Beranda blog Halaman 160

Garmin Vivoactive 6: Smartwatch Wellness dengan Fitur Kesehatan Terdepan

0

Telset.id – Di era di mana kesehatan dan kebugaran menjadi prioritas, Garmin Indonesia meluncurkan jawaban tepat: vívoactive 6. Smartwatch wellness terbaru ini bukan sekadar aksesori, melainkan pelatih pribadi yang memahami tubuh Anda lebih baik dari diri sendiri.

Dengan desain ramping dan layar AMOLED 1200 nits yang memukau, vívoactive 6 hadir sebagai teman setia yang tak pernah lelah. Bayangkan, perangkat seberat 36 gram ini bisa bertahan hingga 11 hari dengan sekali charge. “Kami memahami bahwa kesehatan bukan lagi sekadar tentang latihan fisik,” ujar Sky Chen, Regional Director of Garmin Southeast Asia, dalam peluncuran resminya.

Lebih dari Sekadar Jam Tangan

Vívoactive 6 adalah evolusi dari konsep smartwatch konvensional. Dengan fitur seperti Smart Wake Alarm yang membangunkan Anda di fase tidur tepat, hingga Body Battery™ yang melacak energi tubuh sepanjang hari, perangkat ini benar-benar memahami ritme biologis penggunanya.

Fitur unggulan lainnya termasuk:

  • Sleep Coach dengan analisis kualitas tidur menyeluruh
  • HRV Status untuk memantau respons tubuh terhadap stres
  • Pulse Ox yang melacak saturasi oksigen darah
  • Women’s Health khusus pelacakan siklus menstruasi

Teman Latihan yang Cerdas

Bagi pecinta aktivitas fisik, vívoactive 6 menawarkan pengalaman berbeda. Dengan fitur Mobility Workout terbaru, smartwatch ini membantu meningkatkan rentang gerak persendian. Pelari pun dimanjakan dengan PacePro™ yang memberikan panduan kecepatan cerdas berdasarkan kemiringan lintasan.

Yang menarik, vívoactive 6 juga mendukung pengguna kursi roda dengan Wheelchair Mode khusus. Fitur ini membuktikan komitmen Garmin terhadap inklusivitas dalam dunia kebugaran.

Konektivitas Tanpa Batas

Tak hanya soal kesehatan, vívoactive 6 juga menjaga Anda tetap terhubung. Dengan kemampuan menerima notifikasi langsung dari smartphone, bahkan membalas pesan (untuk pengguna Android), smartwatch ini benar-benar menjadi ekstensi dari gaya hidup digital.

Content image for article: Garmin Vivoactive 6: Smartwatch Wellness dengan Fitur Kesehatan Terdepan

Integrasi dengan Spotify memungkinkan Anda menikmati musik favorit tanpa membawa ponsel. Sementara fitur safety & tracking memberikan rasa aman ekstra dengan kemampuan mengirim lokasi real-time ke kontak darurat.

Bagi yang penasaran dengan performa Garmin di lingkungan ekstrem, Anda bisa membaca pengalaman Garmin fēnix 7 dalam misi luar angkasa.

Vívoactive 6 tersedia dalam empat pilihan warna modern: Black/Slate, Bone/Lunar Gold, Jasper Green, dan Pink Dawn. Dengan harga Rp 5.349.000, smartwatch ini menawarkan nilai tambah yang sulit ditandingi produk sejenis.

Content image for article: Garmin Vivoactive 6: Smartwatch Wellness dengan Fitur Kesehatan Terdepan

Garmin juga memperkenalkan Garmin Connect+, layanan premium dengan fitur Active Intelligence berbasis AI. Layanan ini memberikan wawasan kesehatan yang lebih personal, meski tetap mempertahankan semua fitur dasar Garmin Connect yang bisa dinikmati gratis.

Di tengah persaingan ketat dengan produk seperti Samsung Galaxy Ring atau perangkat wearable lainnya, vívoactive 6 berhasil mencuri perhatian dengan pendekatan holistik terhadap konsep wellness.

Jadi, apakah vívoactive 6 layak menjadi teman setia aktivitas Anda? Jawabannya mungkin terletak pada seberapa dalam Anda ingin memahami tubuh sendiri – karena itulah yang ditawarkan smartwatch canggih ini.

AI Bikin Kita Makin Bodoh? Studi Ungkap Dampak Mengerikan

0

Pernahkah Anda merasa lebih sulit berkonsentrasi setelah bergantung pada ChatGPT untuk menulis email penting? Atau mungkin ingatan Anda mulai berkurang karena terbiasa meminta AI mengingatkan segala hal? Sebuah analisis terbaru mengungkap fakta mengejutkan: kecerdasan buatan mungkin justru membuat kemampuan kognitif manusia menurun.

Kita hidup di era di mana AI menyusup ke setiap aspek kehidupan—dari pekerjaan hingga pendidikan. Namun, menurut analisis The Guardian, ada ironi besar di balik kemudahan yang ditawarkan teknologi ini. Alih-alih membuat kita lebih pintar, ketergantungan pada AI berpotensi mengikis kemampuan berpikir kritis dan daya ingat kita.

Sejumlah penelitian terbaru menunjukkan bahwa semakin banyak tugas intelektual yang kita serahkan pada AI, semakin lemah otak kita bekerja. Fenomena ini mirip dengan atrofi otot—jika tidak digunakan, kemampuan kognitif kita bisa menyusut.

