Beranda blog Halaman 138

Samsung dan Apple Tinggalkan Qualcomm, Ini Alasannya

0

Telset.id – Dua raksasa smartphone, Samsung dan Apple, secara perlahan mulai meninggalkan Qualcomm. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Keduanya sepakat bahwa ketergantungan pada Qualcomm justru menjadi beban finansial yang signifikan. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Qualcomm selama ini memegang posisi penting di industri smartphone. Komponen-komponen buatannya, terutama modem dan chipset, menjadi andalan banyak produsen. Namun, Samsung dan Apple tampaknya sudah muak dengan ketergantungan ini. Mereka kini berusaha keras mengembangkan solusi in-house sebagai pengganti.

Samsung dan Apple Kembangkan Alternatif Sendiri

Samsung sebenarnya sudah lama memiliki hubungan yang tidak mulus dengan Qualcomm. Meski chipset Snapdragon kerap lebih unggul dibanding Exynos, Samsung tetap berusaha memaksimalkan penggunaan chipset buatannya sendiri. Seperti dilaporkan dalam artikel sebelumnya, Samsung terus berinovasi dengan Exynos, meski masih ada kendala teknis.

Good chip but also heavy on the pocket. | Image credit — Samsung

Apple juga tidak mau ketinggalan. Perusahaan asal Cupertino ini baru saja memperkenalkan modem seluler buatan sendiri, C1, yang digunakan di iPhone 16e. Meski belum sehebat Qualcomm, langkah ini menunjukkan tekad Apple untuk mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga.

Biaya Qualcomm Terlalu Tinggi

Alasan utama Samsung dan Apple meninggalkan Qualcomm adalah biaya. Menggunakan komponen dari pihak ketiga jelas lebih mahal dibanding memproduksi sendiri. Samsung bahkan dilaporkan merugi hingga $400 juta karena harus menggunakan Snapdragon di seluruh varian Galaxy S25.

Apple juga mengeluhkan biaya lisensi Qualcomm yang dinilai terlalu membebani. Meskipun chip Qualcomm masih lebih unggul dalam hal performa, perbedaan ini tidak terlalu terasa bagi pengguna biasa. Seperti diungkap dalam analisis sebelumnya, harga komponen menjadi faktor kenaikan harga smartphone.

Masa Depan Qualcomm di Persimpangan

Qualcomm mungkin tidak akan langsung kolaps, tetapi dominasinya di industri smartphone mulai goyah. Dengan Apple sebagai pelanggan terbesar yang perlahan meninggalkannya, masa depan Qualcomm menjadi tidak pasti. Apalagi, seperti dilaporkan dalam artikel terkait, MediaTek juga mulai menggeser posisi Qualcomm di segmen premium.

Langkah Samsung dan Apple ini bisa menjadi awal dari perubahan besar di industri smartphone. Jika kedua raksasa ini berhasil mandiri, Qualcomm harus mencari strategi baru untuk bertahan.

SoundCloud Klaim Tak Gunakan Konten Pengguna untuk Latih AI

0

Telset.id – Platform musik digital SoundCloud baru-baru ini menjadi sorotan setelah muncul klausul kontroversial dalam Syarat Pengguna mereka yang mengizinkan konten pengguna dipakai untuk melatih teknologi kecerdasan buatan (AI). Namun, perusahaan dengan cepat membantah tuduhan tersebut.

Kontroversi ini bermula ketika ahli etika teknologi Ed Newton-Rex, seperti dilaporkan TechCrunch, menemukan perubahan pada Syarat Pengguna SoundCloud yang dilakukan pada Februari 2024 tanpa pemberitahuan resmi kepada pengguna. Klausul baru tersebut menyatakan bahwa dengan menggunakan platform, pengguna secara eksplisit setuju bahwa konten mereka dapat digunakan untuk “menginformasikan, melatih, mengembangkan, atau menjadi masukan bagi teknologi atau layanan kecerdasan buatan.”

SoundCloud AI Kontroversi

Menanggapi kritik yang meluas, SoundCloud memberikan klarifikasi melalui pernyataan resmi. “Perubahan ini hanya bertujuan untuk memperjelas bagaimana konten dapat berinteraksi dengan teknologi AI di dalam platform kami sendiri,” kata juru bicara SoundCloud. Mereka menegaskan bahwa perusahaan “tidak pernah menggunakan konten artis untuk melatih model AI, tidak mengembangkan alat AI, maupun mengizinkan pihak ketiga mengambil atau menggunakan konten SoundCloud untuk tujuan pelatihan AI.”

Di Reddit, akun resmi SoundCloud juga menekankan komitmen mereka terhadap para musisi. Platform tersebut bahkan telah menambahkan fitur “no AI” yang memungkinkan artis melarang penggunaan konten mereka secara tidak sah. “AI digunakan untuk rekomendasi musik, pembuatan playlist, dan deteksi penipuan,” tulis SoundCloud. “Setiap alat AI di masa depan akan dibangun untuk meningkatkan penemuan, melindungi hak, dan memperluas peluang.”

