Beranda blog Halaman 145

Meta Kembali Kembangkan Teknologi Pengenalan Wajah di Kacamata Pintar

0

Telset.id – Bayangkan berjalan di mal dan tiba-tiba seseorang menyapa Anda dengan nama. Bukan karena mereka mengenal Anda, tapi karena kacamata pintar mereka telah memindai wajah Anda dan menampilkan identitas Anda. Ini bukan adegan dari film sci-fi, melainkan realitas yang sedang dipersiapkan Meta.

Bocoran terbaru dari The Information mengungkap bahwa Meta sedang mengembangkan fitur “super sensing” untuk kacamata pintar generasi berikutnya. Fitur ini akan mengaktifkan pengenalan wajah (facial recognition) secara real-time, memungkinkan pengguna mengenali orang di sekitar hanya dengan melihat melalui lensa kacamata. Teknologi ini rencananya akan diluncurkan pada perangkat yang dirilis tahun 2026.

Ilustrasi kacamata pintar Meta dengan teknologi pengenalan wajah

Dari “Glasshole” ke “Metahole”?

Meta sebelumnya sempat menguji teknologi serupa pada kacamata Ray-Ban kolaborasinya, tetapi akhirnya mengurungkan niat karena potensi kontroversi privasi. Namun, kini perusahaan tampaknya lebih berani mengambil risiko. Menurut laporan, fitur ini tidak akan aktif secara default—pengguna harus mengaktifkannya secara manual. Namun, orang-orang yang wajahnya dipindai tidak akan diberi pilihan untuk menolak.

Yang lebih mengkhawatirkan, Meta dikabarkan mempertimbangkan untuk menghilangkan indikator lampu yang biasanya menyala saat kacamata merekam. Pada model saat ini, lampu ini berfungsi sebagai notifikasi visual bahwa perangkat sedang mengumpulkan data. Jika dihilangkan, orang-orang di sekitar pengguna tidak akan tahu bahwa mereka sedang dipindai.

Perubahan Kebijakan Privasi yang Kontroversial

Keputusan Meta untuk menghidupkan kembali teknologi pengenalan wajah bertepatan dengan perubahan kebijakan privasi yang menuai kritik. Pada April 2025, perusahaan memperbarui ketentuannya sehingga asisten AI di kacamata pintar kini aktif secara default. Pengguna harus menonaktifkan frasa “Hey Meta!” jika tidak ingin perangkat selalu mendengarkan.

Selain itu, Meta juga menghapus opsi untuk menolak penyimpanan rekaman suara. Artinya, setiap percakapan yang terekam oleh kacamata bisa digunakan untuk melatih model AI perusahaan. Langkah ini dinilai banyak pihak sebagai bentuk pengabaian terhadap hak privasi pengguna.

Kacamata pintar Meta dengan kamera yang sedang diuji

Dampak Politik dan Regulasi

The Information mencurigai bahwa perubahan kebijakan Meta terkait erat dengan iklim politik di AS pasca-pemilihan ulang Donald Trump. FTC (Federal Trade Commission) di bawah kepemimpinan baru disebut lebih longgar dalam menerapkan regulasi privasi. Komisioner FTC Melissa Holyoak bahkan menyatakan akan mengambil pendekatan “fleksibel” dalam penegakan privasi digital.

Kondisi ini memberi ruang bagi perusahaan teknologi seperti Meta untuk menguji batas privasi pengguna. Tanpa tekanan regulasi yang kuat, inovasi-inovasi kontroversial seperti pengenalan wajah di perangkat wearable bisa menjadi lebih umum di pasaran.

Apakah kita akan melihat era baru di mana setiap interaksi sosial terekam dan dianalisis oleh AI? Atau akan ada perlawanan publik seperti yang terjadi pada Google Glass dulu? Jawabannya mungkin akan kita dapatkan dalam beberapa tahun ke depan.

Kacamata Meta Ray-Ban dengan case di atas permukaan kain

Sementara itu, persaingan di pasar kacamata AR semakin ketat. Seperti dilaporkan Telset sebelumnya, Apple juga dikabarkan sedang mengembangkan perangkat sejenis. Bedanya, sejauh ini belum ada indikasi bahwa Apple akan mengintegrasikan teknologi pengenalan wajah semasif Meta.

Bagaimana pendapat Anda? Apakah fitur pengenalan wajah di kacamata pintar merupakan terobosan yang berguna atau ancaman bagi privasi? Beri tahu kami di kolom komentar.

Starlink Elon Musk Untung Besar dari Tarif Trump, Begini Faktanya

0

Telset.id – Kebijakan tarif impor pemerintahan Donald Trump telah memicu gejolak ekonomi global. Namun di balik tekanan finansial yang dirasakan banyak negara, ada satu nama yang justru menuai keuntungan besar: Elon Musk dan perusahaan satelit internetnya, Starlink.

