Beranda blog Halaman 176

Strategis atau Simbiosis? Kerja Sama OpenAI dan The Washington Post Bisa Jadi Titik Balik Media Dunia

0

Telset.id — Jika Anda berpikir media konvensional akan menolak mentah-mentah kehadiran AI seperti ChatGPT, maka kerja sama terbaru antara OpenAI dan The Washington Post adalah tamparan realitas yang lembut tapi menusuk. Di tengah badai disrupsi digital, dua kekuatan yang dulu terlihat seperti kutub berseberangan ini justru memilih merapat—dan ini bisa mengubah peta industri berita global.

Bocoran resmi mengindikasikan bahwa ChatGPT kini akan menyajikan ringkasan, kutipan, hingga tautan ke artikel-artikel The Post langsung dalam pencarian AI. Kedengarannya biasa saja? Tidak jika Anda memahami betapa kerasnya resistensi media terhadap AI dalam setahun terakhir. The New York Times bahkan menggugat OpenAI atas dugaan pelanggaran hak cipta. Tapi The Washington Post memilih arah yang berbeda: merangkul, bukan melawan. Sebuah langkah yang mungkin terdengar pragmatis, tapi juga sarat ambisi.

Mengapa Media Mainstream Mulai Lembut ke OpenAI?

Kerja sama ini bukan sekadar kesepakatan lisensi biasa. Di baliknya, ada narasi yang lebih besar: media arus utama mulai menyadari bahwa bertahan hidup di era AI bukan lagi soal menjaga eksklusivitas konten, tapi bagaimana membuat konten mereka tetap relevan di saluran distribusi baru—termasuk chatbot.

Peter Elkins-Williams, kepala kemitraan global The Post, menyatakan dengan tegas: “Kami sepenuhnya berkomitmen untuk hadir di mana pun audiens kami berada.” Kalimat ini terdengar seperti slogan pemasaran biasa. Tapi dalam konteks ini, ia adalah pengakuan jujur: pembaca kini tak lagi datang ke beranda situs berita. Mereka bertanya ke AI.

Dan seperti ironi yang menyakitkan, pertanyaan-pertanyaan itu tetap membutuhkan jawaban jurnalistik yang kredibel—sesuatu yang tidak bisa dihasilkan mesin secara murni. Maka, simbiosis pun tercipta: AI butuh konten, media butuh distribusi. Deal done.

Di Balik Kolaborasi: Antara Visi Bezos dan Geliat Bisnis AI

Tidak kalah menarik adalah konteks pemilik The Post itu sendiri: Jeff Bezos. Sejak mengakuisisi surat kabar legendaris ini pada 2013, Bezos telah mendorong transformasi digital besar-besaran, meski tidak selalu berhasil mengangkat pendapatan. Tapi langkah terbarunya—mengubah arah editorial ke pembelaan atas “kebebasan individu dan pasar bebas”—menggambarkan bagaimana ia melihat masa depan media.

Amazon sendiri merupakan investor besar dalam teknologi AI, termasuk proyek model bahasa dan cloud berbasis AI. Maka, kolaborasi dengan OpenAI bukan sekadar taktis—ini adalah bagian dari ekosistem. Konten The Post yang muncul di ChatGPT bisa berarti peningkatan traffic, visibilitas merek, dan—kalau diolah dengan cermat—monetisasi baru.

Tapi di sisi lain, ada pertanyaan retoris yang menggantung: jika chatbot menjadi “editor” pertama yang menyaring berita untuk pembaca, siapa yang sesungguhnya mengendalikan narasi?

Dunia Pasca-Linimasa: Apakah Ini Masa Depan Jurnalisme?

Yang paling menggugah dari kemitraan ini adalah sinyal yang dikirimkan ke industri media secara keseluruhan: bahwa masa depan mungkin bukan lagi soal click-through rate di laman utama, tapi relevansi dalam pencarian kontekstual dan percakapan real-time.

Dalam skenario ini, pengguna tak lagi mengetik “berita terbaru Gaza” di Google, tapi bertanya langsung ke ChatGPT. Dan jawaban yang mereka dapat—singkat, to the point, mungkin disertai sumber dari The Post—bisa menggantikan pengalaman mengunjungi situs berita secara penuh.

Apakah ini merugikan media? Mungkin iya. Tapi justru karena itu, kolaborasi seperti ini muncul. Daripada melihat AI sebagai “perampok klik”, media mulai melihatnya sebagai kanal distribusi baru yang tak bisa diabaikan. Pertanyaannya tinggal: siapa yang memegang kendali atas framing informasi?

Dengan lebih dari 20 penerbit global telah menandatangani kesepakatan serupa dengan OpenAI, tren ini bukan anomali. Ini gelombang baru. Dan bagi Anda, pembaca yang masih setia pada berita berkualitas, mungkin ini saatnya bertanya: apakah kita sedang menyambut renaisans jurnalistik—atau hanya menyaksikan digitalisasi ketergantungan baru?

Satu hal yang pasti, berita kini tidak lagi datang kepada kita dalam bentuk koran pagi, melainkan bisikan algoritma yang tahu persis apa yang ingin kita dengar—bahkan sebelum kita sempat bertanya.

OpenAI Mau Beli Chrome? Ini Alasan Mengapa Dunia Teknologi Bisa Berubah Selamanya

0

Telset.id — Jika Anda mengira browser hanyalah jendela untuk membuka internet, maka bocoran terbaru ini akan membuat Anda berpikir ulang. Dalam sidang terkait gugatan monopoli terhadap Google, muncul satu pernyataan mengejutkan: OpenAI—perusahaan di balik ChatGPT—secara terang-terangan menyatakan ketertarikannya membeli Chrome, browser paling dominan di dunia. Sebuah manuver yang tidak hanya mencengangkan, tapi juga membuka kemungkinan perubahan besar dalam cara kita berinteraksi dengan web.

