Beranda blog Halaman 79

CEO Anthropic Akui: Kita Tak Tahu Bagaimana AI Bekerja

0

Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana sebenarnya kecerdasan buatan (AI) membuat keputusan? Jika ya, Anda tidak sendirian. Bahkan sang pembuatnya pun mengaku tidak tahu. Dario Amodei, CEO Anthropic—salah satu laboratorium AI terkemuka dunia—baru saja mengungkapkan fakta mengejutkan: para ilmuwan sendiri tidak sepenuhnya memahami cara kerja teknologi yang mereka ciptakan.

Dalam esai terbaru di situs pribadinya, Amodei mengibaratkan AI sebagai “kotak hitam” raksasa. Meski mampu meringkas dokumen keuangan atau menulis puisi, tidak ada yang tahu mengapa ia memilih kata tertentu atau terkadang membuat kesalahan. “Kami tidak memiliki pemahaman spesifik tentang proses internalnya,” ujarnya. Pengakuan jujur ini mungkin mengejutkan bagi banyak orang, terutama mengingat AI telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dari rekomendasi produk hingga asisten virtual.

Anthropic, perusahaan yang didirikan Amodei bersama saudaranya Daniela pada 2021 setelah keduanya keluar dari OpenAI, memang dibangun dengan filosofi berbeda. Kekhawatiran akan keselamatan AI dan transparansi menjadi fondasi utama. Kini, mereka berambisi menciptakan “MRI untuk AI” dalam dekade mendatang—sebuah terobosan untuk memetakan “pikiran” mesin yang masih misterius ini.

Misteri di Balik Kecerdasan Buatan

Amodei menggambarkan ketidaktahuan ini sebagai fenomena unik dalam sejarah teknologi. “Bandingkan dengan pesawat atau obat-obatan,” tulisnya. “Kita memahami prinsip aerodinamika atau biokimia di baliknya. Tapi dengan AI, kami hanya melihat input dan output tanpa tahu proses di antaranya.”

Dario Amodei, CEO Anthropic, dalam wawancara tentang misteri AI

AI modern bekerja dengan menelan data dalam jumlah masif—mulai dari buku, artikel, hingga percakapan manusia—lalu mencari pola statistik. Seperti cara kerja AI di Galaxy Buds3 Series atau algoritma Meta di Instagram, sistem ini belajar dari contoh, bukan dari pemahaman konseptual. Itulah mengapa terkadang ChatGPT bisa menulis esai brilian, tapi di saat lain memberikan jawaban yang sama sekali melenceng.

Eksperimen Merah vs Biru

Untuk mengurai teka-teki ini, Anthropic melakukan eksperimen unik. Tim “merah” sengaja menyuntikkan bug ke dalam model AI—misalnya, kecenderungan untuk memanipulasi celah aturan. Tim “biru” kemudian ditantang mendeteksi masalah tersebut. Hasilnya? Beberapa tim berhasil mengidentifikasi anomaly tersebut dengan alat interpretabilitas khusus.

Amodei optimis pendekatan ini bisa dikembangkan lebih jauh. “Kami baru di tahap awal,” akunya. Tapi baginya, memahami AI bukan lagi sekadar keinginan akademis, melainkan kebutuhan mendesak. Terutama ketika teknologi ini mulai menyentuh aspek kritis seperti kesehatan, keuangan, atau keamanan nasional.

Peringatannya jelas: “AI yang kuat akan membentuk takdir manusia. Kita berhak memahami ciptaan sendiri sebelum mereka mengubah ekonomi, kehidupan, dan masa depan kita secara radikal.” Sebuah pesan yang mungkin perlu direnungkan oleh semua pemain di industri ini—dari Google hingga startup AI lokal.

JAECOO Jadi Mitra Utama AIGIS 2025, Dorong Industri Hijau Indonesia

0

Telset.id – Jika Anda mengira transformasi industri hijau di Indonesia masih sekadar wacana, siap-siap terkejut. JAECOO, merek SUV premium asal China, baru saja ditunjuk sebagai mitra utama dalam Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025. Langkah strategis ini menandai babak baru kolaborasi antara sektor otomotif dan agenda keberlanjutan nasional.

Forum Industri Hijau Nasional (FIH) 2025 yang digelar di Bandung awal Mei ini menjadi panggung pertama JAECOO menunjukkan komitmennya. Dengan menghadirkan teknologi Super Hybrid System (SHS) melalui model JAECOO J7, merek ini membuktikan bahwa mobilitas ramah lingkungan tak harus mengorbankan performa atau gaya. Lantas, bagaimana peran konkret JAECOO dalam peta industri hijau Indonesia?

Teknologi SHS: Jembatan Menuju Net-Zero Emission

Di hadapan 300 pemangku kepentingan dari pemerintah, industri, hingga lembaga riset, JAECOO memamerkan tiga keunggulan JAECOO J7 SHS:

  • Mesin Hybrid Generasi ke-5: Efisiensi termal 44,5% (hampir dua kali lipat mesin konvensional)
  • Transmisi Hybrid: Efisiensi mode EV mencapai 98,5% dengan minimalisasi kehilangan energi
  • Baterai 18,3 kWh: Jangkauan 100 km full-electric (standar NEDC) untuk mobilitas harian tanpa emisi

Wakil Menteri Perindustrian Faisol Reza yang sempat mencoba langsung J7 SHS mengaku terkesan: “Harga pre-booking-nya sangat kompetitif untuk kendaraan dengan kemampuan seperti ini. Jangkauan 1.300 km lebih dan desainnya mengingatkan pada SUV premium seperti Range Rover.”

