Beranda blog Halaman 78

Gravitasi Bukan Sekadar Tarikan, Tapi Algoritma Komputer Semesta?

Pernahkah Anda merasa hidup ini terlalu sempurna untuk nyata? Sebuah teori baru dari fisikawan University of Portsmouth, Melvin Vopson, mungkin akan membuat Anda semakin meragukan realitas. Dalam makalah terbarunya di AIP Advances, Vopson mengajukan pandangan revolusioner: gravitasi mungkin bukan sekadar gaya tarik antar massa, melainkan algoritma yang menjaga semesta tetap teratur—seperti komputer raksasa yang sedang menjalankan program.

Gravitasi sebagai Mekanisme Kompresi Data

Vopson membangun teorinya berdasarkan “hukum kedua dinamika informasi” yang ia usung sebelumnya. Menurutnya, alam semesta berperilaku mirip sistem komputer yang terus mengoptimalkan penyimpanan data. Gravitasi, dalam hal ini, berfungsi layaknya algoritma kompresi—menyatukan materi dan objek di ruang angkasa untuk mengurangi kekacauan (entropi). “Ini contoh lain dari kompresi data dan optimasi komputasi di alam semesta kita,” tulisnya.

Ilustrasi alam semesta sebagai simulasi komputer

Dari The Matrix ke Sains Mainstream

Gagasan bahwa realitas kita hanyalah simulasi komputer bukanlah hal baru. Filosof Nick Bostrom mengemukakannya di awal 2000-an, terinspirasi film The Matrix (1999). Namun, Vopson membawa teori ini ke ranah fisika kuantum dengan argumen konkret: informasi yang tersimpan dalam “sel elementer” (volume terkecil ruang dalam mekanika kuantum) mengatur koordinat materi, mirip piksel dalam game digital. “Proses ini persis seperti cara merancang simulasi komputer,” tegasnya.

Informasi sebagai Materi Kelima

Vopson bukan pemain baru di lapangan teori simulasi. Pada 2022, ia mengejutkan dunia sains dengan klaim bahwa genom virus COVID-19 menunjukkan penurunan entropi—bukti pendukung hukum kedua dinamika informasinya. Bahkan, ia pernah menyebut informasi sebagai “bentuk materi kelima”, yang jika terbukti, akan menguatkan teori alam semesta virtual. Namun, komunitas ilmiah masih skeptis. “Klaim luar biasa butuh bukti luar biasa,” ujar seorang koleganya yang enggan disebutkan namanya.

Mampukah Kita Membuktikan Simulasi Ini?

Masalah terbesar teori simulasi adalah sifatnya yang sulit diverifikasi. Bagaimana membuktikan kita hidup dalam program jika “pembuat simulasi” telah memastikan kita tak bisa mengintip keluar? Vopson berargumen bahwa pola-pola tertentu—seperti gravitasi yang bekerja sebagai algoritma—bisa menjadi petunjuk. Tapi tanpa teknologi setara komputer kuantum yang mampu memproses realitas secara fundamental, jawabannya mungkin tetap menjadi misteri.

Apakah hidup ini hanya game simulasi canggih? Jika iya, siapa “pemain”-nya? Sementara sains masih berdebat, tak ada salahnya menikmati “permainan” ini—siapa tahu bonus level berikutnya lebih seru.

Diduga Mencurigakan, Komdigi Langsung Bekukan Layanan Worldcoin

Telset.id – Jika Anda pengguna atau penggemar teknologi blockchain, berita ini patut disimak. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) secara resmi membekukan sementara Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) layanan Worldcoin dan WorldID. Langkah ini diambil menyusul laporan masyarakat terkait aktivitas mencurigakan yang melibatkan kedua layanan tersebut.

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, menjelaskan bahwa pembekuan bersifat preventif untuk melindungi masyarakat dari potensi risiko. “Kami juga akan memanggil PT. Terang Bulan Abadi dan PT. Sandina Abadi Nusantara untuk klarifikasi resmi dalam waktu dekat,” tegasnya di Jakarta Pusat, Minggu (4/4/2025).

Dugaan Pelanggaran Sistem Elektronik

Hasil penelusuran awal Komdigi mengungkap fakta mengejutkan: PT. Terang Bulan Abadi ternyata belum terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dan tidak memiliki TDPSE. Padahal, registrasi ini wajib berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 10 Tahun 2021.

Yang lebih mengkhawatirkan, layanan Worldcoin justru tercatat menggunakan TDPSE atas nama badan hukum lain, yaitu PT. Sandina Abadi Nusantara. “Ketidakpatuhan terhadap kewajiban pendaftaran dan penggunaan identitas badan hukum lain untuk menjalankan layanan digital merupakan pelanggaran serius,” tegas Alexander.

Komitmen Kominfo dalam Pengawasan Digital

Alexander menegaskan bahwa Komdigi berkomitmen penuh untuk mengawasi ekosistem digital secara adil dan tegas. Langkah pembekuan ini sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak akan mentolerir praktik penyelenggaraan sistem elektronik yang melanggar aturan.

Ia juga mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga keamanan ruang digital. “Kami imbau masyarakat tetap waspada terhadap layanan digital tidak sah dan segera melaporkan dugaan pelanggaran melalui kanal resmi pengaduan publik,” ujarnya. Ini sejalan dengan upaya Kominfo dalam memberantas praktik ilegal di dunia digital, seperti yang pernah dilakukan dalam kerja sama dengan Meta dan Google untuk memerangi judi online.