Bukti Ilmiah: AI Melemahkan Kemampuan Kognitif

Getty / Futurism

Sebuah studi dalam jurnal Frontiers in Psychology menemukan bahwa penggunaan AI secara teratur dapat menyebabkan penurunan kapasitas memori dan kemampuan analitis. Yang ironis, penelitian ini sendiri menggunakan ChatGPT untuk “koreksi”—sebuah fakta yang justru memperkuat argumennya.

Michael Gerlich dari Swiss Business School dalam risetnya di jurnal Societies menyoroti hubungan antara penggunaan AI yang intensif dan melemahnya kemampuan berpikir kritis. Ia memberi contoh dunia kesehatan, di mana sistem otomatis meningkatkan efisiensi rumah sakit, tetapi mengurangi peran profesional yang seharusnya melakukan analisis mandiri.

“Menggunakan AI itu seperti berjalan dengan tongkat sepanjang waktu. Lama-lama, otot kaki Anda akan melemah,” kata Gerlich dalam analoginya yang tajam.

Efek “Magic Box”: Ketika AI Jadi Solusi Segala Masalah

Industri AI gencar mempromosikan istilah-istilah seperti “deep learning” dan “kecerdasan umum buatan”, menciptakan kesan bahwa mesin ini bisa menggantikan sepenuhnya proses berpikir manusia. Sebuah survei bahkan menemukan bahwa 25% Gen Z percaya AI sudah memiliki kesadaran.

Namun, para ahli memperingatkan bahwa sikap ini berbahaya. “Sulit untuk tetap kritis terhadap AI—Anda harus disiplin,” ujar Gerlich. “Sangat menggoda untuk menyerahkan seluruh proses analisis pada mesin.”

Fenomena ini semakin nyata di dunia pendidikan. Guru-guru melaporkan bahwa kecurangan menggunakan AI sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Seperti yang terjadi dalam kasus perusahaan virtual yang dijalankan AI, teknologi ini sering kali memberikan solusi instan tanpa pemahaman mendalam.

Bukan Hanya AI: Faktor Lain yang Turut Berperan

Getty / Futurism

Meski demikian, The Guardian mengingatkan untuk tidak menyalahkan AI sepenuhnya. Penurunan kecerdasan dasar di negara-negara Barat sudah terjadi sejak 1980-an, bersamaan dengan kebijakan ekonomi neoliberal yang mengurangi pendanaan untuk sekolah umum.

Namun, AI jelas memperburuk tren ini. Seperti dalam penggunaan AI dalam militer, teknologi ini sering kali mengambil alih keputusan yang seharusnya membutuhkan pertimbangan manusia yang matang.

Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita bisa memanfaatkan AI tanpa kehilangan kemampuan kognitif yang membuat kita unik sebagai manusia? Jawabannya mungkin terletak pada keseimbangan—menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti sepenuhnya untuk proses berpikir kita.

NASCAR Siap Bertransformasi ke Era Listrik, Begini Potensinya

0

Bayangkan deru mesin bertenaga bensin yang selama ini menjadi ciri khas NASCAR tiba-tiba berganti dengan desiran halus motor listrik. Mungkinkah ajang balap legendaris Amerika ini mengikuti jejak Formula E? Bocoran terbaru dari ABB, perusahaan teknik multinasional, mengindikasikan bahwa masa depan elektrik NASCAR bukan lagi sekadar mimpi.

NASCAR, yang identik dengan budaya otomotif klasik dan film ikonik seperti Talladega Nights, kini mulai membuka diri terhadap inovasi. Prototipe mobil balap listrik hasil kolaborasi dengan Ford, Chevrolet, dan Toyota pertama kali diperkenalkan di Chicago Street Course tahun lalu. Langkah ini bukan hanya tentang kecepatan, tetapi juga komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan.

“Perubahan terjadi dengan cepat di sekitar kita, termasuk dorongan kuat menuju kendaraan listrik,” ungkap John Probst, Wakil Presiden Senior NASCAR, dalam pernyataan resmi. CJ Tobin, insinyur sistem kendaraan NASCAR, menambahkan, “Kami ingin membuktikan bahwa mobil stok listrik bisa menjadi kenyataan di lintasan.”

Teknologi di Balik NASCAR Listrik

Prototipe NASCAR listrik ABB

Prototipe ini dibekali baterai 78 kWh berpendingin cair dan powertrain berdaya hingga 1.000 kW. Fitur regenerative braking memungkinkannya bertahan di sirkuit panjang. Namun, NASCAR belum berencana mengadopsinya sepenuhnya. “Mesin pembakaran internal masih penting bagi kami,” tegas juru bicara NASCAR kepada IEEE Spectrum.

Formula E vs NASCAR: Pertarungan Teknologi

Perbandingan ABB Formula E dan NASCAR listrik

ABB juga memamerkan mobil balap Formula E terbarunya yang mampu melesat di atas 200 mph. Sementara Ford mengembangkan prototipe NASCAR listrik berbasis Mustang Mach-E. Tren ini sejalan dengan perkembangan balap mobil listrik terbang dan inovasi seperti rekor VW di ajang balap AS.

Tantangan dan Masa Depan

Transisi ke listrik bukan tanpa hambatan. Budaya penggemar NASCAR yang melekat dengan suara mesin konvensional menjadi tantangan tersendiri. Namun, seperti Uber yang beradaptasi dengan teknologi otonom, NASCAR mungkin perlu mempertimbangkan evolusi ini untuk tetap relevan di era elektrifikasi.

Apakah NASCAR akan sepenuhnya beralih ke listrik? Jawabannya masih kabur. Tapi satu hal pasti: perubahan sudah dimulai, dan roda inovasi terus berputar.

