Beranda blog Halaman 59

Google Siapkan Desktop Mode untuk Android, Saingi Samsung DeX

0

Telset.id – Bocoran terbaru mengindikasikan Google sedang mempersiapkan fitur revolusioner untuk Android. Setelah bertahun-tahun menjadi penonton, raksasa teknologi ini akhirnya akan menghadirkan desktop mode sendiri, menyaingi Samsung DeX dan Motorola Smart Connect.

Berdasarkan laporan eksklusif yang menganalisis kode sumber bocoran, fitur yang dijuluki “Android Desktop Mode” ini akan menghadirkan pengalaman komputasi desktop penuh langsung dari smartphone Anda. Bayangkan: menghubungkan Pixel ke monitor eksternal dan langsung mendapatkan antarmuka mirip Windows atau Chrome OS, dengan jendela yang bisa diatur ulang, taskbar, dan manajemen aplikasi yang familiar.

Sebenarnya, jejak pertama fitur ini sudah terendus sejak 2023, tetapi sekarang perkembangan terbaru menunjukkan Google serius menyempurnakannya. Meski demikian, jangan terlalu berharap fitur ini akan datang bersama Android 16. Sumber menyebut antarmuka masih membutuhkan polesan akhir, dan kemungkinan besar baru akan meluncur bersama Android 17 pada generasi Pixel berikutnya.

Fitur ini diyakini akan bekerja melalui koneksi USB-C ke layar eksternal, meskipun kemungkinan opsi nirkabel juga sedang dipertimbangkan – mengikuti jejak Samsung dan Motorola yang sudah lebih dulu menawarkan fleksibilitas tersebut. Yang menarik, ada spekulasi bahwa fitur ini awalnya akan menjadi eksklusif untuk perangkat Pixel sebelum akhirnya tersedia untuk smartphone Android lainnya.

Lalu, apa yang membuat Android Desktop Mode istimewa? Fitur ini tidak sekadar memproyeksikan layar smartphone ke monitor besar. Google dikabarkan membangun sistem yang benar-benar mengubah paradigma:

  • Multitasking sejati: Buka beberapa aplikasi sekaligus dalam jendela yang bisa diatur ukurannya
  • Navigasi desktop: Taskbar, sistem notifikasi terpusat, dan kontrol yang dioptimalkan untuk mouse/keyboard
  • Transisi mulus: Beralih antara mode mobile dan desktop tanpa perlu restart aplikasi
  • Manajemen file: Sistem yang lebih powerful untuk mengelola dokumen dan data

Perkembangan ini menimbulkan pertanyaan menarik: apakah Google akan berkolaborasi dengan Microsoft untuk menyatukan Android dan Windows? Seperti diketahui, keduanya sama-sama mendukung arsitektur Oryon Cores. Bayangkan sebuah perangkat yang bisa menjalankan Android saat mode mobile dan Windows saat terhubung ke desktop – solusi yang mungkin lebih elegan daripada mengembangkan sistem dari nol.

Seperti dilaporkan sebelumnya di Android 16 Bebaskan Penyimpanan untuk Linux Terminal di Pixel, Google memang semakin serius mengembangkan kemampuan komputasi penuh di platform mobile mereka. Langkah ini juga bisa menjadi pendorong adopsi USB-C 3.0 yang lebih luas di kalangan produsen smartphone Android.

Sementara Apple dikabarkan juga sedang mengerjakan solusi serupa, Google memiliki keunggulan ekosistem Android yang sudah mapan. Pertanyaannya sekarang: apakah mereka bisa mengeksekusi ide ini dengan baik, atau akan terjebak dalam siklus pengembangan tanpa akhir seperti beberapa proyek ambisius mereka sebelumnya?

Dengan Google yang baru saja memperkenalkan AI Mode di Search, tampaknya perusahaan ini sedang dalam mode ofensif untuk menghadirkan inovasi-inovasi besar. Android Desktop Mode bisa menjadi game changer berikutnya – jika mereka bisa menghadirkannya tepat waktu dan dengan eksekusi sempurna.

Realme GT 7 Dream Edition Siap Meluncur, Ini Bocoran Spesifikasinya

0

Telset.id – Realme kembali memanaskan persaingan pasar smartphone global dengan rencana peluncuran GT 7 Dream Edition pada 27 Mei mendatang. Bocoran terbaru mengindikasikan, varian premium ini akan menjadi “senjata rahasia” Realme untuk menyaingi flagship dari merek-merek ternama.

Mengutip unggahan resmi akun X Realme India, perusahaan mengunggah teaser bergambar mobil F1 yang diselimuti kain. Meski tidak merinci spesifikasi, teaser ini menyiratkan GT 7 Dream Edition akan mengusung tema balap dan performa tinggi. Tanggal 20 Mei disebut sebagai waktu pengungkapan detail lebih lanjut.