Meski Google belum tentu akan dipaksa menjual Chrome, pernyataan dari Nick Turley, kepala ChatGPT, cukup mengguncang lanskap teknologi global. Jika akuisisi ini terjadi, pertanyaannya bukan lagi “apa yang akan terjadi pada Google?”, melainkan “siapa yang akan memegang kendali atas masa depan internet?”

Bukan Sekadar Browser: Chrome adalah Pintu Gerbang Digital Dunia

Sejak diluncurkan pada 2008, Chrome telah berkembang jauh dari sekadar browser. Ia kini menjadi platform strategis yang menopang berbagai layanan Google: dari pencarian, YouTube, Gmail, hingga ekosistem iklan digital senilai miliaran dolar. Maka tak heran jika pemerintah AS mulai mempertanyakan dominasi Google atas “gerbang masuk” ke internet.

Lalu, bagaimana jika browser ini diambil alih oleh OpenAI, perusahaan yang tengah memimpin revolusi AI global?

Nick Turley menyebutkan bahwa jika OpenAI memiliki Chrome, maka integrasi AI akan jauh lebih mendalam dari sekadar plugin tambahan. “Kami ingin menunjukkan kepada pengguna seperti apa pengalaman internet yang berpusat pada AI itu sebenarnya,” ujarnya. Pernyataan ini bukan hanya soal ambisi teknologi, tapi juga tentang pergeseran paradigma: dari browser yang pasif menjadi asisten digital aktif.

Bayangkan, membuka tab baru bukan hanya menampilkan bookmark atau histori, tapi juga menawarkan prediksi tugas Anda hari ini. Atau mengetik alamat web sambil disarankan artikel, video, bahkan ringkasan hukum berdasarkan riwayat pencarian Anda. Ini bukan sci-fi. Ini masa depan yang sedang dinegosiasikan.

Risiko Baru: Satu Monopoli Digantikan Monopoli Lain?

Namun seperti biasa, dalam setiap janji teknologi, selalu ada risiko tersembunyi. Jika Chrome jatuh ke tangan OpenAI, siapa yang menjamin bahwa kita tidak sedang menukar satu raksasa dengan raksasa lain?

Selama ini, kritik terhadap Google berfokus pada dominasi data dan iklan. Tapi OpenAI juga bukan pemain kecil. Perusahaan ini menguasai ekosistem AI yang semakin menjadi tulang punggung industri: dari penulisan konten, pemrograman, layanan pelanggan, hingga pendidikan. Menambahkan browser populer ke daftar portofolionya bisa menempatkan OpenAI di posisi strategis yang sama—atau bahkan lebih kuat.

Hal ini diperparah dengan fakta bahwa pengguna belum sepenuhnya memahami seberapa besar pengaruh AI terhadap privasi dan keputusan digital mereka. Integrasi yang terlalu dalam justru bisa membuat pengguna kehilangan kontrol, bukan sebaliknya.

Apakah Dunia Siap dengan Chrome Versi AI?

Mungkin pertanyaan sejatinya bukan apakah OpenAI bisa membeli Chrome, tapi apakah kita—sebagai masyarakat digital—siap menghadapi konsekuensinya.

Jika pemerintah AS memang memaksa Google untuk menjual Chrome, maka pihak yang mengakuisisinya akan memiliki tanggung jawab besar. Ini bukan sekadar akuisisi bisnis. Ini adalah keputusan yang menyentuh keseharian miliaran manusia: bagaimana mereka mencari informasi, belajar, bekerja, dan bahkan berpikir.

Dan kalau OpenAI benar-benar menjadi pemilik baru, maka pertarungan selanjutnya bukan lagi tentang pangsa pasar, melainkan siapa yang mengarahkan arah evolusi digital manusia.

Untuk saat ini, pemerintah AS masih membiarkan Google melanjutkan investasi AI-nya meski isu pemisahan masih berproses. Tapi sinyal sudah jelas: perubahan besar sedang mengintai. Dan ketika waktu itu tiba, internet yang Anda kenal mungkin tak akan pernah sama lagi.

Robot Humanoid VR Ini Bisa Bantu Produksi Truk dengan Kontrol Pikiran

0

Telset.id – Bayangkan jika Anda bisa mengendalikan robot humanoid hanya dengan gerakan tangan dan pikiran. Itulah yang baru saja diuji coba oleh Extend Robotics di pabrik truk Leyland, Inggris. Robot ini dikendalikan dari jarak jauh menggunakan headset VR, membuka babak baru dalam produksi industri yang lebih aman dan efisien.

Kolaborasi antara Extend Robotics dan Leyland Truks (bagian dari PACCAR Inc) ini bukan sekadar eksperimen biasa. Mereka secara serius mengeksplorasi bagaimana teknologi robotika dan realitas virtual dapat merevolusi lini produksi, terutama untuk tugas-tugas berbahaya yang selama ini harus dilakukan manusia dengan perlengkapan keamanan lengkap.

Pabrik Leyland di Preston, Inggris yang memproduksi sekitar 60 truk per hari ini menjadi laboratorium hidup bagi terobosan teknologi tersebut. “Tes selama 2 hari ini merupakan studi kelayakan awal untuk mengevaluasi efektivitas platform Teleoperation dan AI Training dari Extend Robotics,” jelas perusahaan dalam rilis resminya.

