memenuhi syarat untuk menerima pembaruan point release tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada kepastian dari Samsung.

Yang jelas, perjalanan update untuk Galaxy S22 series memang telah mencapai titik akhir sesuai janji awal. Ponsel yang pernah menjadi senjata andalan Samsung dalam persaingan dengan iPhone ini kini harus rela memberikan tongkat estafet kepada generasi penerusnya. Tapi jangan salah, performa hardware-nya masih cukup tangguh untuk menangani tugas sehari-hari.

Bagi Anda yang masih setia menggunakan Galaxy S22, mungkin ini saat yang tepat untuk mempertimbangkan upgrade. Atau, tetap bertahan dengan mengetahui bahwa perangkat Anda masih akan mendapatkan perlindungan keamanan selama setahun ke depan. Galaxy S22 dengan varian warna ungu yang sempat booming pun tak luput dari nasib yang sama.

Strategi Samsung dan Masa Depan Update Software

Keputusan Samsung untuk tidak membawa fitur Galaxy AI ke seri S22 mengundang banyak tanya. Apakah ini bentuk segmentasi produk yang disengaja? Ataukah ada kendala teknis yang tidak diungkap? Yang pasti, langkah ini menunjukkan bagaimana cepatnya evolusi teknologi smartphone dan betapa singkatnya siklus hidup sebuah flagship di era modern.

Perlu diingat, varian FE dari seri S22 pun memiliki nasib yang berbeda dalam hal update. Ini menunjukkan kompleksitas strategi software update yang diterapkan Samsung across different product lines.

Rollout One UI 8 untuk Galaxy S22 series sendiri diperkirakan akan meluas ke lebih banyak pasar dalam beberapa hari dan minggu mendatang. Bagi Anda yang belum menerima notifikasi update, bersabarlah. Proses distribusi bertahap seperti ini memang biasa dilakukan untuk memastikan stabilitas sistem.

Jadi, bagaimana perasaan Anda sebagai pengguna Galaxy S22? Apakah update terakhir ini menjadi alasan untuk beralih ke model baru, atau justru membuat Anda semakin menghargai perangkat yang telah setia menemani selama ini? Satu hal yang pasti: era Galaxy S22 sebagai penerima update utama telah berakhir, namun kisahnya dalam genggaman pengguna masih akan berlanjut.

Nokia 800 Tough Generasi Kedua Bocor, USB-C dan KaiOS Terbaru

0

Telset.id – Enam tahun berlalu sejak Nokia 800 Tough pertama kali hadir dengan janji ketangguhan ala ponsel legendaris. Kini, kabar terbaru mengindikasikan generasi penerusnya sedang dipersiapkan. Apakah HMD Global akan menghadirkan revolusi atau sekadar penyegaran ringan?

Bocoran yang beredar dari sumber terpercaya di platform X mengungkap bahwa HMD Global tengah menggarap Nokia 800 Tough generasi kedua. Ini merupakan buah pertama dari perpanjangan lisensi Nokia dengan HMD Global yang diumumkan akhir bulan lalu. Bagi Anda yang merindukan ketangguhan ponsel dengan keypad fisik, kabar ini tentu menggembirakan.

Namun jangan berharap perubahan drastis. Menurut informasi yang beredar, upgrade yang diberikan lebih bersifat evolusioner daripada revolusioner. Port microUSB yang sudah ketinggalan zaman akhirnya digantikan oleh USB-C, menyelaraskan dengan standar modern. Sistem operasinya pun akan ditingkatkan dari KaiOS 2.5.2 ke versi 3.1 yang lebih mutakhir.

Render yang dibagikan oleh tipster menunjukkan desain yang hampir identik dengan pendahulunya. Bagian belakang masih menampilkan kamera tunggal yang diapit oleh flash LED di satu sisi dan grille speaker di sisi lain. Estetika yang konsisten ini justru menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemar setia Nokia.