Spesifikasi yang Bikin Penasaran

Realme belum membocorkan spesifikasi resmi GT 7 Dream Edition. Namun, berdasarkan varian GT 7 global yang sudah diumumkan, kita bisa memperkirakan beberapa fitur andalannya. GT 7 global diketahui menggunakan chipset Dimensity 9400e, baterai 7.000 mAh, dan dukungan pengisian cepat 120W.

Menariknya, GT 7 Dream Edition kemungkinan akan melampaui spesifikasi tersebut. Analis industri memperkirakan, Realme akan menyematkan chipset yang lebih bertenaga, mungkin Dimensity 9400+, serta kapasitas baterai yang lebih besar. Desain premium dengan material kelas atas juga menjadi salah satu daya tarik yang diunggulkan.

Peluncuran Serentak di Pasar Global

Tak hanya di India, Realme GT 7 Dream Edition juga akan diluncurkan secara global. Hal ini terlihat dari unggahan akun X Realme global yang menampilkan teaser serupa dengan tagar #2025FlagshipKiller. Peluncuran akan digelar di Paris, Prancis, pada 27 Mei pukul 13.30 IST (17.00 WIB).

Selain GT 7 Dream Edition, Realme juga akan memperkenalkan GT 7 dan GT 7T di hari yang sama. GT 7T khusus dirancang untuk pasar India dengan sedikit penyesuaian spesifikasi. Realme juga akan meluncurkan Buds Air7 Pro, earphone TWS terbarunya yang sebelumnya sudah dirilis di China.

Dengan strategi peluncuran yang matang dan spesifikasi yang menjanjikan, Realme GT 7 Dream Edition berpotensi menjadi pesaing serius di kelas flagship. Namun, apakah performanya bisa mengimbangi hype yang dibangun? Kita tunggu saja pengumuman resminya pada 27 Mei mendatang.

Netflix Akan Luncurkan Iklan AI di 2026, Akankah Pengguna Kabur?

Telset.id – Jika Anda masih menganggap Netflix sebagai surga bebas iklan, bersiaplah untuk kenyataan pahit. Platform streaming raksasa ini telah mengumumkan rencana untuk meluncurkan iklan berbasis AI pada 2026—sebuah langkah kontroversial yang bisa mengubah wajah industri streaming selamanya.

Dalam acara Upfront untuk para pengiklan, Amy Reinhard, Presiden Divisi Periklanan Netflix, memamerkan fitur baru berupa iklan interaktif yang akan muncul di tengah tayangan atau saat pengguna menekan tombol pause. Iklan-iklan ini akan menggunakan teknologi generative AI untuk menyesuaikan konten dengan preferensi penonton. Sebuah ironi mengingat Netflix dulu terkenal karena model bisnisnya yang bebas iklan sejak era pengiriman DVD di tahun 1997.

Netflix AI Ads Concept

Dari Pahlawan ke “Penjahat”?

Seperti kutipan Harvey Dent di The Dark Knight, Netflix mungkin telah hidup cukup lama untuk berubah menjadi “penjahat” di mata penggemar setianya. Langkah ini bukan yang pertama kalinya Netflix bermain dengan AI. Sebulan sebelumnya, mereka menguji fitur pencarian berbasis OpenAI untuk membantu pengguna menemukan konten sesuai preferensi. Namun, iklan AI jelas merupakan lompatan besar yang bisa memicu reaksi keras.

Reinhard menegaskan, “Dasar bisnis iklan kami sudah terbentuk, dan ke depan, laju inovasi akan semakin cepat.” Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa Netflix tidak akan berhenti di sini. Dengan kenaikan harga berkelanjutan untuk paket tanpa iklan, banyak pengguna mungkin terpaksa beralih ke paket standar yang lebih terjangkau—meski harus menerima kehadiran iklan.

Masa Depan yang Tak Terhindarkan?

Netflix bukan satu-satunya pemain yang bereksperimen dengan AI. Seperti yang terjadi pada Google yang masuk ke bisnis film atau YouTube yang mencapai 20 miliar unggahan, teknologi terus mendorong batas-batas baru. Namun, pertanyaannya adalah: sejauh mana pengguna bersedia berkompromi?

Bayangkan menonton Squid Game hanya untuk disodori iklan burger di tengah adegan paling menegangkan. Atau, saat Anda pause untuk mengambil minuman, layar tiba-tiba menawarkan diskon produk kecantikan. Jika ini membuat Anda frustrasi, opsi lain adalah beralih ke alternatif Netflix gratis—meski dengan kualitas yang mungkin tak sebanding.

