Beranda blog Halaman 10

realme Hadirkan Watermark Eksklusif M7 dan Program Tebak Juara Sambut MLBB M7 World Championship

0

Telset.id – Jika Anda pikir kolaborasi brand smartphone dengan turnamen esports hanya sebatas logo di spanduk, pikirkan lagi. realme, brand dengan pertumbuhan tercepat di dunia, baru saja mengangkat level keterlibatannya dengan meluncurkan fitur dan program interaktif eksklusif untuk menyambut puncak kompetisi Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) M7 World Championship. Ini bukan sekadar sponsor, tapi sebuah upaya mendalam untuk menyatukan pemain dan fans dalam sebuah perayaan global yang mereka sebut “Real Passion Never Dies.”

Dukungan berkelanjutan realme terhadap ekosistem esports, khususnya MLBB, kini memasuki babak baru yang lebih personal dan imersif. Dengan status sebagai mitra strategis, realme tidak hanya menyediakan perangkat keras unggulan melalui realme 15 Pro 5G yang ditetapkan sebagai Official Gaming Phone M7, tetapi juga merancang pengalaman digital yang memungkinkan setiap fans menjadi bagian aktif dari euforia turnamen. Langkah ini menunjukkan pergeseran strategi dari sekadar mensponsori event menjadi membangun komunitas dan pengalaman bersama.

Lantas, seperti apa bentuk nyata dari komitmen “Real Passion Never Dies” itu? realme menjawabnya dengan dua inisiatif konkret: Custom M7 Camera Watermark yang eksklusif untuk pengguna realme 15 Series 5G, dan program tebak-menebak juara dengan hadiah yang menggiurkan. Keduanya dirancang untuk menjembatani jarak antara layar pertandingan dengan antusiasme fans di rumah, menciptakan sebuah narasi bersama yang lebih hidup.

Watermark Eksklusif M7: Lebih Dari Sekadar Filter

Mulai 18 Desember 2025, pengguna setia realme 15 Series 5G mendapatkan akses ke sebuah fitur yang mungkin terdengar sederhana, namun punya makna mendalam: Custom Watermark M7 x realme 15 Pro 5G. Fitur ini memungkinkan pengguna menambahkan identitas visual resmi M7 World Championship pada setiap foto yang mereka ambil menggunakan smartphone mereka. Watermark ini tersedia dalam waktu terbatas, sepanjang periode turnamen berlangsung.

Apa signifikansinya? Ini adalah sebuah pernyataan. Dalam era di mana konten digital adalah mata uang sosial, memiliki alat untuk secara visual mendeklarasikan dukungan terhadap sebuah event global seperti M7 adalah sebuah bentuk partisipasi modern. Setiap jepretan—entah itu saat menonton pertandingan bersama teman, menghadiri viewing party, atau sekadar menangkap momen sehari-hari dengan semangat kompetisi—bisa langsung disematkan dengan simbol kebanggaan esports. realme secara cerdas mengubah kamera smartphone dari alat dokumentasi menjadi alat ekspresi komunitas. Fitur ini tersedia baik di realme 15 Pro 5G maupun realme 15 5G, memperluas jangkauan partisipasi.

Program “Guess M7 Winner”: Antara Strategi dan Keberuntungan

Jika watermark adalah bentuk ekspresi, maka program “Guess M7 Winner, Win Free Phone!” adalah ajakan untuk terlibat lebih dalam lagi. realme menggelar program interaktif ini khusus untuk fans di tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Filipina—pasar-pasar dengan basis pemain MLBB yang sangat masif. Mekanismenya menarik dan menantang.

Dalam periode 24 Desember 2025 hingga 22 Januari 2026, pengguna yang membeli smartphone dari lini realme 15 Series 5G (meliputi realme 15 5G, realme 15T 5G, dan realme 15 Pro 5G) berkesempatan menebak juara Grand Final M7 beserta skor akhirnya. Tebakan yang tepat berpeluang memenangkan satu dari sepuluh slot full cashback senilai harga smartphone yang dibeli. Bukan hanya itu, realme juga menyiapkan 1.200 Diamond MLBB untuk 100 peserta tercepat yang berhasil menebak juara dengan benar, meski tanpa skor.

Program semacam ini bukan hanya alat marketing yang brilian; ini adalah pengikat emosional. Dengan memasang prediksi, fans secara tidak langsung akan mengikuti perjalanan turnamen dengan lebih intens, menganalisis kekuatan tim, dan merasakan ketegangan hingga detik-detik final. realme berhasil mengubah penonton pasif menjadi peserta aktif yang punya “skin in the game,” meski hanya dalam bentuk prediksi. Ini selaras dengan semangat merayakan komunitas yang menjadi jantung dari M7 World Championship edisi ketujuh yang mempertemukan 22 tim elit dunia ini.

Misi Besar di Balik Inisiatif Kecil

Pada akhirnya, peluncuran watermark eksklusif M7 dan program tebak juara ini adalah bagian dari mosaik misi besar realme: menghadirkan pengalaman teknologi yang melampaui ekspektasi, khususnya bagi generasi muda. Dalam konteks esports, pengalaman itu tidak lagi hanya tentang frame rate tinggi atau cooling system canggih pada perangkat seperti hp terbaru realme, tetapi tentang rasa memiliki dan menjadi bagian dari sebuah peristiwa budaya.

Dengan mengombinasikan performa hardware unggulan realme 15 Series 5G dan aktivitas interaktif yang mendalam, realme sedang mendefinisikan ulang apa artinya menjadi mitra strategis dalam esports. Mereka tidak hanya menyediakan panggung, tetapi juga menciptakan bahasa visual (watermark) dan mekanisme engagement (program tebak juara) yang memungkinkan passion yang “never dies” itu menemukan bentuknya yang baru. M7 World Championship, dengan dukungan ini, diangkat dari sekadar serangkaian pertandingan menjadi sebuah festival global yang dirayakan bersama, di dalam dan luar game.

Bagi fans yang ingin menyelami lebih dalam atmosfer M7 dan berpartisipasi dalam berbagai programnya, realme mengimbau untuk mengikuti akun media sosial resmi realme Indonesia dan mengunjungi situs www.realme.com/id. Siapa tahu, semangat “Real Passion Never Dies” Anda bisa berbuah menjadi smartphone gratis atau diamond yang melimpah.

Snapdragon vs MediaTek: Duel Sengit Chipset yang Tentukan Masa Depan Smartphone Anda

0

Telset.id – Pikir pilihan chipset hanya urusan benchmark dan angka? Pikir lagi. Di balik layar ponsel Anda, pertarungan antara Snapdragon dan MediaTek telah mencapai titik yang menentukan bukan hanya performa, tetapi juga nilai, efisiensi, dan masa depan smartphone itu sendiri. Dulu, pilihannya sederhana: Snapdragon untuk yang terbaik, MediaTek untuk yang terjangkau. Tapi narasi itu sudah usang. MediaTek, dengan seri Dimensity-nya, telah melesat dan kini menantang dominasi Qualcomm di hampir semua lini, menciptakan dilema yang menarik bagi konsumen. Lalu, mana yang harus Anda pilih untuk upgrade berikutnya?

Perubahan lanskap ini bukan terjadi dalam semalam. MediaTek, yang dulu identik dengan chipset entry-level, telah melakukan transformasi dramatis. Mereka tak lagi sekadar pengikut, melainkan penantang serius yang menawarkan inovasi, efisiensi, dan yang paling menggoda, nilai lebih untuk uang Anda. Di sisi lain, Snapdragon tetap menjadi pilihan utama banyak brand ternama, dengan warisan keandalan dan ekosistem yang mapan. Pertanyaannya, apakah keunggulan tradisional Snapdragon masih relevan di tengah gempuran inovasi MediaTek? Mari kita selami lebih dalam.

Untuk memahami duel ini, kita perlu melihat di luar angka mentah. Ini tentang bagaimana chipset itu “hidup” di dalam perangkat Anda sehari-hari: saat Anda marathon game, saat baterai hampir habis di tengah meeting penting, atau ketika Anda mencoba mengabadikan momen spesial dalam kondisi cahaya minim. Pilihan antara Snapdragon dan MediaTek kini lebih merupakan pertimbangan filosofi penggunaan daripada sekadar merek. Artikel ini akan membedahnya untuk Anda.

Medan Pertempuran: Performa dan Daya Tahan Gaming

Di arena gaming, Snapdragon lama bertahta. Reputasinya dibangun dari konsistensi, terutama dalam sesi marathon. Ponsel dengan chipset Snapdragon cenderung mempertahankan frame rate yang stabil lebih lama, berkat manajemen termal yang telah terasah selama bertahun-tahun. Ini membuatnya menjadi pilihan “aman” bagi hardcore gamer yang tak ingin terganggu oleh throttling di tengah match penting. Namun, ceritanya tidak sesederhana itu.

MediaTek telah mengejar ketertinggalan dengan agresif. Chipset flagship Dimensity terbaru sering kali unggul dalam benchmark GPU, menunjukkan potensi mentah yang sangat besar. Masalahnya, terkadang potensi itu belum sepenuhnya teroptimalkan untuk daya tahan jangka panjang. Meski begitu, jaraknya semakin tipis. Untuk gamer kasual hingga menengah, performa MediaTek saat ini sudah lebih dari cukup. Bahkan, dalam beberapa kasus, ranking AnTuTu didominasi oleh perangkat dengan chipset terbaru dari kedua kubu, menunjukkan persaingan yang sangat ketat di puncak.

Efisiensi: Senjata Rahasia MediaTek

Di sinilah MediaTek sering kali bersinar. Banyak pengamat dan pengguna melaporkan bahwa ponsel dengan chipset Dimensity, khususnya di segmen mid-range hingga upper mid-range, menawarkan efisiensi daya yang luar biasa. Hasilnya? Masa pakai baterai yang lebih panjang dan panas yang lebih terkendali selama penggunaan sehari-hari. Optimasi untuk efisiensi berkelanjutan ini menjadi nilai jual utama yang sulit diabaikan.

