Beranda blog Halaman 7

Xiaomi 15T vs Realme GT 7 Pro: Duel Flagship 2025 dengan Filosofi Berbeda

0

Telset.id – Di pasar smartphone 2025 yang semakin kompetitif, dua flagship dengan pendekatan berbeda siap memikat konsumen Indonesia. Xiaomi 15T dan Realme GT 7 Pro hadir dengan filosofi yang bertolak belakang: satu menawarkan penyempurnaan premium dengan harga tinggi, sementara lainnya menggebrak dengan performa maksimal di kisaran harga menengah. Manakah yang lebih layak menjadi pilihan Anda?

Perbedaan harga hampir dua kali lipat antara kedua ponsel ini membuat keputusan pembelian menjadi lebih kompleks. Xiaomi 15T dibanderol sekitar $760 dengan fokus pada pengalaman fotografi Leica dan penyempurnaan software, sementara Realme GT 7 Pro hadir dengan harga yang jauh lebih terjangkau di $400 namun menawarkan spesifikasi yang bahkan melampaui rivalnya di beberapa aspek. Seperti yang pernah kami bahas dalam ulasan Xiaomi 15T Series di Indonesia, kolaborasi dengan Leica memang menjadi nilai jual utama seri ini.

Desain dan Ketahanan: Ringan vs Tangguh

Xiaomi 15T memilih pendekatan praktis dengan bodi yang lebih ramping dan ringan berkat material glass fiber. Desain ini memberikan kenyamanan lebih untuk penggunaan sehari-hari, sementara sertifikasi IP68 menjamin ketahanan terhadap debu dan rendaman air hingga 3 meter. Pilihan yang bijak untuk mereka yang mengutamakan kenyamanan genggaman.

Sebaliknya, Realme GT 7 Pro mengusung filosofi berbeda dengan konstruksi aluminum-glass yang lebih berat namun terasa lebih premium. Yang menarik, Realme tidak hanya berhenti di IP68 biasa – mereka menyertakan rating IP68/IP69 yang berarti ponsel ini tahan terhadap semprotan air bertekanan tinggi. Ketangguhan ekstra ini membuat GT 7 Pro lebih cocok untuk aktivitas outdoor atau pengguna yang cenderung kasar dalam penggunaan sehari-hari.

Verdict di bagian desain cukup jelas: Xiaomi untuk kenyamanan, Realme untuk ketangguhan. Namun bagaimana dengan pengalaman menatap layar?

Display: Kecerahan vs Kenyamanan Mata

Xiaomi 15T menghadirkan panel AMOLED 6.83 inci dengan brightness puncak 3200 nits yang sudah sangat terang untuk kondisi apapun. Yang menjadi keunggulan tersendiri adalah teknologi PWM dimming 3840Hz yang jauh lebih ramah mata, mengurangi kelelahan visual selama penggunaan berkepanjangan. Dukungan Dolby Vision dan HDR10+ memastikan konten HDR tampil optimal.

Realme GT 7 Pro tidak mau kalah dengan layar LTPO AMOLED 6.78 inci yang mampu mencapai brightness luar biasa: 6500 nits! Angka ini belum pernah kami jumpai di smartphone manapun sebelumnya. Teknologi LTPO juga memberikan efisiensi daya yang lebih baik dengan refresh rate adaptif. Meski PWM dimming-nya tidak setinggi Xiaomi, kecerahan maksimal ini memberikan keunggulan signifikan untuk penggunaan di bawah terik matahari.

Performa dan Baterai: Efisiensi vs Kekuatan Maksimal

Di bagian inilah perbedaan filosofi kedua ponsel benar-benar terasa. Xiaomi 15T mengandalkan chipset MediaTek Dimensity 8400 Ultra dengan arsitektur 4nm yang fokus pada efisiensi daya dan performa seimbang. Kombinasi dengan GPU Mali-G720 dan optimisasi HyperOS menghasilkan pengalaman yang mulus untuk penggunaan sehari-hari, meski bukan yang tercepat untuk gaming berat.

Realme GT 7 Pro justru mengambil jalur bertenaga dengan Snapdragon 8 Elite – prosesor flagship Qualcomm dengan core Oryon V2 dan GPU Adreno 830. Ini adalah pilihan tepat untuk gamers dan power user yang membutuhkan performa puncak tanpa kompromi. Seperti yang sering kami amati dalam perbandingan flagship 2025, Snapdragon 8 Elite memang masih menjadi raja performa mobile.

Perbedaan mencolok juga terlihat di sektor baterai. Xiaomi 15T membawa kapasitas 5500 mAh dengan charging 67W yang membutuhkan sekitar 50 menit untuk pengisian penuh – cukup baik untuk standar saat ini. Realme GT 7 Pro melampaui dengan baterai 6500 mAh (5800 mAh di India) dan charging 120W yang bisa mengisi penuh dalam waktu di bawah 40 menit. Untuk pengguna berat yang selalu mobile, keunggulan ini sulit diabaikan.

Sistem Kamera: Seni Fotografi vs Fleksibilitas

Xiaomi 15T benar-benar mengandalkan kolaborasi dengan Leica sebagai senjata utama. Sistem triple camera terdiri dari sensor wide 50MP dengan OIS, telephoto 50MP dengan zoom 2x, dan ultrawide 12MP. Pengolahan warna dan detail ala Leica memberikan hasil yang konsisten mendekati kamera profesional. Untuk selfie, sensor 32MP dengan rekaman 4K siap memenuhi kebutuhan konten kreator.

Realme GT 7 Pro membalas dengan sistem yang lebih fokus pada fleksibilitas. Sensor utama 50MP didukung telephoto 3x optical zoom dengan OIS – memberikan jangkauan lebih jauh dibandingkan Xiaomi. Sayangnya, sensor ultrawide hanya 8MP dan kamera selfie terbatas pada 16MP dengan rekaman 1080p. Pilihan yang memahami bahwa tidak semua pengguna membutuhkan kualitas selfie tertinggi.

Seperti yang juga kami temukan dalam perbandingan iPhone 17 vs Vivo X200 Ultra, pilihan sistem kamera memang sangat bergantung pada preferensi personal dan kebutuhan spesifik pengguna.

Analisis Nilai: Apakah Premium Selalu Lebih Baik?

Dengan harga $760, Xiaomi 15T jelas memposisikan diri sebagai premium mid-flagship. Nilai tambahnya terletak pada pengalaman fotografi Leica, kenyamanan display dengan PWM tinggi, dan penyempurnaan software melalui HyperOS. Ini pilihan tepat untuk mereka yang menghargai seni fotografi dan mengutamakan kenyamanan penggunaan jangka panjang.

Realme GT 7 Pro dengan harga $400 menawarkan value proposition yang sulit ditolak. Anda mendapatkan performa terbaik di kelasnya, baterai raksasa dengan charging super cepat, dan ketahanan fisik yang superior. Untuk pengguna yang mengutamakan performa mentah dan daya tahan baterai, ini几乎是 pilihan tanpa saingan.

Pertanyaannya: seberapa besar Anda menghargai penyempurnaan premium yang ditawarkan Xiaomi? Jika fotografi Leica dan kenyamanan mata adalah prioritas utama, tambahan $360 mungkin sepadan. Namun bagi kebanyakan pengguna, Realme GT 7 Pro menawarkan paket yang lebih masuk akal dengan performa bahkan lebih unggul di beberapa aspek kritis.

Kedua ponsel ini membuktikan bahwa di era smartphone 2025, pilihan terbaik sangat bergantung pada filosofi penggunaan Anda sendiri. Xiaomi 15T untuk penyempurnaan dan seni, Realme GT 7 Pro untuk kekuatan dan nilai – keduanya unggul di domain masing-masing.

Elon Musk Serukan Cancel Netflix Tuding Kampanye LGBT Terselubung

0

Telset.id – Elon Musk secara terbuka menyerukan pemboikotan Netflix setelah mengetahui konten animasi “Dead End: Paranormal Park” yang menampilkan karakter remaja gay, transgender, dan biseksual. CEO Tesla dan SpaceX itu mendesak 226,5 juta pengikutnya di platform X untuk membatalkan langganan layanan streaming tersebut, yang ditudingnya melakukan kampanye pro-LGBT terselubung terhadap anak-anak.