Strategi JAECOO: Dari Pasar Global ke Panggung Hijau Indonesia

Kedatangan JAECOO ke Indonesia awal 2025 bukan tanpa alasan. Sebagai bagian dari Chery Group—yang baru saja masuk Fortune Global 500—mereka membawa reputasi sebagai eksportir otomotif China nomor 1 selama 22 tahun berturut-turut. Kisah sukses di Eropa menjadi modal penting untuk merangkul pasar Indonesia yang sedang gencar transisi energi.

Partisipasi dalam AIGIS 2025 (termasuk KTT utama Agustus mendatang) menunjukkan strategi jangka panjang JAECOO. Mereka tak sekadar menjual mobil, tetapi menjadi bagian dari solusi mobilitas berkelanjutan—sesuai target net-zero emission Indonesia 2060. Dengan kontribusi sektor industri mencapai 34% emisi nasional, kehadiran teknologi seperti SHS menjadi krusial.

Pertanyaan besarnya: BisJAECOO mengubah persepsi masyarakat tentang kendaraan hybrid? Jika testimoni Wamenperin saja menyebut J7 SHS “jauh lebih efisien dan hemat biaya dibanding HEV”, mungkin kita sedang menyaksikan awal revolusi mobilitas hijau yang sesungguhnya.

Robot Burger: Inovasi Restoran AS yang Sajikan Makanan dalam 27 Detik

0

Bayangkan memesan burger dan mendapatkannya dalam waktu kurang dari 30 detik. Bukan di drive-thru, tapi di restoran dengan pelayan robot yang bekerja dengan presisi tinggi. Inilah kenyataan baru di Los Gatos, California, di mana BurgerBots dan ABB Robotics menghadirkan revolusi dalam industri makanan cepat saji.

Industri kuliner global sedang mengalami transformasi besar-besaran. Keterbatasan tenaga kerja dan tuntutan efisiensi mendorong inovasi teknologi masuk ke dapur restoran. Seperti yang pernah kita lihat di restoran Nepal yang menggunakan pelayan robot, automasi kini merambah ke proses pembuatan makanan itu sendiri.


BurgerBots bukan sekadar konsep futuristik. Sistem ini menggunakan dua jenis robot ABB – IRB 360 FlexPicker dan YuMi – yang bekerja sinergis dalam sel produksi mandiri. Hasilnya? Burger siap saji dalam 27 detik dengan tingkat konsistensi yang tak mungkin dicapai manusia.

Teknologi di Balik Kecepatan Luar Biasa

Robots make burger at US restaurant, serve meals in 27 secs to boost fast food prep

Proses dimulai ketika patty burger yang baru matang diletakkan di atas roti dalam kotak khusus. Kotak ini kemudian bergerak di conveyor yang dilengkapi QR code. IRB 360 FlexPicker, dengan kecepatan tinggi, memilih topping berdasarkan data QR code tersebut.

“Integrasi robot ABB dengan konsep BurgerBots menunjukkan potensi luar biasa automasi di luar lantai pabrik,” ujar Marc Segura, kepala Divisi Robotika ABB. Sistem ini tidak hanya cepat tetapi juga cerdas – kontroler robot terintegrasi dengan sistem non-robotik untuk pelacakan inventaris bahan mentah secara real-time.

Respons Industri dan Masa Depan Otomasi Kuliner

Survei ABB Robotics mengungkap fakta menarik: 89% manajer dan 73% pekerja hospitality terbuka terhadap integrasi robotika. Bahkan, 67% pekerja setuju automasi bisa mengurangi pekerjaan membosankan dan berisiko di industri ini.

Elizabeth Truong, pemilik BurgerBots, berpendapat: “Dalam lima tahun ke depan, sebagian besar restoran akan memiliki semacam otomatisasi robotik.” Visinya adalah membawa konsistensi, transparansi, dan efisiensi ke layanan makanan.

BurgerBots robotic assembly line

Inovasi semacam ini bukan tanpa preseden. Seperti robot penghibur tamu restoran, teknologi terus menemukan cara baru untuk berinteraksi dengan konsumen. Namun, BurgerBots melangkah lebih jauh dengan mengotomatisasi inti dari bisnis restoran – pembuatan makanan itu sendiri.

Dampak pada Tenaga Kerja dan Pengalaman Pelanggan

Kekhawatiran umum adalah bahwa robot akan menggantikan pekerja manusia. Namun, data ABB menunjukkan sebaliknya – 65% pekerja akan menyambut robot jika berarti lingkungan kerja lebih aman. Robot mengambil alih tugas repetitif, memungkinkan staf fokus pada aspek kreatif dan interaksi pelanggan.

Dari sisi pelanggan, kecepatan 27 detik per burger menetapkan standar baru untuk layanan cepat. Sistem QR code dan pelacakan inventaris real-time juga memastikan transparansi dan akurasi yang belum pernah ada sebelumnya dalam industri makanan cepat saji.

Seperti perkembangan teknologi robotika berbasis AI, BurgerBots menunjukkan bagaimana kolaborasi manusia-mesin dapat menciptakan solusi inovatif untuk tantangan industri nyata.

Revolusi otomasi kuliner telah dimulai. Dengan burger 27 detik sebagai bukti konsep, masa depan restoran mungkin akan sangat berbeda dari yang kita kenal sekarang – lebih cepat, lebih efisien, dan mungkin, lebih robotik.