Warisan Ketangguhan yang Terus Dijaga

Mengingat garis keturunan perangkat ini, kita dapat berharap Nokia 800 Tough generasi kedua akan mempertahankan sertifikasi IP68 untuk ketahanan air dan debu, serta sertifikasi MIL-STD-810G untuk ketahanan terhadap kondisi ekstrem. Inilah warisan yang membuat HP Nokia ikonik begitu dikenang hingga sekarang.

Perjalanan Nokia 800 Tough memang menarik untuk ditelusuri. Model pertama yang diluncurkan pada 2019 membawa spesifikasi yang cukup sederhana bahkan untuk zamannya: layar TFT 2,4 inci, chipset Qualcomm Snapdragon 205, RAM 512MB, dan kamera belakang 2MP. Dilengkapi dengan Wi-Fi, Bluetooth 4.1, GPS, dan baterai 2.100mAh, perangkat ini memang tidak dirancang untuk bersaing dengan smartphone modern, melainkan untuk bertahan dalam kondisi terberat.

Lalu, apakah upgrade ke USB-C dan KaiOS 3.1 cukup signifikan? Bagi pengguna yang mengandalkan ponsel ini untuk aktivitas outdoor atau kondisi kerja yang menantang, perubahan ini justru sangat berarti. Port USB-C berarti lebih praktis untuk pengisian daya, sementara KaiOS 3.1 menjanjikan pengalaman pengguna yang lebih mulus dan fitur yang lebih lengkap.

Strategi HMD Global di Pasar Niche

Kehadiran Nokia 800 Tough generasi kedua menunjukkan strategi HMD Global yang berfokus pada segmen pasar khusus. Alih-alih mengejar pasar smartphone mainstream yang sudah jenuh, perusahaan ini justru menggarap ceruk yang masih memiliki penggemar loyal.

Pendekatan ini sejalan dengan komitmen HMD Global terhadap keberlanjutan, seperti yang terlihat dari rencana mereka untuk menjual HP daur ulang. Meski belum ada konfirmasi apakah Nokia 800 Tough generasi kedua akan menggunakan material daur ulang, filosofi ketangguhan dan keberlanjutan tampaknya menjadi DNA produk-produk Nokia baru.

Bagaimana dengan harga? Model 2019 diluncurkan dengan harga €110, dan kita dapat memperkirakan generasi baru akan berada di kisaran yang sama. Dalam dunia di mana smartphone flagship bisa mencapai harga puluhan juta rupiah, kehadiran ponsel tangguh dengan harga terjangkau seperti ini tentu menyegarkan.

Bagi Anda yang mencari alternatif smartphone dengan kamera berkualitas, mungkin HP Samsung dengan kamera terbaik bisa menjadi pilihan. Namun untuk ketangguhan dan daya tahan baterai yang luar biasa, Nokia 800 Tough generasi kedua tampaknya akan tetap unggul.

Teknologi pelacakan seperti Find My AirPods mungkin tidak akan Anda temukan di ponsel jenis ini, tetapi itulah trade-off yang harus diterima ketika memilih perangkat yang dirancang khusus untuk ketahanan ekstrem.

Hingga saat ini, belum ada informasi resmi mengenai tanggal peluncuran atau harga pasti Nokia 800 Tough generasi kedua. Namun dengan bocoran yang sudah mulai bermunculan, kita bisa berharap pengumuman resmi tidak akan lama lagi. Apakah Anda termasuk yang menantikan kehadiran ponsel tangguh baru ini?

Daftar Lengkap Perangkat Xiaomi yang Dapat Upgrade HyperOS 3

0

Telset.id – Kabar gembira untuk para pengguna produk Xiaomi! HyperOS 3 akhirnya resmi diumumkan sebagai pembaruan sistem operasi besar-besaran yang menjanjikan pengalaman lebih mulus, pintar, dan terintegrasi. Namun, pertanyaan besarnya: apakah perangkat Xiaomi yang Anda gunakan saat ini termasuk dalam daftar keberuntungan?