Menggantikan Tugas Berbahaya dengan Robot VR

Robot Humanoid VR di Pabrik Truk Leyland

Salah satu tugas paling berisiko di pabrik tersebut adalah Master Service Disconnect (MSD) – proses yang mengharuskan pekerja berinteraksi dengan sirkuit bertegangan tinggi pada truk listrik. “Tugas ini cukup berbahaya bagi manusia,” ujar Namrata Lachman dari Extend Robotics dalam video demonstrasi.

Biasanya, pekerja harus mengenakan perlengkapan keselamatan khusus termasuk sarung tangan isolasi, pakaian pelindung, dan penutup kepala yang memakan waktu hingga 20 menit hanya untuk persiapan. Dengan robot VR ini, proses tersebut bisa dilakukan dari jarak jauh dengan risiko minimal.

Seperti Memiliki Tangan Robot Tambahan

Yang mengejutkan, sistem ini ternyata sangat intuitif bahkan untuk pemula. Robert O’Keefe, Kepala Produk Leyland, dan rekan-rekannya yang belum pernah menggunakan VR sebelumnya bisa langsung mengoperasikan robot tersebut dengan lancar.

“Ketika Anda masuk ke dalam (VR), itu seperti 3D, Anda bisa melihat dengan jelas,” kata seorang pekerja Leyland. “Seperti tangan Anda adalah tangan itu. Aneh tapi mudah digunakan,” tambahnya dengan antusias.

Masa Depan Produksi dengan AI dan Robotika

Selain teleoperasi, Extend Robotics juga mendemonstrasikan kemampuan AI-nya yang bisa belajar dari gerakan manusia untuk mengotomatisasi tugas-tugas seperti perakitan komponen dan pengecatan. Dalam workshop khusus, mereka menunjukkan bagaimana robot bisa mengambil dan memindahkan balok warna dengan presisi sempurna.

Teknologi ini berpotensi meningkatkan produksi Leyland dari 60 menjadi 100 truk per hari, sekaligus mengurangi risiko kecelakaan kerja. “Kami sangat senang menjadi bagian dari perjalanan ini,” ujar perwakilan Extend Robotics.

Seiring perkembangan robot humanoid seperti yang pernah ikut marathon atau proyek open source Reachy 2, kolaborasi manusia-robot di lingkungan industri semakin menunjukkan potensi besarnya. Mungkin tak lama lagi, kita akan melihat lebih banyak pabrik yang mengadopsi solusi serupa.

Mobil Otonom Waymo Mogok di Tengah Jalan Raya, Penumpang Terjebak!

0

Bayangkan Anda sedang berada di dalam mobil otonom yang seharusnya membawa Anda dengan aman ke tujuan. Tiba-tiba, mobil itu berhenti di tengah jalan tol yang ramai, mengunci Anda di dalam tanpa bisa keluar. Itulah yang dialami Becky Navarro dari Austin, Texas, ketika mobil otonom Waymo yang ia tumpangi “mogok” di tengah jalan raya MoPac—salah satu jalan tol paling berbahaya di kota itu.

Mobil otonom Waymo mogok di jalan raya

Insiden Menegangkan di Jalan Tol MoPac

Navarro menceritakan pengalamannya melalui TikTok. Mobil Waymo yang ia tumpangi tiba-tiba berperilaku aneh, membawa mereka ke arah yang salah sebelum akhirnya berhenti di tengah jalan tol. Yang lebih menakutkan, mobil itu tidak memberikan opsi untuk keluar, meskipun layar di dalam mobil terus menampilkan pesan “please exit now” sementara suara otomatis mengingatkan “vehicle approaching” setiap kali ada mobil yang melintas.

“Kami terus meminta bantuan kepada layanan pelanggan, tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa,” ujar Navarro. “Mobil itu tidak bergerak, tidak membuka pintu, sementara mobil-mobil lain terus membunyikan klakson.”

Masalah Sistem Darurat yang Tidak Jelas

Meskipun beberapa pengguna media sosial menyarankan bahwa menarik gagang pintu dua kali bisa membuka pintu dalam keadaan darurat, panduan pengguna Waymo tidak memberikan informasi jelas tentang prosedur darurat semacam ini. Pertanyaannya: mengapa sistem darurat yang seharusnya menjadi prioritas justru tidak dijelaskan dengan baik kepada penumpang?

Insiden ini bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, seorang penumpang di Phoenix, Arizona, juga terjebak di dalam mobil Waymo yang berputar-putar tanpa henti di sebuah tempat parkir. “Saya tidak bisa keluar, sabuk pengaman terkunci,” keluhnya. “Apakah mobil ini diretas?”

Regulasi yang Terlalu Longgar

Fakta bahwa mobil otonom sudah diizinkan beroperasi di lebih dari 50 negara dan 41 negara bagian AS menimbulkan pertanyaan besar. Apakah teknologi ini benar-benar siap? Data menunjukkan bahwa kendaraan otonom telah terlibat dalam 617 kecelakaan di AS, dengan 21% di antaranya melibatkan pejalan kaki, pesepeda, atau objek di pinggir jalan. Antara Mei dan September 2022 saja, tercatat 11 kematian akibat kecelakaan mobil otonom.

Berbeda dengan China yang memberlakukan regulasi ketat setelah sebuah kecelakaan mobil otonom menewaskan tiga mahasiswa pada 2024, AS justru semakin melonggarkan aturan. Era pemerintahan Trump bahkan mempermudah perusahaan seperti Waymo, Uber, dan Tesla untuk menguji coba teknologi mereka di jalan umum—sering kali dengan risiko yang ditanggung oleh pengguna jalan lainnya.