Ironisnya, beberapa bulan sebelum kontroversi ini, SoundCloud justru meluncurkan sejumlah alat berbasis AI untuk membantu proses kreatif musik. Fitur-fitur tersebut mencakup pembuatan remix, trek baru, beat, hingga suara vokal sintetis. Langkah ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana batasan etis penggunaan AI dalam industri musik?

Kasus SoundCloud bukanlah yang pertama. Sebelumnya, lagu AI yang meniru Drake dan The Weeknd sempat viral sebelum akhirnya dihapus dari berbagai platform. Insiden ini memicu perdebatan panjang tentang hak cipta di era AI.

Bagi para musisi independen yang mengandalkan SoundCloud sebagai wadah kreativitas, kebijakan ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Meski perusahaan menjanjikan transparansi dan kontrol penuh bagi artis, banyak yang mempertanyakan seberapa efektif proteksi tersebut dalam praktiknya. Apalagi, seperti yang terjadi di platform musik lainnya, kebocoran data atau penyalahgunaan konten sering kali baru terungkap setelah kerusakan terjadi.

SoundCloud memang berjanji untuk tetap “berpihak pada artis,” tetapi di tengah maraknya pengembangan teknologi AI, janji saja tidak cukup. Pengguna, terutama kreator konten, perlu lebih kritis dalam membaca syarat dan ketentuan platform digital yang mereka gunakan. Sebab, seperti kata pepatah lama, “jika Anda tidak membayar produk, maka Andalah produknya.”

Gemini AI di Google Meet: Cara Buat Background Virtual Keren

0

Telset.id – Bosan dengan background biasa di Google Meet? Kini, Anda bisa mengubahnya menjadi pemandangan apa pun yang diinginkan—mulai dari ruang kerja ala Studio Ghibli hingga hutan ajaib—berkat kecanggihan Gemini AI. Fitur terbaru Google ini memungkinkan pengguna membuat latar belakang virtual unik hanya dengan mengetikkan prompt sederhana.

Google terus memperluas kemampuan Gemini AI, dan salah satu inovasinya adalah integrasi dengan Google Meet. Fitur ini tidak sekadar menawarkan filter biasa, melainkan latar belakang yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI berdasarkan imajinasi Anda. Tertarik mencoba? Simak panduan lengkapnya berikut ini.

Apa Itu AI Background di Google Meet?

Google Meet kini memungkinkan pengguna memanfaatkan Gemini AI untuk membuat latar belakang virtual yang unik. Cukup ketik prompt seperti “interior ruang tamu mewah” atau “hutan cerah penuh keajaiban,” dan dalam sekejap, AI akan menghasilkan beberapa opsi untuk dipilih. Bahkan, Anda bisa bereksperimen dengan ide kreatif seperti “gym penuh kue” atau “ruang coworking bergaya Studio Ghibli.”

Plugging in a prompt to generate an AI background in Google Meet.

Sayangnya, fitur ini belum tersedia untuk pengguna iPhone. Namun, bagi pengguna desktop dan Android, Gemini AI di Google Meet bisa menjadi cara menyegarkan suasana rapat virtual. Sebelum mencoba, pastikan Anda memiliki langganan Google Workspace atau Google One AI Premium, atau tergabung dalam program pengujian awal Workspace Labs.

Cara Membuat AI Background di Google Meet

Berikut langkah-langkahnya:

  1. Desktop: Buka meet.google.com, masukkan kode rapat atau ikuti tautan undangan. Sebelum menekan tombol “Join now,” klik “Apply visual effects” di sudut kanan bawah layar, lalu pilih “Generate a background.”
  2. Masukkan Prompt: Ketik deskripsi latar belakang yang diinginkan, misalnya “kafe cozy dengan bunga,” lalu klik “Create samples.”
  3. Pilih Gaya: Anda bisa memilih gaya seni tertentu untuk menyesuaikan hasil. Google menyarankan menggunakan instruksi detail untuk hasil terbaik.
  4. Perbaiki Hasil: Jika hasil pertama kurang memuaskan, klik “Create other samples” atau edit prompt di panel kanan.
  5. Terapkan: Setelah menemukan latar belakang yang cocok, klik “Close” dan mulai rapat.

Generating a AI background with Gemini in Google Meet.

Untuk pengguna Android, buka aplikasi Meet, ketuk “Effects” di bagian bawah layar, lalu pilih tab “Backgrounds.” Pastikan perangkat Anda mendukung, seperti Samsung Galaxy S9 ke atas atau Google Pixel 3 ke atas dengan Android versi 9 atau lebih baru.

Tips dan Kekurangan

Meski menarik, fitur ini memiliki beberapa kelemahan. Penggunaan latar belakang AI dapat meningkatkan konsumsi baterai, terutama di perangkat mobile. Jika ingin menghemat daya, Anda bisa menghapus efek dengan menekan tombol “Stack” di panel efek dan memilih “Remove All.”

Gemini AI terus berkembang, dan fitur ini hanyalah salah satu dari banyak pembaruan yang dihadirkan Google. Jika tertarik dengan perkembangan terbaru, simak juga peningkatan kecepatan dan efisiensi Gemini AI yang baru saja diumumkan.

