Beranda blog Halaman 151

Samsung Pertimbangkan Pindahkan Produksi ke India untuk Hindari Tarif AS

0

Telset.id – Perang dagang antara Amerika Serikat dan negara-negara Asia kembali memanas. Kali ini, Samsung menjadi salah satu korban yang harus berstrategi menghadapi kebijakan tarif baru dari Negeri Paman Sam. Dalam laporan keuangan kuartal pertama 2025, raksasa teknologi asal Korea Selatan ini mengkonfirmasi sedang mempertimbangkan relokasi beberapa lini produksinya – terutama untuk smartphone yang dipasarkan di AS.

Langkah ini bukan tanpa alasan. Vietnam, salah satu basis produksi utama Samsung, baru saja dikenakan tarif impor sebesar 46% oleh pemerintah AS. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif normal sebesar 10% yang berlaku secara global. Sementara itu, India menawarkan tarif lebih rendah di kisaran 26%, membuatnya menjadi destinasi alternatif yang menarik.

Samsung logo on a large sign

Vietnam vs India: Pertarungan Tarif yang Mengubah Peta Produksi

Selama ini, Vietnam menjadi salah satu hub manufaktur terpenting bagi Samsung. Menurut data internal, lebih dari 50% smartphone Samsung yang dipasarkan di AS diproduksi di negara ini. Namun, lonjakan tarif hingga 46% jelas menjadi pukulan telak bagi strategi produksi mereka.

“Kami sedang mengevaluasi opsi untuk memindahkan produksi beberapa model smartphone dari Vietnam ke India,” ungkap perwakilan Samsung dalam konferensi pers Q1 2025. “Ini adalah langkah antisipatif untuk meminimalisir dampak tarif terhadap margin keuangan kami.”

Meski demikian, keputusan final belum diambil. Pemerintah AS memberikan masa tenggang 90 hari sebelum tarif baru benar-benar diberlakukan. Periode ini dimanfaatkan berbagai negara untuk bernegosiasi ulang dengan Washington.

Image of Samsung's mobile factory in Noida, India

Dampak Jangka Panjang: Harga Smartphone hingga Strategi Global

Langkah Samsung ini bukanlah yang pertama di industri teknologi. Sebelumnya, Apple telah lebih dulu memindahkan sebagian produksi iPhone-nya ke India. Bahkan, seperti dilaporkan Telset.id, mereka mengirimkan 600 ton iPhone dari India ke AS untuk menghindari tarif tinggi.

Pertanyaannya sekarang: Akankah konsumen merasakan dampaknya? Analis memprediksi dua skenario. Pertama, Samsung mungkin akan menaikkan harga produk untuk menutupi biaya tambahan. Kedua, mereka bisa mengoptimalkan produksi di India sehingga harga tetap stabil.

“Ini adalah permainan catur geopolitik yang rumit,” kata Johanna Romero, analis teknologi senior. “Perusahaan seperti Samsung dan Apple harus terus beradaptasi dengan kebijakan perdagangan yang berubah-ubah.”

Tidak hanya divisi smartphone, lini bisnis lain Samsung seperti TV, monitor, dan perangkat rumah tangga juga dikabarkan sedang mempertimbangkan relokasi produksi. Mereka juga berfokus pada penjualan produk premium untuk menjaga margin keuangan.

Kasus Samsung ini menjadi bukti nyata bagaimana ketegangan perdagangan global bisa mengubah peta industri teknologi dalam sekejap. Seperti yang terjadi pada Anbernic yang terpaksa menghentikan pengiriman konsol retro ke AS akibat kenaikan tarif serupa.

Lalu, bagaimana nasib konsumen Indonesia? Untuk saat ini, dampaknya mungkin belum terasa. Namun, jika tarif terus meningkat dan rantai pasokan global terganggu, bukan tidak mungkin harga produk teknologi akan mengalami kenaikan secara merata di berbagai negara.

Mitos Virtual RAM Android Terungkap: Tidak Selalu Pakai Penyimpanan

Telset.id – Fitur virtual RAM pada perangkat Android telah lama menjadi perdebatan. Banyak pengguna mengira fitur ini mengorbankan ruang penyimpanan internal mereka. Namun, sebuah analisis mendalam dari Reddit dan temuan terbaru oleh SamMobile membantah anggapan tersebut. Lalu, bagaimana sebenarnya cara kerja virtual RAM ini?

Virtual RAM, yang dikenal dengan berbagai nama seperti RAM Plus (Samsung), Extended RAM (vivo), atau Memory Extension (Xiaomi), sering kali disalahpahami. Ketika Anda mengaktifkan fitur ini, biasanya muncul pesan seperti, “RAM dapat diperluas hingga 8GB. Beberapa ruang penyimpanan akan digunakan.” Pesan inilah yang memicu kesalahpahaman bahwa fitur ini langsung mengambil alih penyimpanan internal.

Ilustrasi fitur Extended RAM pada smartphone vivo

Bagaimana Virtual RAM Sebenarnya Bekerja?

Menurut penjelasan mendalam dari Reddit oleh pengguna PurelyOxified, virtual RAM sebenarnya mengandalkan teknologi bernama zRam. Ini adalah modul kernel yang mengalokasikan sebagian RAM sistem untuk menyimpan data terkompresi dengan rasio sekitar 2:1. Artinya, data yang biasanya memakan banyak ruang bisa “dipadatkan” sehingga lebih banyak informasi yang bisa ditampung dalam kapasitas yang sama.