Laporan eksklusif dari Washington Post mengungkap bagaimana negara-negara yang terkena dampak tarif Trump berbondong-bondong menjalin kerja sama dengan Starlink. Lesotho, misalnya, yang tiba-tiba dikenai pajak impor 50%, langsung menandatangani kontrak dengan Starlink dua minggu setelah pengumuman tarif.

Presiden Trump dan Elon Musk berjabat tangan di sebuah acara

Strategi Diplomasi Digital

Menurut dokumen internal Departemen Luar Negeri AS yang diperoleh Washington Post, Lesotho secara eksplisit menyebut kerja sama dengan Starlink sebagai “bukti niat baik” dalam negosiasi perdagangan dengan AS. Pola serupa terlihat di Bangladesh, Kongo, India, Pakistan, Somalia, dan Vietnam—semuanya mempercepat proses persetujuan Starlink bersamaan dengan pembicaraan tarif.

“Ini bukan kebetulan,” tulis analis kebijakan teknologi di Post. “Negara-negara ini membaca situasi dengan cermat. Berbisnis dengan perusahaan milik tokoh dekat Trump bisa menjadi kartu as dalam negosiasi.”

Perang Satelit AS vs China

Di balik layar, motif geopolitik tampak lebih jelas. AS sedang berlomba dengan China untuk mendominasi pasar internet satelit global. Perusahaan China seperti Galaxy Space dikabarkan sedang mengembangkan alternatif Starlink.

“Ini soal pengaruh digital,” jelas pakar hubungan internasional. “Dengan memasang infrastruktur internetnya, AS sekaligus menanamkan ketergantungan teknologi di negara-negara berkembang.”

Ilustrasi persaingan teknologi satelit

Elon Musk: Antara Bisnis dan Politik

Posisi unik Musk—sebagai CEO SpaceX sekaligus figur yang kerap berinteraksi dengan Trump—menimbulkan pertanyaan etis. Meski pemerintah AS menyangkal secara resmi mendorong Starlink, fakta bahwa Musk pernah menjadi anggota tim transisi Trump di 2016 membuat banyak pihak meragukan netralitas kebijakan ini.

India, salah satu pasar terbesar Starlink, dilaporkan memangkas birokrasi untuk izin operasional perusahaan. Sebuah langkah yang dianggap tidak biasa mengingat ketatnya regulasi telekomunikasi di sana.

Artikel terkait: Elon Musk dan Kontroversi Boikot Tesla-Starlink

Di tengah kompleksitas ini, satu hal yang pasti: geopolitik abad 21 tidak lagi hanya tentang minyak atau senjata, melainkan konektivitas digital. Dan Musk, dengan jaringan satelitnya, sedang berada di pusat permainan.

Apple Eksplorasi AI di Safari Saat Masa Depan Kerja Sama dengan Google Dipertanyakan

0

Telset.id – Jika Anda berpikir browser Safari akan stagnan dengan Google sebagai mesin pencari default-nya, bersiaplah untuk perubahan besar. Apple dikabarkan sedang mengeksplorasi integrasi alat pencarian berbasis kecerdasan buatan (AI) ke dalam Safari, sebuah langkah strategis di tengah ketidakpastian masa depan kerja samanya dengan Google.

Laporan eksklusif dari Bloomberg yang ditulis oleh Mark Gurman mengungkap bahwa Apple, melalui Eddy Cue—kepala divisi layanannya—telah menyatakan minatnya terhadap teknologi pencarian AI. Pernyataan ini muncul dalam persidangan kasus antimonopoli Departemen Kehakiman AS terhadap Alphabet Inc., induk perusahaan Google.

Header image with the Safari browser icon

Mengapa Apple Berpaling ke AI?

Eddy Cue mengungkapkan bahwa untuk pertama kalinya, jumlah pencarian di Safari mengalami penurunan. Menurutnya, fenomena ini disebabkan oleh pergeseran pengguna yang mulai beralih ke layanan AI seperti ChatGPT, Perplexity AI, dan Anthropic untuk mendapatkan jawaban langsung tanpa perlu membuka hasil pencarian tradisional.

“Sebelum era AI, tidak ada alternatif yang benar-benar valid. Sekarang, ada pendatang baru yang menangani masalah pencarian dengan cara berbeda,” ujar Cue. Apple bahkan dikabarkan telah melakukan pembicaraan dengan Perplexity AI, meskipun belum ada keputusan untuk menjadikannya default di Safari.

Dampak Kasus Antimonopoli Google

Kerja sama Apple dan Google selama ini menghasilkan miliaran dolar bagi Apple, berkat kesepakatan yang menjadikan Google sebagai mesin pencari default di Safari. Namun, kasus antimonopoli ini bisa mengancam aliran pendapatan tersebut. Meski demikian, Cue menegaskan bahwa Google masih menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

Namun, Apple tidak tinggal diam. Mereka telah mengintegrasikan ChatGPT ke dalam Siri dan berencana menambahkan Gemini, AI milik Google, dalam waktu dekat. Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya Apple dalam mengadopsi teknologi AI untuk memperkuat ekosistemnya.