Netflix telah membuktikan kemampuannya bertahan dalam persaingan ketat. Tapi, apakah langkah ini akan memperkuat posisinya atau justru memicu eksodus massal? Jawabannya akan terungkap di 2026.

Bocoran Spesifikasi Radeon RX 7500: GPU Entry-level AMD yang Tak Pernah Rilis

Telset.id – Apa jadinya jika AMD merilis GPU entry-level dengan spesifikasi terpotong dan kapasitas VRAM terbatas? Bocoran terbaru mengungkap keberadaan Radeon RX 7500, kartu grafis berbasis arsitektur RDNA 3 yang seharusnya menjadi jawaban bagi gamer budget terbatas. Namun, mengapa AMD akhirnya membatalkan peluncurannya?

Berdasarkan gambar yang dibocorkan oleh akun Twitter @GOKForFree, RX 7500 menggunakan die NAVI 33 XE dengan 1536 Stream Processors—versi yang lebih ringkas dibanding NAVI 33 pada RX 7600. Yang mengejutkan, GPU ini hanya memiliki antarmuka memori 96-bit, membatasi kapasitas VRAM-nya pada 6 GB GDDR6. Bandingkan dengan ponsel entry-level yang justru menawarkan nilai lebih di segi performa harian.

RX 7500 GPU

Spesifikasi yang Mengecewakan?

GPU-Z mengonfirmasi spesifikasi RX 7500, meski tidak sepenuhnya mengenali kartu ini karena statusnya yang tidak resmi. Bocoran menyebutkan GPU ini hanya berjalan pada frekuensi 300 MHz—angka yang sangat rendah untuk standar gaming modern. Sebagai perbandingan, perangkat entry-level sekalipun kini sudah mengadopsi teknologi lebih maju.

RX 7500 GPU GPU-Z

Mengapa AMD Membatalkan RX 7500?

AMD tampaknya belajar dari kegagalan seri RX 6400/6500 XT yang dikritik karena VRAM minim dan bottleneck PCIe. Dengan pasar yang mulai meninggalkan GPU 6 GB, RX 7500 mungkin dianggap terlalu lemah untuk gaming 2024. Mirip seperti Zenfone Live L1 yang akhirnya tersisih oleh tuntutan pasar.

Meski demikian, kehadiran RX 7500 dalam daftar dukungan AIDA64 memicu spekulasi bahwa AMD mungkin masih menyimpan rencana untuk seri RX 7300/7400. Namun, dengan tren harga GPU saat ini, peluang itu terlihat semakin tipis.

Microsoft Luncurkan Command Palette, Pengganti PowerToys Run yang Lebih Canggih

Telset.id – Jika Anda pengguna Windows yang gemar memaksimalkan produktivitas dengan shortcut, bersiaplah untuk terkesima. Microsoft baru saja memperkenalkan Command Palette, penerus PowerToys Run yang dijanjikan jauh lebih powerful. Fitur ini hadir dengan kemampuan setara Spotlight milik Mac, plus beberapa keunggulan yang mungkin membuat Anda bertanya: “Kenapa tidak dari dulu?”

Seperti dilaporkan The Verge, Command Palette bukan sekadar upgrade kosmetik. Ia membawa revolusi dalam hal pencarian dan eksekusi tugas di Windows. Bayangkan bisa mencari aplikasi, folder, atau file spesifik hanya dengan mengetik di bilah pencarian—tanpa perlu membuka File Explorer. Bahkan, Anda bisa melakukan kalkulasi matematis langsung dari search bar, atau menjalankan web search tanpa membuka browser terlebih dahulu.

Command Palette

Lebih dari Sekadar Pencarian

Yang membuat Command Palette istimewa adalah kemampuannya menjalankan perintah sistem secara langsung. Ingin membuka Control Panel atau menjalankan disk cleanup? Cukup ketik perintahnya. Fitur ini juga memungkinkan Anda membuka website langsung dari hasil pencarian, mirip dengan iPhone Mirroring di macOS Sequoia yang memungkinkan kontrol perangkat dari sistem berbeda.

Microsoft sengaja merilis Command Palette jelang konferensi Build tahun ini, menandakan betapa seriusnya mereka menyasar segmen power user. Dan ini bukan akhir dari cerita—Command Palette mendukung ekstensi, memungkinkan Anda menambahkan fitur khusus untuk aplikasi favorit.

Ekstensi dan Kustomisasi Tanpa Batas

XDA Developers yang sudah mencoba Command Palette mengungkap, Anda bisa mencari ekstensi melalui WinGet atau Microsoft Store langsung dari antarmuka Command Palette. Bahkan tersedia opsi untuk membuat proyek ekstensi baru jika Anda ingin mengembangkan fitur khusus sendiri. Fleksibilitas ini mengingatkan pada fitur multitasking macOS Ventura, tapi dengan pendekatan yang lebih terbuka.