Kasus Worldcoin ini mengingatkan kita pada pentingnya regulasi di era digital. Seperti halnya kebijakan Australia yang akan membatasi media sosial untuk anak di bawah 16 tahun, setiap negara perlu memiliki rambu-rambu jelas untuk melindungi warganya.

Lalu, bagaimana nasib pengguna Worldcoin di Indonesia? Untuk sementara, masyarakat disarankan berhati-hati dan memastikan setiap layanan digital yang digunakan telah terdaftar resmi. Jika Anda ingin memeriksa legalitas suatu layanan, caranya tak jauh berbeda dengan prosedur pengecekan tilang ETLE secara online yang transparan dan terstandarisasi.

Dengan langkah tegas ini, Komdigi kembali menegaskan posisinya sebagai garda terdepan dalam pengawasan ekosistem digital Indonesia. Kita tunggu perkembangan klarifikasi dari pihak terkait dalam waktu dekat.

Visa Luncurkan AI Agent untuk Belanja Otomatis, Siapkah Anda?

0

Bayangkan asisten pribadi yang tak hanya memberi rekomendasi produk, tapi juga langsung membelikannya untuk Anda. Bukan manusia, melainkan kecerdasan buatan yang terhubung langsung dengan kartu kredit Anda. Inilah visi terbaru Visa yang bisa segera menjadi kenyataan.

Raksasa pembayaran global ini baru saja mengumumkan kolaborasi strategis dengan para pengembang AI terkemuka seperti OpenAI, Microsoft, dan Anthropic. Tujuannya? Menciptakan “agen cerdas” yang bisa melakukan transaksi secara mandiri atas nama pengguna. Inisiatif bernama “Visa Intelligent Commerce” ini digadang-gadang akan mengubah cara kita berbelanja, mirip revolusi dari belanja fisik ke online dulu.

Jack Forestell, Chief Product and Strategy Officer Visa, menggambarkan masa depan di mana AI akan menjelajah, memilih, membeli, dan mengelola kebutuhan kita. “Seperti pergeseran dari belanja fisik ke online, dan dari online ke mobile, Visa menetapkan standar baru untuk era perdagangan yang baru,” katanya dalam rilis resmi.

Bagaimana Cara Kerja AI Agent Visa?

Sistem ini akan menggunakan kartu khusus yang menggantikan detail kartu kredit tradisional dengan “kredensial digital bertoken” yang diklaim lebih aman. Pengguna bisa menginstruksikan agen AI untuk melakukan pembelian tertentu berdasarkan anggaran dan preferensi yang telah ditetapkan.

Konsep AI Agent Visa untuk belanja otomatis

Forestell membayangkan dua skenario utama penggunaan: untuk tugas rutin seperti belanja bahan makanan dan untuk pembelian kompleks seperti pemesanan perjalanan. Namun, ia menekankan bahwa AI tidak akan sepenuhnya menggantikan pengalaman belanja yang kita nikmati, seperti membeli barang mewah.

Tantangan Keamanan dan Privasi

Inisiatif ini tentu menimbulkan pertanyaan krusial: seberapa aman menyerahkan data keuangan sensitif kepada AI yang masih sering melakukan kesalahan? Visa menegaskan bahwa hanya konsumen yang bisa menginstruksikan agen dan mengaktifkan kredensial pembayaran.

Namun, kerja sama ini juga membuka akses bagi perusahaan AI terhadap riwayat transaksi pengguna (dengan persetujuan). Dmitry Shevelenko dari Perplexity menjelaskan bagaimana data ini bisa meningkatkan rekomendasi produk. “Ketika kami memberi rekomendasi – misalnya ‘Apa laptop terbaik?’ – kami akan tahu transaksi lain yang Anda lakukan dan preferensi yang terungkap dari sana.”

Persaingan dengan Mastercard

Visa bukan satu-satunya yang melihat peluang ini. Mastercard baru saja meluncurkan inisiatif serupa bernama “Agent Pay” dengan kolaborator yang sebagian sama, termasuk Microsoft dan OpenAI. Seperti Visa, agen AI Mastercard akan bisa memberikan rekomendasi dan melakukan pembelian.

Namun, implementasi nyata teknologi ini masih menyisakan tanda tanya. Pengguna awal “Operator” milik OpenAI mengeluhkan proses yang lambat dan masih membutuhkan pengawasan manusia untuk memasukkan password, informasi kartu kredit, dan menyetujui pembelian.

Visa berharap kolaborasinya dengan perusahaan teknologi akan memungkinkan agen AI benar-benar mandiri. “Masalah pembayaran bukan sesuatu yang bisa diselesaikan platform AI sendiri,” kata Forestell. “Itulah mengapa kami mulai bekerja dengan mereka.”

Dengan perkembangan pesat teknologi AI di berbagai perangkat, termasuk smartphone flagship seperti Samsung Galaxy S25, integrasi pembayaran cerdas ini mungkin akan segera menjadi bagian dari keseharian kita. Pertanyaannya: seberapa nyaman Anda menyerahkan keputusan belanja kepada mesin?

Samsung One UI 7 Bikin Boros Baterai Galaxy S23? Ini Faktanya

Telset.id – Baru saja merasakan manisnya pembaruan One UI 7 berbasis Android 15, pemilik Galaxy S23 malah dibuat pusing dengan laporan borosnya baterai. Isu ini ramai diperbincangkan di forum Reddit dan komunitas Samsung, memantik pertanyaan: apakah ini bug serius atau hanya fase adaptasi sementara?