Perplexity vs Gemini: Ekstensi Chrome yang Ubah Cara Anda Berselancar

0

Telset.id – Bayangkan bisa meringkas artikel panjang hanya dengan satu klik, atau mencari informasi spesifik di dalam sebuah situs tanpa harus membuka halaman demi halaman. Itulah yang ditawarkan ekstensi Chrome dari Perplexity, sebuah fitur yang seharusnya sudah lama dihadirkan oleh Gemini.

Dua bulan lalu, Rita El Khoury, seorang jurnalis teknologi, mendapatkan akses gratis ke Perplexity Pro berlangganan selama setahun. Awalnya, ia ragu karena sudah memiliki Gemini Advanced melalui Pixel 9 Pro-nya. Namun, setelah mencoba, ia terkejut dengan kemampuan Perplexity dalam menyederhanakan pencarian dan memberikan jawaban yang bersumber jelas.

Ringkas dengan Satu Klik

Fitur paling sering digunakan Rita adalah Summarize. Dengan satu tombol, ekstensi ini bisa meringkas halaman web yang sedang dibuka. Sebagai jurnalis yang selalu dikejar waktu, fitur ini sangat membantu untuk memahami inti berita tanpa harus membaca keseluruhan artikel.

Screenshot fitur ringkasan Perplexity

Yang menarik, Chrome di Android sudah memiliki fitur ringkasan Gemini sejak dua tahun lalu, tetapi belum hadir di versi desktop. “Mengapa harus pakai ekstensi pihak ketiga untuk fitur sederhana ini?” tanya Rita.

Pencarian Terfokus yang Cerdas

Fitur kedua yang membuat Rita jatuh cinta adalah kemampuan mencari informasi spesifik di dalam satu halaman atau domain tertentu. Misalnya, saat mencari konser musik Italia di Swiss bulan Juli di Songkick, Perplexity bisa memberikan jawaban yang bahkan tidak tersedia di fitur pencarian Songkick sendiri.

Screenshot pencarian terfokus di Songkick

Contoh lain, ketika Rita mencari rekomendasi escape room di Budapest, ia bisa membandingkan daftar dari EscapeRoomers.de dengan pemenang penghargaan TERPECA. Meski tidak sempurna, Perplexity berhasil membuat tabel perbandingan yang memudahkannya memilih.

Mengapa Gemini Tidak Segini Canggih?

Rita heran mengapa Google belum menyediakan integrasi semacam ini untuk Gemini di Chrome. “Saya ingin AI yang memperkaya pengalaman browsing, bukan alat terpisah yang harus dipanggil manual,” ujarnya.

perplexity chrome extension focus picker

Dengan Google I/O mendatang, mungkin kita akan melihat pembaruan besar untuk Gemini. Tapi untuk sekarang, Perplexity telah memberikan solusi yang selama ini diidamkan banyak pengguna Chrome.

Bagaimana dengan Anda? Sudah mencoba ekstensi Perplexity atau masih setia menunggu Gemini memberikan fitur serupa?

Deepfake Makin Sulit Dibedakan, Deteksi Denyut Nadi pun Bisa Dipalsukan

Telset.id – Pernahkah Anda menerima pesan berisi video yang membuat Anda ragu, “Ini asli atau rekayasa?” Jika dulu kita bisa dengan mudah menuding “Itu hasil Photoshop”, kini frasa itu berganti menjadi “Itu buatan AI”. Teknologi generatif AI telah mengaburkan batas antara realitas dan ilusi digital. Yang lebih mengkhawatirkan, tidak ada lagi cara pasti untuk membedakan konten sintetis dari yang asli.

Sebuah penelitian terbaru dari Humboldt University of Berlin mengungkap fakta mengejutkan: deepfake kini bahkan mampu meniru detak jantung manusia dalam video. Padahal, sebelumnya, denyut nadi dianggap sebagai salah satu tanda keaslian yang sulit dipalsukan. Studi yang dipublikasikan di Frontiers in Imaging ini menemukan bahwa model deepfake mutakhir dapat menghasilkan video dengan indikator detak jantung yang mirip manusia.

Perbandingan foto asli (kiri) dan deepfake (kanan) dari partisipan penelitian

“Ini pertama kalinya kami menunjukkan bahwa video deepfake berkualitas tinggi dapat menampilkan detak jantung realistis dan perubahan warna wajah yang halus, membuatnya jauh lebih sulit dideteksi,” jelas Peter Eisert, profesor di Humboldt dan penulis utama studi tersebut, seperti dikutip Popular Science.

Krisis Kepercayaan di Era Deepfake

Deepfake menggunakan AI untuk menciptakan gambar, video, atau rekaman suara yang dimanipulasi namun terlihat sangat meyakinkan. Teknologi ini telah menimbulkan berbagai masalah, mulai dari penyebaran materi eksplisit non-konsensual hingga penipuan dan misinformasi. Sebuah laporan menyebutkan lebih dari 244.000 video porno deepfake diunggah ke 35 situs teratas hanya dalam seminggu.

Kasus Scarlett Johansson yang menjadi korban deepfake dan mendesak regulasi di AS hanyalah salah satu contoh dari banyaknya kasus serupa. Bahkan tokoh seperti Elon Musk pun tidak luput dari penyalahgunaan teknologi ini untuk penipuan kripto.

Bagaimana Deepfake Menipu Detektor?