Dengan latar belakang AI, rapat virtual tak lagi membosankan. Jadi, siap mencoba kreasi terliar Anda?

Kecerdasan Burung: Bukti Baru Evolusi Otak yang Mengejutkan

Telset.id – Jika Anda mengira kecerdasan hanya milik manusia dan primata, siap-siap terkejut. Burung—dengan otak seberat 10 gram—ternyata mampu melakukan hal-hal yang setara dengan simpanse berotak 400 gram. Bagaimana mungkin?

Selama puluhan tahun, ilmuwan berdebat tentang asal-usul kecerdasan vertebrata. Apakah nenek moyang bersama 320 juta tahun lalu telah mewariskan “sirkuit pintar” ini, atau burung dan mamalia mengembangkannya secara independen? Studi terbaru di Science (Februari 2025) akhirnya memberikan jawaban mengejutkan: Kecerdasan vertebrata berevolusi lebih dari sekali.

Otak Burung vs Mamalia: Desain Berbeda, Kemampuan Setara

Burung seperti gagak, kakatua, dan chickadee dikenal bisa merencanakan masa depan, menggunakan alat, bahkan menghitung. Padahal, otak mereka tidak memiliki neokorteks—struktur berlapis enam yang dianggap sebagai pusat kecerdasan mamalia. Sebaliknya, burung memiliki dorsal ventricular ridge (DVR), gumpalan neuron tanpa pola jelas.

Pada 1960-an, neuroanatomis Harvey Karten menemukan bahwa DVR burung memiliki sirkuit saraf mirip neokorteks mamalia. Ia menyimpulkan keduanya berasal dari nenek moyang sama. Namun, penelitian embriologis Luis Puelles di tahun 2000-an justru menunjukkan bahwa kedua struktur berkembang dari area berbeda di pallium (wilayah otak vertebrata).

Teknologi RNA Ungkap Rahasia Evolusi

Dua tim peneliti independen akhirnya memecahkan kebuntuan ini dengan single-cell RNA sequencing. Teknologi ini memetakan perkembangan sel otak dari embrio hingga dewasa pada ayam, tikus, dan kadal. Hasilnya?

  • Sirkuit dewasa burung dan mamalia terlihat mirip, tetapi dibangun dari jenis neuron berbeda.
  • Neokorteks mamalia dan DVR burung berkembang pada waktu, urutan, dan area otak embrio yang berbeda.
  • Pada burung, neuron dari wilayah embrio berbeda bisa matang menjadi jenis yang sama—fenomena yang tidak terjadi pada mamalia.

“Anda bisa membangun sirkuit sama dari tipe sel berbeda,” jelas Bastienne Zaremba dari Universitas Heidelberg, salah satu peneliti. Temuan ini sekaligus menjawab mengapa robot humanoid sulit meniru fleksibilitas kecerdasan alami.

Pelajaran untuk Kecerdasan Buatan

Studi ini bukan hanya tentang burung. Dalam dunia yang terobsesi dengan AI, temuan ini menunjukkan bahwa:

  1. Kecerdasan bukan desain tunggal: Vertebrata dan cephalopoda (seperti gurita) mencapai kecerdasan dengan arsitektur otak sangat berbeda.
  2. Evolusi bersifat konvergen: Seperti piramida Mesir dan Amerika Selatan yang dibangun terpisah, otak cerdas pun bisa muncul lewat jalur berbeda.

“Bagaimana jika kita membangun AI dari perspektif burung?” tanya Niklas Kempynck dari KU Leuven. Pertanyaan ini relevan mengingat perkembangan teknologi China yang sering mengambil inspirasi dari alam.

Yang pasti, burung telah memaksa kita mengubah definisi kecerdasan. Seperti kata Maria Tosches dari Columbia University: “Kita bukan solusi optimal kecerdasan. Burung juga sampai di sana, dengan caranya sendiri.”

Klarna Kembali Rekrut Manusia Setelah Gagal Andalkan AI Sepenuhnya

0

Telset.id – Dua tahun lalu, Klarna, layanan buy now pay later (BNPL) asal Swedia, dengan bangga mengumumkan akan mengganti sebagian besar tenaga manusia dengan chatbot AI. Kini, mereka justru membuka lowongan besar-besaran untuk customer service manusia. Apa yang salah dengan strategi “all-in AI” mereka?

CEO Klarna Sebastian Siemiatkowski mengakui kesalahan fatal perusahaan: terlalu fokus pada penghematan biaya hingga mengorbankan kualitas layanan. “Investasi pada kualitas dukungan manusia adalah jalan ke depan kami,” ujarnya kepada Bloomberg, menandai perubahan drastis dari retorika AI-nya di 2023.

Logo Klarna di layar smartphone

AI vs. Kepuasan Pelanggan: Pertarungan yang Sudah Bisa Ditebak

Klarna pernah mengklaim chatbot mereka menggantikan 700 agen manusia dan menangani dua pertiga percakapan layanan pelanggan. Tapi data berbicara lain: 81% konsumen lebih memilih antri untuk dilayani manusia ketimbang chatbot, menurut riset terbaru. Gartner bahkan menemukan dua pertiga pelanggan menolak layanan berbasis AI.