Lengan Bionik Tanpa Kabel Pertama di Dunia Bisa “Jalan-jalan” Sendiri

0

Bayangkan sebuah tangan bionik yang bisa dilepas dari lengan, lalu merangkak sendiri seperti karakter “Thing” dalam film The Addams Family. Bukan lagi khayalan, teknologi ini kini menjadi kenyataan berkat inovasi terbaru dari perusahaan asal Inggris, Open Bionics. Lengan bionik tanpa kabel pertama di dunia, bernama Hero, baru saja diluncurkan dengan kemampuan yang terdengar seperti fiksi ilmiah.

Open Bionics bukanlah nama asing di dunia prostetik. Selama sembilan tahun terakhir, perusahaan ini telah menjadi pionir dalam pengembangan lengan bionik yang terjangkau dan fungsional. Salah satu pengguna setianya adalah Tilly Lockey, seorang influencer berusia 19 tahun yang kehilangan kedua tangannya akibat meningitis saat masih balita. Lockey, yang menjadi wajah kampanye Open Bionics, baru saja memperkenalkan fitur revolusioner dari Hero dalam sebuah wawancara dengan Reuters.

“Saya bisa menggerakkannya bahkan ketika tidak terpasang di lengan,” kata Lockey dengan antusias. “Tangan ini bisa pergi sendiri—seperti punya misi rahasia. Ini benar-benar gila!” Dalam demo yang viral, Lockey dengan mudah melepas tangan bioniknya yang masih bergerak-gerak, lalu menaruhnya di tempat tidur untuk merangkak mendekati ponselnya.

Hero: Lengan Bionik yang Lebih dari Sekadar Prostetik

Hero bukan sekadar lengan bionik biasa. Sebagai prototipe terbaru Open Bionics, perangkat ini sepenuhnya dicetak 3D dan tidak memerlukan implan chip—solusi yang sering kali membutuhkan operasi invasif dan berisiko menimbulkan komplikasi medis. Sebagai gantinya, Hero menggunakan elektroda electromyography (EMG) nirkabel bernama “MyoPods” yang ditempelkan di atas tungkai yang diamputasi. Sensor ini mampu membaca sinyal otot pengguna, memungkinkan kontrol penuh hanya dengan gerakan otot.

Lockey menjelaskan bahwa Hero bekerja terutama dengan dua sinyal utama: gerakan meremas untuk menutup tangan dan gerakan melenturkan untuk membukanya. Gerakan yang lebih kompleks, seperti gestur tangan, diakses melalui semacam “sistem menu”. Namun, yang paling mengejutkan bagi Lockey adalah kekuatan lengan bionik ini. “Saya belum terbiasa dengan kekuatannya,” akunya. “Saat pertama kali memakainya, saya seperti menghancurkan semua yang saya pegang.”

Open Bionics

Inovasi yang Mengubah Hidup

Setelah bekerja sama dengan Open Bionics selama hampir satu dekade, Lockey mengaku terkejut dengan kemajuan pesat teknologi prostetik. “Sekarang saya memiliki rotasi 360 derajat di pergelangan tangan, bahkan bisa melenturkannya. Tidak ada lengan bionik lain yang bisa melakukan ini,” ujarnya. Hero juga merupakan satu-satunya lengan bionik yang tahan air, lebih cepat, dan tetap menjadi yang paling ringan di pasaran.

Open Bionics menghabiskan empat tahun untuk mengembangkan prototipe ini. Menurut Lockey, hasilnya jauh melampaui ekspektasi. “Saya tidak tahu bagaimana mereka melakukannya,” katanya, terkesima. Dengan Hero, batasan antara manusia dan mesin semakin kabur—dan ini hanya awal dari revolusi prostetik.

Dengan teknologi seperti Hero, masa depan prostetik tidak hanya tentang mengganti anggota tubuh yang hilang, tetapi juga tentang memberdayakan pengguna dengan kemampuan yang sebelumnya tak terbayangkan. Siapa sangka, suatu hari nanti tangan bionik bisa menjadi asisten pribadi yang mandiri?

Microrobot Masa Depan: Bisa Berubah Bentuk dan Terbang Tanpa Kabel

0

Bayangkan sebuah robot kecil yang bisa berubah dari kendaraan roda menjadi drone dalam hitungan detik, lalu mengunci bentuknya sesuai kebutuhan. Bukan lagi adegan dari film Transformers, melainkan terobosan nyata dari para peneliti di China. Tim gabungan dari Tsinghua University dan Beihang University berhasil menciptakan microrobot revolusioner yang mampu melakukan transformasi bentuk secara terus-menerus dan beroperasi tanpa kabel.

Dengan berat hanya 25 gram dan panjang 9 cm, robot mini ini diklaim sebagai robot terkecil yang bisa beroperasi di darat dan udara tanpa perlu dicolokkan ke sumber daya. Teknologi ini membuka pintu bagi berbagai aplikasi praktis, mulai dari mainan edukatif hingga misi pencarian dan penyelamatan di medan sulit.

Kunci dari kemampuan luar biasa ini terletak pada aktuator berbentuk film tipis yang dikembangkan tim peneliti. Dibuat melalui proses manufaktur presisi tinggi, komponen ini memungkinkan robot kecil tersebut melakukan metamorfosis sesuai perintah dan mempertahankan bentuk yang diinginkan.