One UI 7 yang dihadirkan dengan wajah baru dan fitur canggih seperti Audio Eraser sempat mengalami penundaan rilis karena masalah stabilitas. Kini, setelah update resmi digulirkan, pengguna Galaxy S23, S23+, dan S23 Ultra mengeluhkan penurunan drastis daya tahan baterai. Seorang pengguna Reddit mengaku harus mengisi daya “beberapa kali sehari” hanya untuk aktivitas ringan seperti browsing Reddit dan menonton YouTube.

Galaxy S23 dengan One UI 7 menunjukkan indikator baterai rendah

Dua Kubu yang Bertolak Belakang

Namun, tidak semua pengguna merasakan dampak negatif tersebut. Beberapa anggota forum justru melaporkan peningkatan efisiensi baterai dibandingkan One UI 6. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru di dunia Android. Setiap pembaruan besar seringkali diikuti masa adaptasi sistem yang memengaruhi kinerja baterai.

Menurut analisis Sammobile, pembaruan sistem cenderung mereset algoritma optimasi baterai yang telah mempelajari kebiasaan pengguna—seperti pola penggunaan aplikasi atau durasi layar aktif. Proses “belajar ulang” ini biasanya memakan waktu 1-2 minggu sebelum kembali stabil.

Perbandingan konsumsi baterai One UI 6 vs One UI 7 pada Galaxy S23

Mengapa Baterai Bisa Drop Pasca-Update?

Ada ironi menarik di sini: saat pertama kali dinyalakan, ponsel langsung mempelajari kebiasaan pengguna. Namun saat pembaruan besar datang, proses itu harus diulang dari nol. Seperti diungkapkan dalam review Galaxy Z Fold5, sistem AI Samsung membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan arsitektur software.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan pengguna:

  • Biarkan ponsel beradaptasi selama 3-5 hari
  • Lakukan kalibrasi baterai dengan mengisi daya hingga 100% lalu biarkan hingga 0%
  • Reset pengaturan jaringan jika terjadi peningkatan konsumsi data latar belakang

Tampilan pengaturan baterai One UI 7 pada Galaxy S23 Ultra

Jika masalah berlanjut setelah dua minggu, mungkin sudah saatnya menghubungi layanan resmi Samsung—seperti program penggantian layar gratis untuk Galaxy Note 20 Ultra yang bermasalah. Namun untuk kasus ini, kesabaran mungkin menjadi solusi terbaik sebelum mengambil tindakan lebih jauh.

Samsung Galaxy S25 Edge Bocor: Spesifikasi dan Harga Resmi Terungkap

Telset.id – Jika Anda mengira Samsung akan berhenti berinovasi setelah Galaxy S24, bersiaplah untuk terkejut. Bocoran terbaru dari WinFuture mengungkap detail lengkap Galaxy S25 Edge, yang rencananya akan diluncurkan pada 13 Mei mendatang. Ponsel ini tidak hanya menawarkan desain ultra-slim setebal 5,85 mm dengan frame titanium, tetapi juga membawa sejumlah peningkatan signifikan di sektor performa dan kamera.

Menurut laporan tersebut, Galaxy S25 Edge akan menjadi salah satu smartphone paling tipis di pasaran, dengan bobot hanya 163 gram. Desainnya yang elegan diperkuat oleh lapisan Corning Gorilla Glass Victus 2 di bagian belakang dan Gorilla Glass Ceramic 2 di bagian depan. Kombinasi material premium ini tidak hanya meningkatkan daya tahan, tetapi juga memberikan kesan mewah yang sulit ditandingi.

Samsung Galaxy S25 Edge

Spesifikasi Unggulan: Layar, Chipset, dan Baterai

Galaxy S25 Edge akan dibekali layar AMOLED 6,7 inci dengan resolusi 3120 × 1440 piksel dan refresh rate 120Hz. Teknologi ultrasonic under-display fingerprint sensor juga dipertahankan untuk keamanan yang lebih baik. Di balik layarnya, Snapdragon 8 Elite chipset siap memberikan performa gahar, didukung oleh RAM 12GB dan opsi penyimpanan 256GB atau 512GB.

Meski tipis, baterai 3.900mAh tetap dihadirkan dengan dukungan wireless charging. Ini menjadi kabar gembira bagi pengguna yang mengutamakan ketahanan baterai tanpa harus mengorbankan desain ramping.

Kamera 200MP dan Fitur AI

Sektor kamera menjadi salah satu sorotan utama. Galaxy S25 Edge mengusung sensor utama 200MP dengan OIS dan aperture f/1.7, sama seperti yang digunakan di varian Ultra. Sensor ini mampu menghasilkan foto zoom 2x berkualitas tinggi. Untuk lensa ultra-wide, Samsung memilih sensor 12MP dengan aperture f/2.2, sementara kamera depan menggunakan sensor 1/3.2″ S5K3LU dengan resolusi 12MP.

Di sisi perangkat lunak, One UI 7 berbasis Android 15 akan menghadirkan sejumlah fitur AI-assisted tools yang belum diungkap detailnya. Namun, fitur seperti IP68 rating, Bluetooth 5.4, dan Wi-Fi 7 sudah dipastikan tersedia.

Harga dan Ketersediaan

Di Jerman, Galaxy S25 Edge akan dijual mulai €1.249 untuk varian 256GB dan €1.369 untuk 512GB. Tersedia dalam tiga pilihan warna: Titanium Jet Black, Titanium Icy Blue, dan Titanium Silver. Sementara di AS, harga diprediksi dimulai dari $1.099 dengan rilis pada 30 Mei. Korea dan China akan menjadi pasar pertama yang mendapatkannya pada 23 Mei.