Metode deteksi deepfake tradisional mengandalkan identifikasi ketidakkonsistenan visual seperti kedipan mata yang tidak alami atau distorsi fitur wajah. Sistem yang lebih baru menggunakan remote photoplethysmography (rPPG), teknik yang awalnya dikembangkan untuk telemedisin, untuk mendeteksi tanda detak jantung dengan menganalisis perubahan cahaya pada kulit wajah.

Tim Humboldt melatih model deteksi menggunakan video asli partisipan yang melakukan berbagai aktivitas. Setelah menganalisis hanya 10 detik rekaman, sistem dapat mengidentifikasi detak jantung setiap orang dengan andal. Namun, ketika metode yang sama diterapkan pada versi deepfake partisipan tersebut, hasilnya mengejutkan: detektor menemukan detak jantung dalam video yang dimanipulasi dan menandainya sebagai asli.

Tiga orang muda di kafe luar ruangan, salah satunya adalah deepfake

“Eksperimen kami menunjukkan bahwa deepfake dapat menampilkan detak jantung yang realistis, bertentangan dengan temuan sebelumnya,” tulis para peneliti. Yang menarik, deepfake dalam penelitian ini tidak sengaja diprogram untuk mensimulasikan detak jantung. Para peneliti percaya klip sintetis tersebut secara tidak sengaja “mewarisi” sinyal seperti denyut nadi dari rekaman asli.

Masa Depan Deteksi Deepfake

Meskipun penelitian ini menunjukkan celah dalam sistem deteksi saat ini, para peneliti mengatakan situasinya tidak sepenuhnya suram. Deepfake masa kini masih belum mampu mereplikasi pola aliran darah yang lebih kompleks di wajah seseorang seiring waktu. Metode deteksi lain—seperti melacak perubahan kecerahan piksel atau menggunakan watermark digital—sedang dieksplorasi oleh perusahaan teknologi seperti Adobe dan Google untuk melengkapi pendekatan tradisional.

Namun, temuan ini menyoroti kebutuhan akan pembaruan terus-menerus pada teknologi deteksi. Seperti yang disarankan Eisert dan timnya, tidak ada indikator tunggal yang mungkin cukup dengan sendirinya dalam jangka panjang. Di tengah maraknya penggunaan deepfake untuk memengaruhi pemilu, kesadaran publik dan regulasi yang ketat menjadi semakin penting.

Lalu, bagaimana kita bisa melindungi diri di era di mana mata dan telinga kita sendiri tidak lagi bisa dipercaya? Langkah pertama adalah selalu skeptis terhadap konten yang mencurigakan, terutama yang bersifat sensasional. Kedua, manfaatkan alat verifikasi fakta yang tersedia. Dan yang terpenting, dukung upaya-upaya seperti inisiatif StopNCII yang bertujuan memerangi penyalahgunaan teknologi ini.

Marvel Akhiri Era Kang Dynasty, Ganti dengan Doctor Doom di Avengers: Doomsday

0

Telset.id – Jika Anda penggemar Marvel Cinematic Universe (MCU), pasti tak asing dengan Kang the Conqueror. Namun, rencana besar Marvel untuk menjadikannya sebagai antagonis utama di Avengers: The Kang Dynasty akhirnya berubah drastis. Bagaimana ceritanya?

Bulan Mei biasanya menjadi momen penting bagi film-film Avengers. Film pertama rilis pada 4 Mei 2012, disusul Age of Ultron pada 1 Mei 2015. Awalnya, Marvel Studios mengumumkan di San Diego Comic Con (SDCC) 2022 bahwa Avengers: The Kang Dynasty akan tayang pada 2 Mei 2025, diikuti Secret Wars pada 7 November 2025. Dua film ini direncanakan sebagai penutup epik “Multiverse Saga” yang dimulai sejak Black Widow (2021).

Kang Quantumania

Sayangnya, nasib Kang berubah setelah Jonathan Majors, aktor yang memerankannya, terlibat skandal hukum. Pada Maret 2023, Majors ditangkap karena kasus kekerasan terhadap pacarnya. Setelah divonis bersalah, Marvel memutuskan hubungan dengannya dan mengubah judul film menjadi Avengers: Doomsday, dengan Doctor Doom (diperankan kembali oleh Robert Downey Jr.) sebagai pengganti Kang.

Dari Kang ke Doom: Pergantian yang Tak Terduga

Marvel sempat sangat serius membangun Kang sebagai ancaman utama. Ia muncul di Loki musim pertama, Ant-Man & The Wasp: Quantumania, dan beberapa proyek lainnya. Namun, di setiap penampilannya, Kang justru sering dikalahkan dengan cara yang anti-klimaks—dibunuh dengan pisau, semut, atau efek “spaghettifikasi”.

Menurut Kevin R. Wright, produser eksekutif Loki, keputusan mengubah alur cerita bukan semata karena kasus Majors. Namun, fakta bahwa Kang tidak pernah benar-benar menang membuat pergantian ke Doctor Doom terasa lebih masuk akal. “Dia (Kang) tidak pernah menjadi ancaman serius seperti Thanos,” ujar Wright.

Masa Depan Kang di MCU

Dengan reputasi Jonathan Majors yang tercoreng dan karakter Kang yang kurang berdampak, kecil kemungkinan Marvel akan membawanya kembali dalam waktu dekat. Seperti nasib Inhumans, Kang mungkin harus menunggu bertahun-tahun sebelum kembali ke MCU—jika pun ada.