Kontroversi ini bermula ketika sebuah adegan dari serial animasi tersebut menjadi viral setelah dibagikan oleh akun aktivis konservatif Libs for TikTok. Dalam adegan yang tersebar luas itu, karakter utama Barney berbagi pengalaman sebagai individu transgender. Akun tersebut menulis dengan nada keras: “OMG. Dead End Paranormal Park, sebuah acara di Netflix, mendorong pro transgender pada ANAK-ANAK. Acara ini diiklankan untuk ANAK USIA 7 TAHUN.”

Elon Musk

Merespons unggahan tersebut, Musk langsung memberikan reaksi keras. “Ini tidak baik,” tulis miliarder tersebut dalam cuitannya yang dibagikan kepada jutaan pengikutnya. Tidak berhenti di situ, orang terkaya dunia itu kemudian melanjutkan dengan beberapa unggahan tambahan yang secara eksplisit menyerukan orang-orang untuk menghentikan langganan Netflix.

Serial “Dead End: Paranormal Park” sendiri sebenarnya bukan produksi baru. Acara yang disutradarai oleh Hamish Steele ini pertama kali tayang perdana di Netflix pada tahun 2022 dan telah dibatalkan setelah dua musim. Meski demikian, kontennya masih tersedia di platform untuk ditonton penonton muda.

Konten dan Latar Belakang Serial yang Dipermasalahkan

Serial animasi yang menjadi sumber kontroversi ini mengisahkan perjalanan karakter utama bernama Barney yang melarikan diri ke wahana rumah hantu dari neneknya yang tidak menerima identitasnya sebagai seorang gay dan transgender. Dalam petualangannya, Barney ditemani oleh berbagai karakter lain, termasuk seorang gadis biseksual.

Pembatalan serial setelah dua musim menandakan bahwa acara tersebut mungkin tidak mencapai tingkat popularitas yang diharapkan oleh Netflix. Namun, keberadaannya yang masih dapat diakses di platform menjadi titik perhatian utama bagi para kritikus, termasuk Musk.

Pendirian Musk terhadap isu gender dan identitas seksual bukanlah hal baru. Pada tahun 2022, anak sulungnya, Vivian, secara resmi mengganti nama dari ‘Xavier Alexander Musk’ menjadi Vivian Wilson. Sejak perubahan identitas tersebut, hubungan antara Musk dan anaknya diketahui telah putus.

Pandangan Personal dan Dampak Publik

Elon Musk telah berulang kali menyalahkan apa yang disebutnya sebagai ‘woke mind virus’ atas keputusan Vivian. Dalam berbagai kesempatan, Musk menyatakan bahwa baginya, Vivian sudah tiada. Di sisi lain, Vivian sendiri mengaku tidak pernah lagi menghubungi atau meminta dukungan finansial dari ayahnya.

Insiden terbaru dengan Netflix ini memperlihatkan konsistensi pandangan Musk terhadap isu-isu gender dan identitas seksual. Seruan boikot yang dilancarkannya terhadap salah satu layanan streaming terbesar di dunia berpotensi memicu dampak signifikan, mengingat pengaruh dan jangkauan yang dimilikinya di media sosial.

Netflix sendiri hingga kini belum memberikan pernyataan resmi menanggapi seruan boikot dari Musk. Perusahaan streaming tersebut memiliki kebijakan konten yang beragam dan inklusif, yang selama ini menjadi bagian dari strategi konten global mereka.

Industri streaming saat ini memang berada dalam fase dimana representasi dan inklusivitas menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan konten. Banyak platform yang secara aktif mengembangkan konten dengan karakter dan cerita yang merepresentasikan keberagaman identitas gender dan orientasi seksual.

Seruan Musk ini terjadi di tengah meningkatnya polarisasi pandangan mengenai konten-konten yang membahas isu LGBT di media hiburan, khususnya yang ditujukan untuk penonton muda. Debat mengenai usia yang tepat untuk memperkenalkan konsep identitas gender dan orientasi seksual kepada anak-anak terus berlanjut di berbagai belahan dunia.

Dampak dari seruan boikot ini terhadap angka langganan Netflix masih perlu ditunggu. Namun, yang jelas, intervensi Musk telah membawa perbincangan mengenai etika konten anak dan representasi LGBT di media hiburan ke dalam sorotan publik yang lebih luas.

Sebagai pemimpin beberapa perusahaan teknologi paling inovatif di dunia, pendapat Musk seringkali mempengaruhi diskusi publik tentang berbagai isu teknologi dan sosial. Keputusan untuk secara terbuka menentang Netflix dalam masalah ini menunjukkan keyakinannya yang kuat terhadap posisi yang diambilnya.

Perkembangan situasi ini akan terus dipantau, terutama respons dari Netflix dan reaksi komunitas bisnis serta hiburan terhadap seruan boikot dari salah satu figur paling berpengaruh di dunia teknologi.

Lelang Harga Frekuensi 1,4 GHz Dimulai 13 Oktober 2025

0

Telset.id – Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) mengonfirmasi tahap lelang harga untuk pita frekuensi radio 1,4 GHz akan dimulai pada Senin, 13 Oktober 2025. Proses lelang akan dilaksanakan sepenuhnya melalui sistem e-Auction, menandai babak akhir penentuan pemenang seleksi frekuensi untuk layanan broadband wireless access (BWA).

Tiga operator telekomunikasi telah dinyatakan lolos tahap evaluasi administrasi dan berhak mengikuti lelang harga. Ketiganya adalah PT Eka Mas Republik, PT Telemedia Komunikasi Pratama, dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. Mereka merupakan penyaring dari tujuh operator yang sempat mengambil dokumen permohonan keikutsertaan seleksi pada Agustus lalu.

Kemkomdigi dalam pernyataan tertulisnya menegaskan, “Sesuai ketentuan dalam Dokumen Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 1,4 GHz untuk Layanan Akses Nirkabel Pitalebar (Broadband Wireless Access) Tahun 2025, maka berdasarkan hasil Evaluasi Administrasi, proses Seleksi dilanjutkan ke tahapan Lelang Harga.” Pernyataan ini sekaligus mengukuhkan jadwal lelang yang telah direncanakan sebelumnya, seperti yang diungkap dalam proses lelang frekuensi 1,4 GHz yang tetap berjalan menuju pengumuman Oktober 2025.

Mekanisme Seleksi dan Tujuan Strategis

Seleksi pengguna pita frekuensi radio 1,4 GHz ini dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 337 Tahun 2025. Ketentuan tersebut menetapkan pita frekuensi selebar 80 MHz (1432–1512 MHz) di tiga regional sebagai objek seleksi. Proses seleksi terbuka bagi seluruh penyelenggara telekomunikasi yang telah memiliki izin sesuai persyaratan dan dilaksanakan melalui mekanisme evaluasi administrasi serta evaluasi komitmen pengembangan jaringan dan layanan.

Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Kemkomdigi Wayan Toni Supriyanto menjelaskan tujuan strategis dari lelang ini. “Langkah ini tidak hanya membuka ruang bagi penyelenggara jaringan untuk meningkatkan kapasitas dan cakupan layanan, tetapi juga memperluas pilihan akses internet yang lebih terjangkau bagi masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini sejalan dengan upaya Kemkomdigi menjadikan lelang frekuensi 1,4 GHz sebagai langkah untuk internet cepat yang lebih merata.

Fokus pemerintah melalui lelang ini adalah memastikan pita frekuensi dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan internet berbasis jaringan pita lebar tetap, termasuk di wilayah-wilayah yang belum terlayani secara optimal. Komitmen penyediaan layanan dari pemenang lelang nantinya akan menjadi acuan dalam pengawasan dan evaluasi pasca-penetapan.

Dampak terhadap Industri Telekomunikasi

Keikutsertaan tiga operator besar dalam lelang harga frekuensi 1,4 GHz ini menunjukkan tingginya minat industri terhadap spektrum frekuensi yang dinilai strategis untuk pengembangan layanan broadband. Frekuensi 1,4 GHz memiliki karakteristik yang ideal untuk perluasan jangkauan internet broadband dengan biaya infrastruktur yang relatif lebih efisien.

Lelang frekuensi ini merupakan bagian dari upaya pemerintah memperluas jangkauan pelayanan akses internet dengan biaya lebih terjangkau. Pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz diharapkan dapat mendorong terciptanya ekosistem internet yang lebih kompetitif, sebagaimana terlihat dalam kesiapan operator merebut frekuensi strategis lainnya untuk internet yang makin kencang.