Dengan spesifikasi dan desain yang ditawarkan, Galaxy S25 Edge siap menjadi pesaing berat di segmen flagship 2025. Apakah Anda tertarik untuk memilikinya?

Samsung Galaxy S26: Exynos 2600 vs Snapdragon 8 Elite 2, Kembalinya Dual Chipset?

Telset.id – Jika Anda pengguna Samsung Galaxy di Eropa, bersiaplah untuk kemungkinan kembalinya era dual chipset. Bocoran terbaru mengindikasikan bahwa Samsung Galaxy S26 series, yang dijadwalkan rilis awal 2026, akan membawa kembali pembagian chipset antara Exynos dan Snapdragon—strategi yang sempat ditinggalkan di seri S25.

Menurut informasi dari tipster @Jukanlosreve di X (sebelumnya Twitter), Samsung berencana meluncurkan Galaxy S26 dengan dua varian chipset berbeda. Eropa akan mendapatkan Exynos 2600 berbasis proses 2nm, sementara wilayah lain seperti Amerika dan Asia akan ditenagai Snapdragon 8 Elite 2 dari Qualcomm. Namun, kabar baiknya: Galaxy S26 Ultra kemungkinan besar akan tetap menggunakan Snapdragon secara global, mengikuti jejak pendahulunya, Galaxy S24 Ultra.

Perbandingan Exynos 2600 dan Snapdragon 8 Elite 2

Mengapa Samsung Kembali ke Strategi Lama?

Keputusan Samsung ini bukan tanpa alasan. Seperti diungkap dalam artikel sebelumnya, perusahaan harus mengeluarkan biaya besar untuk mengganti Exynos 2500 dengan Snapdragon 8 Elite di Galaxy S25. Dengan mengoptimalkan produksi Exynos 2600 untuk pasar tertentu, Samsung bisa mengurangi ketergantungan pada Qualcomm sekaligus menguji pasar.

Namun, tantangan utama Exynos 2600 adalah masalah yield (tingkat keberhasilan produksi) yang hanya mencapai 40%, jauh di belakang TSMC yang memproduksi chip Snapdragon dengan yield 60%. Meski diklaim memiliki efisiensi 15-25% lebih baik, performa GPU Exynos masih sering dikeluhkan pengguna, terutama untuk gaming.

Bagaimana Dampaknya bagi Pengguna?

Sejarah membuktikan bahwa varian Exynos seringkali tertinggal dalam hal performa gaming dan efisiensi daya dibandingkan Snapdragon. Galaxy S22 dengan Exynos 2200 di Eropa, misalnya, memiliki masalah overheating dan baterai yang boros. Namun, Exynos 2400 di Galaxy S24 menunjukkan peningkatan signifikan—apakah Exynos 2600 bisa melanjutkan tren positif ini?

Galaxy S25 Series

Jika Anda penggemar game mobile, varian Snapdragon mungkin tetap menjadi pilihan terbaik berkat Adreno GPU-nya yang lebih matang. Namun, untuk penggunaan sehari-hari, Exynos 2600 bisa memberikan pengalaman yang cukup mumpilan—terutama jika Samsung berhasil mengoptimalkan software-nya.

Pertanyaan besarnya: apakah strategi dual chipset ini akan kembali menuai protes dari fans Samsung, atau justru menjadi langkah cerdas untuk diversifikasi pasokan? Jawabannya akan kita dapatkan ketika Galaxy S26 resmi dirilis pada Januari 2026 nanti.

Drones China Sebarkan Bahan Kimia, Hasilkan Hujan Setara 30 Kolam Renang Olimpiade

0

Pernahkah Anda membayangkan mengendalikan cuaca hanya dengan secangkir bubuk? Di Xinjiang, China, hal itu bukan lagi khayalan. Sebuah eksperimen modifikasi cuaca menggunakan drone berhasil meningkatkan curah hujan hingga 4% dalam satu hari—setara dengan 18,5 juta galon air atau cukup untuk mengisi 30 kolam renang Olimpiade!

Operasi yang dipimpin oleh China Meteorological Administration ini menggunakan hanya 2,2 pon silver iodide, senyawa umum dalam penyemaian awan. Jumlah ini cukup kecil untuk dimasukkan ke dalam cangkir travel, namun dampaknya luar biasa. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Desert and Oasis Meteorology pada 10 April lalu.


Teknologi Drone Ubah Paradigma Penyemaian Awan

Dua tahun lalu, dua jenis drone menengah terbang hingga ketinggian 18.000 kaki di atas Bayanbulak Grasslands. Mereka membawa batang api berisi silver iodide yang dilepaskan sebagai asap ke atmosfer. Setiap penerbangan menggunakan dua batang, masing-masing berisi 125 gram senyawa tersebut.

Drones spread a cup of cloud seed in China, causing 30 swimming pools of rain

Menurut para peneliti, sistem drone menawarkan beberapa keunggulan:

  • Risiko keselamatan lebih rendah
  • Manoeuvrabilitas superior
  • Kontrol yang presisi
  • Cakupan area yang luas

Validasi Hasil dengan Tiga Metode Berbeda

Tim peneliti bekerja sama dengan Xinjiang’s Weather Modification Office menggunakan tiga metode validasi:

  1. Pengukuran tetesan hujan menunjukkan peningkatan ukuran dari 0,46mm menjadi 3,22mm setelah penyemaian
  2. Gambar satelit menunjukkan pendinginan puncak awan hingga 50°F
  3. Pertumbuhan awan sekitar 1,8 mil

Analisis data iklim 50 tahun memperkirakan peningkatan curah hujan sebesar 3,8%, sangat dekat dengan hasil simulasi yang memprediksi kenaikan 4,3%. “Ini menunjukkan konsistensi yang luar biasa antara prediksi dan realita,” tulis para peneliti dalam laporannya.