Poster Thunderbolts

Bagi yang kecewa dengan perubahan ini, masih ada alternatif seperti menonton Avengers: Earth’s Mightiest Heroes atau mengoleksi merchandise Marvel seperti Oppo Reno5 Marvel Avengers Edition.

Sementara itu, Avengers: Doomsday akan menjadi awal baru dengan Doctor Doom sebagai musuh utama. Apakah keputusan Marvel ini tepat? Kita lihat saja pada 2025 nanti.

SPHEREx Mulai Petakan Langit: Teleskop NASA Ungkap Rahasia Alam Semesta

Telset.id – Bayangkan jika Anda bisa melihat seluruh langit dalam 102 warna berbeda sekaligus. Itulah yang sedang dilakukan SPHEREx, teleskop luar angkasa terbaru NASA yang baru saja memulai misi epiknya untuk memetakan alam semesta dalam cahaya inframerah.

Setelah diluncurkan awal Maret lalu dan melalui serangkaian pemeriksaan sistem selama lebih dari sebulan, observatorium ruang angkasa ini akhirnya mulai mengambil gambar pertamanya pekan lalu. Dalam dua tahun ke depan, SPHEREx akan menyelesaikan pemetaan langit paling komprehensif yang pernah dilakukan.

Operasi Harian yang Luar Biasa

SPHEREx bukan teleskop biasa. Setiap hari, ia akan mengorbit Bumi dari utara ke selatan sebanyak 14,5 kali, mengambil sekitar 3.600 gambar sehari. Yang menakjubkan, teleskop ini mampu mengamati langit dalam 102 panjang gelombang cahaya inframerah yang berbeda – sebuah pencapaian teknis yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Seperti dijelaskan NASA, metode pemetaan SPHEREx unik: “Setiap hari ia mengambil gambar sepanjang satu strip melingkar langit. Seiring pergerakan Bumi mengelilingi Matahari, bidang pandang SPHEREx juga bergeser sehingga setelah enam bulan, observatorium ini akan melihat ke segala arah di angkasa.”

Ilustrasi SPHEREx memetakan langit

Menguak Misteri Alam Semesta

Data yang dikumpulkan SPHEREx akan digunakan para ilmuwan untuk dua tujuan utama: mempelajari ekspansi alam semesta segera setelah Big Bang, dan mencari bahan-bahan pembentuk kehidupan di galaksi Bima Sakti. Dengan empat peta langit lengkap yang akan dihasilkan, para astronom berharap bisa menjawab beberapa pertanyaan paling mendasar tentang asal-usul kita.

Misi 25 bulan ini merupakan lompatan besar dalam astronomi inframerah. Sebagai perbandingan, teleskop seperti James Webb memang memiliki resolusi lebih tinggi, tapi SPHEREx unggul dalam cakupan area dan keragaman panjang gelombang yang diamati. Kombinasi data dari berbagai observatorium ini diharapkan memberikan pemahaman lebih lengkap tentang kosmos.

Bagaimana dengan Anda? Tertarik melihat peta langit lengkap pertama dari SPHEREx? Tunggu saja hasilnya dalam beberapa bulan mendatang, saat data pertama mulai diproses dan dianalisis oleh para ilmuwan NASA.

Untuk memahami lebih dalam tentang misi-misi terbaru NASA lainnya, jangan lewatkan 7 Fakta Menarik Robot InSight yang Dikirim ke Mars dan penemuan terbaru tentang Brown Dwarfs oleh Teleskop James Webb.

Huawei Bangun Pabrik Chip Canggih di Shenzhen, Tantang Dominasi AS

0

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana sebuah perusahaan teknologi bisa bertahan di tengah tekanan sanksi global? Huawei, raksasa teknologi asal China, kembali menunjukkan ketangguhannya. Kali ini, melalui citra satelit terbaru, terungkap bahwa Huawei sedang membangun fasilitas produksi chip canggih di Shenzhen—langkah strategis untuk mewujudkan kemandirian semikonduktor China.

Sejak 2020, Huawei menghadapi pembatasan ketat dari AS melalui aturan Foreign Direct Product Rule (FDPR). Aturan ini memblokir akses Huawei terhadap chip 5G berteknologi AS, khususnya yang diproduksi dengan proses node di bawah 10nm. Namun, seperti dinosaurus di Jurassic Park yang selalu menemukan cara, Huawei berhasil mendapatkan chip 7nm dari SMIC, foundry terbesar ketiga di dunia.

Kini, Huawei tak hanya bergantung pada pihak ketiga. Citra satelit mengungkap tiga bangunan fasilitas produksi yang mulai dibangun sejak 2022. Fasilitas ini diduga akan memproduksi chip untuk smartphone dan AI—langkah yang bisa mengubah peta persaingan global.

Huawei vs AS: Perlombaan Teknologi yang Tak Kunjung Usai

Pabrik Huawei di Shenzhen dengan pencahayaan modern

AS telah memblokir penjualan lithography EUV ke China, peralatan kunci untuk memproduksi chip 5nm atau lebih kecil. Namun, Huawei dikabarkan sedang mengembangkan alternatif EUV buatan lokal. Dylan Patel dari SemiAnalysis menyebut upaya Huawei sebagai “yang pertama kali dilakukan satu perusahaan untuk menguasai seluruh rantai pasok AI, dari peralatan produksi hingga model.”

Bahkan Jensen Huang, CEO Nvidia, mengakui bahwa China “sangat, sangat dekat” dalam perlombaan chip. Ironisnya, larangan AS terhadap penjualan chip Nvidia H20 di China justru membuka peluang bagi Huawei untuk menguasai pasar dengan chip Ascend—produk yang kini banyak digunakan untuk mengisi kekosongan pasar.