Pemerintah menegaskan komitmennya untuk memastikan seluruh tahapan seleksi berjalan sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik. Transparansi proses lelang melalui sistem e-Auction diharapkan dapat menjaga objektivitas dan akuntabilitas penentuan pemenang seleksi frekuensi 1,4 GHz ini.

Hasil lelang harga yang akan berlangsung mulai 13 Oktober 2025 ini ditunggu berbagai pihak, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap perkembangan layanan broadband wireless access di Indonesia. Pemenang lelang diharapkan dapat segera memanfaatkan frekuensi yang diperoleh untuk memperluas jangkauan layanan internet berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.

Opera Luncurkan Neon, Peramban AI Berlangganan Rp333 Ribu/Bulan

0

Telset.id – Opera secara resmi meluncurkan Neon, peramban web berbasis kecerdasan buatan yang mampu membuat aplikasi berdasarkan perintah AI dan menjalankan tugas secara otonom. Peluncuran pada Selasa (30/9) ini menandai langkah Opera bergabung dengan perusahaan teknologi yang mengembangkan agentic browser seperti Perplexity dan The Browser Company.

Neon dikembangkan khusus untuk pengguna yang intensif memanfaatkan kecerdasan buatan dalam aktivitas sehari-hari. Krystian Kolondra, EVP Browsers Opera, mengungkapkan bahwa produk ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan pengguna advanced. “Kami membangun Opera Neon untuk kami sendiri, dan untuk semua orang yang menggunakan AI secara ekstensif dalam keseharian mereka,” ujarnya seperti dikutip dari TechCrunch.

Agentic browser merupakan konsep peramban yang menggunakan agen AI untuk menjelajahi situs web secara mandiri, berinteraksi dengan elemen web, dan menyelesaikan berbagai tugas atas nama pengguna. Neon hadir dengan fitur-fitur canggih yang memungkinkan automasi pekerjaan digital dengan lebih efisien.

Fitur Unggulan Opera Neon

Opera Neon menawarkan Neon Do, asisten AI yang dapat membantu pengguna melakukan berbagai tugas kompleks. Fitur ini mampu meringkas tulisan di platform Substack kemudian membagikannya langsung ke Slack, atau mengambil detail penting dari video YouTube yang telah ditonton sebelumnya.

Peramban ini juga dilengkapi kemampuan untuk menulis cuplikan kode yang berguna dalam pembuatan laporan visual dengan tabel dan bagan. Kemampuan coding ini menjadi nilai tambah bagi profesional yang membutuhkan automasi dalam pekerjaan analisis data.

Fitur Cards menjadi salah satu inovasi menarik dalam Neon. Sistem ini memungkinkan pengguna menggabungkan berbagai kartu perintah seperti pull-details dan comparison-table untuk membuat perintah baru, misalnya membandingkan produk di beberapa tab browser sekaligus. Dengan fitur ini, pengguna dapat membuat kombinasi perintah untuk mendapatkan jawaban otomatis dan melakukan tugas berulang tanpa perlu menulis perintah dari awal setiap kali.

Opera juga memperkenalkan sistem pengaturan tab baru bernama Tasks. Fitur ini berfungsi sebagai ruang kerja yang mengorganisasi tab dan percakapan AI dalam kelompok berdasarkan konteks tertentu, memudahkan pengguna mengelola berbagai proyek secara simultan.

Dalam demonstrasi pertamanya, Opera menunjukkan kemampuan Neon menyelesaikan tugas praktis seperti memesan bahan makanan secara online. Meski demikian, klaim kemampuan tersebut masih perlu dibuktikan dalam penerapan langsung oleh pengguna di dunia nyata.

Strategi Pasar dan Persaingan

Opera Neon akan bersaing langsung dengan Comet dan Dia dari Perplexity di pasar agentic browser. Persaingan di segmen ini semakin ketat mengingat perusahaan teknologi besar seperti Google dan Microsoft juga terus menambahkan fitur AI ke dalam peramban mereka.

Yang membedakan Neon dari pesaingnya adalah positioning produk sebagai solusi premium untuk pengguna berpengalaman. Opera menerapkan model langganan bulanan sebesar 19,99 dolar AS atau sekitar Rp333 ribu per bulan untuk mengakses fitur-fitur canggih Neon.

Kolondra menambahkan, “Hari ini, kami menyambut pengguna pertama yang akan membantu membentuk masa depan agentic browsing bersama kami.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Opera mengadopsi pendekatan eksklusif dengan meluncurkan Neon secara terbatas bagi pengguna terpilih terlebih dahulu.

Langkah Opera ini sejalan dengan tren integrasi AI yang semakin masif di industri teknologi. Berbeda dengan pendekatan massal yang diambil kompetitor, Opera memilih segmen spesifik pengguna advanced yang membutuhkan kemampuan AI lebih dari sekadar asisten virtual biasa.

Pengembangan agentic browser seperti Neon mencerminkan evolusi peran peramban web dari sekadar alat browsing menjadi platform produktivitas yang mampu memahami konteks dan menjalankan tugas kompleks. Transformasi ini sejalan dengan perkembangan sistem operasi modern seperti Android 15 yang terus menyempurnakan integrasi AI dalam pengalaman pengguna.

Kehadiran Opera Neon di pasar premium membuka babak baru persaingan browser AI, di mana nilai tambah tidak hanya terletak pada kecepatan rendering, tetapi pada kemampuan automasi dan pemahaman kontekstual yang ditawarkan kepada pengguna.

Google Home AI Speaker Rilis 2026 dengan Gemini, Harga Rp1,6 Juta

0

Telset.id – Google secara resmi memperkenalkan pratinjau awal perangkat audio rumah pintar bertenaga kecerdasan buatan (AI) Google Home yang akan diluncurkan pada musim semi 2026 dengan harga 99 dolar AS atau setara Rp1,6 juta. Perangkat ini mengintegrasikan asisten pintar dari model AI Gemini dan tersedia dalam empat pilihan warna menarik: Porcelain, Hazel, Berry, dan Jade.

Chief Product Officer Google Home dan Nest, Anish Kattukaran, menjelaskan bahwa penjadwalan peluncuran yang terbilang cukup jauh ke depan merupakan bagian dari strategi perusahaan. Google ingin memastikan fungsi Gemini dapat dinikmati terlebih dahulu oleh pengguna perangkat lama melalui program Early Access. “Pengguna bisa memberikan masukan dan melaporkan bug sebelum perangkat baru benar-benar diluncurkan,” jelas Kattukaran.

Perangkat audio Google Home ini dilengkapi dengan prosesor khusus yang didesain khusus untuk menjalankan Gemini secara optimal. Speaker ini juga memiliki fitur canggih seperti peredam kebisingan, penghilang gema, dan kemampuan penyesuaian suara otomatis. Dengan teknologi ini, speaker tidak akan kebingungan ketika pengguna berbicara dengan Gemini Live sementara ada orang lain yang berbicara dari kejauhan di ruangan yang sama.

Fitur visual yang menarik hadir melalui cincin cahaya di bagian bawah perangkat yang memberikan umpan balik visual ekspresif. Cincin ini menunjukkan status ketika Gemini sedang mendengarkan, memproses, atau merespons ucapan pengguna melalui mode Gemini Live yang tersedia khusus untuk pelanggan Google Home Premium.

Kemampuan Audio dan Konektivitas

Sebagai perangkat audio canggih, speaker Google Home mendukung fitur suara 360 derajat yang memastikan distribusi audio merata ke seluruh ruangan. Pengguna dapat menghubungkan multiple speaker dalam grup melalui aplikasi Google Home untuk pengalaman audio yang lebih imersif. Bahkan, dua unit speaker Google Home dapat dipasangkan dengan Google TV Streamer untuk menciptakan efek suara surround sound yang memukau.

Dari segi material, Google mengklaim menggunakan rajutan 3D yang lebih ramah lingkungan karena mampu mengurangi limbah kain dalam proses produksinya. Pendekatan sustainable ini sejalan dengan tren teknologi hijau yang semakin berkembang di industri elektronik konsumen.

Strategi Peluncuran Global

Google telah menjadwalkan peluncuran perangkat audio Google Home bertenaga AI ini pada musim semi 2026 di berbagai negara. Pasar utama yang akan menjadi sasaran meliputi Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Irlandia, Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, Belgia, Swiss, Austria, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.