Penumpang terjebak di dalam mobil otonom Waymo

Masa Depan yang Dipertanyakan

Dengan insiden seperti yang dialami Navarro, wajar jika publik mempertanyakan keamanan mobil otonom. Apakah kita terlalu terburu-buru mengadopsi teknologi ini demi keuntungan bisnis semata? Seperti yang terjadi pada Uber yang terpaksa melepas bisnis mobil otonomnya, mungkin sudah saatnya industri ini melakukan evaluasi mendalam.

Sementara perusahaan seperti Apple bersiap meluncurkan mobil otonomnya pada 2025, dan Samsung mengembangkan chipset khusus untuk Tesla, keselamatan pengguna jalan harus tetap menjadi prioritas utama. Bagaimanapun, nyawa manusia tidak bisa dinilai dengan keuntungan bisnis.

Mungkin sudah waktunya untuk menekan rem dan memastikan bahwa mobil otonom benar-benar siap sebelum dilepas ke jalanan. Karena ketika teknologi gagal, konsekuensinya bisa sangat fatal.

Bocoran Samsung Galaxy Tab S10 Lite dan S11 Ultra: Chipset Baru dan Strategi Baru

0

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa Samsung begitu sulit ditebak dalam merilis produk tabletnya? Bocoran terbaru dari sumber terpercaya mengindikasikan bahwa perusahaan asal Korea Selatan ini sedang menyiapkan tiga model tablet baru: Galaxy Tab S10 Lite, Tab S11, dan Tab S11 Ultra. Yang menarik, Tab S10 Lite akan menggunakan chipset Exynos 1380, sementara varian S11 dan S11 Ultra beralih ke MediaTek Dimensity 9400.

Samsung memang dikenal gemar mengubah strategi. Jika sebelumnya mereka meluncurkan Galaxy Tab S10+ tanpa varian standar S10, kini mereka dikabarkan akan meluncurkan Tab S11 dan S11 Ultra. Perubahan ini menunjukkan bahwa Samsung terus bereksperimen dengan portofolio produknya untuk menemukan formula yang tepat di pasar tablet yang semakin kompetitif.

Lantas, apa yang bisa kita harapkan dari tablet-tablet baru ini? Mari kita telusuri lebih dalam berdasarkan informasi yang terungkap sejauh ini.

Galaxy Tab S10 Lite: Pilihan Entry-Level dengan Exynos 1380

Bocoran mengungkapkan bahwa Samsung sedang mengembangkan Galaxy Tab S10 Lite, yang akan menempati posisi di bawah keluarga Tab S10 FE. Tablet ini akan hadir dalam dua varian: Wi-Fi-only dan Wi-Fi plus cellular. Yang menarik, Tab S10 Lite diprediksi menggunakan chipset Exynos 1380, yang sebelumnya juga digunakan di beberapa perangkat Samsung lainnya.

Samsung Galaxy Tab S10 Ultra

Exynos 1380 adalah SoC mid-range dengan performa yang cukup tangguh untuk penggunaan sehari-hari. Jika Samsung konsisten dengan strategi sebelumnya, Tab S10 Lite kemungkinan akan menawarkan harga yang lebih terjangkau dibandingkan varian FE atau Ultra. Namun, sayangnya belum ada informasi lebih lanjut mengenai spesifikasi lainnya seperti ukuran layar, kapasitas baterai, atau kamera.

Galaxy Tab S11 dan S11 Ultra: Lompatan Besar dengan Dimensity 9400

Yang lebih mengejutkan adalah kabar bahwa Samsung akan meluncurkan Galaxy Tab S11 dan S11 Ultra dengan chipset MediaTek Dimensity 9400. Ini merupakan langkah yang tidak biasa mengingat Samsung biasanya lebih mengandalkan Exynos atau Snapdragon untuk perangkat flagship-nya.

Samsung Galaxy Tab S10 Ultra hands-on review

MediaTek Dimensity 9400 diprediksi akan menjadi chipset unggulan MediaTek di tahun 2025, dengan performa yang bisa menyaingi Snapdragon 8 Gen 4. Jika rumor ini benar, ini bisa menjadi pertanda bahwa Samsung ingin mengurangi ketergantungannya pada Qualcomm dan memberikan alternatif yang lebih kompetitif.

Sayangnya, belum ada detail lebih lanjut mengenai spesifikasi Tab S11 dan S11 Ultra. Namun, mengingat posisinya sebagai varian flagship, kita bisa berharap layar AMOLED dengan refresh rate tinggi, kamera yang ditingkatkan, dan dukungan S Pen yang lebih responsif.

Strategi Baru Samsung di Pasar Tablet

Keputusan Samsung untuk meluncurkan Tab S11 dan S11 Ultra tanpa varian S10 sebelumnya menunjukkan bahwa perusahaan ini terus bereksperimen dengan strategi produknya. Mungkin mereka merasa bahwa pasar tablet saat ini membutuhkan diferensiasi yang lebih jelas antara model entry-level, mid-range, dan flagship.

Samsung Galaxy Tab S10+ hands-on review

Selain itu, penggunaan chipset MediaTek untuk varian flagship juga patut diperhatikan. Apakah ini pertanda bahwa Samsung tidak puas dengan performa Exynos atau harga Snapdragon? Atau mungkin ini bagian dari strategi diversifikasi supplier untuk mengurangi risiko?

Sayangnya, belum ada informasi mengenai tanggal peluncuran atau harga dari ketiga tablet ini. Namun, mengingat bocoran ini berasal dari sumber yang cukup terpercaya, kita bisa berharap pengumuman resmi dari Samsung dalam waktu dekat.