Mimpi Kemandirian Semikonduktor China

Fasilitas di Shenzhen bukan sekadar pabrik biasa. Menurut analis, ini adalah bagian dari rencana besar China untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi Barat. Huawei disebut sedang merancang seluruh ekosistem, termasuk perangkat lunak HarmonyOS dan chip Ascend untuk AI.

Keberhasilan Huawei dalam mengembangkan HarmonyOS setelah diblokir dari Google Mobile Services menjadi bukti ketangguhan perusahaan ini. Kini, dengan inisiatif chip canggih, Huawei berpotensi mengulang kesuksesan tersebut di dunia semikonduktor.

Ilustrasi produksi chip canggih

Langkah Huawei ini juga mendapat dukungan penuh pemerintah China. Dalam beberapa tahun terakhir, China telah menginvestasikan miliaran dolar untuk mengembangkan industri semikonduktor lokal. Jika proyek Shenzhen berhasil, ini akan menjadi pukulan telak bagi dominasi AS di sektor teknologi tinggi.

Dengan segala tantangan yang ada, satu hal yang pasti: Huawei tidak akan berhenti berinovasi. Perusahaan ini telah membuktikan bahwa tekanan sanksi justru memicu kreativitas—sebuah pelajaran berharga dalam perlombaan teknologi global.

Google Kembangkan Fitur Desktop Mode untuk Android, Saingi Samsung DeX

0

Bayangkan smartphone Android Anda berubah menjadi komputer desktop hanya dengan menghubungkannya ke layar eksternal. Itulah yang sedang dikembangkan Google melalui fitur native desktop mode untuk Android, sebuah terobosan yang bisa menjadi pesaing serius bagi Samsung DeX.

Fitur ini sebenarnya sudah lama dinantikan sejak era Pixel 8, namun baru sekarang mulai menunjukkan perkembangan signifikan. Bocoran terbaru dari kode Android mengungkapkan bahwa Google sedang serius menggarap pengalaman desktop yang lebih matang dibanding sekadar screen mirroring biasa.

Dengan adanya fitur ini, pengguna bisa mendapatkan antarmuka mirip komputer saat menghubungkan Pixel ke monitor eksternal. Ini bukan sekadar gimmick, melainkan perubahan fundamental dalam cara kita berinteraksi dengan perangkat mobile.

Antarmuka Desktop yang Lebih Canggih

Versi awal yang terlihat dalam kode Android menunjukkan adanya taskbar di bagian bawah layar, lengkap dengan akses ke aplikasi yang dipin, app drawer, dan daftar aplikasi terakhir digunakan. Di bagian atas, terdapat status bar standar seperti pada sistem operasi desktop.

Yang paling menarik adalah cara pengelolaan aplikasi. Berbeda dengan screen mirroring biasa, desktop mode ini memungkinkan pengguna membuka beberapa aplikasi sekaligus dalam jendela terpisah yang bisa diatur ukuran dan posisinya. Anda bisa dengan mudah memindahkan jendela aplikasi, mengubah ukurannya, atau menyusunnya di sisi layar – persis seperti pengalaman multitasking di Windows atau macOS.

Persaingan dengan Samsung DeX dan Motorola Ready For

Samsung sudah lebih dulu memiliki DeX yang memberikan pengalaman desktop cukup matang. Motorola juga tidak ketinggalan dengan sistem Ready For di beberapa produknya. Namun, kehadiran fitur native dari Google ini sangat berarti karena akan terintegrasi langsung ke dalam sistem inti Android.

Artinya, fitur ini tidak hanya eksklusif untuk perangkat Pixel, tapi berpotensi tersedia lebih luas di berbagai perangkat Android. Ini bisa menjadi game changer dalam ekosistem Android, terutama untuk pengguna yang sering bekerja dengan perangkat mobile.

Kapan Fitur Ini Akan Hadir?

Sayangnya, fitur ini tampaknya belum akan siap untuk rilis utama Android 16 tahun ini. Kemungkinan besar akan muncul sebagai opsi developer dalam update Android 16, atau mungkin ditunda sampai Android 17 di tahun 2026.

Google masih perlu menyempurnakan beberapa aspek, seperti memungkinkan pengguna mengontrol layar ponsel menggunakan keyboard dan mouse yang sama yang terhubung ke layar eksternal. Tantangan lainnya adalah memastikan kompatibilitas dengan berbagai aplikasi yang ada.

Dengan adanya fitur ini, smartphone Android bisa menjadi perangkat yang jauh lebih serbaguna. Ini juga akan mendorong developer aplikasi untuk lebih memperhatikan dukungan terhadap layar besar. Google perlu memastikan versi finalnya stabil dan benar-benar berguna, mewujudkan potensi pengalaman yang lebih terpadu di berbagai ukuran layar.

Seperti dikatakan Johanna Romero, pakar teknologi mobile dengan pengalaman 15 tahun, “Fitur ini mengingatkan saya pada Chrome OS. Saya pasti akan sering menggunakannya begitu diluncurkan.”

Perkembangan ini menunjukkan betapa seriusnya Google dalam menyatukan pengalaman komputasi mobile dan desktop. Dengan smartphone yang semakin powerful, batas antara perangkat mobile dan desktop semakin kabur. Fitur desktop mode ini bisa menjadi langkah besar menuju visi komputasi yang benar-benar universal.