Kehadiran Google Home dengan teknologi Gemini ini diperkirakan akan semakin memanaskan persaingan di pasar smart speaker global. Samsung dikabarkan sedang mempersiapkan pesaing Google Home dengan Galaxy Home, sementara Apple juga mengembangkan produk smart home baru dengan teknologi lengan robotik.

Integrasi AI dalam perangkat smart home semakin menunjukkan tren yang tidak terelakkan. Google terus memperkuat posisinya dengan memperkenalkan berbagai fitur AI di berbagai produknya, sementara Apple juga tidak ketinggalan dengan pembaruan sistem operasi yang kian cerdas. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa AI benar-benar mengubah lanskap ekonomi internet dan teknologi konsumen secara keseluruhan.

Dengan harga yang kompetitif di kisaran Rp1,6 juta dan kemampuan AI yang mumpuni, Google Home bertenaga Gemini ini diprediksi akan menjadi penantang serius di pasar smart speaker premium. Meskipun masih harus menunggu hingga 2026, antusiasme terhadap produk ini sudah mulai terasa di kalangan penggemar teknologi dan smart home enthusiast.

Pengiriman Chip Smartphone AI Tumbuh 74% di 2025, Apple Pimpin Pasar

0

Telset.id – Pengiriman chip smartphone dengan kemampuan kecerdasan artifisial generatif (Generative AI) tumbuh pesat sebesar 74 persen pada tahun 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. Chip ini memungkinkan perangkat melakukan berbagai fitur AI secara langsung tanpa bergantung pada komputasi cloud.

Menurut laporan terbaru dari firma riset global Counterpoint, dari total chip smartphone yang dikirimkan di 2025, sebanyak 35 persen di antaranya merupakan chip dengan kemampuan GenAI. Data ini menunjukkan percepatan adopsi teknologi AI dalam perangkat mobile yang signifikan.

GSM Arena dalam laporannya yang dirilis Rabu (1/10) mengungkapkan bahwa Apple menjadi pemimpin pasar dengan menguasai 46 persen pangsa pasar chip AI untuk smartphone. Posisi berikutnya ditempati Qualcomm dengan 35 persen dan MediaTek dengan 12 persen.

Dominasi Chip Flagship dengan GenAI

Hampir semua chipset premium atau flagship yang dikirimkan di 2025 telah mendukung kemampuan GenAI dengan persentase mencapai 88 persen. Pertumbuhan chip premium yang dilengkapi GenAI ini mencapai 53 persen dibandingkan tahun 2024.

Beberapa chip populer yang mendominasi pasar berasal dari produsen terkemuka, termasuk Apple A19 Pro, Snapdragon 8 Elite Gen 5, dan Dimensity 9500. Chip-chip ini menjadi tulang punggung smartphone flagship terbaru yang menawarkan kemampuan AI tingkat lanjut.

Pertumbuhan Pesat di Segmen Mid-Range

Meski pertumbuhan chip AI identik dengan segmen flagship, pasar mid-range juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Untuk smartphone kelas menengah dengan harga 300-499 dolar AS (sekitar Rp4,9-8,2 juta), pengiriman chip AI bertumbuh tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.

Chip-chip yang populer di segmen mid-range termasuk Snapdragon 7 series, Snapdragon 6 series, dan Dimensity 8000 series. Di kelas menengah ini, Qualcomm memimpin pasar chip AI dengan pangsa pasar mencapai 57 persen.

Perkembangan ini sejalan dengan tren smartphone mid-range yang semakin canggih, seperti yang terlihat pada realme P3 5G yang resmi meluncur dengan DNA flagship. Teknologi AI yang sebelumnya hanya tersedia di perangkat premium kini mulai merambah segmen yang lebih terjangkau.

Transformasi teknologi smartphone ini merupakan bagian dari sejarah perkembangan telepon dari zaman engkol hingga smartphone modern. Kemampuan AI on-device menjadi lompatan signifikan dalam evolusi perangkat mobile.

Pasar entry-level juga turut merasakan dampak perkembangan ini, meski dengan implementasi yang lebih sederhana. Smartphone seperti Samsung Galaxy F16 5G menunjukkan bagaimana teknologi dasar AI mulai diintegrasikan bahkan di segmen paling terjangkau.

Pertumbuhan eksponensial chip AI di berbagai segmen pasar menunjukkan bahwa teknologi ini bukan sekadar tren sementara, melainkan menjadi standar baru dalam industri smartphone. Integrasi AI on-device diharapkan dapat membuka berbagai kemungkinan baru dalam pengalaman pengguna dan kemampuan perangkat mobile.

Samsung W26 Series Bakal Rilis di China dengan Desain Mewah

0

Telset.id – Samsung baru saja mengungkap rencana ekspansi lini foldable premiumnya di China melalui sebuah teaser terbaru. Bocoran ini mengindikasikan kehadiran seri W26 yang akan melanjutkan tradisi varian eksklusif untuk pasar Tiongkok. Apakah kita akan menyaksikan kemunculan Galaxy Z Fold 7 dan Z Flip 7 dalam wujud yang lebih mewah?

Perusahaan asal Korea Selatan ini memang memiliki strategi berbeda untuk foldable di China. Sementara seri Galaxy S25 hadir dengan perubahan minimal dibanding varian global, perangkat lipat justru mendapatkan transformasi signifikan. Teaser poster yang beredar memberikan sekilas gambaran tentang foldable mendatang dan mengonfirmasi tanggal peluncuran 11 Oktober 2025.

Bagi yang belum familiar, Samsung tidak sekadar meluncurkan smartphone foldable-nya seperti perangkat premium lainnya di China. Galaxy Z Fold 6 sebelumnya diluncurkan sebagai model Samsung W25, sementara Galaxy Z Flip 6 diberi nama Samsung W25 Flip. Varian khusus China ini mempertahankan sebagian besar spesifikasi dan fitur yang sama, namun yang membedakan adalah desain mewah mereka.

Warisan Desain Mewah Seri W25

Tahun lalu, Samsung merilis W25 dan W25 Flip dengan Gold Armor Aluminum Frame yang memukau. Aksen emas pada bodi hitam utama membuat perangkat ini terlihat lebih premium dibanding seri Galaxy Z reguler. Pendekatan desain ini terbukti sukses mencuri perhatian konsumen premium di China.

Peluncuran seri W26 ini akan berlangsung selama acara Samsung’s Heart of the World, di mana perusahaan juga akan membagikan Galaxy Watch Ultra secara gratis. Strategi pemasaran semacam ini menunjukkan betapa seriusnya Samsung dalam mempertahankan posisinya di pasar foldable premium China.

Strategi Samsung di Pasar Foldable China

Pasar China memang menjadi medan pertempuran sengit untuk perangkat foldable. Samsung harus bersaing ketat dengan merek lokal seperti Honor yang baru saja membocorkan Magic V5 dengan Snapdragon 8 Elite. Bahkan, Honor Magic V5 dikabarkan akan hadir dengan baterai terbesar di kelas foldable.

Keunikan seri W terletak pada kemampuan Samsung menyesuaikan produk dengan selera konsumen China yang mengutamakan kemewahan dan eksklusivitas. Tidak seperti di pasar global dimana spesifikasi teknis menjadi daya tarik utama, di China elemen estetika dan prestise justru lebih menentukan.

Meskipun informasi detail masih terbatas, kehadiran seri W26 ini menunjukkan komitmen Samsung dalam mengembangkan segmen foldable premium. Peluncuran global Galaxy Z Fold 7, Galaxy Z Flip 7, dan Galaxy Z Flip 7 FE baru saja terjadi, dan kini Samsung sudah bersiap untuk varian China-nya.

Momen Penting bagi Industri Foldable

Tahun 2025 memang menjadi tahun yang menarik untuk teknologi foldable. Persaingan semakin ketat dengan hadirnya berbagai pemain baru dan inovasi yang terus bermunculan. Samsung, sebagai pionir di segmen ini, tentu tidak ingin kehilangan momentum.

Strategi dual-varian yang dijalankan Samsung—global dan China eksklusif—menunjukkan pemahaman mendalam tentang perbedaan preferensi pasar. Sementara konsumen global lebih fokus pada performa dan fitur, pasar China memberikan apresiasi lebih pada nilai estetika dan eksklusivitas.

Insiden menarik sempat terjadi ketika Apple secara tidak sengaja mempromosikan Samsung Z Flip 7 di akun resminya, menunjukkan betapa panasnya persaingan di segmen ini. Namun Samsung tampaknya tetap fokus pada strategi jangka panjangnya.