Snapdragon tentu tidak boros daya. Generasi-generasi terbaru mereka telah membuat lompatan signifikan dalam efisiensi. Namun, pada titik harga yang setara, MediaTek sering kali mampu menyajikan paket yang memberikan jam pakai layar lebih lama. Ini pertimbangan krusial di era di mana kita semakin bergantung pada ponsel untuk segalanya. Jika Anda lebih mementingkan ponsel yang bisa menemani dari pagi hingga larut malam tanpa harus mencari stopkontak, chipset MediaTek patut mendapat poin plus.

Fotografi: Masihkah Snapdragon Memegang Kendali?

Kamera smartphone adalah simfoni antara hardware sensor, software tuning, dan Image Signal Processor (ISP) di dalam chipset. Di bidang ini, Snapdragon masih dianggap memiliki keunggulan dalam hal kematangan dan keandalan. ISP mereka telah melalui banyak iterasi dan dioptimalkan oleh berbagai vendor besar, menghasilkan konsistensi yang baik, terutama untuk perekaman video.

MediaTek tidak tinggal diam. Chipset flagship mereka kini dilengkapi ISP yang sangat mumpuni. Tantangannya terletak pada bagaimana vendor smartphone men-tuning pipeline imaging-nya. Hasil akhir sangat bergantung pada komitmen OEM. Artinya, Anda bisa menemukan ponsel MediaTek dengan kamera yang luar biasa, tetapi juga yang biasa saja. Perbandingan antara varian ponsel yang menggunakan chipset berbeda sering kali mengungkap perbedaan pendekatan tuning kamera ini. Snapdragon, dalam hal ini, masih menawarkan landasan yang sedikit lebih pasti.

Konektivitas dan Nilai: Dua Sisi Mata Uang

Untuk konektivitas 5G, Wi-Fi 6/7, dan Bluetooth, kedua raksasa ini sudah setara pada fitur kertas. Namun, di pasar seperti AS, Snapdragon mungkin memiliki keuntungan karena optimasi spesifik operator yang lebih dalam, buah dari dominasi historis mereka di sana. Bagi pengguna di sebagian besar wilayah lain, termasuk Indonesia, perbedaan ini hampir tak terasa.

Di sinilah MediaTek memainkan kartu truf-nya: nilai. Inilah kekuatan terbesarnya. Smartphone dengan chipset MediaTek cenderung lebih terjangkau dibandingkan dengan rekan-rekan Snapdragon yang setara. Anda sering mendapatkan spesifikasi yang lebih mentereng di atas kertas dengan harga yang lebih ramah. Keunggulan harga ini tidak hanya di segmen entry-level, tetapi merambah hingga ke flagship. Ini memaksa Qualcomm untuk terus berinovasi dan mungkin menekan harga, yang pada akhirnya menguntungkan kita sebagai konsumen. Minat besar vendor terhadap MediaTek juga terlihat dari rumor bahwa Google Pixel 11 dikabarkan akan beralih ke modem MediaTek, sebuah langkah yang dulu sulit dibayangkan.

Jadi, keputusan akhir ada di tangan Anda. Pilih Snapdragon jika prioritas Anda adalah performa gaming yang konsisten sepanjang waktu, ekosistem kamera yang telah teruji, dan Anda merasa nyaman dengan premium yang harus dibayar untuk kematangan tersebut. Sebaliknya, pilih MediaTek jika Anda mencari paket performa tangguh dan efisiensi baterai yang optimal dengan anggaran yang lebih efisien, serta bersedia menerima bahwa optimasi perangkat lunak mungkin sedikit lebih bervariasi antar vendor.

Yang pasti, era monopoli telah berakhir. Persaingan ketat antara Snapdragon dan MediaTek inilah yang mendorong inovasi lebih cepat dan memberikan kita, konsumen, lebih banyak pilihan berkualitas. Pemenang sebenarnya dari duel sengit ini adalah Anda.

Harga RAM Melonjak, Pengiriman Handheld Gaming AYN Odin 3 Ultra Tertunda

0

Telset.id – Anda mungkin sudah mendengar kabar tentang kenaikan harga komponen elektronik. Tapi, dampaknya kini semakin nyata dan mulai menyentuh produk yang paling dinanti para gamer. AYN, produsen handheld gaming Android, baru saja mengonfirmasi penundaan pengiriman untuk model andalannya, Odin 3 Ultra. Penyebabnya? Lonjakan harga RAM yang disebut-sebut “membumbung tinggi”. Ini bukan lagi sekadar isu di pasar smartphone atau PC, tetapi sudah merambah ke ceruk perangkat gaming portabel.

Bayangkan, Anda sudah memesan perangkat impian dengan spesifikasi puncak, menunggu dengan sabar, tiba-tiba datang kabar bahwa pengirimannya mundur hingga pertengahan Januari 2026. Itulah yang dialami oleh para pelanggan yang memesan AYN Odin 3 Ultra dengan konfigurasi 24GB RAM dan 1TB penyimpanan. Perusahaan secara terbuka menyebutkan bahwa krisis pasokan memori jangka pendek dan harga RAM yang melonjak drastis sebagai biang keladinya. Situasi ini menjadi bukti konkret bagaimana gejolak di tingkat komponen dapat langsung mengacaukan rencana peluncuran produk dan mengecewakan konsumen.

Lantas, apa yang ditawarkan AYN kepada pelanggan yang terdampak? Mereka memberikan dua pilihan. Opsi pertama adalah tetap bertahan dengan preorder Odin 3 Ultra dan menunggu jadwal pengiriman baru di awal 2026. Opsi kedua, beralih ke varian yang sedikit lebih rendah, yaitu Odin 3 Max, yang datang dengan 16GB RAM dan 512GB penyimpanan. Bagi yang memilih opsi kedua, AYN akan mengembalikan selisih harganya. Harga Odin 3 Max saat ini adalah $449, sementara Ultra dibanderol $519. Selain perbedaan pada kapasitas memori dan penyimpanan, kedua model ini pada dasarnya identik: ditenagai chipset Snapdragon 8 Elite dari Qualcomm, dilengkapi sistem pendingin aktif, layar OLED 6 inci dengan refresh rate 120Hz, baterai berkapasitas 8.000mAh, dukungan microSD, jack audio 3.5mm, dan kemampuan output ke layar eksternal. Bagi banyak pengguna, perbedaan ini mungkin hanya terasa pada kemampuan multitasking yang lebih leluasa dan ruang penyimpanan yang lebih lapang, bukan pada performa gaming mentah.

Domino Efek di Industri Teknologi

Kasus penundaan Odin 3 Ultra ini ibarat puncak gunung es. Ia mengungkap tren yang lebih luas dan mengkhawatirkan di industri teknologi. Lonjakan harga RAM bukanlah fenomena baru, tetapi intensitas dan jangka waktunya mulai menunjukkan dampak sistemik. Jika harga komponen memori tetap tinggi dalam waktu lama, perusahaan-perusahaan hardware akan dipaksa untuk memikirkan ulang strategi konfigurasi produk mereka. Mungkin kita akan melihat lebih banyak varian dengan RAM yang lebih “cukup-cukupan” dibandingkan yang “berlebih-lebihan” seperti tren beberapa tahun terakhir.

Kekhawatiran serupa sebenarnya sudah mulai tercium di pasar smartphone. Produsen ponsel pintar, terutama yang mengandalkan skin UI berat atau fitur AI on-device yang kompleks, mungkin harus mempertimbangkan untuk lebih berhati-hati dalam menentukan jumlah RAM. Model entry-level yang harus menjalankan antarmuka kustom dengan banyak fitur bisa saja mengalami hambatan performa jika konfigurasi memorinya dipangkas. Sementara itu, flagship premium yang diharapkan dapat menangani tugas-tugas kecerdasan buatan secara lokal juga membutuhkan memori yang besar dan cepat. Tekanan biaya ini bisa memicu dilema antara menjaga performa atau menjaga harga jual yang kompetitif. Seperti yang pernah kami bahas sebelumnya, lonjakan harga ini juga berpotensi memengaruhi pasar perangkat lain seperti laptop dan tablet.

Masa Depan Konfigurasi Perangkat Konsumen

Pertanyaannya, apakah ini awal dari era di mana “lebih banyak RAM” tidak lagi menjadi selling point utama? Mungkin belum. Namun, situasi ini pasti akan membuat konsumen dan produsen lebih kritis. Konsumen akan mulai bertanya, “Benarkah saya perlu 24GB RAM untuk gaming mobile, atau 16GB sudah lebih dari cukup?” Di sisi lain, produsen seperti AYN terpaksa mengambil langkah pragmatis dengan menawarkan alternatif yang lebih terjangkau dari segi komponen, sembari tetap mempertahankan inti performanya, yaitu chipset unggulan.

Strategi “downgrade” yang ditawarkan AYN sebenarnya cukup cerdik. Alih-alih membatalkan pesanan atau menaikkan harga secara sepihak, mereka memberikan opsi dan kompensasi. Ini menjaga kepercayaan pelanggan di tengah gejolak pasar yang tidak sepenuhnya berada di bawah kendali mereka. Namun, tetap saja, penundaan hampir setahun adalah waktu yang sangat lama di dunia teknologi yang bergerak cepat. Bisa jadi, ketika Odin 3 Ultra akhirnya tiba di tangan pelanggan awal 2026, lanskap handheld gaming atau bahkan chipset yang tersedia sudah berubah lagi.

Fenomena ini juga mengingatkan kita bahwa harga perangkat teknologi tidak hanya ditentukan oleh merek dan margin keuntungan, tetapi sangat rentan terhadap fluktuasi pasar komponen global. Sebuah kenaikan harga chip memori bisa berimbas langsung ke harga jual tablet atau smartphone di pasaran. Ini adalah realitas rantai pasokan modern yang saling terhubung. Bagaimana industri akan terlihat setelah badai harga RAM ini reda? Apakah akan terjadi penyesuaian permanen, atau hanya fluktuasi siklus semata? Jawabannya masih menjadi teka-teki. Yang pasti, sebagai konsumen, kita perlu lebih aware bahwa di balik spesifikasi gemilang yang tertera di brosur, ada pasar komponen yang dinamis dan tak jarang bergejolak. Dan seperti layanan streaming yang harganya berubah seiring waktu, harga dan ketersediaan hardware pun bisa berubah oleh faktor-faktor yang tak terduga.