Johanna Romero, Senior News Writer

Masa Depan Pencarian AI di Safari

Cue optimistis bahwa teknologi AI akan terus berkembang, terutama dalam hal indeks pencarian. “Dengan banyaknya pemain besar dan pendanaan yang memadai, saya yakin transisi ke pencarian AI tidak bisa dihindari,” katanya.

Jika Apple benar-benar membawa opsi pencarian AI ke Safari, pengguna bisa mendapatkan jawaban lebih cepat tanpa harus mengunjungi banyak situs. Namun, tantangan utamanya adalah memastikan kualitas dan keakuratan informasi yang disajikan oleh AI.

Perubahan ini juga bisa berdampak besar pada industri pencarian online. Google, yang selama ini mendominasi, harus berinovasi lebih cepat untuk mempertahankan posisinya. Sementara itu, Apple berpeluang menciptakan pengalaman browsing yang lebih cerdas bagi jutaan penggunanya.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Apple terkait Safari, Anda bisa membaca artikel kami sebelumnya: Dituding Serahkan Data Safari ke China, Begini Tanggapan Apple.

Pengisian Ultracepat Baterai EV Bisa Perpendek Umur Hingga 40%

0

Telset.id – Pengisian daya ultracepat (ultrafast charging) sering dianggap sebagai solusi pamungkas untuk mengatasi kekhawatiran pengguna mobil listrik (EV). Namun, penelitian terbaru mengungkap fakta mengejutkan: teknologi ini justru bisa memperpendek umur baterai hingga 40%!

40% shorter EV battery life: Ultrafast charging can do more harm than good

Dilema Pengisian Cepat vs Umur Baterai

Seperti halnya smartphone, baterai lithium-ion pada EV juga rentan terhadap efek negatif pengisian ultracepat. “Pengisian di atas 120 kW terbukti mempercepat degradasi sel baterai secara signifikan,” jelas Ameya Paleja, peneliti baterai dari Hyderabad, India. Padahal, beberapa produsen kini menawarkan charger berdaya hingga 500 kW yang mengklaim bisa mengisi 80% baterai hanya dalam 5 menit.

Ironisnya, kelompok yang paling terdampak justru penyedia layanan transportasi online. “Mobil listrik untuk ride-hailing biasanya menempuh 100 km per hari dan mengandalkan pengisian cepat untuk meminimalkan downtime,” tambah Paleja. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa memangkas masa pakai baterai hingga 40% dibandingkan pengisian reguler.

Solusi dan Tantangan Garansi

Beberapa produsen mulai mengembangkan teknologi baterai yang lebih tahan terhadap pengisian cepat, seperti yang dilakukan GAC dengan model Hyptec HL. Namun, solusi jangka pendek yang paling realistis adalah memperketat kebijakan garansi.

EV battery degradation chart

“Regulasi harus mewajibkan garansi baterai minimal 8 tahun atau hingga kapasitas turun di bawah 80%,” usul seorang analis industri otomotif. Sayangnya, kebanyakan syarat garansi justru tidak melindungi pengguna komersial seperti driver ride-hailing.

Kiat untuk Pemilik EV

Para ahli menyarankan beberapa strategi untuk memaksimalkan umur baterai:

  • Gunakan pengisian cepat hanya saat benar-benar diperlukan
  • Pertahankan level baterai antara 20-80% untuk penggunaan harian
  • Hindari pengisian penuh (100%) secara rutin
  • Manfaatkan pengisian lambat (slow charging) semalaman

Seperti diungkapkan dalam review Zeekr 9X, manajemen termal yang baik juga krusial untuk menjaga kesehatan baterai. Solusi penyimpanan energi alternatif seperti truk baterai Sunwoda juga patut dipertimbangkan untuk kebutuhan komersial.

Revolusi elektrikasi transportasi memang menjanjikan masa depan yang lebih hijau. Namun tanpa manajemen baterai yang tepat, manfaat ekonomi dan lingkungannya bisa terkikis oleh praktik pengisian yang tidak bijak. Pilihan ada di tangan konsumen: kemudahan sesaat atau investasi jangka panjang?

Robot Termungil di Dunia Bisa Berubah Bentuk untuk Misi Penyelamatan

0

Telset.id – Bayangkan sebuah robot yang bisa terbang melintasi reruntuhan, mendarat dengan mulus, lalu berubah bentuk untuk merayap di celah sempit. Ini bukan adegan dari film sci-fi, melainkan terobosan terbaru dari para peneliti di China yang menciptakan robot termungil di dunia dengan kemampuan morphing canggih.

Robot termungil yang bisa berubah bentuk untuk misi penyelamatan

Dengan panjang hanya 9 cm dan berat 25 gram, robot ini merupakan gabungan sempurna antara kecerdikan teknik dan inspirasi alam. Tim dari Tsinghua dan Beihang University mengembangkan teknologi actuator berbahan polimer yang bereaksi terhadap panas, memungkinkan robot berubah bentuk secara dinamis hanya dengan satu sumber energi elektrotermal.