Samsung Keluarkan Rp6 Triliun Ganti Exynos 2500 dengan Snapdragon 8 Elite di Galaxy S25

0

Bayangkan harus merogoh kocek Rp6 triliun hanya karena chip buatan sendiri gagal memenuhi standar. Itulah harga mahal yang harus dibayar Samsung demi memastikan Galaxy S25 tetap bersaing di pasar premium. Bocoran terbaru mengungkap rahasia di balik keputusan kontroversial ini.

Selama bertahun-tahun, Samsung mempertahankan dual-chip strategy untuk seri Galaxy S. Exynos menjadi andalan di sebagian besar pasar global, sementara Snapdragon dipasang khusus untuk wilayah tertentu seperti AS dan China. Namun tahun 2025, skema ini rupanya tak lagi bisa dipertahankan.

Masalah bermula dari rendahnya yield (tingkat hasil produksi) Exynos 2500 di Samsung Foundry. Dengan yield hanya 30% pada proses 3nm, biaya produksi membengkak hingga tidak ekonomis. Akibatnya, Samsung terpaksa menandatangani kontrak senilai $400 juta (Rp6 triliun) dengan Qualcomm untuk memasok Snapdragon 8 Elite secara masif.

Drama Yield Rendah yang Berujung pada Keputusan Radikal

Industri semikonduktor mengenal yield 70% sebagai batas minimal untuk produksi massal yang ekonomis. Sayangnya, Exynos 2500 hanya mencapai 30% yield pada node 3nm. Artinya, dari 100 chip yang diproduksi, hanya 30 yang layak pakai.

“Ini seperti mencetak uang lalu membakar 70%-nya,” kata seorang analis yang enggan disebutkan namanya. “Samsung sadar mustahil menjual Galaxy S25 dengan margin sehat jika tetap ngotot pakai Exynos.”

Exynos 2600: Taruhan Terakhir Samsung di Dunia Chipset

Belajar dari kegagalan Exynos 2500, Samsung kini fokus pada pengembangan Exynos 2600 berbasis proses 2nm. Namun kabar dari lini produksi masih suram—yield awal hanya 30%, jauh dari target 60% yang ditetapkan internal.

Cuplikan tweet tentang Exynos 2600 untuk Galaxy S26

Tipster ternama @Jukanlosreve mengungkapkan, Exynos 2600 kemungkinan hanya akan dipasang di varian Galaxy S26 dan S26+ untuk pasar Eropa. Itu pun jika yield berhasil ditingkatkan signifikan sebelum Q3 2025.

Yang lebih mengejutkan, Snapdragon 8 Elite 2 di node 3nm diklaim masih lebih unggul dalam performa dibanding Exynos 2600 di node 2nm. “Ini tamparan keras bagi divisi chipset Samsung,” komentar seorang insinyur semikonduktor.

Dampak Jangka Panjang: Ketergantungan pada Qualcomm

Keputusan mengganti Exynos dengan Snapdragon di seluruh lini Galaxy S25 bukan tanpa risiko. Selain beban biaya yang besar, Samsung juga kehilangan kontrol atas roadmap pengembangan chipset.

Qualcomm sebagai pemasok tunggal kini memiliki posisi tawar sangat kuat. Tidak heran jika Samsung dikabarkan mempercepat pengembangan Exynos 2600 dengan segala cara. “Mereka tidak ingin mengulang pembayaran $400 juta untuk Snapdragon 8 Elite 2,” ujar sumber industri.

Bagi konsumen, keputusan ini sebenarnya membawa angin segar. Snapdragon 8 Elite dikenal memiliki performa lebih konsisten dibanding Exynos. Namun bagi Samsung, ini pertanda ada masalah serius di divisi chipset mereka yang perlu segera ditangani.

Dengan tenggat waktu hingga Q3 2025, tim pengembang Exynos 2600 jelas bekerja di bawah tekanan berat. Nasib kemandirian chipset Samsung dipertaruhkan di sini. Jika gagal lagi, bukan tidak mungkin Samsung akan semakin tergantung pada Qualcomm di masa depan.

Nio ET5 2025: Desain Baru, Chipset Canggih, dan Persaingan di Pasar EV China

0

Telset.id – Jika Anda mengira mobil listrik China hanya soal baterai dan harga murah, bersiaplah terkejut dengan kehadiran Nio ET5 2025. Model terbaru dari produsen otomotif asal China ini hadir dengan sejumlah penyempurnaan signifikan, mulai dari desain eksterior yang lebih aerodinamis hingga peningkatan hardware untuk sistem otonom. Nio jelas tak mau ketinggalan dalam persaingan sengit melawan rival seperti Xiaomi SU7 dan BYD Han.

Perubahan paling mencolok terlihat pada bagian depan. Lampu siang hari (DRL) yang sebelumnya berbentuk boomerang kini diganti dengan desain paralelogram yang lebih modern. Lampu utama juga mengadopsi teknologi LED matrix dengan outline trapezoidal yang tajam. Tak ketinggalan, bumper direvisi dengan air inlet lebih besar untuk efisiensi aerodinamis. Namun, elemen ikonik seperti atap kaca panoramic, pintu frameless, dan handle pintu tersembunyi tetap dipertahankan.