Akses Command Palette dengan menekan Win + Alt + Space. Dari jendela yang muncul, Anda bisa melihat berbagai aksi yang tersedia dan mengakses Settings untuk menyesuaikan pengalaman penggunaan. Di sini, Anda bisa mengubah shortcut keyboard, memprogram tombol Backspace untuk kembali ke halaman sebelumnya, atau mengatur aktivasi item dengan sekali klik.

Dengan segala kemampuannya, Command Palette bukan sekadar pengganti PowerToys Run—ia adalah lompatan besar Microsoft dalam menyederhanakan kompleksitas Windows untuk pengguna tingkat lanjut. Pertanyaannya sekarang: apakah Anda siap meninggalkan kebiasaan lama dan beralih ke cara baru yang lebih efisien ini?

The Legend of Aang: The Last Airbender Ditunda Lagi, Kini Rilis Oktober 2026

Telset.id – Kabar buruk bagi penggemar Avatar: The Last Airbender. Paramount Pictures baru saja mengumumkan penundaan kedua untuk film live-action The Legend of Aang: The Last Airbender. Setelah sebelumnya dijadwalkan tayang pada 30 Januari 2026, film ini kini akan dirilis pada 9 Oktober 2026. Apa penyebabnya?

Menurut laporan eksklusif Variety, Paramount tidak memberikan alasan spesifik untuk penundaan ini. Namun, ini bukan kali pertama film tersebut mengalami perubahan jadwal. Sebelumnya, film yang mengisahkan petualangan Aang dan Team Avatar setelah serial animasi legendaris tahun 2005 itu juga sempat diundur dari tanggal rilis awalnya, 10 Oktober 2025.

Kabar Baik di Balik Penundaan

Meski penundaan ini mungkin mengecewakan, ada sisi positifnya. Paramount juga memundurkan rilis sekuel Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem 2 dari 9 Oktober 2026 ke 17 September 2027. Langkah ini membuka slot rilis musim gugur untuk The Legend of Aang, yang dianggap lebih strategis dibanding rilis Januari yang cenderung sepi.

“Rilis musim gugur biasanya lebih menarik perhatian penonton dan kritikus,” kata seorang analis industri film yang enggan disebutkan namanya. “Ini bisa menjadi langkah cerdas untuk memaksimalkan potensi film.”

Logo baru The Legend of Aang: The Last Airbender

Untuk menenangkan para penggemar, Paramount merilis logo baru film tersebut di akun Instagram resminya. Logo ini menunjukkan desain yang lebih modern namun tetap mempertahankan nuansa mistis yang khas dari dunia Avatar.

Tetap dengan Cast dan Kru yang Sama

Kabarnya, tidak ada perubahan dalam daftar pemain dan kru yang sudah diumumkan sebelumnya. Dave Bautista, Steven Yeun, dan Eric Nam tetap terlibat dalam proyek ini, dengan Lauren Montgomery dan William Mata sebagai sutradara. Kabar ini setidaknya memberikan sedikit kepastian bagi fans yang khawatir akan perubahan drastis.

Bagi yang tidak sabar menunggu, Netflix telah memperbarui serial live-action Avatar: The Last Airbender untuk dua musim tambahan, dengan musim berikutnya dijadwalkan rilis awal 2026. Sementara itu, bagi yang ingin melihat Avatar baru, serial berjudul Avatar: Seven Havens akan memperkenalkan Avatar berikutnya pada 2027.

Penundaan film memang kerap terjadi di industri Hollywood, seperti yang terjadi pada Kraven the Hunter atau Daredevil: Born Again. Namun, semoga penantian ini akan terbayar dengan kualitas film yang memuaskan.

Xbox Rombak Tampilan Home Screen, Lebih Personal dan Minim Clutter

Telset.id – Bagi Anda yang sering merasa terganggu dengan tampilan berantakan di layar utama Xbox, kabar gembira datang dari Microsoft. Perusahaan raksasa teknologi ini akan menghadirkan pembaruan besar untuk antarmuka Xbox, memungkinkan pengguna menyesuaikan pengalaman bermain sesuai preferensi pribadi.

Bocoran terbaru mengindikasikan bahwa Xbox Insiders—program penguji fitur baru Microsoft—akan mendapatkan tiga opsi kustomisasi baru dalam pembaruan minggu ini. Perubahan ini bertujuan memberikan sentuhan personal yang lebih kuat pada dashboard konsol, sekaligus mengurangi kekacauan visual yang selama ini kerap dikeluhkan pengguna.