HyperOS 3 bukan sekadar pembaruan biasa. Ini adalah lompatan signifikan yang dibangun di atas Android 16, menghadirkan antarmuka HyperIsland yang segar, fitur artificial intelligence (AI) yang lebih cerdas, dan yang paling ditunggu—integrasi lintas perangkat yang lebih dalam, bahkan dengan ekosistem Apple. Puluhan peningkatan di balik layar juga dijanjikan untuk meningkatkan kelancaran, performa, dan efisiensi baterai. Pembaruan ini sudah mulai digulirkan di China dan akan segera menyusul ke pasar global. Tapi, seperti biasa, tidak semua perangkat lama akan mendapatkannya.

Nah, jika Anda penasaran apakah smartphone, tablet, atau wearable Xiaomi kesayangan termasuk yang berhak menikmati HyperOS 3, simak daftar lengkapnya berikut ini. Kami telah mengompilasi semua perangkat eligible berdasarkan informasi resmi dan bocoran terpercaya.

Daftar Smartphone yang Mendapat HyperOS 3

Xiaomi tampaknya cukup dermawan dalam hal ini. Banyak seri andalan, mulai dari flagship hingga mid-range, tercatat akan menerima pembaruan penting ini. Berikut adalah daftar smartphone Xiaomi, Redmi, dan Poco yang eligible:

  • Xiaomi 15, 15 Ultra
  • Xiaomi 15T, 15T Pro
  • Xiaomi 14, 14 Ultra
  • Xiaomi 14T, 14T Pro
  • Xiaomi 13, 13 Lite, 13 Pro, 13 Ultra
  • Xiaomi 13T, 13T Pro
  • Xiaomi 12, 12 Pro
  • Xiaomi 12T Pro
  • Xiaomi MIX Flip
  • Redmi Note 14, Note 14 5G, Note 14 Pro, Note 14 Pro 5G, Note 14 Pro+ 5G
  • Redmi Note 14S
  • Redmi Note 13 5G, Note 13 Pro, Note 13 Pro 5G, Note 13 Pro+ 5G
  • Redmi 15, 15 5G, 15C, 15C 5G
  • Redmi 14C
  • Redmi 13, 13X
  • Poco F7, F7 Pro, F7 Ultra
  • Poco F6, F6 Pro
  • Poco F5, F5 Pro
  • Poco X7, X7 Pro, X7 Pro (Iron Man Edition)
  • Poco X6, X6 Pro
  • Poco M7, M7 Pro 5G
  • Poco M6, M6 Pro
  • Poco C85, C75

Perhatikan bahwa seri seperti Redmi Note 13 Pro 5G, yang performa kameranya sudah kami ulas secara mendalam, termasuk dalam daftar ini. Ini adalah kabar baik bagi pemilik perangkat tersebut yang menantikan peningkatan software.

Tablet dan Wearable yang Juga Ikut Diupgrade

HyperOS 3 tidak hanya untuk smartphone. Xiaomi juga memperhatikan perangkat tablet dan wearable mereka untuk menciptakan ekosistem yang lebih solid. Berikut daftar tablet dan wearable yang akan mendapatkan HyperOS 3:

Tablet:

  • Xiaomi Pad 7, Pad 7 Pro
  • Xiaomi Pad 6S Pro 12.4
  • Xiaomi Pad Pro, Pad Pro 5G, Pad Mini
  • Redmi Pad SE 8.7, Pad SE 8.7 4G
  • Redmi Pad 2, Pad 2 4G, Pad 2 Pro, Pad 2 Pro 5G
  • Poco Pad

Wearable:

  • Xiaomi Watch S4 41mm
  • Xiaomi Smart Band 10 Glimmer Edition
  • Xiaomi Smart Band 10 Ceramic Edition
  • Xiaomi Smart Band 10

Dengan demikian, pengalaman HyperOS 3 akan terasa lebih menyeluruh, dari genggaman tangan hingga pergelangan tangan.