“Ini seperti restoran yang mengganti semua koki dengan mesin microwave—cepat dan murah, tapi rasa? Jangan harap,” komentar seorang analis fintech yang enggan disebutkan namanya. Masalahnya, seperti diungkap dalam studi terbaru, AI seringkali tidak memiliki jawaban komprehensif untuk masalah spesifik pelanggan.

Model “Uberisasi” Layanan Pelanggan: Solusi atau Masalah Baru?

Klarna berencana merekrut staf layanan pelanggan secara remote dengan model “seperti Uber”—istilah halus untuk pekerja kontrak tanpa benefit penuh. Target mereka? Mahasiswa dan warga pedesaan yang mungkin kurang memiliki pilihan pekerjaan.

“Ini solusi setengah hati,” kritik pengamat ketenagakerjaan Digital Rights Watch. “Mereka menyadari kebutuhan manusia tapi tidak mau berinvestasi penuh pada kesejahteraan karyawan.” Padahal, seperti terungkap dalam kasus chatbot DeepSeek, kualitas interaksi sangat bergantung pada kualitas sumber daya di baliknya.

Pelajaran dari Klarna jelas: AI bisa menjadi alat pendukung, tapi bukan pengganti total empati dan kreativitas manusia. Apakah perusahaan lain akan belajar dari kesalahan ini, atau tetap nekat mengejar efisiensi semu dengan mengorbankan kepuasan pelanggan?

Godzilla x Kong: Supernova Bakal Hadirkan Ancaman Antariksa?

0

Telset.id – Hampir setahun setelah pertama kali diumumkan, Warner Bros. dan Legendary akhirnya mengungkap judul resmi untuk sekuel ketiga Godzilla x Kong: Supernova. Film yang dijadwalkan rilis pada 26 Maret 2027 ini memicu spekulasi liar di kalangan penggemar MonsterVerse. Apakah kali ini Godzilla dan Kong akan menghadapi ancaman dari luar angkasa?

Judul Supernova sendiri mengisyaratkan sesuatu yang besar dan bersifat kosmik. Dua film sebelumnya, Godzilla vs. Kong (2021) dan Godzilla x Kong: The New Empire (2024), membawa para Titan ke kedalaman Hollow Earth. Jika logika “tempat berikutnya yang lebih ekstrem” diterapkan, maka langit dan antariksa adalah pilihan yang masuk akal.

Toho

SpaceGodzilla: Penantang Kosmik yang Kembali?

Salah satu kandidat utama yang diperkirakan akan muncul adalah SpaceGodzilla. Monster jahat ini pertama kali muncul di Godzilla vs. SpaceGodzilla (1994) sebagai hasil mutasi DNA Godzilla yang terpapar kristal kosmik. Dengan kemampuan menciptakan dan mengendalikan kristal serta serangan andalannya, Corona Beam, ia menjadi salah satu musuh paling ikonik dalam franchise Godzilla.

Meski belum muncul di layar lebar sejak Godzilla: Final Wars (2004), SpaceGodzilla tetap hidup melalui media lain seperti game Godzilla Battle Line (2021) dan merchandise perayaan ulang tahun franchise. Logo Supernova yang menyerupai ledakan kosmik semakin menguatkan teori ini.

Gigan: Ancaman Cyborg dari Luar Angkasa

Alternatif lain adalah Gigan, cyborg alien yang pertama kali muncul di Godzilla vs. Gigan (1972). Diciptakan oleh ras alien Nebula, Gigan dirancang untuk menghancurkan Bumi sebelum invasi besar-besaran. Meski kalah dalam beberapa penampilannya, termasuk di Godzilla: Final Wars, Gigan tetap menjadi favorit penggemar berkat desainnya yang unik dan sifatnya yang brutal.

Dengan tema antariksa yang kental, Gigan bisa menjadi penjahat sempurna untuk Supernova. Apalagi, karakter ini baru-baru ini muncul dalam animasi pendek Chibi Godzilla Raids Again dan game GigaBash, menunjukkan bahwa minat terhadapnya masih tinggi.

Yang jelas, MonsterVerse perlu memberikan porsi yang seimbang antara Godzilla dan Kong. Jika The New Empire fokus pada pengembangan karakter Kong dengan suku kera dan senjata barunya, kini saatnya Godzilla mendapatkan momen untuk berkembang. Setelah terakhir kali mendapatkan sorotan serius di Godzilla: King of the Monsters (2019), sang Raja Monster layak mendapatkan arc cerita yang lebih dalam.

Apapun monster yang akhirnya menjadi antagonis utama, Godzilla x Kong: Supernova sudah menjanjikan pertarungan epik yang tak terlupakan. Sambil menunggu konfirmasi resmi, penggemar bisa berspekulasi dan menikmati konten MonsterVerse lainnya seperti PUBG Mobile yang mencapai 1 miliar download atau berita unik seputar teknologi antariksa dari Jepang.