Yang menarik, zRam tidak menggunakan penyimpanan internal secara default. Jadi, meskipun pengaturan di ponsel Anda mengatakan bahwa penyimpanan akan digunakan, sebenarnya hal itu hanya terjadi jika zRam sudah penuh. Dalam kondisi ekstrem, data yang jarang digunakan bisa dipindahkan ke file swap di penyimpanan internal, tetapi proses ini dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari keausan akibat terlalu banyak operasi baca/tulis.

Mengapa Penyimpanan Masih Diperlukan?

Lalu, mengapa pabrikan seperti Xiaomi dan vivo tetap menyertakan peringatan tentang penggunaan penyimpanan? Jawabannya sederhana: sebagai cadangan. Misalnya, saat Anda mengaktifkan fitur “8GB+8GB Extended RAM” pada vivo iQOO Neo9 Pro, sekitar 2GB penyimpanan akan dialokasikan saat reboot. Namun, ruang ini hanya akan digunakan jika zRam benar-benar kehabisan kapasitas.

Dengan kata lain, produsen tidak sepenuhnya salah—mereka hanya tidak memberikan penjelasan lengkap. Fitur ini memang membutuhkan sedikit ruang penyimpanan sebagai “plan B”, tetapi tidak akan terus-menerus mengaksesnya seperti yang dikhawatirkan banyak pengguna.

Trade-off yang Seimbang

Virtual RAM memang memiliki trade-off kecil: beban tambahan pada CPU untuk mengompresi dan mendekompresi data. Namun, ini sepadan dengan manfaatnya, terutama bagi pengguna yang sering membuka banyak aplikasi sekaligus. Dengan zRam, multitasking menjadi lebih lancar tanpa harus mengorbankan performa perangkat.

Jadi, lain kali Anda melihat opsi “Extended RAM” atau “Memory Extension” di pengaturan ponsel, ingatlah bahwa fitur ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi RAM—bukan mencuri penyimpanan Anda. Kecuali, tentu saja, Anda benar-benar memaksakan kapasitas zRam hingga batas maksimalnya.

Untuk informasi lebih lanjut tentang teknologi terkini di dunia Android, jangan lupa kunjungi 15 Game Simulasi Android Terbaik atau 15 Game Strategi Android Terbaik untuk rekomendasi aplikasi yang bisa memaksimalkan perangkat Anda.

Xiaomi Portable Photo Printer 1S Siap Rilis Global, Cetak Foto Tanpa Tinta

Telset.id – Pernah membayangkan mencetak foto langsung dari smartphone tanpa repot dengan tinta? Xiaomi menjawab kebutuhan itu dengan Portable Photo Printer 1S yang siap meluncur di pasar global. Bocoran terbaru mengindikasikan printer ini telah muncul di situs internasional Xiaomi, menandakan persiapan akhir sebelum peluncuran resmi.

Xiaomi Portable Photo Printer 1S

Teknologi ZINK: Revolusi Cetak Foto Tanpa Tinta

Xiaomi Portable Photo Printer 1S mengadopsi teknologi ZINK (Zero Ink), yang menghilangkan kebutuhan akan kartrid tinta tradisional. Alih-alih menggunakan tinta, printer ini memanfaatkan kertas khusus yang mengandung kristal warna. Ketika dipanaskan, kristal tersebut aktif dan menghasilkan gambar berkualitas tinggi. Setiap cetakan juga dilengkapi lapisan perekat di bagian belakang, memungkinkan Anda menempelkannya di scrapbook, casing ponsel, atau permukaan lainnya.

Dalam paket penjualan, Xiaomi menyertakan lima lembar kertas foto ZINK. Namun, belum jelas apakah printer ini kompatibel dengan kertas ZINK dari merek lain. Jika ya, ini bisa menjadi nilai tambah bagi pengguna yang ingin menghemat biaya operasional.

Fitur AR dan Konektivitas Tanpa Ribet

Salah satu keunggulan printer ini adalah dukungan terhadap foto Augmented Reality (AR). Melalui aplikasi Mi Home, pengguna dapat melampirkan video 15 detik atau klip audio 60 detik ke foto cetakan. Saat foto dipindai dengan aplikasi, konten multimedia tersebut akan langsung diputar. Fitur ini membuka peluang kreatif, seperti membuat kartu ucapan interaktif atau album foto yang “hidup”.

Xiaomi Portable Photo Printer 1S

Untuk konektivitas, printer ini mengandalkan Bluetooth 5.2 dan mampu menangani hingga tiga perangkat sekaligus. Tidak perlu khawatir tentang jaringan Wi-Fi, karena printer ini bekerja tanpa bergantung pada koneksi internet. Format gambar yang didukung mencakup JPEG, PNG, dan HEIF, dengan kompatibilitas untuk perangkat Android 8.0 atau iOS 12.0 ke atas.

Harga Terjangkau dan Portabilitas Tinggi

Dengan dimensi 82mm x 124mm x 22mm, Xiaomi Portable Photo Printer 1S dirancang untuk dibawa ke mana saja. Bobotnya yang ringan membuatnya cocok untuk perjalanan atau acara-acara khusus. Xiaomi mengklaim biaya cetak per lembar bisa serendah 1,98 yuan (sekitar Rp4.000), menjadikannya opsi ekonomis dibandingkan printer foto konvensional.

Xiaomi Portable Photo Printer 1S

Di pasar China, printer ini dijual seharga 399 yuan (sekitar Rp880.000). Sayangnya, Xiaomi belum mengungkapkan harga global atau tanggal rilis resmi. Namun, kehadirannya di situs internasional perusahaan menjadi sinyal kuat bahwa peluncuran sudah di depan mata.

Dengan kombinasi portabilitas, teknologi inovatif, dan harga kompetitif, Xiaomi Portable Photo Printer 1S berpotensi menggeser pasar printer foto tradisional. Apakah Anda tertarik memilikinya?