Kapan HyperOS 3 Mulai Digulirkan?

Xiaomi berencana memulai gelombang pembaruan HyperOS 3 pada akhir bulan ini. Seri flagship terbaru, Xiaomi 15, akan menjadi yang pertama merasakannya. Ini adalah strategi yang wajar, mengingat perangkat flagship biasanya menjadi prioritas utama.

Selanjutnya, pada bulan depan, pembaruan akan dengan cepat meluas untuk mencakup seri-seri populer seperti Redmi Note 14, Poco F7, Poco X7, dan Xiaomi Pad 7. Rencananya, sebagian besar perangkat eligible akan telah menerima pembaruan ini pada bulan Desember. Perangkat yang tersisa dijadwalkan akan mendapatkan update HyperOS 3 pada awal tahun depan.

Jika Anda ingin mengetahui lebih detail tentang fitur-fitur AI dan jadwal rollout yang lebih spesifik, kami telah membahasnya secara lengkap dalam artikel sebelumnya. Sementara itu, bagi Anda yang perangkatnya tidak masuk daftar, jangan terlalu kecewa. Fokus Xiaomi pada HyperOS 3 juga berarti mereka harus menghentikan dukungan untuk beberapa smartphone lama, seperti yang telah kami laporkan.

Jadi, bersiaplah untuk menyambut angin segar bagi perangkat Xiaomi Anda. HyperOS 3 hadir bukan hanya sebagai pembaruan, tapi sebagai transformasi pengalaman digital yang lebih terhubung dan responsif. Periksa kembali daftar di atas, dan semoga perangkat Anda termasuk dalam daftar yang beruntung!

Pelajaran Berharga dari Sejarah Teknologi Pendidikan untuk Era AI

0

Telset.id – Bayangkan jika Anda adalah seorang guru di tahun 1922, ketika Thomas Edison dengan yakin menyatakan bahwa buku teks akan segera punah, digantikan sepenuhnya oleh film strip. “Teks hanya 2% efisien, tapi film 100% efisien,” klaim sang penemu legendaris itu dengan statistik yang kini terbukti mengada-ada. Lebih dari seabad kemudian, kita kembali mendengar narasi serupa—kali ini tentang kecerdasan buatan yang konon akan mengubah pendidikan secara revolusioner. Tapi benarkah kita belajar dari sejarah?

Fenomena ini bukanlah hal baru. Selama lebih dari seratus tahun, teknolog Amerika terus mendesak para pendidik untuk mengadopsi penemuan terbaru mereka dengan cepat. Edison mungkin jenius dalam menciptakan bohlam lampu, tapi pemahamannya tentang pendidikan ternyata jauh dari sempurna. Pola yang sama terulang hari ini ketika para evangelis teknologi bersikeras bahwa guru harus segera mengintegrasikan AI ke dalam kelas sebelum tertinggal transformasi yang katanya akan menyapu bersih sekolah dan masyarakat.

Di MIT, saya mempelajari sejarah dan masa depan teknologi pendidikan, dan dalam penelitian saya, saya belum pernah menemukan satu pun contoh sistem sekolah—baik di tingkat negara, negara bagian, atau kota—yang dengan cepat mengadopsi teknologi digital baru dan menuai manfaat berkelanjutan bagi siswanya. Distrik pertama yang mendorong siswa membawa ponsel ke kelas tidak lebih sukses mempersiapkan generasi muda untuk masa depan dibandingkan sekolah yang mengambil pendekatan lebih hati-hati. Tidak ada bukti bahwa negara-negara pertama yang menghubungkan kelas mereka ke internet unggul dalam pertumbuhan ekonomi, pencapaian pendidikan, atau kesejahteraan warganya.