Teknologi Dibalik Kemampuan Transformasi

Aktuator canggih ini dibuat dengan melapisi wafer silikon menggunakan silikon, kemudian mencetak film poliamida ke substrat. Proses dilanjutkan dengan penambahan lapisan tembaga melalui teknik evaporasi berkas elektron, fotolitografi, dan etsa basah pada lapisan tembaga. Tahap akhir melibatkan pemotongan presisi menggunakan laser.

Microrobot that continuously transforms its shape and locks into specific configurations

Dengan menambahkan sensor, motor, dan blok mirip Lego, tim menciptakan robot yang bisa berubah bentuk sesuai kebutuhan. “Ini seperti memiliki mainan Transformers dalam ukuran nyata, tetapi dengan aplikasi praktis yang serius,” jelas salah satu peneliti dalam publikasinya di Nature Machine Intelligence.

Kemampuan Luar Biasa dalam Ukuran Mini

Microrobot ini mampu melakukan berbagai mode gerak dengan kecepatan hingga 1,6 meter per detik dalam bentuk kendaraan roda. Ia juga bisa berjalan, melompat, memanjat, dan tentu saja terbang. Yang lebih mengesankan, beberapa prototipe bahkan mampu beralih antara mode darat dan udara secara dinamis.

Kemampuan “mengunci” bentuk menjadi salah satu fitur paling inovatif. Setelah berubah menjadi konfigurasi tertentu, robot bisa mempertahankan bentuk itu tanpa perlu terus-menerus mengonsumsi energi. Ini membuatnya sangat efisien dalam operasi jangka panjang.

Aplikasi Masa Depan yang Menjanjikan

Tim peneliti melihat potensi besar untuk teknologi ini di berbagai bidang. Dalam dunia pendidikan, robot ini bisa menjadi alat pembelajaran STEM yang menarik, memungkinkan anak-anak bereksperimen dengan konsep robotika dan transformasi bentuk.

Di bidang penelitian, khususnya biologi, microrobot ini bisa menjelajahi sarang serangga atau lingkungan kecil lainnya yang sulit dijangkau manusia. Kemampuan berubah bentuk memungkinkannya menyesuaikan diri dengan berbagai medan dan celah sempit.

Aplikasi lain yang menjanjikan adalah dalam operasi pencarian dan penyelamatan. Robot kecil ini bisa menyusup ke reruntuhan bangunan, beralih antara merayap dan terbang sesuai kebutuhan, untuk menemukan korban bencana. Kemampuan operasi tanpa kabel membuatnya ideal untuk situasi darurat dimana infrastruktur mungkin rusak.

Di dunia komersial, teknologi ini mungkin akan menginspirasi generasi baru perangkat IoT yang lebih fleksibel. Seperti perkembangan ekosistem tanpa kabel Samsung, inovasi ini bisa membuka jalan bagi perangkat yang lebih adaptif terhadap kebutuhan pengguna.

Dengan berbagai kemampuannya, microrobot transformatif ini bukan hanya terobosan dalam robotika kecil, tetapi juga bukti nyata bagaimana teknologi bisa meniru—dan bahkan melampaui—imajinasi kita yang paling liar. Seperti kamera CCTV 4G yang bisa beroperasi tanpa WiFi, teknologi ini menunjukkan bahwa batasan fisik semakin bisa ditaklukkan.

Para peneliti terus menyempurnakan desain dan kemampuan robot ini, dengan harapan bisa segera melihat aplikasi praktisnya di berbagai bidang. Siapa tahu, mungkin dalam waktu dekat kita akan melihat robot-robot kecil ini membantu dalam kehidupan sehari-hari, berubah bentuk sesuai kebutuhan kita.

Masa Depan Mobil di Shanghai: Layar Raksasa, Drone, dan Kursi Pijat

0

Pernahkah Anda membayangkan mobil yang bukan sekadar alat transportasi, melainkan ruang hidup kedua dengan segala kemewahannya? Di ajang Auto Shanghai 2025, visi tersebut menjadi kenyataan. Pameran otomotif terbesar di Asia ini tak lagi sekadar memamerkan mesin bertenaga, melainkan menjadi panggung inovasi teknologi dan kenyamanan penumpang yang tak terbayangkan sebelumnya.

Sejak pembukaan pada Rabu lalu, ratusan produsen mobil dan pemasok perlengkapan memadati ruang pameran dengan konsep-konsep futuristik. Dari layar sepanjang 65 inci hingga kursi pijat ala spa, industri otomotif China sedang menancapkan taringnya di kancah global. Bahkan, taksi terbang bertenaga propeller turut memeriahkan ajang ini, menandai babak baru mobilitas urban.

Lantas, seperti apa wajah mobil masa depan yang dipamerkan di Shanghai? Mari kita telusuri tiga terobosan paling mencolok yang akan mengubah cara Anda berkendara selamanya.

Layar di Setiap Sudut: Ketika Mobil Menjadi Smartphone Raksasa

Persaingan sengit di pasar otomotif China memaksa produsen lokal berinovasi tanpa henti. Strategi mereka? Memikat konsumen yang sudah sangat terhubung dengan layanan digital. Hasilnya, Anda akan menemukan layar besar di tempat-tempat tak terduga: di depan setiap penumpang, di pintu, di visor matahari, bahkan di kap mesin!

Mobil konsep futuristik di Auto Shanghai 2025 dengan layar besar di dashboard

Raksasa elektronik seperti Huawei dan Xiaomi tak mau ketinggalan. Mereka menargetkan generasi muda yang sudah terbiasa menghubungkan ponsel dengan kendaraan. Sementara itu, produsen Eropa berusaha mengejar ketertinggalan. Volkswagen, melalui merek AUDI khusus China, menghadirkan model dengan layar yang memanjang di seluruh dashboard.