Revolusi Material Cerdas

Kunci inovasi ini terletak pada actuator yang bisa berubah bentuk secara terus-menerus (Continuously Morphable Actuator/CMA). Material unik ini menggabungkan:

  • Shape memory polymer untuk kekakuan dan kemampuan mempertahankan bentuk
  • Liquid crystal elastomer untuk gerakan halus dan terkontrol

Seperti dikutip dari South China Morning Post, teknologi ini mengatasi keterbatasan desain robot sebelumnya yang kesulitan menggabungkan kemampuan mengubah bentuk dan mengunci posisi dalam satu sistem sederhana.

Modular Seperti Lego, Multifungsi Seperti Transformer

Yang membuat robot ini istimewa adalah pendekatan modularnya. Dengan menyambungkan berbagai modul actuator, tim bisa membuat berbagai konfigurasi robot – mulai dari pesawat, kura-kura, hingga bentuk transformable yang kompleks.

“Ini seperti bermain Lego, tapi dengan potensi nyata untuk menyelamatkan nyawa,” kata salah satu peneliti dalam publikasi di Nature Machine Intelligence.

Masa Depan Robotika Penyalamatan

Aplikasi praktis robot ini sangat menjanjikan:

  • Pencarian korban bencana: Merayap di reruntuhan bangunan
  • Pemantauan lingkungan: Terbang di area berbahaya
  • Eksplorasi: Menjelajahi gua atau celah sempit

Tak hanya itu, teknologi actuator ini juga membuka peluang untuk pengembangan exoskeleton canggih, perangkat medis, hingga sistem feedback untuk virtual reality.

Seperti yang pernah kami bahas dalam artikel tentang robot humanoid 3D printable, dunia robotika terus melahirkan terobosan yang mengaburkan batas antara fiksi ilmiah dan realitas.

Dengan kemampuan beradaptasi di berbagai medan, robot mungil ini mungkin akan menjadi pahlawan tak terduga dalam misi-misi penyelamatan di masa depan. Siapa sangka, solusi untuk tantangan kompleks justru datang dari teknologi sekecil ini?

Revolusi GenAI di Manufaktur: Peluang Besar, Tantangan Nyata

0

Telset.id – Bayangkan pabrik yang bisa memprediksi kerusakan mesin sebelum terjadi, rantai pasok yang mengatur dirinya sendiri, atau sistem kontrol kualitas yang belajar dari kesalahan masa lalu. Ini bukan adegan film sci-fi, tapi realitas yang sedang dibangun industri manufaktur global dengan Generative AI (GenAI). Namun, riset terbaru NTT DATA mengungkap jurang antara potensi dan kesiapan nyata.

Laporan bertajuk “Feet on the Floor, Eyes on AI: Do you have a plan or a problem?”—yang melibatkan 500 pemimpin manufaktur dari 34 negara—menunjukkan 95% responden di Asia Pasifik (97%) sudah merasakan dampak langsung GenAI pada efisiensi bisnis. Tapi di balik angka optimis ini, tersembunyi tantangan infrastruktur, etika, dan kesenjangan keterampilan yang bisa menggagalkan revolusi industri 4.0.

Dari Digital Twin hingga IoT: Cara GenAI Mengubah Permainan

Data NTT DATA mengungkap tiga area transformasi kunci:

  • Akurasi Prediktif: 94% pelaku industri yakin integrasi data IoT/edge dengan GenAI akan meningkatkan presisi keputusan. Contoh nyata? Sistem yang bisa memprediksi fluktuasi permintaan berdasarkan data cuaca, media sosial, dan geopolitik secara real-time.
  • Supply Chain “Hidup”: 91% responden mengakui kombinasi digital twin dan GenAI menciptakan rantai pasok yang lebih tangguh. Bayangkan simulasi yang terus belajar dari gangguan seperti pandemi atau konflik regional.
  • Otomasi Cerdas: Penggunaan utama GenAI saat ini terfokus pada manajemen inventaris (34%), riset pengembangan (28%), dan kontrol kualitas (22%). Prasoon Saxena dari NTT DATA menjelaskan, “AI menghilangkan bottleneck di rantai nilai—dari desain produk hingga logistik.”

Lima Jurang yang Harus Diseberangi

Meski 97% perusahaan Asia Pasifik melaporkan peningkatan kepuasan dengan inisiatif AI, NTT DATA memetakan rintangan kritis:

1. Infrastruktur Tua yang Membelenggu

92% responden mengaku teknologi warisan (legacy system) menghambat inovasi, tapi hanya 41% yang memiliki strategi modernisasi menyeluruh. “Ini seperti mencoba menjalankan F1 di jalan tanah,” komentar seorang responden anonim.

2. Dilema Integrasi IoT-AI

Meski 99% yakin IoT akan memperkaya GenAI, hanya 48% yang percaya mampu melakukan integrasi ini. Kasus nyata? Pabrik otomotif di Thailand yang gagal menyinkronkan 15.000 sensor dengan platform AI karena masalah interoperabilitas.