Kesalahan yang Berulang

Pengalaman pribadi saya mengajar sejarah di sekolah menengah pada 2003 menjadi bukti nyata betapa kita sering terlalu percaya diri dengan pendekatan yang tampaknya masuk akal. Saat itu, para ahli ilmu perpustakaan dan informasi mengembangkan pedagogi evaluasi web yang mendorong siswa membaca situs web dengan saksama untuk mencari penanda kredibilitas: kutipan, format yang tepat, dan halaman “tentang”. Kami memberikan siswa daftar periksa seperti tes CRAAP—currency, reliability, authority, accuracy, and purpose—untuk memandu evaluasi mereka.

Kami mengajar siswa untuk menghindari Wikipedia dan mempercayai situs web dengan domain .org atau .edu daripada domain .com. Semuanya tampak masuk akal dan berdasarkan bukti pada waktu itu. Tapi artikel peer-review pertama yang mendemonstrasikan metode efektif untuk mengajar siswa cara mencari di web baru diterbitkan pada 2019. Penelitian itu menunjukkan bahwa pemula yang menggunakan teknik yang biasa diajarkan ini tampil buruk dalam tes menilai kemampuan mereka memisahkan fakta dari fiksi di web.

Yang lebih mengejutkan, para ahli dalam evaluasi informasi online menggunakan pendekatan yang sama sekali berbeda: dengan cepat meninggalkan halaman untuk melihat bagaimana sumber lain mengkarakterisasinya. Metode itu, sekarang disebut lateral reading, menghasilkan pencarian yang lebih cepat dan akurat. Bagi guru senior seperti saya, temuan ini seperti pukulan di perut. Kami telah menghabiskan hampir dua dekade mengajar jutaan siswa cara mencari yang terbukti tidak efektif.

Industri Konsultan AI dan Keraguan yang Terabaikan

Saat ini, kita menyaksikan kemunculan industri konsultan, pembicara utama, dan “pemikir terdepan” yang berkeliling negara mengklaim melatih pendidik tentang cara menggunakan AI di sekolah. Organisasi nasional dan internasional menerbitkan kerangka kerja literasi AI yang mengklaim tahu keterampilan apa yang dibutuhkan siswa untuk masa depan mereka. Teknolog menciptakan aplikasi yang mendorong guru dan siswa menggunakan AI generatif sebagai tutor, perencana pelajaran, editor tulisan, atau partner percakapan.

Pendekatan-pendekatan ini memiliki dukungan bukti yang kira-kira sama dengan tes CRAAP ketika pertama kali diciptakan. Ada pendekatan yang lebih baik daripada membuat tebakan yang terlalu percaya diri: menguji praktik dan strategi baru secara ketat dan hanya mengadvokasi secara luas untuk yang memiliki bukti kuat tentang efektivitasnya. Seperti halnya literasi web, bukti itu akan membutuhkan satu dekade atau lebih untuk muncul.

Tapi ada perbedaan kali ini. AI adalah apa yang saya sebut sebagai “teknologi kedatangan.” AI tidak diundang ke sekolah melalui proses adopsi, seperti membeli komputer desktop atau smartboard—ia menerobos pesta dan kemudian mulai mengatur ulang furnitur. Itu berarti sekolah harus melakukan sesuatu. Guru merasakan urgensi ini. Namun mereka juga butuh dukungan: Selama dua tahun terakhir, tim saya telah mewawancarai hampir 100 pendidik dari seluruh AS, dan satu refrain yang luas adalah “jangan biarkan kami melakukannya sendirian.”

Tiga Strategi Menghadapi Ketidakpastian

Sementara menunggu jawaban yang lebih baik dari komunitas sains pendidikan, yang akan memakan waktu bertahun-tahun, guru harus menjadi ilmuwan sendiri. Saya merekomendasikan tiga penuntun untuk bergerak maju dengan AI dalam kondisi ketidakpastian: kerendahan hati, eksperimen, dan penilaian.