“Dengan perkembangan sistem kemudi cerdas, mobil tak lagi dipandang sekadar alat transportasi, melainkan benar-benar menjadi ‘ruang hidup kedua’,” ungkap laporan terbaru McKinsey tentang selera konsumen otomotif China. Ketika berhenti, layar ini bisa digunakan untuk menonton film atau bernyanyi karaoke. Saat berkendara, sistem kemudi otomatis menjanjikan perjalanan dari titik A ke B tanpa perlu menyentuh kemudi—kecuali dalam keadaan darurat.

Kenyamanan Level Spa: Ketika Kursi Mobil Lebih Nyaman dari Sofa Rumah

Menurut produsen otomotif Eropa, konsumen China menempatkan kenyamanan interior di prioritas tertinggi dibanding pasar lain. Buktinya, pengunjung pameran rela antre hanya untuk duduk di minivan mewah dengan grill radiator chrome dan kursi belakang yang bisa direbahkan.

Mercedes tak mau kalah. Mereka memamerkan prototipe minivan listrik mewah generasi berikutnya, Vision V, yang menawarkan kursi aluminium, trim kayu dan sutra, plus layar bioskop yang muncul dari lantai. “Fitur berorientasi gaya hidup seperti kulkas, televisi, dan kursi rebahan sangat diminati di China,” jelas laporan McKinsey.

Tak hanya itu, suspensi canggih dan kemudi roda belakang yang meningkatkan kenyamanan berkendara juga menjadi incaran. “Semakin tinggi harga mobil, semakin besar pula permintaan akan fitur-fitur ini,” tambah McKinsey. Nio, produsen mobil China, bahkan mengundang pengunjung untuk merasakan langsung efektivitas suspensi mereka dengan cara… melompat-lompat di dalam mobil!

Bagi yang ingin relaksasi ekstra, Forvia asal Prancis menawarkan kursi dengan teknologi pijat tradisional China dan Thailand—mulai dari menguleni, mencubit, hingga menusuk ringan. “Kursi ini diharapkan bisa dipasang di mobil China tahun ini,” ujar Manajer Inovasi Forvia, Zong Li.

Taksi Terbang: Mimpi Mobilitas Udara yang Semakin Nyata

Di bagian lain pameran, beberapa taksi terbang bertenaga propeller menjulang di atas kendaraan konvensional. Teknologi bernama electric vertical take-off and landing (eVTOL) ini masih dalam tahap prototipe, tetapi tujuannya jelas: mengangkut beberapa penumpang sekaligus di masa depan.

CATL, produsen baterai terbesar dunia, memamerkan konsep eVTOL mereka tak lama setelah mengumumkan investasi ratusan juta dolar di startup AutoFlight. Bahkan Hongqi—produsen mobil mewah yang memasok limousine untuk Presiden Xi Jinping—memperkenalkan konsep “mobil terbang” untuk dua penumpang dengan klaim jarak tempuh 200 km.

China memang sedang gencar mengembangkan teknologi eVTOL, bersaing ketat dengan Amerika Serikat. Baru-baru ini, pemasok otomotif Wanfeng mengumumkan akuisisi terhadap Volocopter asal Jerman yang bangkrut. Padahal, pesawat Volocopter rencananya akan digunakan dalam Olimpiade Paris 2024, tetapi sertifikasinya masih tertunda.

Dari layar raksasa hingga taksi terbang, Auto Shanghai 2025 bukan sekadar pameran mobil—melainkan jendela menuju masa depan mobilitas yang lebih cerdas, nyaman, dan… terbang!

Misteri Galaksi Andromeda: Satelitnya Mengarah ke Bima Sakti

0

Telset.id – Bayangkan jika seluruh bulan di tata surya tiba-tiba berbaris rapi mengarah ke satu planet. Itulah yang terjadi di galaksi Andromeda (M31), tetangga terdekat Bima Sakti. Studi terbaru di Nature Astronomy mengungkapkan 36 dari 37 galaksi satelitnya tersusun asimetris—hampir semuanya mengarah ke kita!

Pascal TORDEUX/Gamma-Rapho via Getty Images

Kosuke Jamie Kanehisa dari Leibniz Institute for Astrophysics Potsdam menyebut ini fenomena langka. “Peluangnya hanya 0,3% berdasarkan simulasi kosmologi standar,” katanya kepada Space.com. Temuan ini mempertanyakan teori pembentukan galaksi yang selama ini dipegang.

Teori vs Realitas: Ketika Dark Matter Tak Bisa Dijadikan Alasan

Model kosmologi modern menyebut galaksi besar terbentuk dari merger galaksi kecil yang ditarik oleh halo dark matter. Proses ini seharusnya acak, tetapi Andromeda menunjukkan pola terorganisir:

  • 97% satelitnya berada dalam sudut 107° dari garis pandang Bima Sakti
  • Separuhnya mengorbit dalam satu bidang datar, mirip planet di tata surya

Analogi sederhananya? Seperti menemukan 36 dari 37 bulan Jupiter tiba-tiba mengitari ekuatornya dan menunjuk ke Bumi. “Ini tidak stabil secara gravitasi,” tegas Kanehisa.