3. Etika: Antara Inovasi dan Risiko

Hanya 48% pemimpin Asia Pasifik yang merasa punya kerangka etika AI matang. Padahal, isu seperti bias algoritma atau penggunaan data pekerja tanpa persetujuan bisa memicu krisis reputasi. Seperti dikatakan dalam artikel Tantangan Transformasi Digital di Indonesia, regulasi sering tertinggal dari teknologi.

4. Kesenjangan Keterampilan

53% perusahaan mengaku karyawan belum siap menggunakan GenAI. “Kami punya mesin cerdas, tapi operator yang gagap digital,” keluh direktur manufaktur elektronik di Vietnam. Ini sejalan dengan temuan kolaborasi pemerintah dengan Microsoft tentang urgensi upskilling.

5. Bom Waktu Manajemen Data

Hanya 46% yang yakin memiliki kapasitas penyimpanan memadai untuk GenAI. Padahal, model generatif bisa membutuhkan 10-100x lebih banyak data daripada AI tradisional. “Ini seperti membangun bendungan saat banjir sudah datang,” kata Saxena.

Lantas, bagaimana menyikapi paradoks ini? Kuncinya ada pada pendekatan hybrid: berinvestasi dalam infrastruktur cloud-edge seperti yang dilakukan POSFIN dengan Alibaba Cloud, sambil membangun fondasi etika dan SDM. Sebab, seperti kata laporan NTT DATA, “Tanpa strategi holistik, GenAI bukan solusi—tapi awal dari masalah baru.”

AS Pakai Laser 3-Kilojoule untuk Kembangkan Senjata Nuklir Mematikan

0

Telset.id – Dalam langkah yang mengejutkan, Amerika Serikat kini mengalihfungsikan laser paling kuat di dunia untuk mengembangkan senjata nuklir generasi baru. Laser kripton-fluorida berdaya 3-kilojoule bernama NIKE ini akan digunakan untuk mensimulasikan kondisi ekstrem yang dihadapi senjata nuklir.

US to make lethal nuclear weapons with world’s most powerful 3-kilojoule laser

Fasilitas NIKE yang dikelola US Naval Research Laboratory (NRL) sebelumnya digunakan untuk mendukung misi Department of Energy (DOE). Kini, laser super kuat ini akan difokuskan untuk memelihara stok senjata nuklir AS dan memperkuat kemampuan deterensi nuklir negara tersebut.

Simulasi Kondisi Ekstrem Nuklir

Menurut rilis resmi Angkatan Laut AS, NIKE akan digunakan untuk menciptakan gelombang kejut presisi dan lingkungan berenergi tinggi terkontrol. Ini memungkinkan peneliti mempelajari bagaimana material dan sistem berperilaku dalam kondisi yang menyerupai ledakan nuklir atau lingkungan luar angkasa.

“Kemampuan unik ini memungkinkan kami menghasilkan gelombang kejut yang kuat dan stabil, serta menciptakan kondisi eksperimen yang sangat bersih untuk mempelajari keadaan fisik ekstrem materi,” jelas Jason Bates, kepala Laser Plasma Branch NRL.

Plasma: Kunci Pemahaman Nuklir

Laser NIKE bekerja dengan menciptakan dan mempelajari plasma – keadaan materi super panas yang terionisasi. Plasma ini terjadi dalam lingkungan ekstrem seperti ledakan nuklir dan bintang. Dengan menciptakan kembali kondisi ini di laboratorium, ilmuwan dapat mempelajari ketahanan sistem senjata nuklir.

Divisi Fisika Plasma di NRL memimpin penelitian ini, menggabungkan eksperimen dengan simulasi komputer. Penelitian mereka mencakup energi fusi, efek nuklir, dan cuaca luar angkasa – semuanya penting untuk pengembangan teknologi pertahanan nasional.

US scientists make 28-cent sugar from corn waste to power next-gen biofuels

Persaingan Teknologi Laser Global

Keputusan AS ini muncul di tengah laporan bahwa China dan Rusia juga mengembangkan sistem laser serupa. Dengan memutakhirkan fasilitas NIKE yang dibangun sejak 1995 ini, AS berusaha mempertahankan keunggulan teknologi di bidang penelitian nuklir.

NIKE sebelumnya telah mendukung National Ignition Facility (NIF) yang baru-baru ini membuat terobosan dalam reaksi fusi. Kini, NRL bekerja sama dengan Angkatan Udara AS untuk mempelajari perilaku senjata nuklir dalam lingkungan ekstrem.

“Kemitraan ini merupakan lompatan vital dalam kemampuan kami mensimulasikan dan memahami lingkungan ekstrem yang harus dihadapi aset nuklir,” tegas Bates. Dengan teknologi laser mutakhir ini, AS berharap dapat menutup celah kritis dalam menilai kelayakan sistem persenjataan nuklir mereka.