Pertama, secara teratur ingatkan siswa dan guru bahwa apa pun yang dicoba sekolah—kerangka kerja literasi, praktik pengajaran, penilaian baru—adalah tebakan terbaik. Dalam empat tahun, siswa mungkin mendengar bahwa apa yang pertama kali diajarkan kepada mereka tentang menggunakan AI ternyata terbukti cukup salah. Kita semua perlu siap untuk merevisi pemikiran kita.

Kedua, sekolah perlu memeriksa siswa dan kurikulum mereka, dan memutuskan eksperimen seperti apa yang ingin mereka lakukan dengan AI. Beberapa bagian kurikulum Anda mungkin mengundang keceriaan dan upaya baru yang berani, sementara yang lain pantas mendapat perhatian lebih. Dalam podcast kami “The Homework Machine,” kami mewawancarai Eric Timmons, seorang guru di Santa Ana, California, yang mengajar kursus elektif pembuatan film.

Penilaian akhir siswanya adalah film kompleks yang membutuhkan berbagai keterampilan teknis dan artistik untuk diproduksi. Seorang penggemar AI, Timmons menggunakan AI untuk mengembangkan kurikulumnya, dan dia mendorong siswa menggunakan alat AI untuk memecahkan masalah pembuatan film, dari penulisan naskah hingga desain teknis. Dia tidak khawatir AI melakukan segalanya untuk siswa: Seperti katanya, “Siswa saya suka membuat film… Jadi mengapa mereka akan menggantinya dengan AI?” Ini adalah salah satu contoh terbaik, paling bijaksana dari pendekatan “all in” yang pernah saya temui.

Saya juga tidak bisa membayangkan merekomendasikan pendekatan serupa untuk kursus seperti bahasa Inggris kelas sembilan, di mana pengenalan penting untuk menulis sekolah menengah mungkin harus diperlakukan dengan pendekatan yang lebih hati-hati. Seperti yang kita lihat dalam kasus Chromebook di Indonesia, adopsi teknologi pendidikan yang terburu-buru bisa menimbulkan masalah kompleks.

Ketiga, ketika guru meluncurkan eksperimen baru, mereka harus menyadari bahwa penilaian lokal akan terjadi jauh lebih cepat daripada sains yang ketat. Setiap kali sekolah meluncurkan kebijakan atau praktik pengajaran AI baru, pendidik harus mengumpulkan tumpukan pekerjaan siswa terkait yang dikembangkan sebelum AI digunakan selama pengajaran. Jika Anda membiarkan siswa menggunakan alat AI untuk umpan balik formatif pada laporan laboratorium sains, ambil tumpukan laporan laboratorium sekitar tahun 2022. Kemudian, kumpulkan laporan laboratorium baru. Tinjau apakah laporan laboratorium pasca-AI menunjukkan peningkatan pada hasil yang Anda pedulikan, dan revisi praktik sesuai kebutuhan.

Antara pendidik lokal dan komunitas internasional ilmuwan pendidikan, orang akan belajar banyak pada tahun 2035 tentang AI di sekolah. Kita mungkin menemukan bahwa AI seperti web, tempat dengan beberapa risiko tetapi akhirnya begitu penuh dengan sumber daya penting dan berguna sehingga kita terus mengundangnya ke sekolah. Atau kita mungkin menemukan bahwa AI seperti ponsel, dan efek negatif pada kesejahteraan dan pembelajaran akhirnya lebih besar daripada potensi keuntungan, dan dengan demikian paling baik diperlakukan dengan pembatasan yang lebih agresif.