Bagaimana pendapat Anda tentang tablet-tablet baru Samsung ini? Apakah Anda lebih tertarik dengan Tab S10 Lite yang terjangkau atau Tab S11 Ultra yang penuh fitur? Bagikan pemikiran Anda di komentar!

Bocoran Samsung Galaxy S25 FE: Masih Pakai Exynos 2400e, Upgrade Minim?

0

Pernahkah Anda merasa kecewa ketika tahu ponsel baru yang ditunggu-tunggu ternyata hanya membawa upgrade minor? Bocoran terbaru tentang Samsung Galaxy S25 FE mungkin akan memicu reaksi serupa. Setelah merilis Galaxy S24 FE Oktober lalu, Samsung diprediksi akan meluncurkan penerusnya dalam beberapa bulan mendatang. Namun, kabar tentang chipset yang akan digunakan mungkin tidak sesuai harapan banyak penggemar.

Menurut sumber terpercaya, Galaxy S25 FE akan tetap menggunakan Exynos 2400e—sama seperti pendahulunya. Artinya, jika Anda mengharapkan lompatan performa signifikan di sektor ini, bersiaplah untuk sedikit kecewa. Meski masih sebatas rumor, sumber yang sama sebelumnya telah akurat memprediksi keberadaan Galaxy XCover7 Pro dan Galaxy Tab Active5 Pro. Exynos 2400e juga dikabarkan akan menghidupi Galaxy Z Flip FE, menunjukkan bahwa Samsung konsisten dengan pilihan chipset untuk lini “FE” tahun ini.

Samsung Galaxy S24 FE

Exynos 2400e: Pilihan yang Kontroversial?

Exynos 2400e bukanlah nama asing bagi pengguna Samsung. Chipset ini dikenal cukup tangguh untuk kelas menengah, tetapi banyak yang berharap seri FE tahun ini akan mendapat pembaruan lebih segar. Dengan kompetitor seperti Vivo X200 Ultra yang terus mendorong batas inovasi, keputusan Samsung ini bisa jadi bumerang.

Di sisi lain, konsistensi dalam penggunaan chipset mungkin memiliki alasan tersendiri. Salah satunya adalah optimisasi perangkat lunak yang lebih matang. Dengan tetap mempertahankan Exynos 2400e, Samsung bisa fokus pada penyempurnaan pengalaman pengguna melalui pembaruan seperti One UI 8.

Apakah Masih Layak Dinantikan?

Meski kabar tentang chipset ini kurang menggembirakan, Galaxy S25 FE masih bisa menawarkan kejutan di sektor lain. Misalnya, upgrade kamera, baterai, atau bahkan integrasi AI yang lebih dalam seperti kolaborasi Samsung dengan Google Gemini AI.

Bagi pengguna setia lini FE yang lebih mementingkan harga terjangkau dengan fitur premium, Galaxy S25 FE mungkin tetap menjadi pilihan menarik. Namun, bagi yang mengincar terobosan teknologi, mungkin lebih baik menunggu seri flagship utama atau menjelajahi alternatif seperti Vivo X200 Ultra.

Samsung belum memberikan konfirmasi resmi, jadi masih ada harapan untuk kejutan terakhir. Sementara itu, pantau terus perkembangan terbaru untuk tahu apakah Galaxy S25 FE akan memenuhi ekspektasi atau justru mengecewakan.

Wheel of Time Akan Hadir dalam Game RPG Open-World AAA

0

Telset.id – Penggemar Wheel of Time bersiap-siap! Dunia fantasi epik karya Robert Jordan tak hanya hidup di layanan streaming, tapi juga akan menjelma menjadi game RPG open-world AAA. Kabar ini datang langsung dari iwot Studios, yang juga terlibat dalam produksi serial adaptasi Amazon Prime Video.

Setelah sukses dengan serial televisi yang kini memasuki musim ketiga, iwot Studios melangkah lebih jauh dengan mendirikan divisi game baru. Mereka merekrut Craig Alexander, veteran industri dengan pengalaman di Warner Bros., Activision, EA, dan Sierra On-Line, untuk memimpin studio ini. Target mereka? Merilis game dalam tiga tahun ke depan—sebuah jadwal yang cukup ambisius mengingat tim inti masih dalam proses rekrutmen.

Konsep Visual Dunia Wheel of Time

Rick Selvage, CEO iwot Studios, menegaskan bahwa strategi transmedia mereka akan menjaga konsistensi cerita di berbagai platform. Selain game, mereka juga menggarap film live-action dan animasi yang berlatar di alam semesta yang sama. “Kami ingin pengalaman penggemar menyeluruh, dari layar kaca hingga kontroler game,” ujarnya.

Ini bukan pertama kalinya Wheel of Time diadaptasi menjadi game. Pada 1999, Legend Entertainment merilis game FPS berbasis seri ini. Berkat upaya preservasi oleh GOG, game lawas itu masih bisa dinikmati di perangkat modern. Namun, versi terbaru ini menjanjikan skala yang jauh lebih besar dengan mekanik RPG open-world.

Dengan popularitas genre RPG open-world seperti The Witcher 3 (yang pernah masuk koleksi PlayStation Plus), adaptasi Wheel of Time berpotensi menarik jutaan pemain. Apalagi jika bisa menyajikan sistem sihir One Power yang unik dan narasi kompleks ala buku aslinya.

Proyek ini juga menandai tren baru: studio produksi tak hanya fokus pada film/serial, tapi juga ekspansi ke platform interaktif. Seperti Hogwarts Legacy yang sukses besar, game berbasis IP populer sering kali menjadi jaminan komersial.