Jadi, jika Anda salah satu yang menunggu Odin 3 Ultra, atau berencana membeli perangkat elektronik high-end dalam waktu dekat, bersiaplah dengan berbagai skenario. Lonjakan harga RAM mungkin adalah pengingat bahwa dalam dunia teknologi, yang pasti hanyalah ketidakpastian itu sendiri. Mari kita tunggu dan lihat bagaimana perusahaan dan pasar bereaksi terhadap tekanan ini ke depannya.

Harga Memori Naik, Pengiriman Smartphone Global Diprediksi Turun 2,1% di 2026

0

Telset.id – Apa yang terjadi ketika biaya produksi sebuah smartphone melonjak hingga 30 persen? Jawabannya mungkin akan Anda rasakan langsung di dompet tahun depan. Counterpoint Research baru saja merevisi proyeksinya dengan nada yang cukup suram: pengiriman smartphone global diprediksi turun 2,1 persen pada 2026. Penyebab utamanya? Lonjakan harga memori yang tak terbendung.

Revisi ini bukan sekadar koreksi kecil. Lembaga riset terkemuka itu memangkas proyeksi sebelumnya sebesar 2,6 poin persentase. Bayangkan, dari perkiraan pertumbuhan yang mungkin masih ada, kini berbalik menjadi kontraksi. Situasi ini menjadi tamparan keras bagi industri yang sebenarnya mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, seperti yang pernah kami laporkan dalam analisis Pasar Smartphone Global Tumbuh 4% di Q3 2025, Samsung Pimpin.

Gelombang kenaikan ini ternyata tidak menyisakan siapa pun. Namun, merek-merek China seperti Honor, Oppo, dan Vivo disebut-sebut akan menanggung pemotongan pengiriman paling dalam. Segmen yang paling terkapar? Smartphone entry-level atau kelas bawah. Counterpoint melaporkan, biaya Bill of Materials (BoM) untuk perangkat di bawah $200 telah melonjak 20 hingga 30 persen sejak awal 2025. Naiknya biaya ini seperti memutus harapan banyak konsumen di segmen harga yang paling sensitif.

Smartphone Shipment YoY Growth Forecasts and Revisions 2026

Jangan berpikir ponsel mid-range dan premium bisa lolos begitu saja. Segmen tersebut juga mengalami kenaikan biaya material sebesar 10 hingga 15 persen. Dan badai belum reda. Counterpoint memperkirakan harga memori akan naik lagi sekitar 40 persen hingga kuartal kedua 2026. Imbasnya, biaya BoM berpotensi terdorong lebih tinggi lagi, antara 8 hingga lebih dari 15 persen. Ini adalah skenario yang membuat para produsen ponsel (OEM) merinding.

Konsekuensi langsungnya terlihat pada harga jual rata-rata atau Average Selling Price (ASP). Counterpoint kini memproyeksikan kenaikan ASP tahunan sebesar 6,9 persen pada 2026. Angka ini hampir dua kali lipat dari estimasi awal mereka yang hanya 3,6 persen pada September 2025. Dengan kata lain, tren kenaikan harga yang kita saksikan belakangan ini bukanlah ilusi, dan akan berlanjut.

Strategi Bertahan di Tengah Badai Biaya

Lalu, bagaimana para raksasa teknologi ini bertahan? Jawabannya adalah dengan melakukan serangkaian manuver yang kadang terpaksa, bahkan menyakitkan. Beberapa OEM telah mulai mengurangi varian atau SKU di segmen rendah. Lebih ekstrem lagi, spesifikasi pada model-model tertentu sengaja diturunkan. Bayangkan, Anda membeli ponsel generasi baru, tapi kamera, kualitas layar, atau kapasitas RAM-nya justru lebih rendah dari pendahulunya. Itulah realitas yang dikonfirmasi oleh analis senior Counterpoint.

Pengurangan fitur seperti perangkat keras kamera dan kualitas panel display menjadi senjata untuk mempertahankan margin keuntungan yang semakin tipis. Beberapa brand bahkan kembali menggunakan komponen lama atau dengan cerdik mengarahkan konsumen ke varian “Pro” yang lebih mahal. Taktik ini adalah bentuk pertahanan klasik di tengah tekanan supply chain yang gila-gilaan.

Buktinya sudah bisa kita lihat di pasaran. Peluncuran OnePlus 15 dan iQOO 15 di India, misalnya, menghadirkan harga debut yang jauh lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Isu yang beredar juga menyebut Samsung berencana menaikkan harga untuk seri Galaxy S26 yang akan datang, serta lini A series yang sedang berjalan. Ini adalah sinyal jelas bahwa era smartphone murah dengan spesifikasi wah perlahan-lahan mungkin akan menjadi kenangan.

Efek Rantai yang Meluas dan Masa Depan yang Berat

Krisis memori ini ternyata tidak hanya menggerogoti pasar smartphone. Kategori perangkat lain juga ikut merasakan dampaknya. Xiaomi dan Honor telah menaikkan harga tablet mereka di China. Analis memprediksi lebih banyak brand akan menyusul, karena pasokan DRAM tetap ketat. Penyebabnya? Permintaan yang meledak dari pusat data AI. Ya, kebutuhan akan kecerdasan buatan ternyata “mencuri” pasokan komponen vital dari genggaman Anda.

Dalam lanskap seperti ini, Counterpoint memberikan peringatan keras: brand yang tidak memiliki skala besar atau integrasi vertikal akan kesulitan menyeimbangkan profitabilitas dan volume pengiriman di tahun 2026. Mereka yang tidak memiliki kendali atas rantai pasok atau daya tawar yang lemah akan terjepit. Ini mungkin akan mempercepat konsolidasi di industri, atau memaksa beberapa pemain untuk berpikir ulang tentang bisnis inti mereka, seperti yang dilakukan Xiaomi seperti yang diulas dalam Xiaomi Ubah Strategi: Lebih Sedikit Smartphone, Lebih Banyak Ekosistem.

Lalu, apa artinya bagi Anda sebagai konsumen? Bersiaplah untuk pilihan yang lebih sedikit di segmen low-end. Ponsel dengan harga terjangkau mungkin akan datang dengan spesifikasi yang lebih sederhana. Di sisi lain, tekanan untuk upgrade ke model mid-range atau premium akan semakin kuat. Dinamika pasar yang pernah kami catat dalam Top 10 Produsen Smartphone Global Q2 2024: Samsung Tetap Terdepan bisa saja berubah total.

Pada akhirnya, revisi forecast Counterpoint ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini adalah cerita tentang bagaimana gejolak di satu bagian kecil industri semikonduktor—memori—dapat mengguncang seluruh ekosistem gadget global. Tahun 2026 akan menjadi tahun ujian nyata bagi ketangguhan, kreativitas, dan daya tawar setiap pemain. Dan bagi kita semua, mungkin inilah saatnya untuk lebih bijak memandang ponsel bukan hanya sebagai barang konsumsi, tetapi sebagai produk yang nilainya sangat dipengaruhi oleh gelombang ekonomi dan teknologi yang jauh lebih besar.

Nvidia Potong Produksi GPU Gaming, Harga Laptop dan Smartphone Bisa Naik

0

Telset.id – Baru saja pasar PC mulai pulih dari kekacauan kelangkaan GPU beberapa tahun lalu, ancaman baru sudah mengintai. Kali ini, bukan chip grafis yang jadi biang keributan, melainkan komponen yang lebih mendasar: memori. Bocoran terbaru dari industri mengindikasikan lonjakan harga DRAM memaksa Nvidia untuk memangkas produksi kartu grafis gaming andalannya, GeForce RTX 5000-series, hingga 40% di awal 2026. Apa artinya ini bagi Anda, para gamer dan konsumen teknologi?

Bayangkan, Anda sudah menabung untuk membeli GPU generasi terbaru dengan harapan dapat VRAM lebih besar di harga yang sama. Rencana itu kini mungkin pupus. Menurut sumber industri, Nvidia terpaksa menggeser prioritas produksinya ke arah server dan akselerator AI yang lebih menguntungkan, menyisakan porsi lebih kecil untuk pasar gaming. Alhasil, rencana peluncuran lini GeForce RTX 5000 Super yang dikabarkan akan menawarkan peningkatan VRAM hingga 50% tanpa kenaikan harga, dikabarkan dibatalkan. Model yang mengusung memori besar dengan harga terjangkau, seperti RTX 5060 Ti 16GB dan RTX 5070, disebut-sebut akan paling terdampak.

Nvidia dikabarkan memperkirakan permintaan gaming akan melunak di 2026, didorong oleh kalender rilis game yang tak terlalu padat. Namun, pemotongan produksi sebesar 30-40% ini berisiko mengulangi siklus buruk yang sudah kita kenal: ketersediaan terbatas, harga melambung, dan kekecewaan pembeli. Situasi ini bukan hanya soal kartu grafis mahal yang semakin sulit didapat. Efek domino dari krisis DRAM ini jauh lebih luas dan bisa menyentuh kantong lebih banyak orang.

Domino Efek ke Laptop dan Smartphone

Di balik layar, pertarungan untuk mendapatkan suplai memori sedang memanas. Ledakan permintaan dari perusahaan-perusahaan AI seperti OpenAI telah menyedot kapasitas produksi DRAM secara masif. Analis memperingatkan, situasi ini bisa mendongkrak harga laptop setidaknya 20% dalam waktu dekat. Laptop budget mungkin akan kembali ke era 8GB RAM, sementara smartphone entry-level berpotensi kembali hanya dibekali memori 4GB. Perangkat gaming portabel yang dinanti-nantikan pun kemungkinan besar akan dibanderol dengan harga lebih tinggi.

Ini adalah konsekuensi langsung ketika AI menjadi prioritas utama industri semikonduktor. Sumber daya dialihkan ke segmen yang memberikan margin tertinggi, meninggalkan segmen konsumen, terutama gaming, berjuang dengan biaya produksi yang membumbung. Seperti yang pernah kita bahas dalam analisis mengenai krisis chip global, gangguan pada satu titik dalam rantai pasokan bisa mengguncang seluruh ekosistem teknologi.