Lebih Cepat, Lebih Rapi

Fitur pertama yang patut disambut gembira adalah kemampuan untuk mem-pin hingga tiga game atau aplikasi favorit di daftar “recently played”. Dengan ini, judul-judul pilihan Anda akan tetap berada di posisi terdepan meskipun Anda sesekali membuka aplikasi lain. Tidak perlu lagi mencari-cari game favorit yang tenggelam di antara deretan aplikasi yang jarang digunakan.

Microsoft juga menyediakan opsi “Hide System Apps” untuk menyembunyikan aplikasi sistem yang kurang penting. Fitur ini secara signifikan akan mengurangi visual clutter, membuat latar belakang dinamis Xbox Anda lebih terlihat. “Kami mendengar banyak masukan bahwa Home seharusnya terasa lebih seperti ruang pribadi Anda,” tulis Eden Marie, Principal Software Engineering Lead of Xbox Experiences, dalam postingan blog resmi Xbox.

Tampilan baru home screen Xbox dengan fitur kustomisasi

Kontrol Penuh di Tangan Pengguna

Fitur ketiga yang tak kalah menarik adalah “Reduce Tile Count”, yang memungkinkan Anda menentukan berapa banyak tile yang ditampilkan di daftar game dan aplikasi terbaru. Sayangnya, Microsoft masih melakukan penyempurnaan pada fitur ini dan baru akan merilisnya dalam waktu dekat.

Pembaruan ini sejalan dengan tren personalisasi yang semakin digemari di industri gaming. Seperti dilaporkan sebelumnya di Telset.id, Xbox terus menunjukkan dominasinya di pasar konsol dengan inovasi-inovasi yang berfokus pada pengalaman pengguna.

Pembaruan ini akan tersedia terlebih dahulu untuk pengguna Alpha Skip-Ahead dan Alpha. Bagi yang penasaran ingin mencoba fitur-fitur baru ini lebih awal, bergabunglah dengan program Xbox Insiders. Namun, jika Anda lebih memilih versi stabil, mungkin perlu bersabar sedikit lebih lama.

Satu pertanyaan besar masih menggantung: akankah Microsoft suatu hari nanti memberikan opsi untuk menyembunyikan iklan di homescreen? Untuk sementara, setidaknya kita bisa bernapas lega dengan pembaruan yang lebih memprioritaskan kenyamanan pengguna ini.

Google Photos Siapkan Fitur Remix, Ubah Foto Jadi Karya Seni AI

0

Telset.id – Jika Anda penggemar transformasi foto ala AI seperti gaya anime atau claymation, bersiaplah untuk fitur baru dari Google. Bocoran terbaru mengindikasikan Google Photos sedang mengembangkan alat bernama “Remix” yang memungkinkan pengguna mengubah foto biasa menjadi karya seni dengan berbagai gaya kreatif.

Berdasarkan analisis APK versi 7.29 oleh Android Authority, fitur yang secara internal disebut “bluejay” ini tampaknya masih dalam pengembangan. Namun, string kode yang ditemukan menunjukkan kemampuan menarik: pengguna bisa menerapkan berbagai gaya seni pada foto yang sudah di-backup ke Google Photos.

This Google AI-powered photo feature could rival what you're doing in ChatGPT

Bagaimana Cara Kerja Remix?

Menurut temuan tersebut, akses ke fitur Remix mungkin akan tersedia melalui tombol + di header aplikasi. Yang menarik, fitur ini tidak hanya berlaku untuk foto tunggal, tetapi juga kemungkinan bisa diaplikasikan pada koleksi foto dalam fitur Moments (sebelumnya bernama Memories).

Fenomena transformasi gambar dengan AI memang sedang naik daun. Seperti yang pernah kami bahas dalam artikel tentang Gemini 2.5 Pro, kemampuan AI generatif dalam mengolah gambar telah berkembang pesat. Mulai dari mengubah foto menjadi karakter Ghibli hingga versi Funko Pop, tren ini telah menyapu media sosial.

Several AI (ChatGPT) image generation styles based on my profile image (Funko pop, Anime, Muppet, and Claymation)

Responsible AI dan Integrasi yang Mulus

Yang membedakan, Google tampaknya mempertimbangkan aspek etika dalam pengembangan fitur ini. Kode tersebut menunjukkan adanya “policy guardrails” untuk memblokir konten tidak pantas, serta opsi bagi pengguna untuk menghasilkan ulang remix atau menyimpan hasil yang disukai.

Integrasi langsung dengan Google Photos juga menjadi nilai tambah. Seperti yang terjadi dengan fitur enkripsi email Google, kemudahan akses sering kali menjadi faktor penentu adopsi teknologi baru.

Meski belum ada konfirmasi resmi dari Google, kemungkinan besar fitur ini akan menjadi bagian dari layanan berbayar Gemini Advanced, terutama untuk pengguna non-Pixel. Pertanyaan besarnya: apakah kualitas remix Google bisa menyaingi alat AI lain yang sudah ada di pasaran?