3 Hipotesis yang Bikin Ilmuwan Garuk-Garuk Kepala

Tim peneliti mengajukan beberapa penjelasan:

  1. Keterbatasan observasi: Mungkin ada ratusan satelit lain yang belum terdeteksi, seperti kasus “bintang gagal” yang ditemukan Teleskop Webb.
  2. Sejarah unik Andromeda: Tabrakan dahsyat 2-3 miliar tahun lalu bisa mengacak distribusi satelitnya.
  3. Kesalahan model kosmologi: Dark matter mungkin berperilaku berbeda dari prediksi.

Yang menarik, teknologi seperti chip tahan radiasi bisa membantu observasi lebih detail di masa depan. “Kita butuh data satelit galaksi lain untuk memastikan ini anomali atau bukan,” pungkas Kanehisa.

Fenomena ini mengingatkan pada “kemacetan” galaksi yang pernah diamati NASA. Alam semesta ternyata masih menyimpan banyak kejutan—dan Andromeda mungkin baru permulaan.

AI Gagal Total Saat Jalankan Perusahaan Virtual, Ini Buktinya

0

Telset.id – Jika Anda khawatir kecerdasan buatan (AI) akan mengambil alih pekerjaan manusia dalam waktu dekat, penelitian terbaru dari Carnegie Mellon University (CMU) mungkin bisa membuat Anda sedikit lega. Dalam sebuah eksperimen unik, para peneliti menciptakan perusahaan perangkat lunak virtual yang sepenuhnya dijalankan oleh agen AI—dan hasilnya jauh dari kata sukses.

Getty Images

Perusahaan virtual bernama TheAgentCompany ini diisi oleh berbagai model AI dari raksasa teknologi seperti Google, OpenAI, Anthropic, dan Meta. Mereka diberi peran sebagai analis keuangan, insinyur perangkat lunak, manajer proyek, bahkan departemen SDM dan kepala teknologi. Tujuannya? Menguji sejauh mana AI bisa menangani tugas-tugas kompleks layaknya manusia di dunia nyata.

Hasilnya? Sungguh memprihatinkan. Claude 3.5 Sonnet dari Anthropic menjadi “karyawan” terbaik dengan tingkat keberhasilan hanya 24% dari tugas yang diberikan. Itu pun dengan biaya rata-rata $6 per tugas dan memerlukan hampir 30 langkah untuk menyelesaikannya. Sementara itu, Gemini 2.0 Flash dari Google hanya berhasil menyelesaikan 11,4% tugas, dan Nova Pro v1 dari Amazon benar-benar gagal dengan tingkat keberhasilan 1,7%.

Mengapa AI Masih Jauh dari Menggantikan Manusia?

Menurut para peneliti CMU, kegagalan ini disebabkan oleh beberapa faktor krusial:

  • Kurangnya akal sehat: AI sering membuat keputusan yang tidak logis dalam situasi kompleks.
  • Keterampilan sosial yang lemah: Interaksi antar-AI berantakan karena ketidakmampuan memahami dinamika tim.
  • Kesalahan navigasi internet: AI kesulitan mencari informasi relevan secara mandiri.
  • Self-deception: AI menciptakan solusi instan yang justru memperburuk masalah.

Contoh nyata? Salah satu agen AI gagal menemukan rekan yang tepat di obrolan perusahaan, lalu dengan “kreatif” mengganti nama pengguna lain agar sesuai dengan targetnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, langkah ini justru membuat kekacauan baru.

Meskipun AI seperti ChatGPT atau Gemini bisa menangani tugas-tugas sederhana dengan baik, penelitian ini membuktikan bahwa untuk pekerjaan kompleks yang membutuhkan pemecahan masalah adaptif, manusia masih jauh lebih unggul. Faktanya, teknologi yang kita sebut “kecerdasan buatan” saat ini lebih mirip predictive text canggih daripada entitas yang benar-benar berpikir.

Jadi, sebelum perusahaan seperti Microsoft atau TSMC mengklaim AI akan menggantikan pekerja manusia, mungkin mereka perlu melihat hasil penelitian CMU ini terlebih dahulu. Kecuali jika Anda bekerja sebagai penulis konten generik atau analis data sederhana, karir Anda masih aman—setidaknya untuk beberapa tahun ke depan.

China Kuasai Robotika Global, AS Tertinggal Jauh

0

Telset.id – Jika Anda mengira Amerika Serikat masih menjadi raja di dunia robotika, bersiaplah untuk terkejut. Laporan terbaru mengungkapkan bahwa China telah melesat jauh di depan, membangun pasukan robot industri yang membuat AS, Jerman, bahkan Jepang sekalipun, tertinggal di belakang.

StringerAnadolu via Getty Images

Menurut The New York Times, China kini menjadi salah satu negara paling terotomatisasi di dunia. Negeri Tirai Bambu itu memiliki lebih banyak robot per pekerja dibandingkan negara mana pun—kecuali Korea Selatan dan Singapura. Dengan skala otomatisasi yang masif, pabrik-pabrik China mampu memproduksi barang konsumen dan industri dengan biaya semakin rendah, sambil terus meningkatkan kualitas produk.

Di sisi lain, AS justru kian tertinggal. Industri manufaktur Amerika telah beralih dari barang konsumen ke produk berteknologi tinggi seperti pesawat terbang, perangkat medis, dan mesin canggih. Masalahnya, produk-produk ini membutuhkan keahlian khusus yang sulit digantikan oleh robot—setidaknya, tanpa mengubah arah industri robotika AS dari startup yang terlalu idealis ke upaya manufaktur yang lebih praktis.