NBC Hidupkan Kembali Suara Legendaris Jim Fagan dengan AI untuk NBA

0

Telset.id – Bayangkan mendengar suara ikonik yang selama ini hanya hidup dalam kenangan, tiba-tiba kembali menghiasi tayangan olahraga favorit Anda. Itulah yang sedang dipersiapkan NBC Sports menjelang musim NBA Oktober mendatang—menghidupkan kembali suara mendiang Jim Fagan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Fagan, narator legendaris yang meninggal dunia pada 2017 akibat komplikasi penyakit Parkinson, selama dekade 1990-an hingga awal 2000-an menjadi suara resmi promosi NBA. Kini, NBC bekerja sama dengan keluarga almarhum untuk mengkloning suaranya guna keperluan siaran baru.

Getty / Futurism

Warisan Suara yang Tak Tergantikan

Dalam pernyataan resminya, NBC menggambarkan suara Fagan sebagai elemen nostalgia yang melekat erat dengan sejarah NBA. “Bagi banyak penggemar basket, suara unik Jim langsung membangkitkan kenangan akan era spesial dalam sejarah NBA,” ujar Rick Cordella, Presiden NBC Sports.

Keluarga Fagan menyambut positif inisiatif ini. “Kami sangat berterima kasih kepada NBC Sports yang memiliki visi untuk menghormati warisan ayah kami dengan cara yang bermakna,” kata kedua putri Fagan, Jana Silvia Joyce dan Risa Silvia-Koonin.

Kontroversi Etika AI dalam Dunia Hiburan

Meski mendapat restu keluarga, keputusan NBC menuai kritik dari berbagai kalangan. Di forum Reddit r/NBA, seorang pengguna menulis: “Ada sesuatu yang sangat mengganggu dan suram tentang penggunaan AI untuk menciptakan kembali masa lalu seperti ini.”

Ini bukan pertama kalinya NBC menggunakan teknologi ini. Tahun lalu, mereka telah memanfaatkan AI untuk mereplikasi suara komentator olahraga Al Michaels—yang masih hidup—selama Olimpiade Musim Panas.

Pertanyaan besar muncul: Di mana batasan etika ketika teknologi memungkinkan kita “menghidupkan kembali” orang yang telah tiada? Apakah ini bentuk penghormatan atau eksploitasi?

Seperti yang terjadi dalam industri kreatif lainnya, kemajuan AI memang membuka peluang baru, tetapi juga menimbulkan dilema moral yang kompleks.

Bagaimana pendapat Anda? Apakah penggunaan AI untuk menghidupkan kembali suara legenda seperti Jim Fagan merupakan langkah yang tepat, atau seharusnya kita membiarkan kenangan tetap menjadi kenangan?

Volonaut Airbike: Motor Terbang Jet-Powered yang Mirip Speeder Bike Star Wars

0

Telset.id – Bayangkan melesat di udara dengan kecepatan 200 km/jam, dikelilingi angin yang menerpa wajah, sementara tanah di bawah Anda terlihat seperti peta miniatur. Ini bukan adegan dari Star Wars, melainkan kenyataan yang diusung oleh Volonaut, startup asal Polandia, melalui Airbike terbarunya. Konsep motor terbang jet-powered ini begitu mirip dengan speeder bike yang dipakai para Stormtrooper di hutan Endor, sampai-sampai perusahaan sengaja memamerkan video promosi dengan rider berkostum putih khas pasukan Galactic Empire.

Volonaut Airbike - Official Launch

Disebut sebagai “superbike untuk langit”, Airbike mengandalkan sistem propulsi jet alih-alih baling-baling konvensional. Menurut Tomasz Patan, sang pencipta, kendaraan ini mampu mencapai kecepatan hingga 124 mph (200 km/jam) berkat teknologi stabilisasi otomatis yang diintegrasikan dengan flight computer. “Posisi berkendara yang unik dengan pandangan 360 derajat memungkinkan rider menyatu dengan mesin, menciptakan sensasi kebebasan mutlak,” klaim situs resmi Volonaut.

Antara Fiksi dan Realita

Meski terlihat futuristik, detail teknis Airbike masih diselimuti misteri. Volonaut belum mengungkap jenis mesin yang digunakan, durasi terbang, atau jarak tempuh maksimal. Analisis New Atlas memperkirakan, dengan bobot “tujuh kali lebih ringan dari motor biasa”, Airbike mungkin hanya bisa mengudara selama 2-3 menit per sesi. Bandingkan dengan motor terbang bertenaga jet lain yang sudah lebih dulu mematok harga fantastis.

Jetson ONE: Saudara Dekat yang Lebih Realistis

Sementara Airbike masih dalam tahap pengembangan, Volonaut sudah memamerkan Jetson ONE, eVTOL (electric vertical take-off and landing) satu penumpang yang lebih siap dipasarkan. Dengan harga $128.000 (Rp2 miliar), kendaraan ini mengusung delapan motor listrik berdaya 100+ HP, mampu terbang 20 menit nonstop, dan mencapai kecepatan 63 mph. Preorder untuk tahun 2024-2025 bahkan sudah sold out!