PS5 Kini Bisa Bayar Pakai Apple Pay, Begini Cara Pakainya

0

Telset.id – Kabar gembira bagi para gamer PlayStation 5 (PS5)! Sony baru saja menghadirkan metode pembayaran terbaru di PlayStation Store yang bakal mempermudah transaksi Anda. Kini, pengguna bisa membeli game favorit mereka menggunakan Apple Pay dengan cara yang lebih inovatif: cukup pindai QR Code di layar TV menggunakan iPhone.

Dilansir dari laporan The Verge, fitur ini sebenarnya sudah tersedia di browser dan aplikasi seluler sebelumnya. Namun, kehadirannya di konsol PS5 menjadi terobosan baru karena memungkinkan pembayaran langsung dari sofa tanpa perlu repot memasukkan detail kartu kredit. Apple Pay sekarang bergabung dengan opsi pembayaran lain seperti kartu kredit/debit tersimpan dan PayPal.

Mudahnya Transaksi dengan QR Code

Metode pembayaran ini memanfaatkan teknologi QR Code yang diperkenalkan Apple pada iOS 18 tahun lalu. Cara kerjanya sederhana:

  1. Pilih game yang ingin dibeli di PS5
  2. Pilih opsi Apple Pay saat checkout
  3. Pindai QR Code yang muncul di layar TV menggunakan kamera iPhone
  4. Konfirmasi pembayaran di layar iPhone yang muncul otomatis

Bagi pengguna Apple Card, ada bonus menarik: cashback 2% untuk setiap pembelian di PlayStation Store. Sayangnya, belum ada konfirmasi resmi apakah fitur ini sudah bisa digunakan di Indonesia. Anda bisa mengecek halaman dukungan PlayStation untuk informasi wilayah yang didukung.

Masa Depan Pembayaran di PlayStation

Kehadiran Apple Pay di PS5 menunjukkan komitmen Sony dalam memperluas opsi pembayaran bagi pengguna. Kabarnya, fitur ini mungkin akan menyusul ke PS4 setelah pembaruan perangkat lunak di masa depan. Ini menjadi angin segar mengingat masalah server PlayStation Network yang kadang menyulitkan transaksi.

Perlu diingat, Apple Pay bukan satu-satunya metode pembayaran digital yang tersedia. Sebelumnya, ShopeePay juga sudah bisa digunakan di PlayStation Store untuk pengguna di wilayah tertentu. Pilihan yang beragam ini tentu memudahkan gamer untuk segera memainkan game baru tanpa hambatan pembayaran.

Sementara itu, Apple terus memperluas jangkauan layanan pembayarannya. Baru-baru ini mereka meluncurkan Apple Pay di Korea Selatan dan menghadapi tekanan dari Uni Eropa untuk berbagi akses. Ini menunjukkan betapa strategisnya bisnis pembayaran digital di era sekarang.

Bagi Anda yang penasaran dengan teknologi pembayaran terbaru Apple, kabarnya mereka juga sedang mengembangkan fitur perintah suara Siri yang lebih canggih untuk mendukung transaksi digital. Siapa tahu, mungkin suatu saat nanti Anda bisa membeli game PS5 cukup dengan berkata “Hey Siri, beli God of War Ragnarok”.

Samsung Galaxy A14 Segera Dapat Android 15, Tapi Ini Pembaruan Terakhir

0

Telset.id – Bagi Anda pemilik Samsung Galaxy A14 atau A14 5G, kabar gembira sekaligus sedih datang dari raksasa teknologi asal Korea Selatan. Samsung bersiap merilis Android 15 sebagai pembaruan besar terakhir untuk duo ponsel ekonomis ini, menandai akhir dari siklus dukungan perangkat lunak mereka.

Dilansir dari Gizchina, kedua varian Galaxy A14 yang diluncurkan dengan Android 13 pada 2023 ini telah melalui satu kali pembaruan besar ke Android 14. Kini, Android 15 yang akan datang bersama One UI 7 menjadi babak penutup dalam perjalanan sistem operasi perangkat tersebut.

Janji Samsung Terpenuhi, Tapi Waktunya Berpisah

Samsung secara konsisten menepati janjinya untuk memberikan dua pembaruan Android utama kepada lini ponsel kelas menengah dan entry-level mereka. Dengan rilis Android 15 nanti, komitmen tersebut untuk seri A14 akan terpenuhi sepenuhnya.

Meski demikian, bukan berarti Samsung langsung meninggalkan pengguna Galaxy A14. Perusahaan masih akan memberikan pembaruan keamanan rutin selama dua tahun ke depan, seperti yang terjadi pada Galaxy S23 yang baru saja menerima patch Agustus 2024. Ini menjadi tameng penting melawan kerentanan dan bug keamanan yang mungkin muncul.

Strategi Samsung yang Terukur

Kebijakan ini sebenarnya bukan hal baru di dunia ponsel ekonomis. Samsung dengan cermat menyeimbangkan antara biaya produksi dan dukungan perangkat lunak. Dua pembaruan Android utama plus dukungan keamanan selama beberapa tahun dianggap sebagai paket yang adil untuk segmen harga dua jutaan.