Dengan peluncuran yang dijadwalkan pada 11 Oktober 2025, kita tinggal menunggu kejutan apa lagi yang akan dihadirkan Samsung melalui seri W26. Apakah kita akan melihat inovasi desain baru yang melampaui frame aluminium emas seri sebelumnya? Atau mungkin material premium lain yang belum pernah digunakan di perangkat foldable?

Satu hal yang pasti: Samsung terus membuktikan bahwa mereka memahami seni beradaptasi dengan karakteristik pasar lokal. Di tengah persaingan foldable yang semakin sengit, pendekatan ini bisa menjadi kunci mempertahankan posisi puncak. Mari kita nantikan bersama pengumuman resmi pada Oktober mendatang.

Bocoran Resmi! Nothing Phone (4a) Pro Muncul di Database IMEI

0

Telset.id – Jika Anda penggemar setia brand Nothing, bersiaplah untuk kejutan baru. Bocoran terbaru mengindikasikan bahwa lini smartphone Nothing akan segera bertambah dengan kehadiran model mid-range terbaru. Setelah meluncurkan flagship Nothing Phone (3) beberapa bulan lalu, kini giliran varian yang lebih terjangkau yang bersiap menghampiri pasar.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah smartphone baru dari Nothing baru saja terdeteksi dalam database IMEI dengan nomor model A069P. Meskipun nama resmi perangkat ini belum diungkap, semua petunjuk mengarah pada satu kemungkinan: ini adalah Nothing Phone (4a) Pro. Sayangnya, listing IMEI tersebut tidak mengungkap detail spesifik seperti spesifikasi teknis, fitur, desain, atau harga. Namun, yang pasti, temuan ini mengkonfirmasi bahwa Nothing telah memulai pengembangan penerus seri Phone (3a).

Mengingat Nothing sebelumnya telah mengisyaratkan rencana merilis tiga smartphone baru di tahun 2025, kemunculan Phone (4a) Pro di database IMEI ini semakin memperkuat strategi ekspansi mereka. Brand yang dikenal dengan pendekatan desainnya yang unik ini tampaknya tidak ingin hanya berfokus pada segmen premium, tetapi juga menjangkau pasar yang lebih luas dengan varian mid-range yang tetap mempertahankan DNA khas Nothing.

Penerus Seri Nothing Phone (3a) yang Ditunggu

Untuk memahami konteks kemunculan Nothing Phone (4a) Pro, kita perlu melihat ke belakang sejenak. Seri Nothing Phone (3a) dan Phone (3a) Pro sebelumnya terdeteksi dengan nomor model A059 dan A059P. Pola penomoran ini menunjukkan bahwa perangkat dengan kode A069P yang baru terdeteksi kemungkinan besar adalah penerus langsung dari smartphone mid-range Nothing sebelumnya.

Yang menarik, meskipun detail teknis masih menjadi misteri, kita bisa membuat beberapa prediksi berdasarkan pola yang telah ditetapkan Nothing. Perusahaan kemungkinan akan mempertahankan desain transparan ikonik yang telah menjadi trademark semua model smartphone mereka hingga saat ini. Namun, seperti pendahulunya, model baru ini mungkin akan mengganti panel logam dengan material plastik untuk menjaga harga tetap kompetitif di segmen mid-range.

Fitur yang Bisa Kita Harapkan dari Nothing Phone (4a) Pro

Meskipun masih spekulasi, ada beberapa elemen yang kemungkinan besar akan dihadirkan dalam Nothing Phone (4a) Pro. Glyph LED matrix, yang menjadi ciri khas smartphone Nothing, kemungkinan akan kembali hadir meski mungkin dengan implementasi yang sedikit berbeda dari varian flagship. Fitur ini tidak hanya menjadi elemen estetika, tetapi juga memberikan fungsionalitas notifikasi yang unik bagi pengguna.

Dari sisi performa, kita bisa berharap peningkatan signifikan berkat chipset yang lebih baru. Upgrade pada kapasitas baterai dan kecepatan pengisian daya juga menjadi hal yang sangat mungkin, mengingat ini adalah area yang selalu menjadi perhatian konsumen di segmen mid-range. Sementara untuk layar dan kamera, yang sudah cukup kompeten di seri Phone (3a), Nothing kemungkinan akan melakukan penyempurnaan bertahap daripada perubahan revolusioner.

Kemunculan Nothing Phone (4a) Pro ini juga membuka pertanyaan tentang kompatibilitasnya dengan Android 14 dan pembaruan sistem operasi mendatang. Mengingat Nothing telah mengumumkan Nothing OS 4.0 yang akan segera hadir, sangat mungkin Phone (4a) Pro akan diluncurkan dengan sistem operasi terbaru ini atau setidaknya mendapatkan pembaruan segera setelah peluncuran.

Strategi Pasar dan Posisi Nothing Phone (4a) Pro

Kehadiran Nothing Phone (4a) Pro menunjukkan strategi yang matang dari brand yang relatif muda ini. Dengan meluncurkan varian mid-range, Nothing tidak hanya memperluas jangkauan pasar mereka, tetapi juga membangun ekosistem yang lebih komprehensif. Ini adalah langkah logis mengingat kesuksesan Nothing Ear 3 yang telah diterima baik di pasar.

Pertanyaan besarnya adalah: bagaimana Nothing akan memposisikan Phone (4a) Pro di pasar yang sudah sangat padat? Dengan mempertahankan desain khas mereka sambil menawarkan harga yang lebih terjangkau, Nothing berpotensi menarik perhatian konsumen yang menginginkan smartphone dengan identitas kuat tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Ini bisa menjadi kombinasi yang mematikan bagi kompetitor di segmen yang sama.

Meskipun detail resmi masih menunggu pengumuman dari Nothing, kemunculan Phone (4a) Pro di database IMEI memberikan secercah harapan bagi penggemar yang menantikan varian mid-range terbaru dengan sentuhan khas Nothing. Seperti biasa dalam dunia teknologi, yang tersisa bagi kita sekarang adalah menunggu dengan sabar sambil mengumpulkan petunjuk-petunjuk berikutnya yang pasti akan segera menyusul.

Motorola Edge 70 Bocor, Desain Slim dengan Warna Lily Pad Menawan

0

Telset.id – Dunia smartphone kembali dihebohkan oleh bocoran terbaru. Kali ini, Motorola Edge 70 yang masih misterius berhasil diungkap wajah aslinya melalui serangkaian render yang bocor. Desainnya yang ramping dan pilihan warna barunya yang berani, langsung mencuri perhatian. Apakah ini penampakan smartphone mid-range yang selama ini Anda tunggu-tunggu?

Render ini, yang dilansir pertama kali oleh AndroidHeadlines, memberikan gambaran paling jelas sejauh ini tentang bagaimana wujud Motorola Edge 70. Berbeda dari beberapa bocoran Motorola Edge 70 sebelumnya yang masih samar-samar, gambar kali ini terlihat sangat detail. Desainnya menunjukkan langkah penyempurnaan yang signifikan, meninggalkan kesan “aman” dan melangkah ke teritori yang lebih elegan dan modern.

Motorola sepertinya sedang bermain dengan estetika yang lebih percaya diri. Desain bodi yang flat dengan sudut-sudut yang membulat memberikan kesan kokoh sekaligus nyaman digenggam. Yang paling mencolok adalah modul kamera persegi di bagian belakang—sebuah signature yang konsisten, namun kali ini dieksekusi dengan sentuhan lebih halus. Seperti apa detailnya? Mari kita selami lebih dalam.

Dua Kepribadian, Satu DNA

Bocoran ini mengonfirmasi setidaknya dua varian warna untuk Motorola Edge 70. Pilihannya bukan sekadar hitam dan putih, melainkan dua karakter yang sangat berbeda. Varian pertama hadir dalam warna hitam klasik yang dijuluki “Gadget Gray”. Warna ini adalah pilihan aman bagi mereka yang menyukai kesan profesional dan timeless.

Namun, bintang utama dari bocoran ini justru adalah varian hijau zaitun yang dinamai “Lily Pad”. Nama yang puitis untuk warna yang berani. Varian Lily Pad ini bukan sekadar soal warna; ini adalah pernyataan gaya. Motorola tampaknya ingin menarik segmen pengguna yang lebih muda dan dinamis, yang tidak takut untuk mengekspresikan diri melalui gadget mereka.