Meta vs Penulis: Pertarungan Hak Cipta AI yang Bisa Ubah Masa Depan Kreator

0

Telset.id – Bayangkan Anda menghabiskan bertahun-tahun menulis buku, hanya untuk melihat perusahaan teknologi melahap karya itu tanpa izin—lalu menciptakan mesin yang bisa menghasilkan konten serupa dalam hitungan detik. Inilah inti pertarungan hukum antara Meta dan sejumlah penulis ternama, termasuk Sarah Silverman dan Ta-Nehisi Coates, yang bisa menjadi preseden bagi masa depan hak cipta di era AI.

Di ruang sidang Pengadilan Distrik AS, Hakim Vince Chhabria menghabiskan berjam-jam menguji argumen kedua belah pihak. Meta, raksasa media sosial pemilik Facebook dan Instagram, menghadapi tuntutan karena diduga menggunakan buku-buku para penulis ini—yang diunduh dari “perpustakaan bayangan” seperti LibGen—untuk melatih model AI generatif mereka. Uniknya, Meta tidak menyangkal fakta ini, tetapi bersikeras bahwa tindakan mereka dilindungi oleh doktrin “penggunaan wajar” (fair use) dalam undang-undang hak cipta AS.

Pertanyaan Kunci: Apakah AI Meta Menggerus Pasar Penulis?

Chhabria menekankan bahwa inti persoalan bukan sekadar soal pembajakan, melainkan dampak ekonomi. “Jika Anda menghancurkan pasar untuk karya seseorang, lalu berargumen bahwa Anda tidak perlu membayar lisensi—bagaimana itu bisa disebut penggunaan wajar?” tanyanya kepada pengacara Meta, Kannon Shanmugam. Hakim bahkan membuat analogi tajam: Bagaimana jika lagu Taylor Swift diumpankan ke AI yang kemudian membanjiri pasar dengan miliaran lagu tiruan? “Lalu bagaimana dengan ‘Taylor Swift berikutnya’ yang belum terkenal?”

Meta berkilah bahwa klaim penulis hanyalah “spekulasi”. Namun, seperti dilaporkan dalam artikel sebelumnya Telset.id, ini bukan pertama kalinya perusahaan teknologi menghadapi gugatan serupa. Kasus ini menjadi bagian dari puluhan litigasi serupa yang menguji batas hukum seputar AI generatif.

Meta dan Dilema “Shadow Libraries”

Meski Chhabria mengakui praktik unduh buku dari situs seperti LibGen “terlihat tidak etis”, ia menekankan bahwa pertanyaannya adalah apakah ini melanggar hukum. “Pengadilan selalu mengingatkan: yang penting bukan apakah sesuatu terlihat salah, tapi apakah itu pelanggaran hak cipta,” ujarnya. Di sisi lain, tim hukum penulis—dipimpin pengacara kondang David Boies—berargumen bahwa Meta sengaja mencari jalan pintas dengan memanfaatkan konten bajakan.

Pertarungan ini terjadi di tengah gebrakan besar-besaran Meta di bidang AI. Dalam konferensi pendapatan terbaru, CEO Mark Zuckerberg menegaskan bahwa AI adalah “fondasi segala inisiatif kami”. Namun, seperti diungkap dalam artikel Telset.id tentang fitur AI WhatsApp, ambisi ini harus berhadapan dengan tantangan regulasi yang semakin ketat.

Dampak Jangka Panjang: Lebih Besar dari Meta

Keputusan dalam kasus Kadrey v. Meta ini bisa menjadi batu loncatan bagi industri. Sebelumnya, pengadilan sudah memenangkan Thomson Reuters dalam gugatan melawan startup AI Ross Intelligence—tapi kasus itu tidak melibatkan model bahasa besar (LLM) seperti yang digunakan Meta. Jika Chhabria memutuskan mendukung penulis, ini bisa memaksa perusahaan teknologi untuk membayar lisensi konten atau bahkan mengubah cara mereka melatih AI.

Namun, hakim juga menyiratkan keraguan: Apakah penulis benar-benar bisa membuktikan bahwa AI Meta telah atau akan merugikan mereka? “Anda meminta saya berspekulasi bahwa pasar untuk memoar Sarah Silverman akan terdampak,” katanya kepada Boies. “Itu tidak terlihat jelas bagi saya.”

Seperti pertarungan antara DeepSeek dan OpenAI, kasus ini menggarisbawahi ketegangan abadi antara inovasi teknologi dan perlindungan hak kreator. Chhabria sendiri mengakui kompleksitasnya: “Saya akan butuh waktu lebih lama untuk memikirkannya,” ujarnya di akhir sidang—dengan canda khas yang menyiratkan betapa berat keputusan ini.

Satu hal yang pasti: Apapun putusannya, gelombang dampaknya akan terasa jauh melampaui ruang sidang—mulai dari meja penulis, papan dewan perusahaan teknologi, hingga layar gadget Anda.

Penjualan PC & Laptop Melonjak di AS Akibat Ancaman Tarif Impor

Telset.id – Pasar PC dan laptop di Amerika Utara tiba-tiba memanas di kuartal pertama 2025. Lonjakan penjualan mencapai level yang tidak terduga, bukan karena inovasi produk, melainkan ketakutan akan kenaikan harga akibat kebijakan tarif impor AS.

Data terbaru dari IDC mengungkapkan, penjualan perangkat komputasi pribadi melalui distributor meroket menjadi $4,07 miliar—naik 27,8% dibandingkan periode sama tahun lalu. Angka ini mendorong total pendapatan distribusi TI di wilayah tersebut mencapai $19,9 miliar, tumbuh 7,6% year-over-year.