Bandingkan dengan Galaxy S24 Series yang mendapat pembaruan lebih panjang, atau bahkan tekanan dari Pemerintah AS yang mendorong durasi dukungan lebih lama. Tentu ada perbedaan signifikan dalam kebijakan update antara lini flagship dan entry-level.

Apa yang Bisa Ditunggu dari Android 15?

Pembaruan terakhir ini dijanjikan membawa sejumlah penyegaran, termasuk peningkatan performa, perubahan desain antarmuka, dan fitur-fitur baru yang dioptimalkan untuk One UI 7. Namun bagi pengguna yang ingin tetap up-to-date dengan versi Android terkini, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan ponsel dengan siklus dukungan lebih panjang.

Galaxy A14 telah menjadi pilihan populer di segmen entry-level dengan spesifikasi mumpuni dan harga terjangkau. Kini, dengan siklus pembaruannya yang akan berakhir, pengguna setia bisa mulai memikirkan upgrade ke perangkat yang lebih baru di lini Samsung.

Indonesia Dorong ASEAN Perangi Hoaks dan Konten Negatif Melalui Literasi Digital

0

Telset.id – Di tengah banjir informasi digital yang kian deras, Indonesia mengambil langkah tegas untuk memimpin perlawanan terhadap hoaks dan konten negatif di kawasan ASEAN. Dalam Konferensi Para Menteri ASEAN yang Bertanggung Jawab atas Informasi (AMRI) ke-17 di Bandar Seri Begawan, delegasi Indonesia menyerukan kolaborasi regional untuk memperkuat literasi digital—senjata utama melawan misinformasi yang mengancam generasi muda.

“Anak-anak adalah garda depan masa depan ASEAN. Kita tidak boleh lengah terhadap tsunami konten negatif yang mengintai mereka di dunia maya,” tegas Fifi Aleyda Yahya, Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkominfo), yang memimpin delegasi Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam sesi bertema MAJU (Media Advancing Joint Understanding), sebuah simbol aspirasi ASEAN untuk memajukan sektor informasi melalui teknologi.

Literasi Digital: Tameng ASEAN di Era Post-Truth

Indonesia tidak sekadar berpidato. Sebagai bukti komitmen, pemerintah telah meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD)—sebuah program revolusioner yang dirancang untuk mengasah kemampuan masyarakat menyaring informasi secara kritis. “Literasi digital bukan soal bisa mengoperasikan gawai, tapi tentang membangun imunitas terhadap hoaks,” ujar Fifi. Inisiatif ini diharapkan menjadi model bagi negara-negara ASEAN lain, terutama dalam menyikapi tantangan seperti kolaborasi platform teknologi global memerangi misinformasi.

Kebijakan Progresif: Dari Regulasi Platform hingga Perlindungan Anak

Di meja kebijakan, Indonesia juga memamerkan instrumen hukum mutakhir seperti Perpres No. 32/2024 tentang Tanggung Jawab Platform Digital dan PP No. 21/2025 (PP TUNAS) yang khusus melindungi anak di ranah online. “Tanpa regulasi yang kuat, jurnalisme berkualitas akan tenggelam dalam banjir hoaks,” tandas Fifi. Langkah ini sejalan dengan upaya Kominfo menggandeng WhatsApp dalam program literasi digital.

Puncak dari konferensi ini adalah Bandar Seri Begawan Declaration—sebuah komitmen kolektif ASEAN untuk memerangi “tiga setan” informasi: misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Deklarasi ini juga mendorong peran media dalam mendukung ekonomi kreatif, sebuah sinyal bahwa perlawanan terhadap hoaks harus berjalan beriringan dengan penguatan konten positif.

Lobi di Balik Layar: Dari Kamboja Hingga Istana Sultan

Di sela-sela konferensi, Indonesia tak lupa menjalin aliansi strategis. Pertemuan bilateral dengan Menteri Informasi Kamboja membahas penanganan hoaks lintas batas dan tantangan media konvensional. Sementara audiensi dengan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah mempertegas posisi Indonesia sebagai primus inter pares dalam isu tata kelola informasi ASEAN.

“Pertarungan melawan hoaks adalah maraton, bukan lari cepat. ASEAN harus bersatu seperti strategi Google memerangi hoaks COVID-19: kombinasi teknologi, regulasi, dan edukasi,” pungkas Fifi. Dengan langkah konkret ini, Indonesia bukan hanya bicara, tapi memimpin aksi.

Kemkominfo Jadi Penyumbang PNBP Terbesar di Kuartal I 2025, Bukti Kuatnya Ekosistem Digital

0

Telset.id – Siapa sangka, di tengah dinamika ekonomi global yang fluktuatif, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) justru mencatatkan prestasi gemilang sebagai penyumbang terbesar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di antara seluruh kementerian dan lembaga pada kuartal pertama 2025. Bagaimana sektor digital bisa mengungguli sektor-sektor tradisional seperti migas dan pertambangan?