Perbedaan kedua varian ini tidak berhenti di warna bodi saja. Pada model Lily Pad yang hijau, cincin kamera dan sebuah tombol khusus—yang diduga kuat adalah tombol dedicated untuk fitur AI—menghadirkan aksen finishing tembaga yang hangat. Kombinasi hijau zaitun dan tembaga ini terlihat sangat premium dan artistik. Sementara itu, varian Gadget Gray yang hitam justru memilih aksen cincin kamera berwarna biru, menciptakan kontras yang tajam dan modern.

Tombol Moto AI: Pintu Gerbang Kecerdasan Buatan?

Kehadiran tombol fisik khusus yang didedikasikan untuk Moto AI adalah hal yang paling menarik untuk dikulik. Di era di mana hampir semua fungsi dialihkan ke layar sentuh, keputusan Motorola untuk mempertahankan—bahkan menambahkan—tombol fisik ini cukup berani. Tombol ini, jika bocoran ini akurat, bisa menjadi pintu gerbang cepat untuk mengakses berbagai fitur kecerdasan buatan.

Bayangkan, dengan sekali tekan, Anda bisa langsung memanggil asisten AI, menjalankan perintah suara kompleks, atau mungkin mengaktifkan mode fotografi cerdas. Ini adalah langkah praktis yang membuat teknologi AI tidak lagi tersembunyi di dalam menu, tetapi menjadi bagian yang mudah diakses dari pengalaman penggunaan sehari-hari. Ini mengingatkan pada komitmen AI yang juga menjadi andalan pada Motorola Edge 60 Pro yang sudah diluncurkan sebelumnya.

Lalu, bagaimana dengan spesifikasi teknisnya? Sayangnya, bocoran visual ini masih tutup mulut soal hal itu. Kita belum tahu prosesor apa yang akan membalap di dalamnya, konfigurasi kamera yang detail, kapasitas baterai, atau yang paling ditunggu: perkiraan harga jualnya di pasaran. Bocoran ini ibarat melihat sampul buku yang sangat indah, namun isi ceritanya masih menjadi misteri.

Konteks yang Lebih Luas: Avenger dan X70 Air

Bocoran Motorola Edge 70 ini tidak berdiri sendiri. Dalam pemberitaan terkait, disebutkan juga tentang smartphone dengan kode nama “Avenger” yang muncul dalam sebuah leak terpisah. Spekulasi yang beredar kuat, bahwa “Avenger” ini mungkin merujuk pada seri Edge 70 itu sendiri, atau mungkin varian yang lebih tinggi dari seri ini. Sebuah artikel sebelumnya di Telset.id juga membahas kemungkinan Motorola Avenger ini dan potensinya untuk mengguncang pasar.

Yang tak kalah menarik, laporan ini juga menyebutkan bahwa Motorola tampaknya sedang menyempurnakan desain untuk smartphone generasi berikutnya dengan desain yang lebih ramping, mirip dengan Motorola X70 Air. Model X70 Air sendiri digambarkan sebagai smartphone yang sangat tipis, bersaing langsung dengan konsep seperti Galaxy S25 Edge dan iPhone Air. Apakah ini pertanda bahwa tren smartphone ultra-slim akan segera kembali? Mungkin saja. Desain Motorola Edge 70 yang ramping dalam bocoran ini bisa jadi adalah bagian dari strategi besar tersebut.

Jadi, apa yang bisa kita simpulkan dari semua bocoran ini? Motorola Edge 70 hadir bukan sebagai revolusi, melainkan sebagai evolusi yang matang. Desainnya yang disempurnakan, pilihan warna yang berkarakter, dan integrasi AI yang lebih dalam melalui tombol khusus, menunjukkan bahwa Motorola mendengarkan pasar dan berusaha menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia tidak hanya mengejar spesifikasi mentah, tetapi juga pengalaman pengguna dan nilai estetika.

Tunggu saja kabar selanjutnya. Begitu informasi mengenai spesifikasi, harga, dan tanggal peluncuran resmi mulai bermunculan, Anda akan menjadi yang pertama mengetahuinya di Telset.id. Sementara itu, mana yang lebih menarik bagi Anda: varian Lily Pad yang berani atau Gadget Gray yang klasik?

PayPal Perkuat Honey dengan AI, Hadapi Persaingan OpenAI & Google

0

Telset.id – Bayangkan Anda sedang bertanya pada asisten AI tentang rekomendasi smartphone terbaru, dan dalam sekejap muncul daftar produk lengkap dengan harga terbaik, pilihan merchant, hingga penawaran eksklusif. Inilah yang sedang dipersiapkan PayPal untuk mengubah cara kita berbelanja di era kecerdasan buatan.

Setelah berkolaborasi dengan Google dalam inisiatif agentic commerce awal bulan ini, raksasa pembayaran PayPal mengumumkan fitur-fitur baru pada ekstensi browser PayPal Honey. Langkah strategis ini dirancang untuk menjawab pertanyaan fundamental: di mana posisi tools seperti Honey ketika konsumen mulai beralih dari pencarian tradisional ke chatbot AI sebagai teman belanja utama?

Fitur-fitur terbaru ini akan memberikan rekomendasi produk Honey, informasi harga real-time, dan akses ke berbagai penawaran langsung kepada pengguna chatbot AI yang sedang melakukan riset belanja. Sistem canggih ini bahkan mampu mengidentifikasi ketika rekomendasi AI sendiri ternyata melewatkan retailer besar, kemudian menampilkan opsi tambahan tersebut kepada konsumen.

Ilustrasi PayPal Honey AI shopping assistant dengan chatbot dan rekomendasi produk

Menurut PayPal, integrasi belanja agentic ini dirancang untuk bersifat AI-agnostic, artinya dapat bekerja dengan berbagai platform kecerdasan buatan. Namun dalam tahap awal, sistem akan beroperasi dengan OpenAI’s ChatGPT sebelum kemudian diperluas ke platform AI lainnya. Ini menjadi sinyal jelas bagaimana PayPal memposisikan diri dalam lanskap persaingan yang semakin panas.

Strategi Agentic Commerce PayPal yang Lebih Luas

Fitur baru Honey ini bukanlah langkah isolasi. Perusahaan mengungkapkan bahwa ini merupakan bagian dari rollout inisiatif agentic commerce yang lebih komprehensif. Portofolio inisiatif tersebut mencakup kemitraan dengan Google, penawaran agentic commerce khusus, server MCP remote, Agent Toolkit, serta berbagai kesepakatan smaller scale yang strategis.

Yang menarik, PayPal juga menawarkan akses gratis selama setahun ke layanan premium Perplexity dan akses gratis ke browser Comet barunya. Gerakan-gerakan ini menunjukkan bagaimana perusahaan berusaha membangun ekosistem yang solid di tengah persaingan yang semakin ketat.

Dalam wawancara dengan TechCrunch, PayPal menegaskan komitmennya untuk menciptakan solusi yang dapat beradaptasi dengan berbagai platform AI. Pendekatan fleksibel ini mungkin menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi dinamika pasar yang cepat berubah.

Persaingan Memanas: OpenAI Masuk Arena Belanja

Sementara PayPal memperkuat posisinya, para pemain AI justru bergerak lebih agresif ke wilayah yang selama ini menjadi domain tools seperti Honey. OpenAI, misalnya, baru saja mengumumkan rencana untuk bersaing dengan Amazon dan Google melalui sistem belanja agentic sendiri yang dilengkapi fitur “Instant Checkout”.

Meskipun sistem OpenAI saat ini hanya mendukung Etsy dengan rencana integrasi Shopify dalam waktu dekat, langkah ini menjadi penanda penting tentang arah perkembangan e-commerce di era AI. Konsumen mungkin akan mulai melakukan riset belanja mereka melalui chatbot AI, menggeser kebiasaan browsing web tradisional di mana Honey sebelumnya memiliki traksi kuat.

Persaingan ini semakin kompleks dengan kehadiran pemain lain seperti Visa yang juga meluncurkan AI agent untuk belanja otomatis. Lanskap e-commerce sedang mengalami transformasi fundamental, dan setiap pemain berusaha mengklaim posisi terdepan.

Tantangan dan Peluang di Tengah Transformasi Digital

Peluncuran fitur AI ini datang di saat yang cukup menantang bagi Honey. Perusahaan baru saja menghadapi badai publikasi negatif setelah seorang YouTuber menuduh mereka mengambil uang dari influencer dengan mengklaim kredit untuk penjualan yang sebenarnya didorong oleh konten creator. Isu ini bahkan telah memicu beberapa gugatan hukum.