Dengan persaingan ketat di ruang AI generatif, termasuk dari produk-produk Google lainnya, Remix bisa menjadi senjata baru untuk mempertahankan relevansi Google Photos di era ledakan kreativitas berbasis AI.

Mazda EZ-6 Sports Edition Resmi Meluncur di China dengan Desain dan Fitur Canggih

0

Telset.id – Jika Anda mengira Mazda hanya fokus pada mesin konvensional, siap-siap terkejut. Lewat joint venture dengan Changan, Mazda baru saja meluncurkan EZ-6 Sports Edition di China—sebuah sedan elektrifikasi yang menggabungkan DNA desain KODO dengan teknologi mutakhir. Model ini dikembangkan kolaboratif oleh tim Jepang, China, dan Eropa, menandai babak baru strategi elektrikasi Mazda di pasar otomotif terbesar dunia.

Dengan panjang 4.921 mm dan wheelbase 2.895 mm, EZ-6 Sports Edition menawarkan proporsi yang lebih agresif dibanding sedan Mazda konvensional. Desain depannya mempertahankan grille signature brand asal Hiroshima, tetapi dengan sentuhan modern seperti lampu utama split-structure yang ditempatkan di bawah daytime running lights. Fitur pencahayaan “Wings of Light” dan emblem Mazda yang bisa menyala (opsional) menambah kesan futuristik.

Desain depan Mazda EZ-6 Sports Edition dengan grille dan lampu split-structure

Diferensiasi Visual yang Subtle tapi Berkelas

Sebagai varian Sports, model ini dibedakan dengan trim eksterior hitam, penutup kaliper rem merah, serta interior berbahan Alcantara hitam dengan jahitan merah-hitam. Elemen gelap juga hadir di konsol tengah dan ventilasi udara—sebuah pendekatan yang lebih mengedepankan penyempurnaan estetika ketimbang perubahan struktural besar.

Meski spesifikasi resmi belum dirilis, Mazda kemungkinan mempertahankan dua opsi powertrain dari varian standar: versi extended-range (EREV) dengan mesin 1.5L dan motor listrik 160 kW, serta versi battery-electric (BEV) bertenaga 190 kW. Yang menarik, EREV diklaim mampu menempuh 1.301 km (standar CLTC) dengan konsumsi bahan bakar hanya 3.6L/100 km—angka yang cukup kompetitif di kelasnya.

Interior Mazda EZ-6 Sports Edition dengan jahitan merah-hitam dan bahan Alcantara

Teknologi Kabin yang Impresif

Di dalam kabin, EZ-6 Sports Edition menyuguhkan layar infotainment 14.6 inci yang dipadukan dengan head-up display augmented reality selebar 50 inci—ditenagai chip Qualcomm Snapdragon 8155. Sistem audio 14-speaker dari Sony dan lampu ambient 64 warna melengkapi pengalaman berkendara premium. Tak ketinggalan, fitur keselamatan seperti sembilan airbag (termasuk far-side airbag) dan sertifikasi standar crash test Eropa.

Basis platform EPA milik Changan memungkinkan fleksibilitas pengembangan untuk berbagai konfigurasi elektrifikasi. Kerjasama strategis dengan CATL melalui teknologi CIIC (Cell to Chassis) juga menjanjikan efisiensi produksi lebih baik untuk model listrik Mazda di masa depan.

Sistem infotainment dan head-up display Mazda EZ-6

Di luar China, EZ-6 akan dipasarkan sebagai Mazda 6e—sebuah langkah rebranding yang menarik mengingat warisan nama “6” pada lini sedan Mazda. Sayangnya, harga dan tanggal peluncuran global belum diumumkan. Namun dengan persaingan ketat di segmen sedan listrik China—termasuk dari Xiaomi SU7 yang baru saja masuk pasar—strategi penetapan harga akan menjadi kunci kesuksesan EZ-6.

Lantas, apakah Sports Edition ini sekadar gimmick atau benar-benar menawarkan peningkatan performa? Jawabannya mungkin terletak pada penyempurnaan suspensi dan tuning berkendara yang diharapkan bisa mempertahankan “Jinba Ittai”—filosofi menyatu antara pengemudi dan mobil yang menjadi DNA Mazda. Dengan kolaborasi lintas negara dan komitmen pada elektrifikasi, EZ-6 bisa menjadi penanda dimulainya era baru untuk Mazda di pasar global.