Grafik pertumbuhan penjualan PC di Amerika Utara Q1 2025

Desktop & Workstation Jadi Primadona

Yang menarik, desktop konvensional justru mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 35,3%, diikuti notebook (26,9%) dan workstation yang melesat 49,3%. Satu-satunya kategori yang mengalami penurunan adalah tablet detachable dengan minus 5,4%.

“Ini jelas pola pembelian defensif,” jelas analis IDC. “Pelaku bisnis dan konsumen berbondong-bondong membeli perangkat sebelum kebijakan tarif baru diterapkan.”

Dampak Kebijakan Tarif AS-China

Pada April 2025, pemerintah AS mengumumkan tarif baru untuk produk impor China—termasuk barang elektronik—dengan tingkat mencapai lebih dari 100% untuk beberapa kategori. Meskipun diberlakukan penundaan 90 hari, pasar sudah bereaksi dengan pembelian besar-besaran.

Fenomena ini mengingatkan pada tren serupa di Eropa ketika kebijakan USB-C sempat mengganggu penjualan iPhone 14. Bedanya, kali ini skalanya lebih masif dan berdampak pada seluruh rantai pasok.

Kategori non-hardware menunjukkan tren berbeda. Software—yang tidak terpengaruh tarif—tumbuh 13,2% menjadi $4,5 miliar, didorong oleh solusi penyimpanan, keamanan, dan infrastruktur sistem. Sementara infrastruktur jaringan hanya naik 1%, dengan layanan dan perangkat AV justru menurun.

Menurut pengamatan pelaku industri, lonjakan ini bersifat sementara. IDC memprediksi penjualan akan melambat di paruh kedua 2025 seiring mulai berlakunya tarif dan berkurangnya stok awal.

Pelajaran penting dari fenomena ini? Di era geopolitik yang fluktuatif, kebijakan perdagangan bisa menjadi faktor penentu yang lebih kuat daripada inovasi produk itu sendiri. Seperti pernah terjadi saat peluncuran Windows 10 mengganggu pasar PC, kali lagi faktor eksternal membentuk perilaku konsumen secara dramatis.

CMF Phone 2 Pro vs Nothing Phone 3A: Mana yang Lebih Worth It?

Telset.id – Di tengah maraknya smartphone flagship dengan harga selangit, CMF Phone 2 Pro dan Nothing Phone 3A hadir sebagai opsi mid-range yang menawarkan fitur premium dengan harga terjangkau. Keduanya berasal dari perusahaan induk yang sama, tetapi menargetkan pengalaman pengguna yang berbeda. Mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan Anda?

Jika Anda mencari smartphone dengan desain unik dan fitur interaktif, Nothing Phone 3A mungkin menjadi pilihan. Namun, bagi yang mengutamakan nilai praktis dan harga lebih terjangkau, CMF Phone 2 Pro bisa jadi jawabannya. Mari kita telusuri perbandingan mendalam antara kedua ponsel ini.

Desain dan Layar

CMF Phone 2 Pro mengusung desain minimalis dengan rating IP54 dan fitur “Accessory Point” yang memungkinkan kustomisasi panel belakang. Ponsel ini lebih ringan dan ramping, memberikan kenyamanan lebih saat digenggam. Di sisi lain, Nothing Phone 3A mempertahankan desain transparan khas Nothing dengan Glyph Interface yang memiliki beberapa zona pencahayaan untuk interaksi lebih dinamis. Rating IP64-nya juga memberikan perlindungan lebih baik terhadap debu dan air.

Perbandingan desain CMF Phone 2 Pro dan Nothing Phone 3A

Kedua ponsel menggunakan panel AMOLED 6,77 inci dengan refresh rate 120Hz dan kecerahan puncak 3000 nits. Secara teknis, kualitas layarnya sama, tetapi Glyph Interface pada Nothing 3A menambah nilai fungsional dengan integrasi notifikasi, timer, dan musik.

Performa dan Baterai

CMF Phone 2 Pro ditenagai MediaTek Dimensity 7300 Pro, chipset 4nm yang cukup tangguh untuk tugas mid-range. Nothing Phone 3A menggunakan Snapdragon 7s Gen 3 yang menawarkan performa GPU lebih baik dan pemrosesan fotografi berbasis AI lebih halus. Untuk pengguna yang sering bermain game atau memotret, Nothing 3A jelas lebih unggul.

Perbandingan performa CMF Phone 2 Pro dan Nothing Phone 3A

Keduanya memiliki baterai 5000 mAh, tetapi Nothing 3A mendukung pengisian daya 50W yang lebih cepat dibandingkan 33W pada CMF 2 Pro. Nothing 3A juga mendukung reverse wired charging 7.5W, sementara CMF hanya 5W. Bagi pengguna berat, keunggulan pengisian daya Nothing 3A bisa menjadi pertimbangan penting.

Kamera

Keduanya memiliki sensor utama 50MP dengan aperture f/1.88, tetapi Nothing 3A menambahkan OIS untuk hasil foto lebih stabil. Keduanya juga memiliki lensa telefoto 50MP dengan zoom optik 2x, tetapi Nothing 3A menawarkan zoom digital hingga 30x dibandingkan 20x pada CMF 2 Pro.

Perbandingan kamera CMF Phone 2 Pro dan Nothing Phone 3A

Untuk kamera selfie, CMF 2 Pro memiliki sensor 16MP sementara Nothing 3A menggunakan 32MP dengan bidang pandang lebih lebar. Ini membuat Nothing 3A lebih cocok untuk selfie grup atau foto detail dalam kondisi cahaya baik.