Seperti yang terjadi dengan pemanfaatan teknologi satelit untuk pendidikan, kunci keberhasilan terletak pada pendekatan yang terukur dan berbasis bukti. Semua orang dalam pendidikan merasakan urgensi untuk menyelesaikan ketidakpastian di sekitar AI generatif. Tapi kita tidak perlu balapan untuk menghasilkan jawaban pertama—kita perlu balapan untuk menjadi benar. Teknologi pendidikan yang baru hanya sekuat komunitas yang membimbing penggunaannya. Membuka tab browser baru itu mudah; menciptakan kondisi untuk pembelajaran yang baik itu sulit.

Dibutuhkan bertahun-tahun bagi pendidik untuk mengembangkan praktik dan norma baru, bagi siswa untuk mengadopsi rutinitas baru, dan bagi keluarga untuk mengidentifikasi mekanisme dukungan baru agar penemuan baru dapat secara andal meningkatkan pembelajaran. Sementara perusahaan seperti Anthropic terus berinvestasi dalam pengembangan AI, tanggung jawab kita sebagai pendidik adalah memastikan bahwa teknologi ini benar-benar melayani tujuan pendidikan, bukan sekadar mengikuti tren.

Rahasia Baterai Lithium-Ion Akhirnya Terungkap oleh MIT

Telset.id – Bayangkan menggunakan sesuatu setiap hari tanpa benar-benar memahami cara kerjanya. Itulah yang terjadi dengan baterai lithium-ion, sumber tenaga di balik smartphone, laptop, dan mobil listrik Anda. Selama puluhan tahun, para ilmuwan tahu mekanismenya, tetapi teka-teki mendasar tentang bagaimana tepatnya ia berfungsi tetap menjadi misteri yang membingungkan. Sampai sekarang.

Tim peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) baru saja memecahkan teka-teki tersebut. Dalam makalah ilmiah yang diterbitkan 2 Oktober, mereka mengungkap model yang akhirnya menjelaskan “nyawa” dari baterai lithium-ion. Penemuan ini bukan sekadar pengetahuan akademis—ia berpotensi membuka jalan bagi baterai yang lebih bertenaga dan mengisi daya lebih cepat, sesuatu yang didambakan setiap pemilik gadget.

Lalu, apa sebenarnya rahasia yang selama ini tersembunyi? Jawabannya terletak pada proses yang disebut coupled ion-electron transfer (CIET), atau transfer ion-elektron berpasangan. Proses inilah yang menjadi kunci utama kinerja baterai yang kita andalkan sehari-hari.

Dibalik Layar: Cara Baterai Lithium-Ion Bekerja

Untuk memahami terobosan ini, kita perlu menyelami dasar cara kerja baterai lithium-ion. Sistem ini beroperasi melalui mekanisme kimia yang disebut interkalasi. Secara sederhana, saat baterai digunakan (discharge), ion lithium yang larut dalam larutan elektrolit akan menyusup masuk ke dalam elektroda padat. Sebaliknya, ketika baterai diisi daya, ion-ion tersebut “keluar” dari elektroda dan kembali ke elektrolit. Kecepatan proses interkalasi inilah yang menentukan segalanya, mulai dari daya total baterai hingga kecepatan pengisiannya.

Selama ini, model yang diterima secara luas menyatakan bahwa interkalasi lithium didorong oleh seberapa cepat ion-ion tersebut dapat berdifusi antara elektrolit dan elektroda. Namun, ada masalah: data eksperimen nyata tidak pernah sepenuhnya cocok dengan prediksi model tersebut. Ketidakcocokan ini, seperti suara sumbang dalam orkestra yang sempurna, memberi petunjuk kepada para peneliti bahwa ada sesuatu yang hilang dari pemahaman kita. Ini mungkin juga menjelaskan mengapa insiden seperti kebakaran yang diduga disebabkan baterai lithium-ion bisa terjadi ketika mekanisme dasarnya tidak sepenuhnya dikendalikan.