Masa Depan Gaming PC di Tengah Gelombang AI

Lalu, ke mana arah pasar gaming PC? Keputusan Nvidia ini bisa menjadi sinyal penting. Jika produsen GPU terbesar di dunia mulai mengurangi fokus pada segmen gaming, apakah ini awal dari pergeseran permanen? Kemungkinan besar, kita akan melihat stratifikasi pasar yang lebih tajam. GPU entry-level dan mid-range dengan spesifikasi memori besar akan menjadi barang langka dan premium, sementara model high-end tetap diproduksi untuk segmen yang rela membayar mahal.

Bagi gamer, strategi upgrade mungkin perlu dipertimbangkan ulang. Masa tunggu untuk produk yang tepat dengan harga wajar bisa semakin panjang. Di sisi lain, ini mungkin menjadi peluang bagi pesaing seperti AMD untuk mengisi celah pasar yang ditinggalkan, meskipun mereka juga menghadapi tekanan harga komponen yang sama. Krisis ini juga mengingatkan kita bahwa inovasi teknologi seringkali berjalan beriringan dengan tantangan pasokan yang kompleks, sebuah dinamika yang juga terlihat dalam misi-misi luar angkasa seperti kisah dramatis Shenzhou-22.

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari gelombang krisis memori ini? Pertama, pasar teknologi global sangatlah rapuh dan saling terhubung. Kebutuhan akan AI di satu sisi, bisa mengorbankan aksesibilitas teknologi di sisi lain. Kedua, sebagai konsumen, bersikap adaptif dan informatif adalah kunci. Memantau perkembangan pasar dan mengatur ekspektasi menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ancaman kenaikan harga dan kelangkaan produk bukan lagi sekadar rumor, tetapi sebuah realitas yang sedang dibentuk oleh dinamika industri yang lebih besar. Satu hal yang pasti: era di mana AI mendikte arah industri semikonduktor telah benar-benar dimulai, dan kita semua akan merasakan dampaknya.

CATL Klaim Sukses Gunakan Robot Humanoid di Pabrik Baterai, Bukan Demo Lagi

0

Telset.id – Selama ini, robot humanoid lebih sering kita lihat berjalan goyah di atas panggung demo atau video viral di media sosial. Tapi, bagaimana jika robot berbentuk manusia itu benar-benar sudah bekerja di lini produksi, melakukan tugas rumit yang selama ini jadi domain pekerja manusia? Itulah klaim terbaru dari CATL, raksasa pembuat baterai kendaraan listrik (EV) dunia, yang mengagetkan industri. Mereka menyatakan telah menyelesaikan penerapan skala besar robot humanoid bernama Moz di pabrik baterai mereka. Bukan sekadar uji coba, ini klaim sebagai lini produksi baterai pertama yang menggunakan robot “kecerdasan terwujud” (embodied intelligence) secara masif. Apakah ini akhir dari era demo robot yang canggung dan awal revolusi otomasi yang sesungguhnya?

Jika Anda mengikuti perkembangan robotika, Anda pasti familiar dengan adegan-adegan yang sering kali membuat kita mengernyit. Robot humanoid yang tersandung karpet, menjatuhkan benda, atau sekadar berjalan lambat dengan gerakan kaku. Demonstrasi itu penting, tapi sering kali meninggalkan pertanyaan besar: bisakah mereka bertahan di lingkungan pabrik yang keras, berjam-jam, dengan presisi tinggi? CATL, melalui anak perusahaannya yang fokus pada robotika dan otomasi, Spirit AI, menjawab tantangan itu dengan Moz. Robot ini tidak ditempatkan untuk pekerjaan pick-and-place sederhana. Ia justru ditaruh di tahap kritis penjaminan mutu proses produksi: memasang konektor baterai.

Tugas memasang konektor mungkin terdengar sepele, tapi dalam dunia manufaktur baterai berteknologi tinggi, ini adalah pekerjaan yang membutuhkan tingkat presisi, konsistensi, dan kontrol gaya yang sangat hati-hati. Satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal pada kinerja dan keamanan produk akhir. Menurut CATL, Moz telah mencapai tingkat kinerja yang setara dengan pekerja manusia berpengalaman, dengan tingkat keberhasilan penyisipan konektor mencapai 99%. Angka yang hampir sempurna ini bukan datang dari pemrograman kaku, melainkan dari sistem visi end-to-end yang memungkinkan robot beradaptasi secara real-time.

Robot humanoid Moz dari CATL sedang bekerja di lini produksi baterai, memasang konektor dengan presisi tinggi

Bayangkan Anda sedang memasang steker ke stopkontak yang sedikit miring. Anda secara otomatis akan menyesuaikan sudut tangan Anda. Moz melakukan hal serupa di tingkat industri. Robot ini mampu mengkompensasi ketidaksejajaran kecil pada material atau titik sambungan dengan menyesuaikan postur dan gerakannya secara langsung. Lebih dari itu, Moz memantau seberapa besar gaya yang diterapkannya, memastikan harness kabel terpasang dengan kuat tanpa merusak komponen yang rapuh. Ini adalah lompatan dari otomasi “buta” menuju otomasi “cerdas” yang kontekstual.

Klaim CATL ini menjadi sangat menarik ketika dikontraskan dengan laporan kesulitan yang dihadapi robot humanoid lain selama uji coba pabrik. Beberapa masalah yang sering muncul adalah sendi yang terlalu panas (overheating) dan kegagalan dalam perakitan mekanis yang kompleks. Banyak sistem yang menarik perhatian melalui demonstrasi publik, namun belum membuktikan kemampuan mereka untuk beroperasi terus-menerus di lingkungan industri yang menuntut. Penerapan Moz oleh CATL, jika terbukti berkelanjutan, bisa menjadi penanda bahwa robot humanoid mulai bergeser dari fase eksperimen menuju peran praktis yang menghasilkan pendapatan di lantai pabrik.

Waktu pengumuman ini juga patut dicermati. Sektor robotika humanoid China sedang berkembang pesat, dengan beberapa analis sudah memperingatkan potensi kelebihan kapasitas (overcapacity) serupa dengan yang pernah dialami negara itu dalam manufaktur EV. Dalam kondisi seperti itu, keberhasilan penerapan nyata menjadi kunci diferensiasi. CATL, sebagai pemain dominan di pasar baterai global, memiliki tekanan dan insentif besar untuk meningkatkan efisiensi dan konsistensi produksi. Pilihan mereka untuk mengintegrasikan robot humanoid di titik kritis proses menunjukkan keyakinan yang tinggi terhadap teknologi ini. Ini bukan tentang menggantikan manusia secara membabi buta, tapi tentang meningkatkan keandalan di area di mana kelelahan atau variasi manusia dapat mempengaruhi kualitas.

Lantas, apa artinya bagi masa depan? Penerapan robot seperti Moz membuka pintu untuk otomasi tugas-tugas perakitan yang lebih kompleks dan halus, yang sebelumnya dianggap terlalu sulit untuk mesin konvensional. Kemampuannya beradaptasi dengan variasi di lapangan adalah kunci. Namun, tantangan berikutnya adalah skalabilitas dan biaya. Apakah solusi ini akan menjadi standar baru di pabrik-pabrik baterai lainnya? Bagaimana dengan pemeliharaannya? Keberhasilan CATL kemungkinan akan memicu gelombang eksperimen serupa dari kompetitor, sekaligus mendorong inovasi lebih lanjut di bidang sensor visi, aktuator, dan algoritma kontrol gaya.

Perkembangan ini juga tak lepas dari lanskap teknologi pendukung yang matang. Sistem visi yang canggih, seperti yang digunakan Moz, adalah tulang punggung dari “kecerdasan”nya. Kemajuan di bidang pemrosesan gambar dan AI telah memungkinkan robot “melihat” dan “memahami” lingkungan kerjanya dengan lebih baik. Di sisi lain, tuntutan daya untuk robot yang bekerja tanpa henti juga menghadirkan tantangan tersendiri bagi baterai yang mereka gunakan, sebuah ironi yang menarik mengingat CATL adalah produsen baterai. Inovasi dalam kapasitas dan ketahanan baterai, bahkan hingga ke teknologi solid-state yang sedang berkembang pesat, akan menjadi faktor penentu untuk durasi operasional robot semacam ini. Bahkan, tren baterai berkapasitas sangat besar yang mulai merambah perangkat mobile, seperti upaya ponsel dengan baterai 10.000 mAh, mencerminkan kebutuhan universal akan daya tahan yang lebih lama, termasuk untuk mesin-mesin di lantai pabrik.

Jadi, apakah kita sedang menyaksikan titik balik? Demo robot humanoid yang spektakuler namun rapuh mungkin akan mulai kehilangan pesonanya. Yang datang menggantikan adalah laporan-laporan kinerja di lapangan, angka keberhasilan, dan penghematan biaya yang riil. CATL dengan Moz-nya telah melemparkan sarung tangan. Klaim “penerapan skala besar” dan “kinerja setara manusia” adalah tantangan terbuka bagi seluruh industri robotika. Sekarang, pertanyaannya bukan lagi “Bisakah robot humanoid berjalan?” tapi “Bisakah mereka bekerja dengan andal, hari demi hari, dan membuktikan nilai investasinya?” Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan apakah robot humanoid benar-benar siap meninggalkan panggung demo dan mulai mengotori tangannya di lantai pabrik yang sesungguhnya.

Lenovo X1 Resmi Dirilis: Kamera Digital Simpel dengan Harga Terjangkau

0

Telset.id – Di tengah gempuran smartphone dengan kamera makin canggih, siapa sangka Lenovo justru meluncurkan kamera digital mandiri? Ya, raksasa teknologi asal Tiongkok itu baru saja secara resmi memperkenalkan kamera digital Lenovo X1 di pasar China. Dengan harga pre-order mulai dari 349 yuan atau sekitar Rp 800 ribu, Lenovo seolah ingin mengajak kita bernostalgia sekaligus menawarkan solusi fotografi yang lebih fokus dan sederhana. Apakah ini sekadar gimmick, atau justru celah pasar yang cerdas?

Targetnya jelas: pengguna yang menginginkan opsi simpel dan mudah didekati untuk memotret dan merekam video, tanpa harus berhadapan dengan kerumitan peralatan profesional. Dalam era di mana setiap orang bisa menjadi kreator konten, Lenovo X1 hadir sebagai jawaban bagi mereka yang lelah dengan gangguan notifikasi saat sedang asyik vlogging atau sekadar ingin menangkap momen perjalanan dengan perangkat yang didedikasikan khusus untuk itu. Lantas, apa saja yang ditawarkan oleh kamera digital mungil ini sehingga layak diperhitungkan?