Tantangan dan Pertanyaan Etis

Eksperimen ini juga memunculkan beberapa pertanyaan kritis:

  • Bagaimana menentukan apakah operasi benar-benar meningkatkan atau justru menekan presipitasi?
  • Metrik apa yang harus digunakan untuk mengukur volume air yang diperoleh atau hilang?
  • Bagaimana manfaat ini bisa diskalakan dalam setahun?

Xinjiang, yang mencakup bagian dari Gurun Gobi dan Taklamakan, menghadapi tantangan serius dari penyusutan gletser dan desertifikasi. Lapisan es Pegunungan Tianshan, yang vital bagi kehidupan 25 juta orang, menyusut 0,8 hingga 1,15 mil persegi setiap tahun.

World-first: Sea drone shoots down fighter jet in Russia during active war

Namun, wilayah ini mengalami peningkatan curah hujan sekitar 0,25 inci per dekade karena perubahan iklim. Upaya geoengineering China, termasuk hutan buatan dan panel surya, diduga mempercepat proses penghijauan alami.

Teknologi modifikasi cuaca bukan hal baru di China. Praktik serupa telah dilakukan di berbagai wilayah termasuk Guizhou, Shanghai, Gansu, dan Sichuan. Namun, penggunaan drone membawa dimensi baru dalam presisi dan efisiensi operasi.

Seperti yang terjadi di teori konspirasi Bill Gates tentang geoengineering, teknologi ini selalu menuai pro dan kontra. Namun dengan hasil nyata seperti ini, mungkin kita sedang menyaksikan awal dari revolusi pengelolaan sumber daya air global.

Unreal Engine 6 Bakal Hadir dalam 2-3 Tahun, Ini Bocoran Tim Sweeney

Telset.id – Jika Anda berpikir Unreal Engine 5 sudah puncak teknologi game development, bersiaplah untuk terkejut. Tim Sweeney, Presiden Epic Games, baru saja mengungkap rencana besar untuk Unreal Engine 6 dalam wawancara eksklusif dengan Lex Friedman Podcast. Kabarnya, mesin game revolusioner ini akan menyatukan semua perkembangan teknologi yang saat ini masih terpisah-pisah.

Dalam obrolan yang mengupas tuntas masa depan industri game, Sweeney mengungkap bahwa Epic Games sedang bekerja pada dua jalur pengembangan paralel: Unreal Engine 5 untuk pengembang game dan versi khusus untuk komunitas Fortnite. “Kami punya dua jalur progres berbeda. Tidak semua fitur UE5 tersedia di Fortnite karena kami belum bisa menerapkannya secara konsisten di ketujuh platform,” ujarnya.

Unifikasi Teknologi Game Masa Depan

Menurut Sweeney, titik temu dari semua pengembangan ini adalah Unreal Engine 6. Meski belum ada timeline pasti, preview pertama untuk developer diprediksi muncul dalam 2-3 tahun mendatang. “Ini masih beberapa tahun lagi. Kami terus membuat progres menuju sana,” tambahnya.

Tim Sweeney membahas Unreal Engine 6

Yang menarik, Sweeney secara terbuka mengakui keterbatasan utama teknologi saat ini: simulasi single-threaded. Keputusan ini awalnya diambil untuk menyederhanakan proses pengembangan, baik bagi Epic sendiri maupun para developer. Namun, di era prosesor multi-core, ini menjadi hambatan besar yang akan diatasi UE6.

“Kami menjalankan simulasi single-threaded. Jika Anda punya CPU 16 core, kami hanya menggunakan satu core untuk simulasi game karena pemrograman single-thread jauh lebih mudah,” jelas Sweeney. “Tapi ini menjadi keterbatasan yang semakin nyata. UE6 akan menjadi generasi di mana kami mengatasi berbagai batasan inti yang ada sejak awal sejarah Unreal Engine.”

Jalan Panjang Menuju UE6

Jika melihat timeline Unreal Engine 5, preview pertama dirilis awal 2022, sementara game pertama yang memanfaatkannya baru muncul pertengahan hingga akhir 2023—seperti Layers of Fear Remake, Remnant II, dan Immortals of Aveum. Dengan pola serupa, game UE6 pertama mungkin baru akan kita mainkan sekitar 2028-2029.

Perlu dicatat, transisi ke multi-threading bukan perkara mudah. Seperti diungkapkan dalam artikel tentang Snapdragon 8 Gen 2, arsitektur prosesor modern memang dirancang untuk komputasi paralel. Namun, mengadaptasi game engine ke paradigma ini membutuhkan perubahan fundamental dalam cara developer membuat game.

Epic tampaknya serius membawa industri game ke level berikutnya. Dengan UE6, bukan tidak mungkin kita akan melihat game dengan NPC yang lebih cerdas berkat teknologi seperti NVIDIA Avatar Cloud Engine, atau remake legenda seperti GTA San Andreas dengan realisme yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Jadi, siapkah Anda menyambut era baru game development? Satu hal yang pasti: dengan Unreal Engine 6, batas antara dunia virtual dan nyata akan semakin kabur.