Strategi “Made in China 2025”

China tidak mencapai posisinya sekarang secara kebetulan. Pada 2015, pemerintah meluncurkan strategi nasional bernama Made in China 2025, yang menetapkan target ambisius untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas manufaktur. Salah satu tujuannya? Memproduksi 100.000 robot industri per tahun, seperti dilaporkan oleh China Daily.

Hasilnya luar biasa. Laporan International Federation of Robotics menyebutkan bahwa antara 2022 dan 2023, China memasang lebih dari 276.000 robot—lebih dari separuh total robot yang dipasang di seluruh dunia. Ini menjadi penyebaran robot industri terbesar kedua yang pernah tercatat dalam sejarah.

Perang Dagang dan Logam Tanah Jarang

Persaingan semakin rumit karena China menguasai pasokan logam tanah jarang—bahan penting untuk manufaktur teknologi tinggi, termasuk robotika. AS sangat bergantung pada impor logam ini, memberikan China keunggulan strategis dalam perang dagang yang dipicu oleh Donald Trump.

Baru-baru ini, China menghentikan ekspor logam tanah jarang ke AS sebagai respons terhadap tarif Trump. Langkah ini memicu protes dari Elon Musk, yang mengeluh bahwa kebijakan itu akan menghambat upaya robotikanya. Beberapa minggu kemudian, Trump mengumumkan rencana untuk menurunkan tarif secara signifikan—pertanda bahwa China berhasil memainkan kartunya dengan baik.

Jika AS ingin kembali bersaing di dunia manufaktur, satu hal jelas: mereka harus berhenti bertengkar dan mulai belajar dari China, sang pemenang perlombaan robotika global.

StringerAnadolu via Getty Images

China tidak hanya unggul dalam robot industri. Mereka juga memimpin inovasi di berbagai bidang, seperti robot medis yang membantu penanganan pandemi dan robot pembaca berita AI pertama di dunia.

Pertanyaannya sekarang: apakah AS bisa mengejar ketertinggalan, atau China akan terus mendominasi era otomatisasi ini?

Pearla 2.2: Aplikasi Kamera iPhone yang Ubah Videografi Profesional

0

Telset.id – Jika Anda mengira aplikasi kamera bawaan iPhone sudah cukup untuk kebutuhan videografi profesional, pikirkan lagi. Pearla, aplikasi kamera yang sebelumnya dikenal dengan kemampuan fotografi Log-nya, kini meluncurkan update besar versi 2.2 dengan fokus pada fitur videografi kelas atas. Dengan tambahan tujuh profil warna Log industri dan kontrol manual yang lebih dalam, Pearla siap menjadi senjata rahasia para kreator konten.

Guy Cassidy, pendiri House of Mars selaku pengembang Pearla, mengungkapkan antusiasme pengguna terhadap kontrol penuh yang ditawarkan aplikasi ini. “Respons dari para kreator luar biasa. Mereka menyukai kendali yang diberikan Pearla, melewati pemrosesan standar untuk hasil yang benar-benar unik,” ujarnya. Kini, dengan versi 2.2, Pearla tidak hanya mempertahankan reputasinya di dunia fotografi, tetapi juga menantang dominasi aplikasi videografi profesional di iOS.

A smartphone displaying a camera app interface, showing a video recording of a cityscape with buildings, a river, and boats, along with camera controls and a recording timer on screen.

Log Video: Game Changer untuk Kreator Mobile

Update terbesar Pearla 2.2 adalah penambahan dukungan Log video, melengkapi fitur Log fotografi yang sudah ada. Bagi yang belum familiar, Log adalah profil warna datar yang mempertahankan rentang dinamis maksimal, memberi fleksibilitas lebih dalam pasca-produksi. Pearla kini mendukung tujuh profil Log dari merek kamera profesional:

  • Canon C-Log3
  • Blackmagic Design Film Gen 5
  • Arri LogC3
  • DJI D-Log
  • Fujifilm F-Log
  • Sony S-Log2
  • Panasonic V-Log

Dengan tambahan ini, footage dari iPhone bisa diintegrasikan dengan mulus dalam proyek multi-kamera yang menggunakan perangkat profesional. Sebuah langkah besar untuk mempertemukan dunia videografi mobile dan profesional.

Lebih dari Sekadar Log: Fitur Unggulan Pearla 2.2

Selain profil Log, Pearla 2.2 membawa beberapa peningkatan signifikan:

A smartphone displays a 'Log Settings' screen with options for Pearl-Log, Gamma Assist, Grain (set to Weak), Grain Strength (set to Large), and various color space transform choices such as Sony S-Log3 and ARRI LogC3.

  • Stabilisasi Gambar yang Ditingkatkan: Untuk rekaman yang lebih halus bahkan dalam kondisi bergerak.
  • Kontrol Pemetaan Nada Dinamis Manual: Memberi kreator kendali penuh atas bagaimana kamera menangani rentang dinamis.
  • Dukungan Bluetooth Camera Grips: Mempermudah operasi dalam alur kerja videografi.
  • Rekaman Rec-709 dengan Pemetaan Nada Dinamis Nonaktif: Untuk mereka yang menginginkan tampilan akhir langsung dari kamera.

Cassidy menekankan filosofi di balik pengembangan Pearla: “Pearla adalah aplikasi pertama yang mengambil pendekatan purist dalam pemrosesan gambar di iPhone pada tahap akuisisi saat kami meluncurkan sebagai kamera foto. Kami tetap berkomitmen membawa inovasi semacam ini ke fotografi dan pembuatan film mobile.”