Pertanyaan besarnya: Bisakah iwot Studios memenuhi harapan penggemar yang sudah menanti selama puluhan tahun? Jawabannya akan kita ketahui sekitar 2028 nanti. Sementara itu, Anda bisa menikmati musim ketiga serial Wheel of Time di Amazon Prime Video atau mencoba game klasiknya di GOG.

Ketegangan Zuckerberg vs Pendiri Instagram Terungkap di Pengadilan

0

Telset.id – Jika Anda mengira akuisisi Instagram oleh Facebook pada 2012 berjalan mulus, bersiaplah terkejut. Kesaksian mengejutkan dari Kevin Systrom, mantan CEO Instagram, di pengadilan antitrust Meta mengungkap ketegangan tersembunyi antara Mark Zuckerberg dan para pendiri aplikasi berbagi foto tersebut.

Kevin Systrom bersaksi di pengadilan antitrust Meta

Dalam kesaksiannya di Washington D.C, Systrom mengungkap bahwa Zuckerberg secara sengaja membatasi investasi dan perekrutan di Instagram meskipun platform tersebut tumbuh pesat. “Dia percaya kami adalah ancaman bagi pertumbuhan Facebook,” kata Systrom, seperti dilaporkan The New York Times. Fakta ini terungkap sebagai bagian dari gugatan Federal Trade Commission (FTC) yang menuduh akuisisi Instagram dan WhatsApp oleh Meta bersifat anti-persaingan.

Pertarungan Dua Raksasa Sosial Media

Menurut kesaksian Systrom, Instagram hanya memiliki sebagian kecil karyawan dibandingkan Facebook meski telah mencapai 1 miliar pengguna. “Sebagai pendiri Facebook, dia memiliki banyak emosi tentang mana yang lebih baik, Instagram atau Facebook,” tambahnya. Ketegangan ini akhirnya memicu pengunduran diri Systrom dan Mike Krieger (co-founder Instagram lainnya) pada 2018.

Email Rahasia Zuckerberg yang Menggemparkan

Pengadilan juga mengungkap email internal Zuckerberg dari 2018 yang menunjukkan kesadaran CEO Meta bahwa Instagram dan WhatsApp suatu hari bisa dipisahkan. Ini menjadi bukti kunci bagi FTC yang menuntut pemecahan Meta. Zuckerberg sendiri telah membela akuisisi senilai $1 miliar tersebut, menyebutnya sebagai “kisah sukses”.

Kasus ini menyoroti dinamika kompleks di balik layar raksasa media sosial. Seperti diungkapkan dalam laporan sebelumnya tentang Sheryl Sandberg, mantan COO Meta, konflik internal sering terjadi di perusahaan teknologi besar.

Karissa Bell

Dengan perkembangan terbaru ini, masa depan Instagram sebagai bagian dari Meta kembali dipertanyakan. Apakah platform yang kini menjadi andalan persaingan melawan TikTok ini akan tetap utuh? Atau kita akan menyaksikan babak baru dalam sejarah media sosial?

Pinterest Uji Coba Fitur Baru untuk Batasi Penggunaan Anak di Sekolah

0

Telset.id – Bayangkan ini: jam pelajaran sedang berlangsung, tapi anak Anda asyik scrolling Pinterest. Platform ini kini mengambil langkah progresif untuk mengatasi masalah tersebut dengan menguji fitur peringatan khusus bagi pengguna muda.

Pinterest, platform berbagi ide visual, sedang menguji prompt baru yang memperingatkan anak-anak untuk berhenti menggunakan aplikasi selama jam sekolah. Menurut laporan The Verge, pop-up peringatan ini mendorong pengguna minor di AS dan Kanada untuk menutup aplikasi dan mematikan notifikasi hingga jam sekolah usai.

Prompt Pinterest untuk pengguna muda

Fokus adalah Hal yang Indah

“Fokus adalah hal yang indah,” bunyi pesan tersebut. “Tetap hadir di momen dengan menutup Pinterest.” Fitur ini hanya muncul untuk pengguna berusia 13 hingga 17 tahun, dan hanya aktif antara pukul 08.00 hingga 15.00 pada hari kerja.

Uji coba ini berskala besar, sehingga Pinterest memperkirakan prompt ini akan menjangkau “jutaan” pengguna minor. Platform ini mengklaim sebagai perusahaan teknologi pertama yang menerapkan fitur “proaktif” semacam ini untuk membantu anak-anak membangun kebiasaan online yang sehat.

Dukungan untuk Kebijakan Sekolah Bebas Ponsel

CEO Pinterest Bill Ready juga mengumumkan dukungan perusahaan terhadap kebijakan sekolah bebas ponsel. Beberapa negara Eropa telah melarang ponsel di sekolah dalam beberapa tahun terakhir. Di AS, New York hampir menerapkan larangan statewide yang dijuluki “bell-to-bell” restriction. Beberapa negara bagian lain juga sedang mengembangkan larangan serupa.

Sebagai bagian dari inisiatif ini, Pinterest memberikan hibah $1 juta kepada International Society for Technology in Education (ISTE) untuk “mendukung pemimpin sekolah dalam menciptakan budaya digital yang sehat di sekolah mereka.” Dana ini akan digunakan untuk membentuk gugus tugas di belasan negara bagian guna mengembangkan kebijakan yang “meningkatkan kesejahteraan digital siswa.”

Langkah Pinterest ini bisa menjadi preseden penting bagi platform media sosial lainnya. Dengan meningkatnya kekhawatiran tentang kecanduan digital di kalangan anak-anak, inisiatif semacam ini mungkin akan segera diadopsi secara lebih luas.

Jika Anda mencari cara untuk membatasi penggunaan ponsel anak selama jam sekolah, pertimbangkan untuk menggunakan aplikasi absensi digital seperti DIGI X dari Telkomsel yang juga membantu meminimalkan gangguan.