Eksperimen Penentu: Mencari Jawaban di Antara 50 Kombinasi

Untuk memecahkan misteri ini, tim MIT tidak main-main. Mereka menyiapkan lebih dari 50 kombinasi berbeda antara elektrolit dan elektroda. Pendekatan komprehensif ini dimaksudkan untuk memberikan jawaban yang pasti. Hasilnya? Seperti diduga, ketidaksesuaian antara data aktual dan model lama tetap ada dan signifikan. Jalan buntu ini memaksa mereka untuk berpikir di luar kotak dan merumuskan beberapa penjelasan alternatif.

Dari berbagai kemungkinan, satu model akhirnya muncul sebagai pemenang. Model ini berangkat dari asumsi revolusioner: sebuah ion lithium hanya dapat memasuki elektroda jika ia bepergian bersama dengan seorang “teman”—yaitu, sebuah elektron dari larutan elektrolit. Inilah yang disebut coupled ion-electron transfer (CIET). Pasangan elektrokimia ini, ibarat tiket masuk berdua, ternyata mempermudah terjadinya interkalasi. Yang lebih mengejutkan, matematika di balik model CIET ternyata cocok dengan sempurna terhadap data eksperimen yang mereka kumpulkan.

Martin Bazant, salah satu penulis studi dan matematikawan di MIT, memberikan penjelasan gamblang. “Langkah elektrokimianya bukanlah penyisipan lithium, yang mungkin Anda pikir sebagai hal utama, melainkan transfer elektron untuk mereduksi material padat yang menjadi ‘tuan rumah’ bagi lithium,” ujarnya kepada MIT News. “Lithium diinterkalasi pada saat yang bersamaan ketika elektron ditransfer, dan mereka saling memfasilitasi satu sama lain.” Dengan kata lain, ion dan elektron adalah partner menari yang gerakannya saling mendukung, bukan dua penari yang bergerak sendiri-sendiri.

Dampak dan Masa Depan: Menuju Baterai yang Lebih Cepat dan Kuat

Penemuan mekanisme CIET ini bagaikan menemukan kunci yang tepat untuk membuka pintu yang sebelumnya hanya bisa didorong-dorong. Para peneliti yakin bahwa wawasan ini dapat “memandu perancangan baterai lithium-ion yang lebih bertenaga dan lebih cepat pengisiannya.” Dalam dunia yang semakin haus daya, di mana baterai solid-state untuk drone dan robot mulai diproduksi massal, pemahaman mendasar seperti ini sangat berharga.

Dan ada bonus tak terduga. Selama penelitian, tim secara tidak sengaja menemukan bahwa mengubah komposisi elektrolit ternyata memengaruhi laju interkalasi. Ini adalah petunjuk berharga lainnya. Investigasi lanjutan berdasarkan temuan ini berpotensi mengungkap cara-cara yang lebih efisien untuk menciptakan baterai yang lebih kuat dan lebih cepat. Bayangkan smartphone Anda terisi penuh dalam hitungan menit, atau laptop yang mampu bekerja seharian penuh tanpa colokan—impian yang kini selangkah lebih dekat menuju kenyataan.

“Apa yang kami harap dapat diwujudkan oleh pekerjaan ini adalah membuat reaksinya menjadi lebih cepat dan lebih terkendali, yang dapat mempercepat pengisian dan pengosongan,” tambah Bazant. Kontrol yang lebih baik atas proses fundamental ini juga dapat berkontribusi pada keamanan baterai, membantu mencegah kesalahan fatal yang membuat baterai laptop cepat bocor dan rusak.

Jadi, lain kali Anda mengisi daya smartphone atau menyetir mobil listrik, ingatlah bahwa di dalam perangkat tersebut terdapat tarian rumit antara ion dan elektron—sebuah tarian yang rahasianya akhirnya terungkap. Terobosan dari MIT ini bukanlah akhir, melainkan awal babak baru dalam revolusi penyimpanan energi, membawa kita lebih dekat ke masa depan di mana kekuatan dan kecepatan ada di genggaman tangan.