Dengan harga mulai dari $3 per bulan, Pearla menawarkan nilai yang sulit ditolak bagi profesional yang menginginkan kontrol kreatif maksimal dari perangkat iPhone mereka. Aplikasi ini kompatibel dengan perangkat iPhone yang menjalankan iOS 17 dan tersedia di App Store dengan uji coba gratis selama tiga hari.

DeepSeek R2 Bocoran: Model AI China Siap Guncang Pasar Global

0

Telset.id – Jika Anda mengira OpenAI dan Google masih memimpin perlombaan AI, bersiaplah untuk terkejut. Bocoran terbaru mengindikasikan DeepSeek, perusahaan AI asal China, sedang mempersiapkan “senjata rahasia” bernama R2 yang diklaim 97% lebih murah dari GPT-4o dengan performa setara.

Ilustrasi chip AI Huawei Ascend 910B yang digunakan untuk melatih DeepSeek R2

Setelah sukses mengguncang pasar dengan model R1 tahun lalu—yang menyebabkan valuasi saham AS anjlok miliaran dolar—DeepSeek kini dikabarkan akan meluncurkan penerusnya. Menurut laporan media China yang beredar di Twitter/X, R2 akan menjadi model hybrid MoE (Mixture of Experts) dengan 1.2 triliun parameter, melampaui kapasitas pendahulunya yang “hanya” 600 miliar.

Revolusi Ekonomi AI

Yang paling mengejutkan adalah klaim efisiensi biaya. DeepSeek R2 dikabarkan hanya mematok $0.07 per juta token input dan $0.27 per juta token output—97.3% lebih murah dibanding GPT-4o. “Ini bisa mengubah total ekonomi industri AI,” ujar seorang analis yang enggan disebutkan namanya. “Jika bocoran ini akurat, perusahaan seperti OpenAI harus meninjau ulang seluruh struktur biaya mereka.”

Kemandirian Teknologi China

Yang tak kalah penting: R2 dikembangkan mayoritas menggunakan chip Ascend 910B buatan Huawei, mencapai 82% utilisasi cluster—angka yang sangat tinggi untuk skala pelatihan AI. “Ini bukti China semakin mandiri dari rantai pasok AS,” jelas Dr. Li Wei, pakar komputasi di Beijing. “Mereka tak hanya membuat model canggih, tapi juga infrastrukturnya.”

Tim riset DeepSeek sedang melakukan uji coba model AI generasi terbaru

Meski demikian, beberapa ahli menyarankan untuk bersikap skeptis. “Angka-angka ini terlalu fantastis untuk langsung dipercaya,” kata Prof. Zhang dari Universitas Tsinghua. “Tapi jika 50% saja benar, ini tetap akan menjadi terobosan besar.” DeepSeek sendiri belum memberikan konfirmasi resmi.

Dengan peluncuran yang dikabarkan terjadi dalam beberapa bulan mendatang, satu hal pasti: pertarungan supremasi AI semakin panas. Dan kali ini, China datang dengan senjata yang lebih tajam.

RTX 5070 Ti dengan GDDR7 SK Hynix Tembus 34 Gbps, Performa Melonjak 21%

0

Telset.id – Jika Anda mengira overclocking memori GDDR7 hanya bisa dilakukan pada modul Samsung, bocoran terbaru dari forum Chiphell membuktikan sebaliknya. Seorang pengguna berhasil mendorong clock memori RTX 5070 Ti dengan modul SK Hynix hingga 34 Gbps, menghasilkan peningkatan performa signifikan.

SK Hynix GDDR7 Memory

Kisah ini bermula ketika NVIDIA dikabarkan mulai menggunakan modul GDDR7 dari SK Hynix untuk seri RTX 50 Blackwell, selain Samsung yang selama ini menjadi pemasok utama. Seperti dilaporkan sebelumnya, langkah ini diambil untuk mengatasi masalah ketersediaan stok.

Kisah Sukses Overclocking yang Tak Terduga

Pengguna bernama “michelelee” di forum Chiphell membagikan pengalamannya meng-overclock Gigabyte RTX 5070 Ti Gaming OC yang menggunakan memori SK Hynix GDDR7. Awalnya, kartu ini berjalan pada clock standar 28 Gbps (1750 MHz). Namun, dengan tuning manual, ia berhasil mendorongnya hingga 34 Gbps (2125 MHz) – peningkatan 21% yang cukup mencengangkan.

RTX 5070 Ti SK Hynix GDDR7 28 Gbps

Dampak Nyata pada Performa Gaming

Peningkatan clock memori ini bukan sekadar angka di atas kertas. Dalam benchmark 3DMark Time Spy, skor GPU melonjak dari 28,46x menjadi 30,426 – peningkatan 7% yang akan terasa dalam gaming. Ini membuktikan bahwa modul SK Hynix GDDR7 tidak kalah performanya dengan rival dari Samsung.

RTX 5070 Ti SK Hynix GDDR7 34 Gbps

Kabar ini tentu menggembirakan bagi calon pembeli RTX 50 series, terutama mengingat produk-produk berbasis AI semakin membutuhkan bandwidth memori tinggi. Dengan diversifikasi pemasok memori, NVIDIA tampaknya sedang mempersiapkan lini produk yang lebih tangguh untuk menghadapi persaingan ketat di pasar GPU.

Meskipun saat ini mayoritas RTX 50 series masih menggunakan memori Samsung, dalam beberapa minggu ke depan kita mungkin akan melihat lebih banyak varian dengan modul SK Hynix. Bagi Anda yang tertarik dengan teknologi terkini, superkomputer AI berukuran mini dari NVIDIA juga patut menjadi perhatian.