Lenovo memposisikan X1 sebagai perangkat yang mudah digunakan, memberikan kualitas gambar andal dengan pengaturan minimal. Ini membuatnya cocok untuk vlog, rekaman perjalanan, dan dokumentasi kasual sehari-hari sebagai alternatif dari fotografi smartphone. Bayangkan, Anda tak perlu lagi membuka aplikasi edit atau terganggu panggilan masuk saat sedang merekam. Konsep “kamera khusus” ini mengingatkan kita pada kesuksesan beberapa perangkat niche lain di pasaran. Seperti yang pernah kami ulas dalam hands on Lenovo Vibe S1, brand ini memang punya sejarah dalam menghadirkan perangkat dengan pendekatan unik di segmen tertentu.

Lenovo X1 digital camera

Secara spesifikasi, Lenovo X1 mengusung bodi kompak dengan sentuhan retro yang menarik. Di dalamnya, terdapat sensor CMOS Sony berukuran 1/3 inci dengan resolusi 12 megapixel. Kamera ini mendukung zoom digital hingga 18x dan dilengkapi dengan 20 filter kecantikan bawaan yang memungkinkan pengguna menyesuaikan nada gambar dan smoothing kulit secara langsung. Untuk perekaman video, X1 mampu menangkap video 4K pada 30fps dan dilengkapi mode pemotretan cerdas yang membantu dalam pengenalan adegan dan kontrol eksposur otomatis.

Di bagian belakang, terdapat layar berukuran 2,8 inci dengan kaca melengkung 2.5D. Fitur praktis lainnya termasuk lampu isian LED untuk pemotretan dalam cahaya rendah, lubang tali untuk kemudahan dibawa ke mana-mana, dan dudukan tripod standar. Kemampuan transfer file via OTG juga disematkan, memungkinkan pengguna memindahkan video dan foto langsung ke smartphone atau perangkat lain tanpa perlu perantara PC. Penyimpanan eksternal didukung melalui slot kartu TF dengan kapasitas maksimal 128GB.

Daya tahan baterai dijamin oleh baterai internal berkapasitas 950mAh. Yang menarik, Lenovo juga menambahkan tata letak port segitiga dan struktur miring 2,5 derajat untuk meningkatkan kenyamanan genggaman dan penanganan selama sesi pemakaian yang lama. Ini adalah sentuhan ergonomis yang menunjukkan bahwa Lenovo tidak asal membuat produk, tetapi mempertimbangkan pengalaman pengguna. Pendekatan serupa dalam merancang perangkat untuk produktivitas hybrid juga bisa kita lihat pada Infinix XBOOK B14 yang didesain tahan banting.

Kehadiran Lenovo X1 tentu memantik pertanyaan: masih adakah ruang untuk kamera digital entry-level di tengah dominasi smartphone? Jawabannya mungkin terletak pada spesialisasi. Smartphone adalah perangkat serba bisa, tetapi kamera seperti X1 menawarkan pengalaman yang lebih fokus dan bebas gangguan. Ia hadir untuk memenuhi kebutuhan spesifik pengguna yang mungkin menginginkan perangkat dedicated untuk konten visual tanpa harus menginvestasikan dana besar untuk kamera mirrorless atau DSLR. Pilihan seperti ini seringkali dicari oleh mereka yang baru memulai atau yang menginginkan kemudahan tanpa ribet.

Lenovo X1 digital camera

Strategi harga 349 yuan juga terhitung sangat agresif. Dengan banderol tersebut, Lenovo X1 berpotensi menarik perhatian bukan hanya sebagai kamera pertama untuk anak-anak atau remaja, tetapi juga sebagai kamera saku kedua untuk traveler yang ingin lebih ringan. Dalam konteks pasar gadget yang lebih luas, kita melihat bagaimana brand berusaha menawarkan nilai di segmen terjangkau. Hal ini mirip dengan pencarian banyak orang terhadap laptop Core i5 terbaik dengan harga termurah, di mana performa yang memadai dan harga bersaing menjadi kunci.

Peluncuran Lenovo X1 ini juga menarik untuk dilihat dalam konteks perkembangan industri kamera secara keseluruhan. Di saat yang hampir bersamaan, merek premium seperti Leica baru saja memperkenalkan kamera kompak monokrom Q3 dan SL3 Reporter yang mendukung video 8K. Kedua dunia itu, kamera terjangkau dan kamera profesional high-end, tampaknya terus berkembang secara paralel. Ini membuktikan bahwa minat terhadap fotografi sebagai hobi dan profesi tetap tinggi, hanya saja kebutuhannya menjadi sangat tersegmentasi.

Jadi, apakah Lenovo X1 akan menjadi game changer? Mungkin tidak. Namun, kehadirannya adalah pengingat bahwa inovasi tidak selalu tentang spesifikasi tertinggi. Terkadang, inovasi itu tentang menyederhanakan, membuat sesuatu yang mudah diakses, dan mengisi celah yang diabaikan oleh pasar arus utama. Bagi Anda yang mencari alat bantu membuat konten visual yang simpel, tanpa kompromi dengan kualitas dasar, dan dengan budget terbatas, Lenovo X1 layak masuk dalam pertimbangan. Ia adalah bukti bahwa di era kompleksitas, kesederhanaan justru bisa menjadi nilai jual yang powerful.

Exynos 2600 Resmi: Chipset 2nm Samsung untuk Galaxy S26

0

Telset.id – Bayangkan sebuah chipset yang tidak hanya mengejar angka benchmark tertinggi, tetapi dirancang untuk bertahan. Di mana performa gim AAA tetap mulus setelah satu jam, dan asisten AI bekerja cerdas tanpa menguras baterai. Itulah janji yang dibawa Exynos 2600, prosesor flagship Samsung generasi berikutnya yang kini resmi diungkap. Setelah berbagai spekulasi dan bocoran, termasuk yang pernah kami bahas di Exynos 2600 Bocor Lagi, Performa Samsung Galaxy S26 Makin Gahar?, akhirnya kita mendapatkan gambaran lebih utuh tentang jantung dari Galaxy S26 mendatang.

Perubahan yang dibawa Exynos 2600 bukan sekadar peningkatan inkremental. Ini adalah pernyataan visi Samsung tentang masa depan smartphone flagship: sebuah platform yang mengutamakan performa berkelanjutan dan efisiensi cerdas. Jika selama ini Anda sering frustrasi dengan panas berlebih atau penurunan performa saat multitasking berat, chipset baru ini berambisi untuk menjawab keluhan itu. Lantas, apa saja yang membuat Exynos 2600 begitu berbeda? Mari kita selami lebih dalam.

Landasan paling fundamental dari Exynos 2600 adalah proses manufaktur 2nm GAA (Gate-All-Around). Ini adalah teknologi semikonduktor paling mutakhir Samsung, sebuah lompatan dari node FinFET sebelumnya. Secara sederhana, GAA memungkinkan kontrol yang lebih ketat terhadap transistor, yang berujung pada efisiensi daya yang jauh lebih baik. Bayangkan keran air yang bisa diatur alirannya dengan presisi tinggi, dibandingkan keran konvensional. Inilah yang memungkinkan chipset ini melakukan lebih banyak pekerjaan dengan daya yang lebih sedikit, sebuah fondasi krusial untuk semua klaim peningkatan lainnya. Meski demikian, seperti yang pernah diungkap dalam artikel Samsung Resmi Masuk Era 2nm, Tapi Produksi Exynos 2600 Terbatas, adopsi teknologi canggih ini mungkin tidak akan langsung masif.

Arsitektur CPU: Selamat Tinggal, “Little Cores”

Samsung mengambil pendekatan berani dalam desain CPU Exynos 2600. Mereka meninggalkan konfigurasi tradisional yang memisahkan core besar, menengah, dan kecil. Sebagai gantinya, chipset ini mengusung CPU deca-core (10-core) berbasis Arm v9.3 dengan satu core performa tertinggi C1-Ultra, tiga core performa C1-Pro, dan enam core efisiensi yang disebut “middle cores”.

Perubahan nomenklatur ini bukan sekadar gimmick. Dengan menghilangkan “little cores”, Samsung tampaknya ingin menyeimbangkan beban kerja dengan lebih merata. Enam core efisiensi yang lebih tangguh diharapkan dapat menangani tugas sehari-hari dengan lebih responsif dan hemat daya, sementara kuartet core performa siap melibas beban berat. Hasilnya? Klaim Samsung tentang peningkatan signifikan dalam komputasi dan konsumsi daya bukanlah hal yang mengejutkan. Arsitektur ini didukung set instruksi lanjutan yang khusus dirancang untuk mempercepat pemrosesan machine learning langsung di perangkat, membuka pintu bagi responsivitas AI yang lebih natural.

AI, GPU, dan Solusi Thermal: Trilogi Performa Tangguh

Jika CPU adalah otak, maka NPU (Neural Processing Unit) di Exynos 2600 adalah sistem sarafnya. AI menjadi tema sentral, dengan NPU yang ditingkatkan untuk mengeksekusi tugas AI generatif lebih cepat, dengan latensi dan konsumsi daya yang lebih rendah. Ini berarti fitur seperti edit foto berbasis AI, terjemahan real-time yang lebih akurat, atau asisten suara yang kontekstual dapat berjalan sepenuhnya di perangkat. Data Anda tetap privat, tanpa perlu dikirim ke cloud, dan responsnya bisa lebih instan.

Di sisi grafis, Xclipse 960 GPU hadir dengan ray tracing yang ditingkatkan dan teknologi upscaling berbasis AI bernama ENSS. Tujuannya jelas: gameplay yang lebih mulus dan visual yang lebih imersif, bahkan ketika smartphone beroperasi dalam batas daya ketat untuk menghemat baterai. Namun, semua kekuatan CPU, AI, dan GPU ini akan percuma jika chipset cepat panas dan melakukan thermal throttling.

Di sinilah inovasi bernama Heat Path Block berperan. Solusi thermal baru ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi disipasi panas, memungkinkan Exynos 2600 mempertahankan performa stabil lebih lama selama sesi gaming marathon atau proses AI intensif. Inilah inti dari filosofi “performa berkelanjutan” yang diusung Samsung.