Honor 400 Series Bocoran Resmi: Desain dan Spesifikasi Gahar

Telset.id – Honor kembali membuat gebrakan di pasar smartphone global. Setelah sukses dengan seri 300 tahun lalu, kini perusahaan asal China itu bersiap meluncurkan penerusnya: Honor 400 series. Bocoran terbaru menunjukkan, lini baru ini akan datang dengan peningkatan signifikan di segi desain dan performa.

Melalui teaser resmi yang dirilis pekan ini, Honor memberikan sekilas gambaran tentang desain kamera belakang yang akan menjadi ciri khas seri 400. Gambar tersebut menampilkan modul kamera bundar besar dengan tiga lensa yang tersusun simetris, dilengkapi kemungkinan unit LED flash. Yang menarik, frasa “Next-Gen AI Imaging” terpampang jelas, mengisyaratkan fokus kuat pada fotografi berbasis kecerdasan buatan.

Honor 400 series teaser

Menurut sumber terpercaya, Honor 400 series akan terdiri dari dua varian: Honor 400 dan Honor 400 Pro. Keduanya diprediksi akan meluncur di Malaysia pada Mei ini, sebelum akhirnya menyebar ke pasar global lainnya. Honor juga dikabarkan akan merilis versi khusus untuk pasar China dengan beberapa perbedaan spesifikasi.

Spesifikasi Honor 400: Layar Super Terang, Baterai Tahan Lama

Varian standar Honor 400 dikabarkan akan membawa layar AMOLED datar 6,55 inci dengan refresh rate 120Hz. Yang mencolok, layar ini disebut mampu mencapai kecerahan puncak hingga 5000 nits – angka yang cukup impresif untuk segmen menengah atas. Di balik layar, Snapdragon 7 Gen 3 akan menjadi otaknya, didukung RAM 8GB dan pilihan penyimpanan 256GB atau 512GB.

Sistem kameranya tak kalah menarik. Honor 400 dikabarkan akan mengusung sensor utama 200MP dengan stabilisasi optik (OIS), didampingi lensa ultrawide 12MP. Untuk selfie, kamera depan 50MP siap memanjakan pengguna. Daya tahan baterai 5300mAh dengan dukungan fast charging 66W menjadi nilai plus, ditambah sertifikasi ketahanan air dan debu IP65. Dengan bobot hanya 184 gram dan ketebalan 7,3mm, perangkat ini menjanjikan kenyamanan genggaman yang optimal.

Honor 400 Pro: Flagship Killer dengan Performa Top

Bagi yang menginginkan performa lebih gahar, Honor 400 Pro siap memenuhi ekspektasi. Varian ini dikabarkan akan mengusung layar AMOLED 6,7 inci beresolusi 1,5K dengan refresh rate 120Hz dan kecerahan sama tingginya (5000 nits). Yang membedakan adalah panel quad-curved yang memberikan kesan premium.

Di bagian dapur pacu, Snapdragon 8 Gen 3 – chipset flagship Qualcomm – akan menjadi jantungnya, dipadukan RAM 12GB. Sistem kamera belakang tetap mengandalkan sensor utama 200MP dengan OIS, tapi ditambah lensa telephoto 50MP dan ultrawide 12MP. Kamera selfie tetap 50MP, sementara baterai 5300mAh-nya mendukung fast charging 100W. Ketahanan perangkat juga ditingkatkan dengan sertifikasi IP68/IP69, meski bobotnya sedikit lebih berat di angka 205 gram dengan ketebalan 8,1mm.

Kabar terbaru ini menunjukkan betapa Honor serius bersaing di pasar smartphone global. Setelah memisahkan diri dari Huawei, perusahaan ini terus menunjukkan inovasinya. Seperti yang terlihat pada Honor Play 4 Pro dan Honor 30, strategi mereka jelas: menawarkan spesifikasi premium dengan harga kompetitif.

Dengan peluncuran yang diprediksi terjadi bulan ini, apakah Honor 400 series akan menjadi penantang serius di kelas menengah atas? Jawabannya mungkin terletak pada harga yang akan ditawarkan. Jika Honor bisa mempertahankan strategi harga agresif seperti sebelumnya, pasar smartphone global mungkin akan mendapat penantang baru yang patut diperhitungkan.

Robot Humanoid 3D-Printable Seharga $5K, Inovasi Terbaru dari AS

0

Bayangkan memiliki robot humanoid canggih yang bisa berjalan, melompat, dan dikendalikan dari jarak jauh—dengan biaya hanya $5.000. Tidak perlu bermimpi lagi, karena University of California, Berkeley, baru saja meluncurkan Berkeley Humanoid Lite, robot humanoid sumber terbuka yang bisa dicetak 3D dan dirakit dengan mudah.

Di tengah maraknya robot humanoid komersial yang harganya bisa mencapai ratusan ribu dolar, kehadiran Berkeley Humanoid Lite seperti angin segar. Robot ini dirancang khusus untuk peneliti, pendidik, dan penggemar robotika yang ingin bereksperimen tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.


“Kami ingin mendemokratisasi pengembangan robot humanoid,” ujar tim peneliti UC Berkeley dalam pernyataan resminya. Dengan desain yang sepenuhnya terbuka, siapa pun bisa memodifikasi, memperbaiki, atau mengembangkan robot ini sesuai kebutuhan.