Solusi Baru: Pusat Data AI di Luar Angkasa untuk Atasi Krisis Energi Bumi

0

Telset.id – Bayangkan jika kebutuhan listrik untuk kecerdasan buatan (AI) melampaui kapasitas Bumi. Itulah yang sedang terjadi saat ini. Mantan CEO Google, Eric Schmidt, memprediksi konsumsi listrik pusat data AI akan melonjak dari 3% menjadi 99% dari total kebutuhan global. Solusinya? Mungkin harus dicari di luar angkasa.

Schmidt baru-baru ini mengakuisisi perusahaan roket Relativity Space dengan tujuan ambisius: membangun pusat data di orbit. Langkah ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, permintaan energi untuk AI tumbuh secara eksponensial dan tidak berkelanjutan jika hanya mengandalkan sumber daya Bumi.

Konsep pusat data luar angkasa dengan panel surya mengorbit Bumi

Krisis Energi yang Tak Terelakkan

Dalam sidang House Committee on Energy and Commerce, Schmidt memaparkan fakta mengejutkan. “Orang-orang merencanakan pusat data 10 gigawatt,” ujarnya. Sebagai perbandingan, pembangkit listrik tenaga nuklir di AS rata-rata hanya menghasilkan 1 gigawatt.

Masalahnya, perusahaan AI seperti OpenAI terkenal tertutup tentang konsumsi energi mereka. Namun, perkiraan International Energy Agency menyebut satu kueri ChatGPT membutuhkan listrik 10 kali lebih banyak daripada pencarian Google biasa.

Memanfaatkan Orbit Geostasioner

Konsep Schmidt adalah menempatkan pusat data di orbit geostasioner, sekitar 35.786 km di atas Bumi. Di sana, panel surya bisa menangkap sinar matahari 24 jam tanpa terhalang atmosfer atau siklus siang-malam.

Namun tantangannya besar. Relativity Space belum pernah sukses meluncurkan roket ke orbit. Terran R, roket andalan mereka, baru akan diuji tahun depan. Selain itu, masalah sampah antariksa dan gangguan observasi astronomi juga perlu dipertimbangkan.

Seperti yang terjadi pada misi Cina yang gagal meluncurkan pesawat antariksa, teknologi luar angkasa masih penuh ketidakpastian.

Masa Depan atau Ilusi?

Beberapa ahli meragukan kelayakan rencana ini. Gary Marcus, pendiri Geometric Intelligence, menyebut model bahasa besar (LLM) saat ini “brilian tapi bodoh”. Ada juga kekhawatiran tentang hukum skala yang mulai menunjukkan batasannya.

Namun, jika berhasil, ini bisa menjadi terobosan besar. Seperti foto lubang hitam pertama NASA, proyek ini bisa mengubah cara kita memandang hubungan antara teknologi dan ruang angkasa.

Schmidt mungkin sedang menciptakan pasar baru. Tapi seperti SpaceX yang harus menunda misi Polaris Dawn, jalan menuju orbit tak pernah mulus. Pertanyaannya: apakah kita siap membayar harga kemajuan teknologi yang semakin mahal ini?

Baterai EV Raih Lonjakan Daya Ganda dengan Teknologi Baru Ini

0

Telset.id – Jika Anda mengira baterai lithium-ion (LIB) konvensional sudah mencapai puncak kemampuannya, penelitian terbaru dari Korea Selatan siap mengejutkan Anda. Para ilmuwan berhasil meningkatkan kepadatan energi sel baterai hingga 60% dengan mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam teknologi penyimpanan energi modern.

Revolusi Material Anoda Silikon

Tim peneliti dari POSTECH dan Sogang University menemukan bahwa material silikon sebenarnya memiliki potensi luar biasa sebagai anoda baterai generasi berikutnya. “Silikon mampu menyimpan lithium ion hampir sepuluh kali lebih banyak dibandingkan material grafit yang umum digunakan saat ini,” jelas Profesor Soojin Park dari POSTECH, salah satu pemimpin penelitian ini.

Namun, masalah utama yang dihadapi adalah sifat silikon yang mengalami ekspansi dan kontraksi volume dramatis – hingga tiga kali ukuran aslinya – selama proses pengisian dan pengosongan daya. Perubahan volume ini menciptakan celah mekanis antara elektroda dan elektrolit, yang dengan cepat menurunkan performa baterai.

Solusi Inovatif: Sistem IEE

Untuk mengatasi masalah ini, para peneliti mengembangkan sistem Interlocking Electrode-Electrolyte (IEE) yang revolusioner. Berbeda dengan baterai konvensional di mana komponen hanya bersentuhan, sistem IEE menciptakan ikatan kimia kovalen antara elektroda dan elektrolit.

“Strategi IEE in situ adalah teknologi kunci yang dapat mempercepat komersialisasi baterai berbasis silikon dengan secara signifikan meningkatkan stabilitas antarmuka,” tegas Profesor Jaegeon Ryu dari Sogang University.