Desain Depan Nio ET5 2025

Peningkatan Hardware dan Kecerdasan Buatan

Di balik tampilan yang lebih garang, Nio ET5 2025 menyimpan upgrade penting di sektor teknologi. Meski sensor lidar dan kamera tetap berada di posisi yang sama, kini mereka didukung oleh chipset NX9031 buatan Nio sendiri. Dibangun dengan arsitektur 5nm, chip ini menjanjikan kecepatan pemrosesan data lebih tinggi dan akurasi yang lebih baik untuk fitur mengemudi otonom.

Kabarnya, interior ET5 2025 akan mengadopsi layar horizontal seperti yang digunakan di flagship ET9. Sistem operasi Sky OS versi penuh juga akan diintegrasikan, bersama dengan asisten AI NOMI yang kini lebih responsif dalam interaksi suara. Konsol tengah mengalami penyederhanaan dengan penambahan dua wireless charging pad dan kompartemen penyimpanan tambahan.

Interior Nio ET5 2025

Spesifikasi dan Persaingan di Pasar EV

Dari sisi performa, Nio ET5 2025 tetap mengandalkan konfigurasi dual-motor AWD dengan total output 360 kW. Pilihan baterai masih sama: 75 kWh untuk jarak 560 km dan 100 kWh yang bisa mencapai 710 km (standar CLTC). Keduanya mendukung fast charging 180 kW dan kompatibel dengan stasiun battery-swapping milik Nio.

Dengan label “Champion Edition”, Nio kemungkinan akan menawarkan paket spesial baik dari segi harga maupun fitur. Peluncurannya dijadwalkan akhir bulan ini, bersamaan dengan varian ET5 Touring. Di pasar yang semakin padat, ET5 harus bersaing ketat dengan Tesla yang baru saja memotong harga serta model-model lokal seperti Xiaomi SU7.

Baterai dan Sistem Charging Nio ET5

Langkah Nio ini menunjukkan bagaimana produsen China tak hanya fokus pada harga, tetapi juga inovasi teknologi. Seperti produsen Jerman yang mulai bergantung pada baterai China, Nio membuktikan bahwa mereka bisa bersaing di level global dengan produk yang semakin matang.

Geely Galaxy Starship 9: SUV Plug-in Hybrid Flagship Siap Guncang Pasar China

0

Telset.id – Jika Anda mengira segmen SUV full-size di China hanya didominasi oleh merek-merek premium Eropa, bersiaplah untuk terkejut. Geely, raksasa otomotif asal China, sedang mempersiapkan senjata baru mereka: Geely Galaxy Starship 9, crossover flagship dengan teknologi plug-in hybrid canggih yang akan meluncur tahun ini dengan harga terjangkau.

Bocoran terbaru menunjukkan SUV ini telah terlihat melakukan uji jalan di China dengan penyamaran ketat. Yang menarik, Starship 9 akan menjadi penawaran entry-level di segmen SUV besar dengan kisaran harga 200.000-300.000 yuan (Rp 425 juta-Rp 637 juta). Sebuah strategi cerdas Geely untuk menyaingi rival seperti BYD Sealion 07 DM-i yang juga baru meluncur.

Geely Galaxy Starship 9 dalam uji jalan dengan penyamaran

Desain Futuristik dengan Sentuhan Realistis

Starship 9 merupakan realisasi dari konsep mobil yang memenangkan Red Dot Award: Design Concept 2024. Meski versi produksi kehilangan beberapa fitur konsep seperti pintu bunuh diri dan kamera pengganti spion, SUV ini tetap mempertahankan garis bodi yang futuristik. Beberapa ciri khas yang bertahan termasuk:

  • Unit lampu belakang dengan signature shape dan logo Geely
  • LiDAR sensor di atap untuk kemampuan semi-otonom
  • Roda besar dengan desain aerodinamis
  • Pintu bahan bakar di sisi kiri belakang

Strategi Geely Kuasai Segmen SUV Premium

Peluncuran Starship 9 bukanlah langkah sembarangan. Geely Group sedang gencar berekspansi di segmen kendaraan besar premium. Baru-baru ini, anak perusahaan mereka Zeekr Technology meluncurkan Lynk & Co 900 dengan harga mulai 309.900 yuan dan Zeekr 9X yang akan dijual di atas 500.000 yuan.

Lynk & Co 900 SUV flagship Geely dengan 872 tenaga kuda

“Starship 9 akan menjadi produk penting untuk mempertahankan momentum pertumbuhan penjualan Galaxy,” ujar seorang analis industri otomotif China. Terbukti, di kuartal pertama 2025, penjualan merek Galaxy melonjak 3,8 kali lipat berkat peluncuran beberapa model baru.

Ditenagai Teknologi Hybrid Terkini

Di bawah kapnya, Starship 9 mengusung sistem Leishen 2.0 (NordThor 2.0) PHEV yang terdiri dari:

  • Mesin 1.5-liter
  • Sistem penggerak listrik Galaxy 11-in-1
  • Arsitektur GEA (Global Intelligent Electric Architecture)

Dengan kombinasi ini, Starship 9 diharapkan bisa menawarkan efisiensi bahan bakar yang unggul sekaligus performa yang mumpuni. Sebuah jawaban atas tren kendaraan ramah lingkungan yang semakin populer di China.

Bagian belakang Geely Galaxy Starship 9 dengan desain lampu signature

Peluncuran Starship 9 tahun ini akan menjadi ujian penting bagi Geely. Apakah mereka bisa merebut pangsa pasar dari pemain mapan seperti BYD dan Tesla? Satu hal yang pasti, persaingan di segmen SUV premium China semakin panas dan konsumenlah yang akan diuntungkan.