Namun, transformasi menuju AI mungkin justru menjadi momentum bagi Honey untuk membangun kembali kepercayaan dan menawarkan nilai tambah yang lebih jelas kepada semua pihak – baik konsumen maupun merchant.

Fitur perbandingan harga yang ditingkatkan dan penawaran yang dipersonalisasi tidak hanya menguntungkan konsumen, tetapi juga dapat meningkatkan penjualan merchant. Dalam ekosistem yang semakin kompetitif, kemampuan untuk memberikan pengalaman belanja yang lebih cerdas dan efisien bisa menjadi pembeda utama.

Integrasi dengan berbagai platform AI juga membuka peluang kolaborasi yang lebih luas. Seperti yang kita lihat dalam integrasi Google Gemini di perangkat Galaxy atau kerjasama Telkomsel dengan Perplexity Pro, sinergi antara teknologi AI dan platform existing menciptakan nilai tambah yang signifikan.

Pertanyaannya sekarang: apakah konsumen siap untuk sepenuhnya mempercayai rekomendasi AI dalam keputusan belanja mereka? Dan yang lebih penting, apakah tools seperti PayPal Honey dapat membuktikan bahwa mereka memberikan nilai yang lebih baik dibandingkan solusi native dari provider AI sendiri?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan masa depan e-commerce dalam beberapa tahun mendatang. Satu hal yang pasti: pertarungan untuk mendominasi shopping AI baru saja dimulai, dan setiap pemain sedang mempersenjatai diri dengan teknologi terbaik yang mereka miliki.

Epic Games Ungkap Penurunan Dramatis Drop-off Instalasi iOS 18.6

Telset.id – Bayangkan Anda ingin mengunduh aplikasi favorit, namun proses instalasinya dipenuhi peringatan menakutkan yang membuat Anda ragu. Itulah yang dialami pengguna Epic Games Store di Eropa sebelum pembaruan iOS 18.6. Kini, perubahan signifikan dalam proses instalasi marketplace alternatif membawa angin segar—dengan penurunan drop-off hingga 60%.

Epic Games, pengembang game ternama di balik Fortnite, secara terbuka mengungkapkan dampak positif dari workflow instalasi baru Apple yang diimplementasikan dalam iOS 18.6. Data yang mereka bagikan menunjukkan penurunan dramatis dari 65% menjadi 25% dalam angka pengguna yang membatalkan proses instalasi Epic Games Store. Angka ini kini mendekati tingkat drop-off yang biasa diamati Epic pada platform Windows dan macOS, menunjukkan bahwa pengalaman pengguna akhirnya mulai seimbang antar platform.

Perubahan ini bukan terjadi dalam vakum. Awal tahun ini, Apple mulai mengizinkan pengguna EU untuk menginstal marketplace alternatif, menuruti tekanan Digital Markets Act (DMA) yang diterapkan Uni Eropa. Namun versi awal proses instalasi ini menuai kritik pedas dari pengembang. Alih-alih memberikan kebebasan yang dijanjikan, proses tersebut justru dipenuhi multiple “scare screens”—peringatan tentang potensi bahaya menginstal aplikasi dari sumber selain App Store.

Proses instalasi Epic Games Store di perangkat iOS

Strategi Apple ini terbukti efektif—dalam artian negatif. Developer mengeluh taktik tersebut menyebabkan banyak pengguna menghentikan proses instalasi di tengah jalan. Tidak mengherankan, Uni Eropa kemudian menjatuhkan denda sebesar $568 juta kepada Apple karena dinilai tidak mematuhi aturan DMA. Tekanan regulasi ini yang akhirnya memaksa raksasa Cupertino untuk merombak total pendekatannya.

Pada Juli 2024, Apple merilis proses baru untuk menginstal third-party app marketplace di iPhone dengan iOS 18.6. Perubahan yang cukup signifikan: dari sebelumnya multiple warning screens menjadi hanya satu layar informasi. Layar tunggal ini menginformasikan bahwa pengguna mungkin melewatkan beberapa fitur seperti manajemen langganan yang ditawarkan App Store, serta bahwa developer marketplace alternatif akan menangani data mereka secara langsung.

Perbedaan antara kedua pendekatan ini seperti night and day. Sebelumnya, proses instalasi terasa seperti melewati lorong horor digital—setiap langkah dihantui peringatan mengerikan. Kini, prosesnya lebih mirip pemberitahuan standar yang informatif tanpa unsur intimidasi. Perubahan sederhana ini ternyata berdampak besar pada psikologi pengguna.

Grafik menunjukkan tingkat drop-off pengguna yang mencoba menginstal Epic Games Store di iOS dan Android

Perbaikan Signifikan, Tapi Masalah Masih Berlanjut

Meski mengalami perbaikan dramatis dalam proses instalasi, Epic Games tetap kritis terhadap kebijakan Apple secara keseluruhan. Perusahaan game tersebut menyoroti tiga masalah utama yang masih mereka hadapi: core technology fee, kebijakan notarisasi dan persetujuan, serta aturan yang menyulitkan developer mendistribusikan aplikasi melalui app store alternatif.

Core technology fee khususnya menjadi titik perdebatan sengit. Apple membebankan biaya ini kepada developer yang memanfaatkan kemampuan instalasi marketplace alternatif, sebuah langkah yang dianggap Epic sebagai cara halus Apple mempertahankan pendapatan mereka meski telah “membuka” platform.

Epic Games kembali mengulang argumen dari gugatan hukum mereka terhadap Apple: bahwa perusahaan tersebut mengizinkan pengguna lebih banyak kebebasan untuk menginstal aplikasi dari luar App Store di komputer Mac. Selama persidangan, Craig Federighi, SVP software Apple, berargumen bahwa jika perusahaan mengizinkan tingkat kebebasan yang sama di iOS seperti di Mac, platform akan dibanjiri malware.

Argumen keamanan ini memang selalu menjadi senjata andalan Apple. Namun, apakah kekhawatiran tersebut masih relevan di era modern? Mengingat sistem operasi macOS sendiri relatif aman meski mengizinkan instalasi dari sumber luar, dan masalah keamanan justru pernah muncul dari dalam ekosistem tertutup Apple sendiri.

Perbandingan proses instalasi sebelum dan sesudah pembaruan iOS 18.6

Pertarungan Multi-Front: Tidak Hanya Apple yang Dikritik

Epic Games tidak hanya berfokus pada Apple. Perusahaan game tersebut juga mengkritik keras Google atas proses instalasi app store pihak ketiga yang panjang dan berbelit-belit. Menurut Epic, Google juga menggunakan layar peringatan yang memperingatkan pengguna terhadap menginstal aplikasi dari sumber tidak dikenal.

Yang lebih menarik, Epic Games mengklaim Google menyesatkan pengguna dengan menyiratkan bahwa aplikasi dari pesaing seperti Epic Games mungkin berbahaya. Tuduhan ini muncul di tengah konteks hukum yang sedang berlangsung—tahun lalu, pengadilan di AS memerintahkan Google untuk membuka Play Store dan mengizinkan app store pihak ketiga. Pada Juli 2024, raksasa pencarian tersebut kalah banding melawan keputusan ini.

Pertarungan Epic Games melawan duopoli Apple-Google mengingatkan kita pada perjuangan Microsoft di era 1990-an. Bedanya, kali ini pertarungan terjadi di era mobile-first, di mana kontrol atas app store berarti kontrol atas akses ke miliaran pengguna smartphone.

Beberapa screenshot menunjukkan awal proses instalasi app store pihak ketiga di Android

Lalu apa arti semua ini bagi Anda sebagai pengguna? Perubahan di iOS 18.6 membuka pintu yang lebih lebar untuk pilihan—sesuatu yang seharusnya menjadi hak dasar konsumen di era digital. Meski prosesnya masih jauh dari sempurna, setidaknya kini Anda tidak perlu melalui proses yang terasa seperti interogasi hanya untuk menginstal aplikasi pilihan.

Bagi developer, perubahan ini berarti peluang distribusi yang lebih luas, meski masih dibayangi berbagai kendala birokratis dan finansial. Proses update sistem operasi yang lebih mudah di perangkat Apple seharusnya diimbangi dengan kebebasan yang sama dalam memilih sumber aplikasi.