Masa Depan Galaxy S26 dan Persaingan Chipset

Lalu, di mana Exynos 2600 akan diterapkan? Berdasarkan laporan, chipset ini diproyeksikan menggerakkan Galaxy S26 dan S26 Plus. Sementara itu, varian Ultra mungkin akan tetap mengusung Snapdragon 8 Elite Gen 5 untuk Galaxy, sebuah dinamika yang mengonfirmasi analisis sebelumnya tentang pembagian pasokan seperti dalam Qualcomm: 75% Galaxy S26 Pakai Snapdragon, Exynos 2600 Cuma 25%. Keputusan ini menunjukkan bahwa meski Samsung percaya diri dengan Exynos 2600, mereka mungkin masih mengakomodasi preferensi pasar tertentu dengan opsi Snapdragon di model paling premium.

Dilengkapi dengan dukungan kamera hingga 320 megapixel, pengurangan noise video tingkat lanjut, dan pemutaran video 8K, Exynos 2600 memang dirancang sebagai platform multimedia dan produktivitas yang komprehensif. Namun, pertanyaan besarnya tetap: apakah implementasi di dunia nyata dapat memenuhi janji-janji di atas kertas? Jawabannya akan terungkap ketika Galaxy S26 resmi meluncur. Satu hal yang pasti, dengan Exynos 2600, Samsung tidak hanya sekadar merilis chipset baru. Mereka sedang membentuk ulang ekspektasi kita tentang bagaimana sebuah smartphone flagship seharusnya berperforma: tangguh, efisien, dan cerdas, dari pagi hingga tengah malam.

Lenovo Legion 9i Resmi di Indonesia, Laptop Gaming 3D dengan Harga Fantastis

0

Telset.id – Bayangkan sebuah laptop yang mampu menghadirkan pengalaman visual 3D tanpa perlu kacamata khusus, dibalut material carbon fiber eksklusif, dan ditenagai spesifikasi yang setara dengan PC desktop kelas atas. Itulah realitas yang dibawa Lenovo Legion 9i ke pasar Indonesia. Dengan banderol harga yang nyaris menyentuh angka Rp 100 juta, laptop ini bukan sekadar perangkat gaming, melainkan sebuah pernyataan ambisi. Apakah investasi sebesar itu layak, atau ini hanya sebuah showcase teknologi untuk segelintir elite? Mari kita kupas lebih dalam.

Kehadiran Legion 9i di Indonesia menandai sebuah babak baru. Lenovo tidak lagi sekadar bermain di arena laptop gaming konvensional. Mereka melompat jauh ke depan, menawarkan sebuah “all-in-one device” yang menyasar dua pasar sekaligus: gamer hardcore yang tak mau kompromi dan profesional kreatif, khususnya game developer, yang membutuhkan kanvas digital yang luar biasa. Seperti yang ditekankan Hendry Lim, Consumer Product Manager Lenovo Indonesia, perangkat ini dirancang untuk mereka yang mencari performa dan spesifikasi di atas rata-rata, baik untuk menghancurkan musuh di game terbaru maupun untuk membangun dunia virtual dari nol.

Lalu, apa yang membuat harga Legion 9i begitu tinggi? Apakah hanya karena label “premium” atau ada substansi teknologi yang benar-benar revolusioner di dalamnya? Untuk memahami nilainya, kita perlu menyelami lebih dari sekadar angka-angka di spec sheet. Kita perlu melihat bagaimana Lenovo berusaha mendefinisikan ulang batas antara perangkat portabel dan stasiun kerja yang powerful.

Layar 3D: Bukan Sekadar Gimmick, Tapi Kanvas Baru untuk Kreator

Salah satu pilar utama Legion 9i adalah layar PureSight OLED berukuran 18 inci dengan kemampuan menampilkan konten 3D secara native, tanpa kacamata. Teknologi ini, yang mengandalkan pelacakan mata (eye tracking) dan lensa lentikular, mungkin terdengar seperti magic bagi kebanyakan orang. Bagi gamer, ini berarti immersion level yang sama sekali baru. Bayangkan karakter atau lingkungan game yang benar-benar “keluar” dari layar. Namun, nilai sebenarnya mungkin justru lebih terasa bagi para profesional.

Bagi game developer atau seniman 3D, fitur ini adalah alat visualisasi yang powerful. Mereka dapat melihat model asset, lingkungan, atau animasi dalam bentuk tiga dimensi secara langsung di laptop mereka, mempercepat proses iterasi dan pengambilan keputusan kreatif. Ini adalah contoh nyata bagaimana inovasi gaming sering kali beririsan langsung dengan kebutuhan produktivitas high-end. Inovasi visual semacam ini sejalan dengan langkah Lenovo dalam menghadirkan pengalaman imersif, seperti yang juga terlihat pada Lenovo AI Glasses V1, meski dengan pendekatan dan segmen pasar yang berbeda.

Performa Setara Desktop: Kekuatan di Balik Kemewahan

Sebagus apa pun layarnya, sebuah laptop gaming akhirnya dinilai dari kekuatannya. Di sinilah Legion 9i menunjukkan taringnya. Kombinasi prosesor Intel Core Ultra 9 Series 2 dan kartu grafis NVIDIA GeForce RTX 50 Series (generasi terbaru) adalah resep yang dirancang untuk menghandle apa pun, mulai dari game AAA dengan setingan maksimal hingga rendering kompleks dalam software 3D. Belum lagi dukungan RAM yang bisa dipasang hingga 192GB dan penyimpanan SSD hingga 8TB. Angka-angka ini lebih mirip spesifikasi workstation daripada laptop pada umumnya.

Namun, memadatkan kekuatan sebesar itu ke dalam bodi laptop selalu menjadi tantangan terbesar: panas. Lenovo mengandalkan sistem pendingin ColdFront dengan vapor chamber dan manajemen termal berbasis AI untuk menjaga suhu tetap terkendali. Di atas kertas, ini menjanjikan stabilitas performa bahkan di bawah beban berat. Keberhasilan implementasi sistem pendingin ini akan menjadi penentu utama apakah Legion 9i benar-benar bisa menjalankan peran sebagai “pengganti desktop” atau hanya mampu menunjukkan performa puncaknya dalam waktu singkat.

Desain dan Harga: Sebuah Pernyataan Eksklusivitas

Sentuhan akhir yang melengkapi paket premium Legion 9i adalah desainnya. Penggunaan material forged carbon fiber tidak hanya memberikan kesan mewah dan tangguh, tetapi juga membantu menjaga bobot agar tetap relatif rasional untuk laptop berlayar 18 inci. Setiap detail, dari sistem pendingin hingga material bodi, dirancang tanpa kompromi. Ambisi ini adalah bagian dari visi besar Lenovo dalam membangun ekosistem perangkat high-end, sebuah tema yang juga diusung dalam acara seperti Lenovo Smarter Experience yang memamerkan integrasi AI dan gaming.

Lalu, kita tiba pada angka yang paling banyak dibicarakan: Rp 99.999.000. Harga ini dengan tegas menempatkan Legion 9i jauh di atas segmen mainstream. Ia bukan untuk gamer casual yang mencari laptop untuk main game beberapa jam seminggu. Sasaran utamanya adalah profesional yang melihat perangkat ini sebagai alat produksi (seperti developer game), content creator yang membutuhkan mobilitas tanpa mengurangi kekuatan, dan tentu saja, enthusiast dengan anggaran tak terbatas yang menginginkan yang terbaik dari yang terbaik.

Bagi kebanyakan orang, investasi sebesar ini untuk sebuah laptop memang sulit dibenarkan. Sebuah PC desktop rakitan dengan budget serupa mungkin akan menawarkan performa yang lebih tinggi dan kemudahan upgrading. Namun, Legion 9i menjual sesuatu yang tidak dimiliki desktop: portabilitas tanpa mengurangi performa ekstrem dan keunikan fitur layar 3D. Ia ada untuk memenuhi ceruk yang sangat spesifik itu.

Jadi, apakah Lenovo Legion 9i layak disebut sebagai laptop gaming ultimate? Dari sisi spesifikasi dan inovasi, jawabannya cenderung iya. Ia membawa teknologi yang masih langka, performa yang sangat tinggi, dan desain yang premium. Namun, “ultimate” selalu bersifat subjektif dan bergantung pada kebutuhan. Bagi yang membutuhkan kekuatan portabel untuk kerja kreatif berat sekaligus ingin pengalaman gaming yang immersive, Legion 9i adalah sebuah opsi yang sangat menarik, meski harganya sangat premium. Bagi gamer biasa, mungkin perangkat lain dalam ekosistem Lenovo Legion yang lebih terjangkau, seperti headset Legion R360, akan terasa lebih masuk akal.

Pada akhirnya, kehadiran Legion 9i di Indonesia lebih dari sekadar peluncuran produk. Ini adalah penanda arah industri, menunjukkan bahwa pasar laptop high-end masih memiliki ruang untuk inovasi yang berani dan harga yang sangat tinggi. Lenovo tidak hanya menjual sebuah laptop; mereka menjual sebuah visi tentang masa depan komputasi portabel untuk gaming dan kreasi konten. Visi itu, untuk saat ini, memang datang dengan harga yang setara dengan sebuah mobil kota. Tertarik untuk memilikinya?

Epic Games Store Konfirmasi 17 Game Gratis untuk Event Liburan 2025

0

Telset.id – Epic Games Store kembali memulai tradisi tahunannya dengan membagikan game gratis untuk para pemain. Namun, tahun ini ada kejutan yang cukup besar. Platform distribusi digital tersebut secara resmi mengonfirmasi bahwa akan ada total 17 game gratis yang dibagikan sepanjang event liburan 2025, mengoreksi laporan sebelumnya yang menyebutkan hanya 16 judul. Ini adalah kabar gembira bagi para gamer yang ingin mengisi library mereka tanpa menguras dompet.