Volonaut Airbike - Official Launch

Lantas, apakah Airbike akan mengikuti kesuksesan Jetson ONE? Volonaut hanya menjanjikan peluncuran di “waktu dekat” tanpa rincian harga atau timeline pasti. Yang jelas, dengan desain yang terinspirasi Star Wars dan performa yang menggiurkan, motor terbang ini berpotensi mengubah cara kita berpikir tentang transportasi personal di masa depan. Atau setidaknya, menjadi mainan mewah bagi para kolektor teknologi ekstrem.

Anonymous Retas Maskapai ICE, Bocorkan Data Deportasi Ilegal Trump

0

Telset.id – Jika Anda mengira kelompok hacker Anonymous sudah “pensiun”, pikirkan lagi. Baru-baru ini, kolektif peretas legendaris ini kembali membuat gebrakan dengan meretas situs GlobalX Air – maskapai yang digandeng Immigration and Customs Enforcement (ICE) AS untuk melakukan deportasi massal imigran secara kontroversial.

Situs GlobalX Air yang di-deface Anonymous

Yang membuat kasus ini istimewa, aksi Anonymous kali ini bukan sekadar deface biasa. Mereka mengklaim telah mendapatkan akses ke data penerbangan deportasi yang sedang menjadi bahan gugatan di Mahkamah Agung AS. Lebih menarik lagi, ini terjadi setelah seorang hakim federal memutuskan deportasi tersebut ilegal – namun tetap dilanjutkan oleh pemerintahan Trump.

Deportasi Melawan Hukum

Menurut laporan eksklusif 404 Media, peretas Anonymous tidak hanya meninggalkan pesan protes di situs GlobalX, tapi juga berhasil mengakses:

  • Catatan penerbangan dan manifest penumpang semua penerbangan deportasi
  • Nama-nama individu yang dideportasi secara tidak prosedural
  • Sistem perencanaan penerbangan internal GlobalX
  • Database internal perusahaan

Dua dari tiga penerbangan yang disebutkan dalam gugatan (GlobalX-ICE 6143 dan 6145) ternyata sudah lepas landas sebelum keputusan hakim keluar. Penerbangan ketiga (6122) bahkan berangkat setelah putusan pengadilan. Ini menunjukkan sikap pemerintahan Trump yang seolah mengabaikan proses hukum.

Korban Deportasi Ilegal

Data yang bocor mengungkap kisah pilu beberapa korban, termasuk:

  • Heymar Padilla Moyetones (24 tahun) yang diterbangkan dari Houston ke Honduras, lalu El Salvador, sebelum akhirnya kembali ke Houston
  • Kilmar Abrego Garcia dari Maryland yang dibuang ke penjara El Salvador tanpa proses hukum yang semestinya

GlobalX, yang bertanggung jawab atas 74% penerbangan deportasi AS di 2024, disebut akan meraup $65 juta dari kontrak dengan ICE. Angka yang cukup menggiurkan untuk sebuah maskapai yang bersedia melanggar perintah pengadilan.

Kasus ini semakin menarik karena terjadi bersamaan dengan skandal keamanan data lain di lingkaran Trump. Mantan penasihat keamanan nasionalnya, Mike Waltz, baru-baru ini ketahuan menggunakan aplikasi pesan Israel (TeleMessage) yang tidak terenkripsi untuk komunikasi resmi. Aplikasi tersebut kini menangguhkan layanan setelah mengalami kebocoran data masif.

Seperti yang pernah kami laporkan dalam kasus peretasan Departemen Keuangan AS, tampaknya pemerintahan Trump memiliki rekam jejak buruk dalam hal keamanan siber. Dengan pola seperti ini, pertanyaannya bukan lagi “apakah” akan ada kebocoran data berikutnya, tapi “kapan”.

Anonymous sendiri bukan pemain baru dalam aksi protes digital. Seperti yang terjadi saat demo George Floyd 2020, kelompok ini kerap muncul sebagai “penegak keadilan” alternatif ketika sistem hukum dianggap gagal.

Kini, semua mata tertuju pada Mahkamah Agung AS. Akankah data yang dibocorkan Anonymous ini menjadi bukti kunci dalam gugatan class action terhadap kebijakan deportasi Trump? Atau justru akan memicu perdebatan etis tentang peran hacker dalam proses hukum?

OpenAI Batalkan Rencana Jadi Perusahaan Profit, Elon Musk Berpengaruh?

0

Telset.id – Jika Anda mengira OpenAI akan sepenuhnya beralih menjadi perusahaan profit, pikirkan lagi. Perusahaan kecerdasan buatan (AI) yang didirikan oleh Sam Altman dan Elon Musk ini memutuskan untuk tetap berada di bawah kendali dewan nirlaba-nya, meskipun telah menarik investasi besar-besaran. Keputusan ini muncul setelah tekanan hukum dari Musk dan dialog dengan otoritas hukum di Delaware dan California.