Harga dan Kesimpulan

CMF Phone 2 Pro dibanderol sekitar $279, jauh lebih murah dibandingkan Nothing Phone 3A yang harganya $398. Selisih $119 ini cukup signifikan di segmen mid-range. CMF 2 Pro menawarkan nilai terbaik untuk uang dengan performa solid, layar flagship-like, dan kamera yang baik.

Perbandingan harga CMF Phone 2 Pro dan Nothing Phone 3A

Nothing Phone 3A memang lebih mahal, tetapi menawarkan fitur premium seperti Glyph Interface, pengisian daya lebih cepat, perlindungan IP64, dan kamera selfie lebih baik. Jika Anda mencari pengalaman lebih premium dan interaktif, Nothing 3A layak dipertimbangkan.

Kesimpulannya, CMF Phone 2 Pro adalah pilihan terbaik untuk pengguna yang mengutamakan nilai praktis dan harga terjangkau. Sementara Nothing Phone 3A cocok untuk mereka yang menginginkan fitur lebih premium dan desain unik dengan Glyph Interface-nya. Pilihan akhir tergantung pada prioritas dan anggaran Anda.

LinkedIn Games: Ketagihan Main Puzzle di Platform Pencari Kerja

0

Telset.id – Bayangkan ini: Jumat malam di klub, musik techno menggelegar, tapi alih-alih menari, Anda malah asyik bermain game di LinkedIn. Ya, platform yang selama ini identik dengan pencarian kerja dan networking profesional kini punya sisi lain yang tak terduga—sebuah dunia game puzzle yang bikin ketagihan.

Sejak setahun lalu, LinkedIn memperkenalkan fitur games, dan sejak itu, banyak pengguna seperti Peter Rubin, kepala penerbitan di Automattic, mengaku kecanduan. “Ini seperti penyegar pikiran,” katanya. “Game-game ini sempurna—singkat, tidak memakan waktu, dan langsung selesai.”

Dari Queens hingga Zip: Ragam Game yang Menantang

LinkedIn Games awalnya meluncur dengan tiga jenis puzzle: Queens (permainan mirip catur), Pinpoint (tebak frasa), dan Crossclimb (varian Wordle). Kini, mereka menambahkan Tango (harmonisasi grid) dan Zip (labirin geser). Setiap game dirancang untuk merangsang otak tanpa memakan waktu lama.

“Saya langsung ketagihan,” ujar Tavonne Thomas, seorang fotografer di London. “Ketika LinkedIn bilang saya lebih pintar dari sekian persen CEO, rasanya luar biasa!”

Inspirasi dari The New York Times, tapi dengan Sentuhan LinkedIn

Lakshman Somasundaram, kepala divisi games LinkedIn, mengakui bahwa ide ini terinspirasi dari kesuksesan game puzzle The New York Times. Namun, LinkedIn ingin memberikan pengalaman unik. “Kami ingin LinkedIn terasa seperti tempat kerja terbaik di dunia,” katanya. “Game ini adalah cara untuk membawa kesenangan ke platform kami.”

Berbeda dengan game sosial era 2010-an seperti FarmVille, LinkedIn Games dirancang untuk memicu interaksi profesional. Setelah menyelesaikan game, pengguna bisa melihat skor mereka, waktu penyelesaian, dan bahkan siapa saja di jaringan mereka yang juga bermain.

Kritik dan Kontroversi: Apakah Games Mengalihkan Fokus?

Namun, tidak semua pengguna menyukai fitur ini. Mitchell Tan, pendiri layanan pesan yang lahir dari frustrasi terhadap LinkedIn, mengkritik game sebagai pemborosan sumber daya. “LinkedIn adalah tempat untuk menghasilkan uang,” tegasnya. “Mengapa mereka fokus pada game alih-alih memperbaiki fitur inti seperti inbox?”

Meski demikian, bagi banyak orang seperti Kelli Frye, seorang akuntan di Tennessee, game-game ini justru menjadi alasan utama membuka LinkedIn. “Saya tadinya cuma mau lihat postingan cringe,” akunya. “Sekarang saya malah lebih tertarik pada puzzle.”

Bahkan, beberapa pengguna seperti Andrew Shaw membuat grup khusus untuk para pencinta game LinkedIn. “Saya di sini cuma untuk puzzle,” katanya. “Bukan untuk postingan inspirasi atau politik.”

Dibalik layar, setiap game dirancang manual oleh ahli puzzle seperti Thomas Snyder, juara sudoku. Tidak ada AI yang terlibat—setiap papan permainan dipikirkan dengan matang untuk memberikan pengalaman “percakapan” antara pemain dan pembuat puzzle.

Apakah game-game ini sukses? LinkedIn enggan berbagi angka pasti, tapi mengklaim 84% pemain kembali keesokan harinya. Yang jelas, bagi banyak orang, LinkedIn kini bukan sekadar platform kerja—tapi juga tempat untuk mengasah otak.

Samsung Galaxy S25 Edge Bocor: Kamera 200MP & Desain Ultra Slim Siap Guncang Pasar

Telset.id – Jika Anda mengira smartphone flagship 2025 hanya akan bermain di zona aman dengan peningkatan inkremental, bersiaplah terkejut. Bocoran terbaru mengungkap Samsung Galaxy S25 Edge akan membawa revolusi desain dan fotografi yang belum pernah dilihat sebelumnya. Dengan bodi setipis 5.8mm dan kamera utama 200MP, apakah ini jawaban atas impian penggemar teknologi?

Setelah pertama kali diumumkan di acara Galaxy Unpacked Januari lalu, S25 Edge kini kembali memanas dengan bocoran spesifikasi kameranya. Menurut sumber terpercaya, ponsel ini akan menggunakan sensor utama 200MP berukuran 1/1.3 inci – sama persis dengan yang dipakai Galaxy S25 Ultra. Padahal, ketebalan bodinya hanya 5.8mm berkat frame titanium yang ringan namun kokoh.