Data resmi yang dirilis Senin (1/4/2025) menunjukkan, dari total PNBP kementerian/lembaga sebesar Rp29,7 triliun, Kemkominfo menyumbang Rp3,25 triliun atau sekitar 10,9%. Angka ini melampaui kontribusi Kementerian Perhubungan (Rp3,16 triliun) dan Kementerian Imigrasi (Rp2,22 triliun). “Ini buah dari kerja keras tim dan bukti bahwa transformasi digital kita sudah pada jalur yang tepat,” tegas Menteri Komunikasi dan Informatika Meutya Hafid.

Digitalisasi sebagai Mesin Pertumbuhan Baru

Pencapaian ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ia mencerminkan kematangan ekosistem digital Indonesia yang mulai berbuah manis. Sektor komunikasi dan digital kini tak lagi dipandang sebagai pendukung, melainkan penyangga utama penerimaan negara non-pajak.

Suahasil Nazara, Pelaksana Harian Dirjen Anggaran Kemenkeu, menggarisbawahi, “71,7% PNBP K/L terkonsentrasi di 10 kementerian. Ini menunjukkan betapa vital peran kementerian teknis dalam menopang keuangan negara.” Pernyataan ini semakin mengukuhkan posisi Kemkominfo sebagai garda terdepan ekonomi digital.

Dekonstruksi Sumber PNBP Digital

Lalu dari mana saja kontribusi Kemkominfo? Analisis Telset.id mengungkap beberapa sumber utama:

  • Frekuensi radio dan spektrum telekomunikasi
  • Layanan sertifikasi dan registrasi digital
  • Pemanfaatan aset telekomunikasi negara
  • Pendapatan dari proyek-proyek smart city

Fakta menariknya, pertumbuhan ini sejalan dengan lompatan transaksi e-commerce yang mencapai 90% seperti dilaporkan dalam kerja sama Tokopedia dan TikTok Shop. “Ini bukti sinergi antara infrastruktur digital dengan ekonomi kreatif,” tambah Meutya.

Tantangan di Balik Angka Gemilang

Meski patut diapresiasi, pencapaian ini justru harus menjadi alarm. Dengan kontribusi 10,9%, apakah Kemkominfo sudah optimal? Bandingkan dengan potensi sektor migas yang masih menyumbang 20,6% dari total PNBP nasional.

Pakar ekonomi digital dari Universitas Indonesia, Prof. Arief Budiman, mengingatkan, “Kita baru di permukaan. Masih banyak potensi digital yang belum tergali, mulai dari pajak platform hingga monetisasi data.” Pernyataan ini sejalan dengan tren global dimana negara-negara mulai mengoptimalkan pajak ekonomi digital.

Di tengah pencapaian ini, laporan dari Samsung tentang tantangan di kuartal pertama 2025 mengingatkan kita bahwa sektor teknologi tetap rentan terhadap gejolak global. Namun dengan fondasi yang kuat, ekonomi digital Indonesia tampaknya siap menghadapi tantangan tersebut.

Pertanyaan besarnya sekarang: Bisakah Kemkominfo mempertahankan momentum ini? Jawabannya mungkin terletak pada bagaimana kita memanfaatkan gelombang digitalisasi berikutnya – 5G, AI, dan komputasi kuantum – bukan sekadar sebagai konsumen, tapi sebagai produsen nilai tambah.

Google Bangun 3 Pembangkit Nuklir Baru untuk Data Center AI

0

Telset.id – Jika Anda mengira kecerdasan buatan (AI) hanya mengubah cara kita bekerja dan berkomunikasi, pikirkan lagi. Di balik layar, teknologi ini ternyata menyedot energi dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Bayangkan: satu gambar yang dihasilkan AI mengonsumsi listrik setara dengan mengisi daya ponsel pintar. Sekarang, kalikan itu dengan miliaran permintaan setiap hari. Hasilnya? Lonjakan kebutuhan energi yang luar biasa.

Menurut laporan MIT News, konsumsi listrik pusat data di Amerika Utara melonjak dari 2.688 megawatt pada 2022 menjadi 5.341 megawatt pada 2023. Angka ini menempatkan pusat data sebagai konsumen listrik terbesar ke-11 di dunia—setara dengan kebutuhan energi seluruh Prancis! Jika tren ini terus berlanjut, pada 2026, pusat data AI diprediksi akan naik peringkat menjadi konsumen energi terbesar kelima di planet ini.

Getty / Futurism

Solusi Nuklir Google

Tak ingin kewalahan, Google mengambil langkah radikal: membangun tiga pembangkit listrik tenaga nuklir baru. Perusahaan ini baru saja menandatangani kesepakatan dengan Elementl Power, pengembang energi nuklir, untuk membangun proyek “energi nuklir canggih”. Meski lokasinya masih dirahasiakan, Google telah menyiapkan dana awal untuk pengembangan izin, hak transmisi energi, dan rekrutmen kontraktor.