Dalam pengujian performa elektrokimia, baterai dengan desain IEE menunjukkan perbedaan yang dramatis. Sementara baterai tradisional kehilangan kapasitas hanya setelah beberapa siklus pengisian-pengosongan, baterai dengan sistem IEE mempertahankan stabilitas jangka panjang.

Dampak Nyata untuk Teknologi Masa Depan

Yang paling mengejutkan, sel baterai berbasis IEE menunjukkan kepadatan energi 403.7 Wh/kg dan 1300 Wh/L – meningkat lebih dari 60% dalam kepadatan energi gravimetri dan hampir dua kali lipat kepadatan energi volumetrik dibandingkan LIB komersial biasa.

Dalam penerapan praktis, terobosan ini berarti kendaraan listrik dapat menempuh jarak lebih jauh dan smartphone dapat beroperasi lebih lama dengan ukuran baterai yang sama. “Studi ini menawarkan arah baru untuk sistem penyimpanan energi generasi berikutnya yang secara simultan menuntut kepadatan energi tinggi dan daya tahan jangka panjang,” tambah Profesor Park.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Advanced Science ini menggunakan sistem IEE in situ yang memanfaatkan crosslinking kovalen antara pengikat interlocking terfungsionalisasi akrilat pada material aktif dan crosslinker dalam elektrolit quasi-solid-state (QSSE) untuk membentuk jaringan yang kuat dan saling terhubung.

Teknologi ini berhasil mengatasi keterbatasan konfigurasi elektrolit cair dan QSSE, dibuktikan dengan hysteresis tegangan rendah dalam puncak (de)litium selama lebih dari 200 siklus, resistansi antarmuka yang stabil sepanjang siklus, dan tidak adanya pembentukan void. Kit sel pendeteksi tekanan lebih lanjut mengkonfirmasi bahwa sistem IEE menunjukkan perubahan tekanan yang lebih rendah selama pengisian daya tanpa fluktuasi tegangan akibat kehilangan kontak.

Dengan terobosan ini, masa depan teknologi baterai dan penyimpanan energi tampaknya akan mengalami lompatan signifikan. Pertanyaan besarnya sekarang adalah: seberapa cepat industri otomotif dan elektronik dapat mengadopsi temuan revolusioner ini?

AI Gantikan Pekerjaan, Insinyur Software 20 Tahun Hidup di Trailer

0

Telset.id – Bayangkan bekerja sebagai insinyur software selama 20 tahun dengan gaji Rp2,3 miliar per tahun, tiba-tiba harus tinggal di trailer karena digantikan AI. Inilah kisah nyata Shawn Kay, korban pertama yang terdokumentasikan dari gelombang penggantian pekerja manusia oleh kecerdasan buatan.

Getty / Futurism

Kay, 42 tahun, bercerita kepada Fortune tentang kejatuhannya yang dramatis. Dari profesional mapan di New York, kini ia mengais rezeki dengan pekerjaan serabutan – mengantar makanan dan menjual barang di eBay. “Saya merasa tak terlihat. Seperti disaring sebelum manusia melihat resume saya,” keluhnya.

AI yang Belum Sempurna, Tapi Sudah Dipakai

Ironisnya, menurut Bos OpenAI Akui AI yang Canggih Bisa Jadi Ancaman, 59% pengembang mengalami error konsisten saat menggunakan AI untuk coding. Namun perusahaan tetap memilih AI karena alasan biaya. “Lebih murah mempekerjakan 12 orang di Filipina daripada satu insinyur AS,” ujar Kay.

Bukan Hanya AI: Kombinasi Faktor Mematikan

Pandemi menciptakan gelembung pekerjaan teknologi yang akhirnya pecah. Perusahaan sadar mereka over-hire, sementara lulusan STEM baru terus membanjiri pasar. Ditambah dengan kemampuan AI meningkatkan produktivitas pekerja tidak terlatih, terjadilah badai sempurna di pasar kerja teknologi.

Kasus Kay bukan isolasi. Di Indonesia, PHK massal di Ruangguru menunjukkan tren yang sama. Perusahaan teknologi global sedang bertransformasi, dan pekerja manusia menjadi korban.

Lalu ke mana larinya pekerjaan bernilai tinggi? Menurut penelitian terbaru, mereka berpindah ke negara berkembang dengan upah rendah. AI bukan menggantikan manusia, melainkan mengubah industri teknologi menjadi “sweatshop digital” dimana kualitas pekerjaan merosot tajam.

Masa depan suram? Belum tentu. Solusinya mungkin terletak pada adaptasi. Seperti servis iPhone 14 yang mudah, pekerja perlu mengembangkan skill yang tidak bisa digantikan AI – kreativitas, empati, dan pemecahan masalah kompleks.