Event giveaway misteri tahunan Epic Games Store selalu dinanti. Seperti tahun-tahun sebelumnya, platform ini tidak sekadar membagikan game indie biasa, melainkan juga menyelipkan judul-judul AAA yang bernilai tinggi. Untuk memulai event liburan 2025 ini, Epic Games Store telah meluncurkan game misteri pertama yang diklaim sebagai judul AAA kritikus. Game ini akan tersedia secara gratis hingga tanggal 18 Desember 2025. Setelah itu, barulah parade game gratis harian dimulai, menandai dimulainya perburuan hadiah digital yang sesungguhnya.

Dengan konfirmasi 17 game gratis, jadwal event menjadi lebih jelas. Setelah game pertama berakhir, Epic Games Store akan memberikan satu game gratis setiap hari, dimulai dari 19 Desember 2025. Giveaway harian ini diprediksi akan berlangsung tanpa henti hingga tanggal 1 Januari 2026, yang akan menjadi hari ke-16 giveaway. Lalu, bagaimana dengan game ke-17? Game terakhir dalam event spesial ini dikabarkan akan tersedia selama seminggu penuh, mulai setelah event harian berakhir dan berakhir pada 8 Januari 2026. Jadi, para pemain punya waktu lebih lama untuk mengklaim game penutup ini.

Spekulasi dan Bocoran Mengenai Game Gratis Mendatang

Meskipun jumlahnya sudah dikonfirmasi, identitas game-game yang akan dibagikan masih diselimuti misteri. Epic Games Store terkenal akan kejutan-kejutannya, dan mereka belum memberikan petunjuk resmi apa pun. Namun, seperti biasa, dunia maya dipenuhi dengan spekulasi dan bocoran yang patut dipertimbangkan. Salah satu bocoran yang cukup dipercaya datang dari seorang leaker bernama HXL. Menurut bocoran yang dibagikan ulang olehnya, game misteri kedua yang akan muncul setelah 18 Desember bisa jadi adalah Jurassic World: Evolution 2.

Jika bocoran ini akurat, maka ini adalah penawaran yang sangat murah hati. Jurassic World: Evolution 2 adalah game manajemen dan simulasi yang biasanya dijual dengan harga sekitar $59.99. Memberikannya secara gratis tentu akan menjadi momentum besar bagi penggemar genre simulasi dan franchise Jurassic World. Namun, ingatlah bahwa ini masih sebatas bocoran, dan kebenarannya baru akan terungkap ketika countdown di halaman Epic Games Store berakhir.

Selain bocoran, ada juga prediksi yang beredar dari komunitas. Saluran YouTube Should You Play It? mengeluarkan daftar prediksi mereka sendiri mengenai game-game yang mungkin dibagikan. Prediksi mereka untuk game misteri kedua berbeda dengan bocoran HXL. Mereka menduga bahwa game tersebut adalah BioMenance Remastered, sebuah game yang memang dijadwalkan rilis pada 18 Desember 2025—tepat bertepatan dengan dimulainya periode giveaway kedua.

Prediksi dari Should You Play It? juga mencakup kemungkinan judul-judul lain yang akan muncul sepanjang event. Meskipun daftar prediksi ini menarik untuk disimak dan bisa memicu antusiasme, penting untuk menyikapinya dengan skeptisisme yang sehat. Epic Games Store terkenal sulit ditebak, dan seringkali kejutan terbaik datang dari arah yang tidak terduga. Baik daftar bocoran maupun prediksi ini sebaiknya hanya dijadikan bahan pembicaraan dan harapan, bukan kepastian.

Strategi Epic Games Store dan Manfaat bagi Gamer

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, mengapa Epic Games Store begitu royal membagikan game gratis? Jawabannya terletak pada strategi bisnis yang cerdas. Event giveaway besar seperti ini adalah magnet pengguna yang sangat kuat. Banyak pemain yang mungkin belum memiliki akun Epic Games Store atau jarang menggunakannya, akan datang untuk mengklaim game-game gratis tersebut. Begitu mereka sudah masuk ke dalam ekosistem, peluang untuk mereka membeli game lain, item dalam game (microtransactions), atau bahkan tertarik dengan eksklusifitas platform tersebut menjadi jauh lebih besar.

Bagi kita sebagai gamer, strategi ini adalah situasi win-win. Kita mendapatkan puluhan jam hiburan berkualitas tanpa biaya sepeser pun. Event ini juga menjadi kesempatan emas untuk mencoba genre atau franchise baru yang mungkin tidak akan kita beli secara normal. Siapa tahu, dari 17 game gratis tersebut, Anda menemukan game favorit baru yang selama ini terlewatkan. Selain itu, bagi para kolektor digital, event ini adalah cara terbaik untuk memperbesar library game secara signifikan dalam waktu singkat.

Jadi, apa yang perlu Anda lakukan? Pertama, pastikan Anda memiliki akun Epic Games Store. Kedua, tandai kalender Anda. Mulai dari sekarang hingga 18 Desember, klaim game misteri pertama yang masih tersedia. Setelah itu, biasakan diri untuk mengunjungi situs atau membuka launcher Epic Games Store setiap hari selama periode giveaway harian (19 Desember – 1 Januari) untuk mengklaim game yang baru. Jangan lupa untuk kembali seminggu setelah tahun baru untuk mengklaim game penutup yang ke-17. Dengan sedikit usaha, Anda bisa membawa puluhan game baru ke dalam koleksi Anda. Selamat berburu!

Menkomdigi Klaim 50% BTS di Aceh Sudah On Air Pascabencana

0

Telset.id – Bayangkan Anda berada di tengah bencana. Air menggenang, akses terputus, dan ketidakpastian menyelimuti. Di saat seperti itu, apa yang paling Anda butuhkan selain makanan dan tempat tinggal? Informasi. Koneksi. Sebuah tanda bahwa dunia luar masih ada dan bantuan sedang datang. Itulah mengapa kabar dari Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid soal pemulihan Base Transceiver Station (BTS) di Aceh bukan sekadar angka statistik, melainkan denyut nadi harapan yang perlahan kembali berdetak.

Dalam acara “Temu Nasional Pegiat Literasi Digital” di Jakarta, Rabu (17/12/2025), Meutya Hafid memaparkan perkembangan terkini infrastruktur telekomunikasi pascabencana banjir dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera. Fokus perhatian tertuju pada Aceh, di mana pemulihan menghadapi tantangan paling berat. Menurut Menkomdigi, hingga saat ini, sekitar 50 persen jumlah BTS di Provinsi Aceh telah dilaporkan beroperasi atau on air. Angka ini mengungkap sebuah realitas: separuh jalan telah ditempuh, namun separuh perjalanan lagi masih menanti dengan medan yang tak mudah.

“On air-nya (BTS) masih di angka 50 persen, sehingga memang masih terasa amat berat terutama di daerah-daerah seperti di Bener Meriah, Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan sebagainya karena listriknya belum stabil,” kata Meutya, menyentuh akar persoalan yang sering luput dari perbincangan: ketergantungan BTS pada pasokan listrik yang andal. Pemulihan menara sinyal ternyata bukan hanya soal memperbaiki antena atau perangkat pemancar, tetapi juga tentang menyalakan kembali gardu-gardu listrik yang ikut tumbang diterjang banjir. Inilah narasi pemulihan yang sebenarnya—sebuah upaya berantai yang melibatkan banyak pihak di garis depan.

Antara “Pulih” dan “Beroperasi”: Memahami Dua Wajah Pemulihan

Meutya Hafid kemudian memberikan penjelasan yang penting untuk dicermati. Ia membedakan antara BTS yang secara fisik telah recover (pulih) dan BTS yang benar-benar dapat dioperasikan. “Kalau dalam sudah recover (pulih) dalam arti tower-nya sudah berfungsi, itu memang di 87 persen,” ujarnya. Artinya, dari sisi perbaikan infrastruktur fisik, kemajuan sudah sangat signifikan. Hampir 9 dari 10 menara BTS di Aceh sudah berdiri kembali dan secara teknis siap berfungsi.

Lalu, mengapa hanya 50% yang on air? Di sinilah kompleksitasnya terletak. Keberfungsian sebuah BTS tidak hanya bergantung pada menara yang kokoh. Ia membutuhkan pasokan listrik yang stabil, akses jalan untuk perawatan, dan jaringan backhaul yang menghubungkannya ke inti jaringan. Ketika listrik belum stabil, seperti yang disinggung Meutya, BTS yang sudah diperbaiki pun hanya akan menjadi menara bisu. Pernyataan ini sekaligus merupakan apresiasi terselubung. “Kenapa perlu disebut, untuk mengapresiasi teman-teman operator juga yang meskipun keluarganya juga terdampak, di tengah bencana mereka coba memulihkan,” tutur Menkomdigi, menggarisbawahi human interest di balik angka-angka teknis tersebut.

Perbandingan dengan provinsi lain semakin mempertegas tantangan di Aceh. Data sementara yang dilaporkan Meutya menunjukkan pemulihan di Sumatra Barat (Sumbar) sudah mencapai 99 persen, sementara di Sumatra Utara (Sumut) sudah berada di kisaran 97-98 persen. Perbedaan yang mencolok ini mengindikasikan bahwa dampak bencana dan kondisi geografis di Aceh mungkin lebih kompleks, atau proses restorasi energi listriknya berjalan lebih lambat. Namun, di balik angka 50% itu, ada semangat gotong royong digital yang patut disorot.

Gotong Royong Digital: Ketika Operator, Starlink, dan SATRIA-1 Bersatu

Pemulihan ini jelas bukan kerja satu instansi. Meutya menegaskan kolaborasi yang terjalin erat. “Dan ini kerjanya bukan kerja Komdigi saja, kami koordinasi dengan seluruh operator seluler, bahkan Starlink, Satria-1 punya pemerintah, semuanya berjibaku.” Pernyataan ini menggambarkan sebuah ekosistem tanggap darurat digital yang mulai terbentuk. Masing-masing pihak membawa keunggulannya: operator seluler dengan jaringan BTS terestrialnya, Starlink dengan koneksi satelitnya yang cepat diterapkan, dan Satelit Republik Indonesia SATRIA-1 dengan cakupan luasnya untuk layanan pemerintahan dan publik.

Koordinasi data menjadi kunci lain. “Semua teman-teman operator juga mengkoordinasikan data-datanya di Komdigi sehingga kita tahu datanya yang cukup akurat,” tambah Meutya. Dalam situasi krisis, data yang akurat dan terpusat adalah kompas. Ia mencegah duplikasi usaha, mengarahkan bantuan ke daerah yang paling membutuhkan, dan memberikan gambaran real-time yang diperlukan untuk pengambilan keputusan. Model kolaborasi ini seharusnya menjadi blueprint untuk penanganan darurat digital di masa depan.