Pertanyaannya sekarang: apakah ini kemenangan kecil bagi konsumen dan developer, atau sekadar taktik Apple untuk mematuhi regulasi dengan usaha minimal? Data dari Epic Games menunjukkan bahwa penyederhanaan proses memang berdampak signifikan. Namun perjalanan menuju ekosistem yang benar-benar terbuka masih panjang—terutama dengan pembaruan sistem operasi masa depan seperti iOS 26 yang mungkin membawa perubahan kebijakan lebih lanjut.

Yang jelas, pertarungan antara raksasa teknologi versus regulator versus developer independen ini akan terus berlanjut. Setiap perubahan kebijakan, seperti yang kita lihat di iOS 18.6, akan memiliki dampak riil pada bagaimana Anda—sebagai pengguna—dapat mengakses dan menikmati konten digital. Dan dalam pertarungan ini, suara dan pilihan Andalah yang seharusnya menjadi penentu akhir.

FTC Tuntut Sendit, Aplikasi Anonim yang Tipu Pengguna dan Kumpulkan Data Anak

Telset.id – Bayangkan Anda menerima pesan anonim yang provokatif: “Mau pacaran sama aku?” atau “Pernah coba narkoba?”. Penasaran siapa pengirimnya? Anda harus bayar. Inilah skema bisnis yang diduga dilakukan Sendit, aplikasi tanya jawab anonim yang digemari Gen Z, dan kini berhadapan dengan tuntutan resmi dari Federal Trade Commission (FTC) Amerika Serikat. FTC menuduh Sendit tidak hanya menipu pengguna dengan pesan palsu, tetapi juga secara ilegal mengumpulkan data anak di bawah umur tanpa izin orang tua.

Kasus ini bukanlah insiden pertama di ekosistem aplikasi anonim. Beberapa tahun lalu, aplikasi serupa seperti YOLO dan LMK harus dihentikan oleh Snapchat menyusul gugatan hukum terkait bunuh diri seorang remaja. Saat itu, Sendit muncul sebagai pengganti dan langsung melesat dengan 3,5 juta unduhan. Namun, di balik popularitasnya, praktik bisnis yang dipertanyakan justru mengemuka. Laporan investigasi TechCrunch pada 2022 mengungkap bahwa Sendit dan LMK menyesatkan pengguna dengan pesan palsu, lalu menawarkan pembelian dalam aplikasi untuk mengungkap identitas pengirim—sebuah pola yang kini dikonfirmasi oleh keluhan resmi FTC.

Menurut dokumen FTC, Sendit secara sengaja mengirimkan pesan palsu yang provokatif kepada pengguna. Tujuannya jelas: memicu rasa penasaran. Ketika pengguna ingin tahu siapa di balik pesan tersebut, mereka diarahkan untuk membeli “Diamond Membership” seharga $9,99. Masalahnya, menurut FTC, tidak dijelaskan secara transparan bahwa biaya ini berulang setiap minggu, bukan pembayaran satu kali. Lebih parah lagi, ketika pengguna akhirnya membayar untuk mengungkap “identitas” pengirim pesan palsu tersebut, informasi yang diberikan ternyata juga tidak benar.

Fenomena aplikasi tanya jawab anonim seperti Sendit sebenarnya bukan hal baru di kalangan pengguna media sosial. Banyak yang tertarik karena rasa penasaran dan interaksi sosial yang berbeda. Seperti yang pernah kami bahas dalam artikel “Lagi Viral! Begini Cara Buat Fitur Tanya Jawab Anonim di Instagram“, fitur semacam ini memang memiliki daya tarik tersendiri bagi pengguna, terutama remaja. Namun, ketika dimanfaatkan untuk praktik yang tidak etis, dampaknya bisa sangat merugikan.

Pelanggaran Privasi Anak di Bawah Umur

Yang lebih memprihatinkan adalah tuduhan FTC bahwa Sendit secara sadar mengumpulkan data pengguna di bawah usia 13 tahun tanpa persetujuan orang tua. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap COPPA (Children’s Online Privacy Protection Act), undang-undang perlindungan privasi anak online di AS. FTC mengungkapkan bahwa pada 2022 saja, lebih dari 116.000 pengguna Sendit melaporkan bahwa mereka berusia di bawah 13 tahun. Namun, perusahaan induk Sendit, Iconic Hearts, tidak memberitahukan orang tua tentang pengumpulan data ini, apalagi meminta izin.

Praktik pengumpulan data tanpa izin ini mengingatkan kita pada pentingnya transparansi dalam era digital. Seperti yang terjadi pada kasus “Telegram akan Mulai Berikan Alamat IP dan Nomor Telepon Pengguna“, platform digital semakin dituntut untuk lebih terbuka tentang bagaimana mereka menangani data pengguna. Terutama ketika yang bersangkutan adalah anak-anak yang lebih rentan secara hukum dan psikologis.

Pola Bisnis yang Dipertanyakan

Yang menarik dari kasus Sendit adalah bagaimana perusahaan ini justru menggugat kompetitornya, NGL, pada 2022 dengan tuduhan mencuri ide tentang pertanyaan anonim palsu dan rahasia dagang lainnya. Ironis, bukan? Sendit menuduh pihak lain mencuri metode yang justru kini menjadi dasar tuntutan hukum terhadap mereka. NGL akhirnya terpaksa menghentikan praktik tersebut agar tetap bisa bertahan di App Store, menyusul laporan TechCrunch.

Pola bisnis yang dijalankan Sendit mengingatkan kita pada pentingnya regulasi yang ketat terhadap aplikasi-aplikasi baru. Seperti yang terjadi pada “beberapa aplikasi Facebook yang ditutup karena tidak laku“, terkadang yang terlihat populer di permukaan belum tentu menjalankan praktik bisnis yang sehat dan beretika.

Ketika TechCrunch pada 2022 menanyakan tentang pola-pola gelap (dark patterns) ini kepada pendiri Sendit, Hunter Rice, responsnya justru mengalihkan perhatian. Rice menyatakan bahwa TechCrunch hanya mencari sensasi dan menolak membahas masalah tersebut. “Ada banyak hal hebat tentang apa yang kami lakukan yang layak diberitakan,” kata Rice kala itu. “Anda boleh bersenang-senang dengan topik ini, tapi saya hanya tertarik membicarakan berita yang nyata.”

Pernyataan Rice ini justru mengundang pertanyaan: apakah praktik menipu pengguna dengan pesan palsu dan mengumpulkan data anak di bawah umur tidak termasuk dalam kategori “berita nyata” yang patut dibahas?

Implikasi bagi Industri Teknologi

Kasus Sendit ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh industri aplikasi, terutama yang menargetkan pengguna muda. Popularitas yang cepat tidak boleh mengabaikan etika bisnis dan perlindungan konsumen. Pengguna, terutama remaja dan anak-anak, adalah kelompok yang rentan dan perlu dilindungi dari praktik-praktik yang memanipulasi.

Platform media sosial utama seperti Instagram dan Snapchat juga perlu lebih ketat dalam memantau aplikasi pihak ketiga yang terintegrasi dengan mereka. Seperti yang dilakukan Instagram dalam “kebijakan membatasi DM untuk mencegah spam, langkah proaktif diperlukan untuk melindungi pengguna dari praktik-praktik yang merugikan.

Bagi pengguna, terutama orang tua, kasus ini mengingatkan pentingnya pengawasan terhadap aplikasi apa saja yang digunakan anak-anak mereka. Fitur anonimitas bisa menjadi pisau bermata dua—di satu sisi memberikan ruang untuk berekspresi, di sisi lain membuka peluang untuk manipulasi dan eksploitasi.

Kedepannya, kita mungkin akan melihat regulasi yang lebih ketat terhadap aplikasi-aplikasi serupa. FTC telah menunjukkan komitmennya untuk menindak perusahaan yang melanggar perlindungan konsumen dan privasi anak. Kasus Sendit bisa menjadi preseden penting yang membentuk masa depan regulasi aplikasi sosial untuk generasi muda.

Yang jelas, dalam dunia di mana data menjadi aset berharga dan perhatian pengguna menjadi komoditas, etika bisnis tidak boleh dikorbankan demi pertumbuhan yang cepat. Popularitas semata tidak cukup jika dibangun di atas praktik yang meragukan. Sejarah telah membuktikan bahwa perusahaan yang mengabaikan prinsip ini pada akhirnya akan menuai konsekuensinya—seperti yang kini dihadapi Sendit.