“Kolaborasi dengan Elementl Power mempercepat kemampuan kami memenuhi tuntutan era AI dan inovasi Amerika,” ujar Amanda Peterson Corio, kepala energi pusat data Google, seperti dikutip CNBC. Namun, proyek ini belum pasti. Elementl Power belum pernah menyelesaikan pembangunan reaktor sebelumnya, dan Google masih perlu mengumpulkan pendanaan tahap akhir.

Dilema Energi dan AI

Langkah Google ini bukan tanpa alasan. Emisi gas rumah kaca perusahaan melonjak 48% dalam lima tahun terakhir, didorong oleh adopsi AI masif. Bahkan, pada 2023-2024 saja, penggunaan air Google naik 17% karena kebutuhan pendinginan pusat data AI. Pertanyaannya: apakah semua energi ini benar-benar diperlukan?

Sejauh ini, AI Google lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang solusi. Mulai dari gambar hasil AI yang kacau, ancaman kematian terhadap pengguna, hingga asisten AI yang penuh bug. Yang lebih mengkhawatirkan, Google secara diam-diam memaksa pengguna untuk mengadopsi AI-nya, Gemini, sengaja memperburuk hasil pencarian tradisional. Ini menciptakan lingkaran setan: AI terlihat populer karena tidak ada pilihan lain.

Sementara itu, Microsoft—pesaing utama Google—justru membatalkan kontrak pusat data setelah berencana menghidupkan kembali reaktor nuklir Three Mile Island. Apakah ini pertanda buruk bagi proyek Google? Hanya waktu yang akan menjawab.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan energi nuklir dan AI, simak artikel terkait di Telset.id:

AI FaceAge: Teknologi Baru Prediksi Usia Biologis Pasien Kanker

0

Telset.id – Pernahkah Anda bertemu seseorang yang terlihat jauh lebih muda atau lebih tua dari usia sebenarnya? Ternyata, penampilan fisik ini bukan sekadar masalah genetik atau perawatan kulit. Menurut penelitian terbaru, wajah kita bisa menjadi cermin akurat dari apa yang disebut “usia biologis”—ukuran kesehatan sel tubuh yang mungkin berbeda dari usia kronologis.

Dalam terobosan yang bisa mengubah wajah pengobatan kanker, tim ilmuwan di Mass General Brigham (MGB) mengembangkan model AI bernama FaceAge. Teknologi ini diklaim mampu memperkirakan usia biologis pasien kanker hanya dengan menganalisis foto wajah mereka, seperti dilaporkan New York Times. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Lancet Digital Health dan menimbulkan pertanyaan serius tentang keandalan serta implikasi etisnya.

Getty / Futurism

Bagaimana FaceAge Bekerja?

AI ini dilatih menggunakan hampir 59.000 foto wajah orang dewasa di atas 60 tahun dari berbagai sumber publik, termasuk IMDB dan Wikipedia. Ketika diuji pada 6.200 pasien kanker, FaceAge menunjukkan hasil mengejutkan: pasien yang terlihat lebih muda menurut AI cenderung memiliki hasil pengobatan lebih baik dibandingkan yang terlihat lebih tua.

Yang menarik, AI tidak hanya bergantung pada tanda penuaan konvensional seperti keriput atau kebotakan. Sebaliknya, ia fokus pada petunjuk halus seperti tonus otot wajah, menurut laporan Agence France-Presse. Secara rata-rata, pasien kanker terlihat 5 tahun lebih tua dari usia sebenarnya, sementara non-pasien memiliki usia biologis yang lebih dekat dengan usia kronologis mereka.

Potensi dan Tantangan Etis

FaceAge bisa menjadi alat vital bagi dokter untuk menentukan perawatan yang tepat. Misalnya, pasien berusia 75 tahun dengan usia biologis 65 mungkin cocok menjalani terapi radiasi agresif, sementara pasien lain dengan usia kronologis sama tetapi usia biologis lebih tinggi mungkin perlu pendekatan berbeda.

Namun, teknologi ini masih memiliki keterbatasan serius. Pelatihan AI yang didominasi wajah kulit putih berisiko menimbulkan bias rasial. Faktor seperti riasan, operasi plastik, atau pencahayaan juga bisa memengaruhi akurasi prediksi.

“Saya sangat khawatir apakah alat ini bekerja sama baiknya untuk semua populasi, termasuk perempuan, lansia, minoritas etnis, penyandang disabilitas, atau ibu hamil,” kata Jennifer Miller, pakar etika biomedis dari Yale University, kepada NYT.

Di era privasi yang semakin tergerus, teknologi seperti FaceAge juga menimbulkan kekhawatiran baru. Bagaimana jika perusahaan asuransi menggunakannya untuk menolak klaim kesehatan? “Kita perlu memastikan teknologi ini hanya digunakan untuk kepentingan pasien,” tegas Hugo Aerts, salah satu penulis utama studi ini.

Meski menjanjikan, FaceAge masih memerlukan pengembangan lebih lanjut sebelum bisa diadopsi secara luas. Namun, temuan ini membuka pintu bagi pendekatan yang lebih personal dalam pengobatan kanker, di mana usia biologis bisa menjadi pertimbangan krusial selain faktor medis tradisional.