Dalam postingan blog resmi, OpenAI mengumumkan bahwa anak usahanya yang berorientasi profit akan beralih menjadi Public Benefit Corporation (PBC). Struktur ini memaksa perusahaan untuk mempertimbangkan kepentingan pemegang saham sekaligus misi utamanya: mengembangkan Artificial General Intelligence (AGI) yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Meski Musk tidak disebutkan secara eksplisit, langkah ini jelas merespons gugatan yang diajukan miliarder tersebut pada Maret 2024.

John MacDougall / AFP via Getty / Futurism

Misi yang Terancam atau Strategi Baru?

Gugatan Musk berargumen bahwa OpenAI telah menyimpang dari misi awalnya ketika meluncurkan divisi profit pada 2019—tepat setelah dia hengkang. Menurut pengacaranya, Marc Toberoff, perubahan ke PBC tidak menyelesaikan masalah inti: aset nirlaba tetap dialihkan untuk kepentingan pribadi. “Misi pendirian tetap dikhianati,” ujarnya kepada Bloomberg.

OpenAI membantah dengan keras. Seorang sumber internal menyebut gugatan Musk sebagai “upaya tidak jujur untuk memperlambat kami.” Namun, terlepas dari saling tuduh, keputusan ini jelas membatasi ambisi profit perusahaan. Seperti dilaporkan Telset sebelumnya, pergolakan internal OpenAI—termasuk pemecatan dan pengembalian Altman—telah memicu skeptisisme tentang komitmen mereka terhadap misi nirlaba.

Dampak Jangka Panjang

Langkah ini mungkin menghambat kemampuan OpenAI mengumpulkan modal seperti perusahaan teknologi lain. Namun, struktur PBC memungkinkan mereka tetap menarik investor yang peduli dampak sosial. Seperti diungkap dalam analisis Telset, OpenAI unggul dalam pengembangan AI bernalar tinggi—aset berharga yang bisa dipertahankan tanpa mengorbankan etika.

Pertanyaannya sekarang: apakah ini kemenangan bagi Musk, atau strategi terselubung Altman? Yang pasti, dunia teknologi kini menyaksikan salah satu drama paling menarik di era AI—di mana uang, kekuasaan, dan masa depan umat manusia saling bertaut.

GoTo Impact Foundation Gandeng Gandrung Tirta Tingkatkan Produktivitas Kopi Malang 18% dengan IoT dan AI

0

Telset.id – Bayangkan jika teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI) bisa mengubah nasib 200 petani kopi di Malang. Bukan sekadar mimpi, inilah yang diwujudkan GoTo Impact Foundation (GIF) melalui program Gandrung Tirta, meningkatkan produktivitas kopi hingga 18% sekaligus memberdayakan masyarakat desa.

Indonesia, produsen kopi terbesar keempat dunia, ironisnya hanya menempati peringkat ke-14 dalam produktivitas. Di Desa Ketindan, Malang, masalah ini kentara: 200 petani fine robusta hanya mampu memanen 43% potensi hasil. “Ini bukan sekadar soal angka, tapi tentang keberlanjutan hidup petani dan regenerasi pemuda di sektor pertanian,” tegas Monica Oudang, Ketua GIF, dalam peluncuran program Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) 3.0.

Revolusi Pertanian Kopi dengan IoT dan AI

Gandrung Tirta—kolaborasi empat organisasi (Agroniaga, BIOPS Agrotekno, FAM Rural, dan Rise Social)—menghadirkan solusi tiga dimensi. Pertama, teknologi IoT dan AI memungkinkan petani memantau kesehatan tanaman via data real-time, mengoptimalkan pupuk dan pestisida, serta mengurangi risiko gagal panen. “Ini seperti memberi smartwatch untuk kebun kopi,” ujar Nasrullah Aziz dari Gandrung Tirta.

Limbah Kopi Jadi Emas

Kedua, program pemberdayaan ibu rumah tangga mengubah limbah kulit kopi menjadi produk bernilai tinggi: dompet, bingkai kacamata, hingga jam tangan. Limbah organik lainnya diolah menjadi pupuk cair, padat, bahkan coffee peat sebagai anti-hama. “Kami tak hanya menjual biji kopi, tapi ekonomi sirkular,” tambah Nasrullah.

Regenerasi Petani Muda

Ketiga, pelatihan budidaya berkelanjutan dan kewirausahaan bagi pemuda desa. Targetnya? 80% petani menguasai Good Agricultural Practices dan pendapatan naik 15%. “Pemuda adalah masa depan agribisnis kopi,” tegas Ir. Tomie Herawanto dari BAPPEDA Malang, yang berkomitmen mendukung ekonomi hijau menuju indeks 66,84% di 2045.

Program ini menutup rangkaian CCE 3.0 setelah sukses di Magelang, Lombok Tengah, dan Belitung. “Ini bukti kolaborasi teknologi, SDM lokal, dan gotong royong bisa mengubah wilayah,” tutup Monica. Bagaimana jika inovasi seperti ini direplikasi ke daerah lain? Mungkin kita tak perlu lagi impor kopi.