Desain Inovatif dengan Gearbox Cycloidal

Kunci utama dari harga terjangkau Berkeley Humanoid Lite terletak pada penggunaan gearbox cycloidal yang dicetak 3D. Gearbox jenis ini terkenal karena kepadatannya yang tinggi, ukurannya yang kompak, dan ketahanannya terhadap beban kejut.

Robot Humanoid Berkeley yang bisa dicetak 3D

“Dengan mengadopsi desain gear cycloidal, kami bisa mengatasi keterbatasan kekuatan pada bagian yang dicetak 3D,” jelas tim peneliti. Robot ini menggunakan 22 aktuator gear untuk bergerak, dengan bagian aluminium tambahan untuk meningkatkan kekuatan struktural.

Spesifikasi dan Kemampuan

Berikut detail lengkap Berkeley Humanoid Lite:

  • Tinggi: 0,8 meter (2,6 kaki)
  • Berat: 16 kg (35 pon)
  • Kebutuhan printer 3D: minimal 200 x 200 x 200 mm
  • Kemampuan: berjalan, melompat, kontrol jarak jauh
  • Pembelajaran: reinforcement learning untuk transfer skill dari simulasi ke dunia nyata

Akses Terbuka untuk Semua

Yang membuat proyek ini istimewa adalah komitmen tim untuk membuka semua desain, file CAD, kode pemrograman, dan materi pelatihan melalui GitHub resmi. Bahkan panduan dasar untuk motion capture dan kode kontrol pun tersedia gratis.

“Dengan membuat semuanya terbuka dan mudah diakses, kami berharap Berkeley Humanoid Lite bisa menjadi langkah penting dalam mendemokratisasi pengembangan robot humanoid,” tegas tim peneliti.

Inovasi ini sejalan dengan tren robotika sumber terbuka lainnya seperti robot mikro berbentuk benang yang sedang dikembangkan para peneliti.

Masa Depan Robotika yang Terjangkau

Keberhasilan UC Berkeley membuktikan bahwa robot humanoid canggih tidak harus mahal. Dengan biaya kurang dari $5.000—hanya 5% dari harga robot komersial sejenis—proyek ini membuka pintu bagi lebih banyak inovasi di bidang robotika.

Apakah ini awal dari revolusi robotika terjangkau? Dengan semakin banyaknya proyek sumber terbuka seperti ini, masa depan di mana setiap orang bisa memiliki robot humanoid di rumah mungkin tidak terlalu jauh lagi.

CATL Jadi Produsen Baterai Pertama yang Penuhi Standar ‘No Fire, No Explosion’

0

Bayangkan baterai kendaraan listrik Anda tiba-tiba terbakar di tengah jalan. Tak hanya merugikan, ini bisa membahayakan nyawa. Kini, kekhawatiran itu mulai terjawab dengan terobosan terbaru dari raksasa baterai asal Tiongkok.

Contemporary Amperex Technology (CATL), produsen baterai terbesar di dunia, baru saja mencatat sejarah. Perusahaan ini menjadi yang pertama memenuhi standar keamanan nasional Tiongkok ‘No Fire, No Explosion’ yang akan berlaku mulai Juli 2026. Sebuah prestasi yang menandai era baru keamanan baterai untuk kendaraan listrik.


Standar baru ini bukan sekadar formalitas. Dalam uji coba ketat, baterai harus mampu bertahan dari thermal runaway (kegagalan termal) tanpa memicu kebakaran atau ledakan. Sebuah tantangan teknis yang selama ini menjadi momok industri otomotif listrik global.

Revolusi Standar Keamanan Baterai

Chinese battery-maker becomes the first to meet 'No Fire, No Explosion' standard

GB 38031-2025, nama resmi standar baru ini, memperkenalkan persyaratan yang jauh lebih ketat dibanding versi sebelumnya. Jika sebelumnya baterai hanya perlu memberikan peringatan sebelum terjadi kebakaran, kini mereka harus benar-benar mencegahnya.

“Ini seperti meminta air untuk tidak membasahi,” ujar seorang analis industri yang enggan disebutkan namanya. “Thermal runaway adalah reaksi berantai yang sulit dikendalikan. Fakta bahwa CATL berhasil memenuhi standar ini menunjukkan lompatan teknologi yang signifikan.”

Dua tes utama yang harus dilalui:

  • Uji benturan dasar: Simulasi kecelakaan dimana baterai terkena benturan dari bawah kendaraan
  • Uji pengisian cepat: Baterai harus bertahan setelah 300 siklus pengisian cepat diikuti uji hubungan pendek

Teknologi Qilin: Rahasia Dibalik Kesuksesan CATL

Kunci keberhasilan CATL terletak pada baterai Qilin, generasi ketiga teknologi cell-to-pack (CTP) mereka. Diluncurkan pertama kali Juni 2022, baterai ini menawarkan:

  • Tingkat pemanfaatan volume 72% (tertinggi di industri)
  • Kepadatan energi hingga 255 Wh/kg
  • Struktur penahan beban yang stabil
  • Perlindungan thermal runaway yang ditingkatkan

Lebih dari 18 juta kendaraan di seluruh dunia telah menggunakan baterai CATL per Februari 2025. Qilin sendiri telah diadopsi oleh merek-merek ternama seperti Aito, Zeekr, Li Auto, dan Xiaomi – yang baru-baru ini meluncurkan smartphone dengan baterai besar.

Dampak bagi Industri Global

Pencapaian CATL ini diperkirakan akan memicu perlombaan standar keamanan baterai global. Beberapa analis memprediksi Uni Eropa dan Amerika Serikat akan segera menyusul dengan regulasi serupa.