Galaxy S25 Edge tampilan lebar dengan desain ultra slim

Kamera 200MP di Bodi Tipis: Kompromi atau Terobosan?

Spesifikasi kamera S25 Edge memang menarik perhatian. Sensor utama 200MP-nya menjanjikan kualitas foto yang setara dengan varian Ultra, termasuk kemampuan zoom 2x yang tajam meski tanpa lensa telefoto khusus. Namun, pilihan Samsung untuk mempertahankan kamera ultrawide 12MP (1/2.55″) alih-alih mengadopsi sensor 50MP seperti di S25 Ultra menuai pro-kontra.

“Ini jelas pilihan desain yang disengaja,” jelas seorang analis industri yang enggan disebutkan namanya. “Dengan ketebalan hanya 5.8mm, Samsung harus memilih antara menjejalkan lebih banyak hardware atau mempertahankan elegannya desain. Mereka memilih yang terakhir.”

Perbandingan kamera ultrawide Galaxy S25 Edge dengan varian Ultra

Dapur Pacu Tangguh di Balik Bodi Ramping

Jangan terkecoh dengan desainnya yang ramping. S25 Edge dikabarkan akan ditenagai Snapdragon 8 Elite chipset terbaru Qualcomm, didukung RAM 12GB. Layar AMOLED 6.66 inci dengan refresh rate 120Hz dan kecerahan hingga 2,600 nits menjanjikan pengalaman visual yang memukau.

Namun, baterai 3,900mAh mungkin menjadi titik lemah, terutama dengan chipset sekuat itu. “Pendinginan akan menjadi tantangan utama,” ungkap seorang insinyur yang familiar dengan desain ponsel tipis. “Tanpa ruang yang cukup untuk sistem pendingin canggih, performa maksimal mungkin tidak bisa dipertahankan dalam waktu lama.”

Galaxy S25 Edge rencananya akan diluncurkan secara online pada 13 Mei 2025, dengan rilis di Korea Selatan dan China pada 23 Mei. Pasar global termasuk AS akan menyusul pada 30 Mei. Dengan harga sekitar $1,099 (Rp17 jutaan), ponsel ini menempati posisi antara S25+ dan Ultra dalam lini produk Samsung.

Pertanyaan besarnya: Akankah kombinasi desain ultra-slim dan kamera 200MP ini cukup untuk mengalahkan pesaing seperti iPhone 17 Air yang mengusung pendekatan single-lens? Atau justru kompromi di bagian kamera ultrawide akan menjadi batu sandungan? Jawabannya akan segera kita dapatkan dalam beberapa minggu ke depan.

ChatGPT Bisa Bikin Action Figure Mirip Anda, Tapi Hati-Hati dengan Privasi

0

Telset.id – Anda mungkin sudah melihat tren terbaru di media sosial: action figure yang dibuat menggunakan ChatGPT dengan wajah persis seperti pemiliknya. Mulai dari cangkir kopi favorit hingga headphone kesayangan, detailnya begitu personal dan mengagumkan. Tapi tahukah Anda bahwa di balik keseruan ini, ada risiko privasi yang patut diwaspadai?

Fenomena ini dimungkinkan berkat GPT-4o, model terbaru OpenAI yang mampu menghasilkan gambar dengan presisi tinggi. Tak hanya action figure, ChatGPT juga bisa mengubah foto Anda menjadi karakter ala Studio Ghibli—sebuah tren yang langsung viral. Prosesnya pun sederhana: cukup unggah foto, dan dalam hitungan detik, Anda mendapatkan versi animasi atau action figure diri sendiri. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Tom Vazdar, pakar keamanan siber dari Open Institute of Technology, setiap unggahan foto membawa serta metadata yang mungkin tak Anda sadari.

Data Tersembunyi di Balik Unggahan Foto

Setiap kali Anda mengunggah gambar ke ChatGPT, platform ini tidak hanya memproses wajah Anda. Metadata seperti waktu pengambilan foto, lokasi GPS, bahkan jenis perangkat yang digunakan turut terekam. Camden Woollven dari GRC International Group menambahkan, foto resolusi tinggi bisa mengungkap latar belakang, dokumen, atau bahkan orang lain di sekitar Anda. “Ini adalah tambang emas untuk melatih model generatif AI,” kata Vazdar.

OpenAI menyangkal bahwa tren ini sengaja dibuat untuk mengumpulkan data pengguna. Namun, seperti dilaporkan dalam artikel Telset sebelumnya, perusahaan terus memperluas kemampuan AI-nya dengan data yang diberikan secara sukarela oleh pengguna. Meskipun OpenAI mengklaim tidak menggunakan data pribadi untuk iklan atau profil pengguna, kebijakan privasinya memperbolehkan penggunaan unggahan untuk pelatihan model.

Perlindungan Data di Berbagai Negara

Di Eropa dan Inggris, GDPR memberikan hak kepada pengguna untuk meminta penghapusan data mereka. Namun, Melissa Hall dari firma hukum MFMac menjelaskan bahwa foto yang diubah menjadi versi kartun belum tentu termasuk data biometrik yang dilindungi. Sementara di AS, perlindungan bervariasi antarnegara bagian. “California dan Illinois punya regulasi ketat, tapi tidak ada standar nasional,” ujar Annalisa Checchi dari Ionic Legal.

Lalu, bagaimana melindungi diri? Vazdar menyarankan untuk mematikan riwayat obrolan di ChatGPT dan menghapus metadata sebelum mengunggah foto. Anda juga bisa menggunakan avatar digital alih-alih foto asli. Seperti yang diulas dalam panduan edit foto di Microsoft Edge, ada banyak cara untuk mengaburkan informasi sensitif sebelum dibagikan ke platform AI.