Instagram Luncurkan “Edits”, Aplikasi Editing Video yang Bisa Jadi Ancaman CapCut

0

Telset.id – Jika Anda seorang kreator konten yang kerap pusing dengan proses editing video yang ribet, bersiaplah untuk bernapas lega. Instagram baru saja meluncurkan aplikasi editing video mandiri bernama Edits yang bisa menjadi pesaing serius bagi CapCut dan aplikasi sejenisnya.

Diluncurkan secara global untuk iOS dan Android, Edits bukan sekadar fitur tambahan untuk Reels. Ini adalah suite editing lengkap yang memungkinkan Anda membuat konten video tanpa perlu bolak-balik antar aplikasi. Meta, perusahaan induk Instagram, jelas ingin memudahkan hidup para kreator dengan menghadirkan semua alat yang dibutuhkan dalam satu tempat.

Edits app logo

Mengapa Edits Bisa Jadi Game Changer?

Proses pembuatan konten video pendek seringkali berantakan. Satu aplikasi untuk merekam, aplikasi lain untuk editing, lalu aplikasi tambahan untuk musik atau teks. Edits hadir untuk menyederhanakan alur kerja ini dengan menyatukan semua fungsi penting:

  • Ideas: Tempat menyimpan konsep video dan inspirasi dari Reels yang sedang trending
  • Projects: Mengelola beberapa video sekaligus dan melanjutkan editing kapan saja
  • Camera: Rekam video berkualitas tinggi dengan fitur green screen, touch-up, dan timer
  • Timeline: Timeline akurat frame demi frame untuk editing presisi
  • Cutouts: Otomatis mengisolasi objek atau orang dengan teknologi AI
  • Animate: Menambahkan gerakan pada gambar diam menggunakan AI
  • Captions: Membuat subtitle otomatis dalam berbagai bahasa
  • Audio Library: Mengakses koleksi musik dan efek suara lengkap dari Instagram
  • Publishing: Posting langsung ke Instagram/Facebook atau ekspor tanpa watermark
  • Insights: Analisis performa konten termasuk skip rates dan engagement

Keunggulan Edits Dibanding CapCut

Edits masuk ke pasar yang saat ini didominasi oleh CapCut, aplikasi editing favorit kreator TikTok. Namun, Meta memiliki beberapa keunggulan strategis:

Pertama, integrasi yang lebih erat dengan Instagram dan Facebook. Bagi kreator yang sudah membangun audiens di platform ini, Edits menawarkan workflow yang lebih mulus. Kedua, akses ke library audio Instagram yang sangat lengkap. Ketiga, kemampuan ekspor tanpa watermark yang sering menjadi keluhan pengguna CapCut versi gratis.

The Vivo X200 Ultra is here at last with a crazy ~9x zoom lens that's detachable

Meta mengklaim Edits dikembangkan dengan masukan langsung dari kreator konten. Aplikasi ini juga sudah dipastikan akan mendapatkan update reguler, termasuk fitur animasi keyframe, alat kolaborasi kreatif, serta lebih banyak efek suara dan visual.

Bagi Anda yang sering merasa fitur editing bawaan Instagram terlalu terbatas atau kurang intuitif, Edits mungkin menjadi solusi yang selama ini ditunggu. Aplikasi ini memberikan ruang yang lebih terorganisir untuk merencanakan, merekam, mengedit, dan memposting video.

Pertanyaan besarnya adalah apakah Edits bisa bersaing dengan kecepatan inovasi di dunia konten pendek. Namun untuk langkah awal, ini adalah terobosan yang patut diapresiasi dari Meta.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan fitur-fitur Instagram terkini, Anda bisa membaca artikel kami tentang fitur Community Chat Instagram yang terinspirasi dari Discord.

Huawei Enjoy 80 Resmi Dirilis: Baterai Raksasa 6.620mAh dengan Harga Terjangkau

0

Telset.id – Huawei kembali memperkuat jajaran smartphone entry-levelnya dengan meluncurkan Huawei Enjoy 80 di China. Ponsel ini menawarkan baterai raksasa 6.620mAh, layar 90Hz, dan harga yang sangat bersaing. Apakah ini pilihan terbaik di kelasnya?

Di tengah persaingan ketat di segmen budget, Huawei tampaknya tak ingin ketinggalan. Enjoy 80 hadir dengan spesifikasi yang cukup menarik untuk harganya, terutama di sektor daya tahan baterai. Dengan kapasitas 6.620mAh, ponsel ini siap menemani aktivitas Anda seharian tanpa khawatir kehabisan daya.

Huawei Enjoy 80

Spesifikasi Unggulan: Baterai Besar dan Layar Lancar

Huawei Enjoy 80 mengusung layar LCD 6,67 inci dengan resolusi HD+ dan refresh rate 90Hz. Meski bukan panel OLED, layarnya mampu mencapai kecerahan puncak 1.000 nits dan dilengkapi fitur Always-on Display. Kombinasi ini cukup langka untuk ponsel entry-level.

Yang paling mencolok adalah baterainya. Dengan kapasitas 6.620mAh, Enjoy 80 termasuk salah satu ponsel dengan daya tahan terbaik di kelasnya. Dukungan pengisian cepat 40W memastikan pengisian ulang tidak memakan waktu terlalu lama.

Desain dan Fitur Tambahan

Huawei menyematkan tombol khusus bernama Enjoy X Key di sisi kiri ponsel. Tombol ini bisa diprogram untuk berbagai fungsi sesuai kebutuhan pengguna. Dari segi ketahanan, Enjoy 80 memiliki sertifikasi IP64 yang membuatnya tahan terhadap debu dan percikan air.