“Ini bukan sekadar tentang keamanan, tapi juga kepercayaan konsumen,” jelas Dr. Zhang Wei, pakar energi terbarukan dari Universitas Tsinghua. “Dengan kasus kebakaran kendaraan listrik yang sering viral, standar seperti ini bisa menjadi pembeda utama di pasar.”

CATL sendiri mengumumkan bahwa laporan uji mereka dikeluarkan oleh China Automotive Technology and Research Center (CATARC), lembaga sertifikasi independen terkemuka di Tiongkok. CATARC juga mengelola program C-NCAP yang mengevaluasi keselamatan kendaraan.

World-first: Sea drone shoots down fighter jet in Russia during active war

Ke depan, CATL berkomitmen untuk terus meningkatkan keamanan baterai melalui inovasi di tiga area utama:

  1. Pengendalian penyebaran panas untuk mencegah overheating
  2. Perlindungan benturan dasar yang lebih kuat
  3. Keamanan pengisian cepat

Sementara produsen lain seperti ZTE dengan baterai 10.000mAh dan Vivo dengan teknologi AI fokus pada kapasitas, CATL membuktikan bahwa keamanan tidak boleh dikorbankan.

Dengan standar baru ini, masa depan kendaraan listrik tampaknya akan lebih aman. Tapi pertanyaannya: Akankah produsen lain mampu menyusul, atau CATL akan mempertahankan keunggulannya?

Dibalik Ramah Lingkungan, Tambang Nikel untuk Baterai EV Ternyata Cemari Air

Pernahkah Anda berpikir bahwa mobil listrik yang digadang-gadang sebagai solusi ramah lingkungan justru menyimpan masalah besar di balik layar? Faktanya, industri kendaraan elektrik (EV) yang sedang booming ternyata menyimpan cerita kelam tentang eksploitasi lingkungan dan kesehatan masyarakat di negara penghasil nikel seperti Indonesia.

Harita Group, konglomerat raksasa Indonesia, menjadi sorotan setelah investigasi terbaru mengungkap praktik pembuangan limbah kimia beracun selama lebih dari satu dekade. Operasi penambangan nikel mereka—bahan baku vital untuk baterai EV—ternyata mencemari perairan lokal dengan kromium-6, zat karsinogenik berbahaya yang sama seperti dalam kasus Erin Brockovich.

Ironisnya, sementara negara-negara maju menikmati udara bersih berkat EV, masyarakat di sekitar tambang justru menanggung dampak kesehatan yang mengerikan. Lantas, seberapa “hijau” sebenarnya industri kendaraan listrik ini?

Skandal Pembuangan Limbah yang Disembunyikan

Investigasi oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) membongkar ribuan email internal yang membuktikan Harita sengaja menyembunyikan data pencemaran kromium-6 sejak 2012. Padahal, perusahaan ini memiliki tim ilmuwan lingkungan yang rutin mengambil sampel air dan tanah.

Tambang nikel untuk baterai EV

“Mohon tidak menyampaikan informasi ini ke publik saat ini karena situasi yang tidak menguntungkan,” bunyi salah satu permintaan Harita kepada pemerintah dalam dokumen yang bocor. Pernyataan resmi perusahaan di 2023 mengklaim kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, tetapi fakta lapangan berbicara lain.

Kromium-6: Silent Killer di Balik Baterai EV

Kromium-6 (hexavalent chromium) adalah byproduct beracun dari proses ekstraksi nikel suhu tinggi. Zat ini dikenal sebagai penyebab kanker, kerusakan hati, dan gangguan reproduksi. Yang mengkhawatirkan, pencemaran ini terjadi di wilayah yang menjadi jantung industri baterai EV global.

Indonesia saat ini merupakan eksportir nikel terbesar dunia, menyuplai 40% kebutuhan global. Dengan permintaan baterai EV yang diprediksi meningkat 500% pada 2030, tekanan ekologis terhadap wilayah pertambangan seperti Sulawesi dan Maluku semakin mengkhawatirkan.

Greenwashing Industri EV?

Kasus Harita mengungkap paradoks besar industri otomotif elektrik: solusi iklim untuk negara maju justru menjadi bencana ekologi bagi negara berkembang. Smelter nikel berbahan bakar batu bara milik Harita saja menyumbang hampir 1% total emisi karbon Indonesia pada 2023.

Fenomena ini mirip dengan solusi plastik ramah lingkungan yang ternyata menciptakan masalah baru. Teknologi hijau seringkali hanya memindahkan polusi ke wilayah yang kurang terlihat.

Masa Depan Industri EV yang Lebih Bertanggung Jawab

Solusi nyata membutuhkan pendekatan holistik. Pertama, transparansi data lingkungan harus menjadi syarat mutlak dalam rantai pasok baterai. Kedua, pengembangan teknologi daur ulang baterai seperti pada Nissan Leaf perlu dipercepat untuk mengurangi ketergantungan pada tambang baru.

Terakhir, sistem pemantauan lingkungan real-time seperti Edimax Airbox bisa diadaptasi untuk memantau kualitas air di sekitar lokasi pertambangan. Tanpa perubahan sistemik, transisi energi hijau hanya akan menjadi beban baru bagi komunitas marginal.

Pertanyaan besarnya: sampai kapan kita akan menutup mata terhadap biaya manusia dan lingkungan dari teknologi “ramah lingkungan” yang kita gunakan? Mungkin sudah waktunya untuk memikirkan ulang apa arti keberlanjutan yang sesungguhnya.