Jadi, sebelum ikut-ikutan tren action figure atau gaya Studio Ghibli, pertimbangkan baik-baik apa yang Anda korbankan. Sebab, sekali data itu diunggah, sulit untuk menariknya kembali.

Robot Humanoid Atlas Boston Dynamics Siap Bekerja di Pabrik Hyundai

0

Telset.id – Bayangkan sebuah robot humanoid yang mampu mengangkat beban berat, berjalan dengan lincah di lingkungan pabrik, dan bekerja tanpa lelah seperti manusia—tapi dengan kekuatan super. Inilah visi yang akan segera menjadi kenyataan, karena Boston Dynamics bersiap mengerahkan Atlas, robot humanoid terbarunya, di pabrik Hyundai sebelum akhir tahun ini.

Atlas bukanlah robot biasa. Evolusi dari model hidrolik legendaris yang memukau dunia melalui video-viral sejak 2013, versi terbaru ini bertenaga listrik dan dirancang untuk menjadi lebih kuat dan andal dibandingkan pekerja manusia. “Robot ini akan melakukan hal-hal yang sulit bagi manusia,” ujar Kerri Neelon, juru bicara Boston Dynamics, seperti dikutip Telset.id. “Seperti mengangkat benda sangat berat atau membawa barang yang canggung untuk dipegang manusia.”

Revolusi Robot Humanoid di Industri

2025 diprediksi menjadi tahun di mana robot humanoid serba guna—yang sebelumnya hanya hidup di lab penelitian—akhirnya memasuki dunia komersial. Sebelum Atlas, beberapa robot seperti Digit dari Agility Robotics dan Figure dari perusahaan bernama sama telah mencicipi dunia kerja nyata di gudang dan fasilitas logistik. Bahkan raksasa teknologi seperti Apple dan Meta dikabarkan sedang mengembangkan robot humanoid untuk konsumen.

Laporan Goldman Sachs 2024 memperkirakan pasar robot humanoid akan mencapai $38 miliar pada 2035—naik lebih dari enam kali lipat dari proyeksi sebelumnya. Nilai utamanya terletak pada fleksibilitas: robot-robot ini dirancang untuk beralih antar-tugas layaknya manusia, berbeda dengan otomasi tradisional yang terbatas pada satu fungsi spesifik.

Tantangan dan Peluang di Balik Teknologi Canggih

Namun, jalan menuju adopsi massal tidak mulus. Tesla Optimus, misalnya, menuai kritik setelah demo Oktober lalu mengungkapkan bahwa robot-robot tersebut masih dikendalikan manusia. Elon Musk sendiri mengakui kendala produksi akibat pembatasan ekspor logam tanah jarang oleh China.

Salah satu tantangan terbesar adalah mengajari robot berbagai tugas baru. Di sinilah kecerdasan buatan (AI) berperan. Kemajuan pesat model bahasa besar (LLM) seperti Gemini Robotics dari Google DeepMind memungkinkan robot belajar lebih cepat dan beradaptasi dengan situasi baru. “Bayangkan sebuah robot di toko perlengkapan yang bisa mengatur palet, membersihkan, menata rak, dan memeriksa inventaris—semua dalam satu hari,” kata Jonathan Hurst dari Agility Robotics.

Namun, keandalan tetap menjadi pertanyaan. Chris Atkeson dari Carnegie Mellon University mengingatkan risiko kegagalan sistem: “Bagaimana jika suatu pagin pemilik toko menemukan semua barang berantakan di lantai, atau malah terjadi kebakaran?”

Meski demikian, optimisme tetap tinggi. “Lima tahun lalu, saya akan bilang ini mustahil,” akui Atkeson. “Tapi dengan LLM, kita telah membuat lompatan besar dalam ‘akal sehat’ robot. Mungkin kita hampir sampai.”

Dengan Atlas dan generasi baru robot humanoid lainnya, dunia industri—dan mungkin kehidupan sehari-hari—akan segera berubah. Pertanyaannya bukan lagi “apakah” tapi “kapan” robot-robot ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tenaga kerja global.

AI Ciptakan Kode Berbahaya: Ancaman Baru bagi Keamanan Software

0

Telset.id – Jika Anda berpikir kode yang dihasilkan AI selalu aman dan andal, siap-siap terkejut. Penelitian terbaru mengungkap bahwa kode buatan AI sering kali mengandung referensi ke pustaka pihak ketiga yang tidak ada, membuka peluang besar bagi serangan berbahaya pada rantai pasok perangkat lunak.

Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Texas di San Antonio menemukan bahwa dari 576.000 sampel kode yang dihasilkan oleh 16 model bahasa besar (LLM), sebanyak 440.000 dependensi yang terkandung di dalamnya ternyata “berhalusinasi”—artinya, mereka merujuk pada pustaka yang tidak ada. Fenomena ini, yang disebut sebagai “package hallucination”, menjadi ancaman serius bagi keamanan perangkat lunak modern.

Dependensi Palsu: Pintu Masuk Serangan Berbahaya

Dependensi adalah komponen penting dalam pengembangan perangkat lunak modern. Mereka memungkinkan pengembang untuk menggunakan kode yang sudah ada tanpa harus menulis ulang dari awal. Namun, ketika AI menghasilkan referensi ke dependensi yang tidak ada, hal ini menciptakan celah keamanan yang bisa dimanfaatkan oleh penjahat siber.

Joseph Spracklen, mahasiswa PhD yang memimpin penelitian ini, menjelaskan: “Begitu penyerang menerbitkan paket dengan nama yang dihalusinasikan dan menyisipkan kode berbahaya, mereka bisa menunggu pengguna yang tidak curiga menginstalnya. Jika pengguna mempercayai output AI tanpa verifikasi, payload berbahaya akan dieksekusi di sistem mereka.”