Huawei Enjoy 80 launched with big battery and budget pricing

Sayangnya, Huawei tidak secara resmi mengungkap chipset yang digunakan. Namun, berdasarkan bocoran terbaru, kemungkinan besar ponsel ini menggunakan Kirin 710A – prosesor 14nm yang pertama kali diperkenalkan pada 2018. Meski bukan yang terbaru, chipset ini sudah teruji untuk kebutuhan sehari-hari.

Kamera dan Pilihan Warna

Di sektor kamera, Huawei Enjoy 80 dibekali kamera utama 50MP dengan aperture f/1.8 dan satu lensa tambahan. Untuk selfie, terdapat kamera 8MP di bagian depan. Ponsel ini menjalankan HarmonyOS 4.0, sistem operasi besutan Huawei yang terus menunjukkan peningkatan.

Huawei Enjoy 80 colors

Enjoy 80 hadir dalam empat pilihan warna menarik: Sky Blue, Sky White, Golden Black, dan Field Green. Untuk varian 8GB RAM + 128GB penyimpanan, harganya mulai CNY 1.199 (sekitar Rp2,7 juta), sedangkan versi 8GB RAM + 512GB dibanderol CNY 1.699 (sekitar Rp3,8 juta). Pengiriman di China dimulai 26 April 2025.

Dengan spesifikasi dan harga ini, Huawei Enjoy 80 berpotensi menjadi pesaing serius di segmen entry-level. Apalagi dengan daya tahan baterai yang menjadi nilai jual utamanya. Namun, ketiadaan dukungan 5G mungkin menjadi pertimbangan bagi sebagian pengguna.

Bocoran Samsung Galaxy M36: Exynos 1380 dan Android 15

0

Telset.id – Samsung Galaxy M36 mulai menunjukkan tanda-tanda kehadirannya melalui benchmark Geekbench. Bocoran ini mengungkap beberapa spesifikasi kunci yang mungkin membuat Anda mempertimbangkannya sebagai ponsel mid-range pilihan di 2025.

Dengan model SM-M366B, varian global Galaxy M36 terdeteksi menggunakan chipset Exynos 1380—sosok yang sama seperti pendahulunya, M35. Namun, ada kabar baik: ponsel ini akan langsung mengusung Android 15 dengan lapisan One UI 7. Prototipe yang diuji juga mengungkap konfigurasi RAM 6GB, meski kemungkinan akan ada opsi kapasitas lebih besar saat peluncuran resmi.

Samsung Galaxy M36 runs Geekbench with a surprising chipset

Exynos 1380: Kekuatan yang Sudah Terbukti

Chipset Exynos 1380 bukanlah pendatang baru. Seperti diungkap dalam artikel sebelumnya, prosesor ini telah menghidupi beberapa ponsel Samsung seperti Galaxy A54 5G dan M54 5G. Performanya cukup tangguh untuk kelas mid-range, dengan efisiensi daya yang dioptimalkan untuk penggunaan sehari-hari.

Namun, ada pertanyaan besar: mengapa Samsung tidak beralih ke Snapdragon 6 Gen 3 seperti yang digunakan Galaxy A36? Keputusan ini mungkin terkait strategi diferensiasi produk atau pertimbangan biaya. Apapun alasannya, Exynos 1380 tetap menjadi pilihan yang solid—terutama jika Samsung bisa mempertahankan harga kompetitif.

Spekulasi Spesifikasi Lainnya

Mengikuti pola tahun sebelumnya, Galaxy M36 kemungkinan akan berbagi banyak kesamaan dengan Galaxy A36—dengan beberapa peningkatan di area tertentu. Berdasarkan pola seri M sebelumnya, berikut prediksi kami:

  • Layar: 6.7-inch Super AMOLED dengan refresh rate 120Hz dan kecerahan puncak 1.900 nit
  • Kamera: Triple setup (50MP utama + 8MP ultrawide + 5MP makro) dan kamera depan 12MP
  • Baterai: Kemungkinan tetap 6.000 mAh seperti M35
  • Penyimpanan: Opsi 128GB/256GB dengan dukungan kartu microSD

Yang menjadi pertanyaan adalah: akankah Samsung mempertahankan fitur seperti sensor sidik jari samping dan speaker stereo? Kedua elemen ini menjadi pembeda penting di seri M tahun lalu. Hilangnya fitur-fitur tersebut bisa menjadi kekecewaan bagi penggemar setia lini M.

Deal

Persaingan di Segmen Mid-Range

Dengan spesifikasi yang terungkap sejauh ini, Galaxy M36 akan bersaing ketat dengan Galaxy A35 dan varian mid-range dari merek lain. Keunggulan utama M36 kemungkinan terletak pada kapasitas baterai besar dan harga yang lebih terjangkau—meski dengan kompromi di beberapa fitur premium.

Namun, di tengah maraknya ponsel dengan chipset Snapdragon 7 Gen 3 di segmen serupa, keputusan Samsung tetap menggunakan Exynos 1380 bisa menjadi bumerang. Apalagi jika performa dan efisiensi daya tidak mengalami peningkatan signifikan dari generasi sebelumnya.

Satu hal yang pasti: dengan Android 15 di luar kotak, Galaxy M36 setidaknya menawarkan jaminan update sistem operasi yang lebih panjang—sebuah nilai tambah di kelas mid-range. Tinggal menunggu pengumuman resmi dari Samsung untuk mengetahui apakah M36 akan menjadi ponsel yang layak diperhitungkan atau sekadar pembaruan minor tanpa terobosan berarti.