Lalu, apa urgensi dari semua upaya ini? Meutya menjawab dengan jelas: informasi. “Keberadaan BTS yang aktif memiliki peran penting bagi warga di daerah bencana, mengingat selain bantuan pokok seperti makanan, informasi menjadi hal penting yang sangat dibutuhkan khususnya dalam mengakses informasi darurat.” Di era digital, pemutusan akses komunikasi bukan hanya soal tidak bisa mengirim pesan; itu adalah pengasingan, penciptaan kepanikan, dan hambatan bagi logistik bantuan. Sinyal yang kembali hidup adalah pertanda bahwa isolasi telah berakhir.

Peran Komunikasi Publik yang Empatik di Tengah Krisis

Lebih dari sekadar membangun menara, Kementerian Komunikasi dan Informatika, di bawah kepemimpinan Meutya Hafid, menekankan pendekatan yang lebih manusiawi. “Komdigi juga punya peran komunikasi publik yang empati. Kita bukan kementerian infrastruktur yang langsung bergiat membangun jembatan-jembatan, tapi kita memahami bahwa dalam kerangka komunikasi di tengah bencana, komunikasi di tengah krisis, itu penting sekali untuk menyambung rasa,” kata Meutya.

Konsep “menyambung rasa” ini menarik. Ia mengangkat fungsi komunikasi dari level teknis (transmisi data) ke level psikologis dan sosial. Di saat bencana, warga tidak hanya butuh tahu di mana posko bantuan, tetapi juga butuh mendengar bahwa pemerintah hadir, bahwa sanak keluarga di luar zona bencana baik-baik saja, dan bahwa ada harapan. Pemulihan BTS 50% di Aceh, dalam perspektif ini, adalah pemulihan 50% kemampuan untuk “menyambung rasa” tersebut. Ini selaras dengan upaya pemerintah dalam aspek pemulihan lain, seperti sosialisasi perlindungan anak di ruang digital yang juga berangkat dari kepedulian.

Pendekatan empatik ini juga mencakup antisipasi risiko di ruang digital pascabencana, di mana kerentanan masyarakat bisa tinggi. Seperti yang pernah diingatkan dalam konteks lain, krisis bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pemulihan konektivitas harus diiringi dengan literasi dan pengawasan untuk memastikan ruang digital yang kembali hidup adalah ruang yang aman dan mendukung pemulihan.

Jadi, apa yang kita saksikan dari laporan Menkomdigi ini? Ini bukan sekadar laporan progres proyek. Ini adalah cerita tentang ketangguhan. Cerita tentang teknisi operator yang meninggalkan keluarga yang juga terdampak untuk memperbaiki BTS. Cerita tentang koordinasi lintas platform yang biasanya bersaing ketat. Cerita tentang memahami bahwa di abad 21, membangun jembatan komunikasi sama pentingnya dengan membangun jembatan fisik.

Angka 50% BTS on air di Aceh adalah gambaran bahwa perjalanan masih panjang. Tantangan pasokan listrik yang stabil di daerah seperti Bener Meriah dan Aceh Tamiang masih menjadi penghalang besar. Namun, angka 87% BTS yang secara fisik telah pulih adalah fondasi yang kuat untuk percepatan. Ketika listrik mulai normal, persentase BTS yang beroperasi bisa meloncat dengan cepat. Kolaborasi yang telah terjalin antara pemerintah, operator, dan penyedia satelit menjadi aset berharga untuk tahap-tahap pemulihan selanjutnya, tidak hanya di Aceh tetapi untuk seluruh Indonesia dalam menghadapi ancaman bencana di masa depan. Pada akhirnya, setiap persentase kenaikan BTS yang on air bukan hanya menambah kekuatan sinyal, tetapi juga memperkuat harapan dan ketahanan masyarakat yang sedang bangkit.

Netflix Games Akan Hadirkan Game FIFA Eksklusif Tahun Depan

0

Telset.id – Era baru persaingan game sepak bola resmi dimulai. Setelah bercerai dengan Electronic Arts (EA), FIFA akhirnya menemukan mitra baru untuk menghidupkan kembali waralaba simulasi sepak bolanya. Dan siapa sangka, platform yang dipilih bukanlah konsol PlayStation atau Xbox, melainkan layanan streaming yang sedang gencar berekspansi: Netflix Games. Pengumuman resmi ini menandai babak menarik dalam industri gaming, di mana batas antara hiburan streaming dan gaming kian kabur.

FIFA dan EA adalah pasangan legendaris yang membentuk memori kolektif gamer selama hampir tiga dekade. Perceraian mereka pada 2022 meninggalkan kekosongan. EA melanjutkan dengan EA Sports FC, sementara FIFA berjanji akan meluncurkan “game simulasi sepak bola FIFA utama baru” pada 2024. Janji itu ternyata molor, dan kini wujudnya justru datang dari arah yang tak terduga. Netflix mengumumkan bahwa “game simulasi sepak bola FIFA yang direimajinasi” akan dikembangkan oleh Delphi Interactive dan tersedia eksklusif bagi para pelanggannya tahun depan, bertepatan dengan gelaran Piala Dunia 2026. Ini adalah langkah berani yang sekaligus mengonfirmasi strategi baru Netflix di dunia gaming.

Lantas, seperti apa wajah game FIFA baru ini? Berdasarkan pernyataan CEO Delphi Interactive, Caspar Daugaard, filosofinya jelas: “sebuah game yang bisa dimainkan oleh siapa saja, di mana saja, dan langsung merasakan magis sepak bola.” Kalimat ini menjadi kunci untuk memahami arah yang diambil. Alih-alih menargetkan pasar hardcore yang sudah dimonopoli EA Sports FC dengan kompleksitas taktik dan kontrolnya, Netflix dan Delphi tampaknya sedang membidik audiens yang lebih luas dan kasual. Mereka ingin menangkap esensi kesenangan bermain sepak bola dalam format yang lebih mudah diakses.

Strategi ini semakin jelas dengan fitur yang diungkap: game ini didesain untuk menggunakan smartphone sebagai kontroler. Keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Menggunakan layar sentuh sebagai antarmuka utama akan membatasi kompleksitas input yang bisa diberikan. Sulit membayangkan gerakan-gerakan advance seperti skill moves yang rumit atau kontrol umpan terukur bisa diimplementasikan dengan nyaman hanya dengan sentuhan. Ini mengisyaratkan gameplay yang lebih sederhana, mungkin mengarah ke pengalaman arcade atau semi-simulasi yang mengutamakan kenyamanan dan kepraktisan. Seperti yang pernah kami bahas, Netflix memang sedang menguji coba penggunaan perangkat lain sebagai kontrol, termasuk kemungkinan menggunakan iPhone sebagai pengontrol untuk game Netflix di TV.

Pendekatan “game untuk semua” ini sejalan dengan transformasi strategi gaming Netflix sepanjang 2025. Perusahaan tampaknya belajar dari fase awal ekspansinya yang ambisius. Setelah membeli beberapa studio dan menggarap proyek-proyek besar, Netflix kini memilih untuk fokus. Mereka lebih selektif, membatalkan atau menyerahkan proyek-proyek yang terlalu ambisius, dan mengalihkan sumber daya ke genre yang lebih terjangkau: party games dan adaptasi franchise populer. Game FIFA baru ini, meski membawa nama besar, masuk dalam koridor “game yang bisa diakses” tersebut. Ini adalah langkah pragmatis setelah beberapa studio, seperti Spry Fox memilih untuk keluar dari naungan Netflix.

Di sisi lain, kolaborasi dengan Delphi Interactive patut dicermati. Studio ini relatif baru dan pengalaman besarnya adalah berkontribusi pada proyek “007 First Light” dari IO Interactive. Mengerjakan game berlisensi sebesar FIFA adalah lompatan besar. Tantangannya tidak main-main: mereka harus menciptakan pengalaman yang memuaskan bagi fans sepak bola, namun dengan kendala kontrol smartphone dan target audiens kasual. Apakah mereka bisa menemukan formula ajaib yang menggabungkan keduanya? Atau jangan-jangan, game ini justru akan lebih mirip dengan judul-judul arcade FIFA yang sudah ada, seperti FIFA Rivals atau FIFA Heroes, hanya dengan distribusi yang lebih masif melalui platform Netflix?

Keberhasilan game ini juga akan sangat bergantung pada kekuatan ekosistem Netflix Games sendiri. Sejauh ini, Netflix telah membangun katalog game yang bisa diakses gratis oleh pelanggan, sebuah nilai jual yang kuat. Menambahkan game berlabel FIFA ke dalam katalog itu adalah magnet besar. Ini bisa menjadi pintu masuk bagi jutaan pelanggan Netflix yang mungkin bukan gamer aktif, untuk mencoba gaming. Namun, pertanyaannya, apakah infrastruktur dan visibilitas game di dalam aplikasi Netflix sudah cukup untuk menyaingi dominasi App Store dan Google Play? Atau, akuisisi besar-besaran seperti yang pernah digosipkan diperlukan untuk benar-benar menggebrak pasar?

Pada akhirnya, kehadiran game FIFA eksklusif di Netflix Games adalah sinyal kuat. Sinyal bahwa perang platform game berikutnya mungkin tidak lagi terjadi di toko game khusus, tetapi di dalam aplikasi streaming yang sudah ada di genggaman kita. Netflix tidak ingin sekadar menjadi “Spotify untuk game,” mereka ingin game menjadi bagian organik dari siklus hiburan pelanggan: menonton serial Stranger Things, lalu langsung memainkan game-nya. Dengan membawa FIFA ke dalam strategi itu, mereka sedang melempar tantangan terbuka. Bukan hanya kepada EA, tetapi kepada seluruh industri yang mungkin masih meragukan masa depan cloud gaming dan gaming as a service. Tahun depan, ketika Piala Dunia 2026 memanaskan atmosfer sepak bola global, kita akan melihat apakah langkah Netflix ini gol sempurna atau justru tembangan melambung tinggi di atas mistar.