Package Hallucination: Masalah yang Berulang

Yang lebih mengkhawatirkan, penelitian ini menemukan bahwa 58% dari nama paket yang dihalusinasikan muncul lebih dari sekali dalam 10 iterasi. Artinya, halusinasi ini bukan kesalahan acak, melainkan pola yang konsisten. Penyerang bisa memanfaatkan pola ini dengan menerbitkan paket berbahaya menggunakan nama-nama yang sering dihalusinasikan oleh AI.

Fenomena ini mengingatkan pada serangan “dependency confusion” yang pertama kali didemonstrasikan pada 2021. Serangan tersebut berhasil mengeksekusi kode palsu di jaringan perusahaan-perusahaan besar seperti Apple, Microsoft, dan Tesla. Kini, dengan maraknya penggunaan AI untuk menghasilkan kode, ancaman ini menjadi semakin nyata.

Perbedaan Antara Model Komersial dan Open Source

Penelitian ini juga mengungkap perbedaan mencolok antara model AI komersial dan open source. Model open source seperti CodeLlama dan DeepSeek menghasilkan hampir 22% package hallucination, sementara model komersial hanya sekitar 5%. Selain itu, kode JavaScript cenderung lebih banyak mengandung halusinasi (21%) dibandingkan Python (16%).

Spracklen menjelaskan bahwa perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kompleksitas ekosistem JavaScript yang memiliki sekitar 10 kali lebih banyak paket dibanding Python. “Dengan lanskap paket yang lebih besar dan kompleks, model menjadi lebih sulit untuk mengingat nama paket tertentu secara akurat,” ujarnya.

Sebagaimana dilaporkan dalam OpenAI Rilis ChatGPT Model “o1” dengan Akurasi Lebih Tinggi, upaya untuk meningkatkan akurasi AI terus dilakukan. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa masalah halusinasi masih menjadi tantangan besar.

Dengan prediksi bahwa 95% kode akan dihasilkan oleh AI dalam lima tahun mendatang, seperti yang diungkapkan oleh CTO Microsoft Kevin Scott, temuan ini menjadi peringatan keras bagi para pengembang. Sebelum benar-benar mempercayai kode yang dihasilkan AI, verifikasi manual terhadap setiap dependensi tetap menjadi keharusan.

Seperti yang terjadi pada kasus AI Ciptakan Kebijakan Palsu, ketergantungan berlebihan pada teknologi AI tanpa pengawasan manusia bisa berakibat fatal. Kini, lebih dari sebelumnya, kolaborasi antara kecerdasan buatan dan keahlian manusia menjadi kunci untuk menciptakan perangkat lunak yang aman dan andal.

Vivo Y19 5G Resmi Meluncur di India dengan Baterai Tahan Lama dan Fitur AI

0

Telset.id – Lima tahun setelah kehadiran pendahulunya, vivo akhirnya meluncurkan generasi terbaru Y19 dengan dukungan 5G. Tidak sekadar upgrade jaringan, smartphone ini hadir dengan sejumlah fitur menarik, termasuk ketahanan baterai yang mengesankan dan optimasi berbasis AI.

Perbedaan utama antara vivo Y19 5G dan varian 2019 terletak pada dukungan jaringan generasi kelima serta peningkatan signifikan di sektor performa. Mengusung chipset MediaTek Dimensity 6300, perangkat ini menjanjikan efisiensi daya yang lebih baik berkat fabrikasi 6nm.

vivo details all of the AI features baked in to FunTouch OS 15

Spesifikasi yang Menarik Perhatian

Layar 6,74 inci dengan refresh rate 90Hz menjadi salah satu sorotan utama. Meski masih menggunakan panel LCD dengan resolusi HD+, kombinasi ini cukup memadai untuk penggunaan sehari-hari. Dari segi kamera, vivo memilih konfigurasi sederhana dengan sensor utama 13MP didampingi lensa dekoratif 0,08MP.

Yang patut diperhatikan adalah kapasitas baterai 5.500mAh dengan klaim ketahanan luar biasa. Menurut vivo, baterai ini masih akan mempertahankan lebih dari 80% kapasitasnya setelah 1.600 siklus pengisian penuh. Artinya, pengguna bisa lebih tenang mengenai degradasi baterai dalam jangka panjang.

Fitur AI dan Harga Terjangkau

Berjalan di atas Android 15 dengan antarmuka Funtouch OS 15, vivo Y19 5G menyertakan beberapa fitur berbasis kecerdasan buatan seperti AI Erase untuk menghapus objek yang tidak diinginkan dari foto, AI Photo Enhance untuk meningkatkan kualitas gambar secara otomatis, serta AI Documents untuk pemindaian dokumen yang lebih cerdas.

vivo X200 FE now rumored to be on its way as a variation of an existing model

Dari segi harga, vivo menjaga posisinya di segmen menengah bawah dengan banderol mulai Rp1,9 juta untuk varian 4GB/64GB. Varian tertinggi dengan RAM 6GB dan penyimpanan 128GB dibanderol Rp2,3 juta. Menariknya, pembeli bisa mendapatkan varian tertinggi ini dengan pembayaran cicilan 0% selama tiga bulan.

Dengan spesifikasi ini, vivo Y19 5G tampaknya ditujukan untuk konsumen yang mengutamakan ketahanan baterai dan pengalaman dasar yang mumpuni, ketimbang performa high-end. Keberadaannya melengkapi lini produk vivo di segmen entry-level 5G, bersaing langsung dengan produk sejenis dari merek lain.