Beranda blog Halaman 87

Samsung Catat Rekor Pendapatan di Q1 2025 Berkat Galaxy S25

0

Telset.id – Samsung kembali membuktikan dominasinya di pasar smartphone global. Laporan keuangan kuartal pertama 2025 menunjukkan perusahaan asal Korea Selatan ini mencetak rekor pendapatan sebesar KRW 79,14 triliun (sekitar $55,7 miliar), meningkat 10% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Kinerja gemilang ini tak lepas dari kesuksesan seri Galaxy S25 yang baru diluncurkan.

Samsung Galaxy S25 Ultra review

Divisi Mobile eXperience (MX) Samsung menjadi penyumbang terbesar dengan pendapatan KRW 37 triliun ($26 miliar) dan laba KRW 4,3 triliun ($3 miliar). “Galaxy AI Experience yang canggih menjadi daya tarik utama bagi konsumen,” jelas pernyataan resmi Samsung. Tak hanya itu, penurunan harga beberapa komponen juga turut mendongkrak margin keuntungan.

Galaxy S25: Mesin Pendongkrak Pendapatan

Seri Galaxy S25 terbukti menjadi produk andalan Samsung di awal tahun. Menurut laporan sebelumnya, model dasar S25 mendapat pujian karena desain kompaknya yang menyematkan performa Snapdragon 8 Elite. Namun, beberapa pengguna mengkritik kebijakan harga yang dinilai terlalu tinggi.

Samsung Galaxy S25 Edge

Tantangan di Depan Mata

Meski mencetak rekor, Samsung menyadari tantangan yang menghadang. Divisi semikonduktor (DS) yang biasanya menjadi andalan justru menunjukkan perlambatan dengan pendapatan KRW 25,1 triliun ($17,6 miliar). Penurunan harga jual rata-rata dan pembatasan ekspor chip AI menjadi penyebabnya.

“Kami kesulitan memprediksi performa ke depan karena ketidakpastian makroekonomi global,” ujar perwakilan Samsung. Namun perusahaan optimis kinerja akan membaik di paruh kedua 2025 jika kondisi ekonomi stabil.

Samsung Galaxy S25 Ultra, S25+ and S25 hands-on review

Samsung juga bersiap meluncurkan Galaxy S25 Edge pada 13 Mei di Korea dan 30 Mei secara global. Tak hanya itu, perusahaan berencana memperluas fitur AI “Awesome Intelligence” ke seri Galaxy A, seperti dilaporkan sebelumnya.

Dengan strategi perluasan fitur AI dan peluncuran produk baru, Samsung berharap bisa mempertahankan momentum positif ini meski menghadapi tantangan pasar yang semakin kompetitif.

Pasar Smartphone Global Hampir Stagnan di Q1 2025, Hanya Tumbuh 0,2%

0

Telset.id – Jika Anda mengira pasar smartphone global akan menunjukkan pertumbuhan signifikan di awal 2025, data terbaru dari Canalys mungkin mengejutkan. Laporan riset terbaru menunjukkan, pengiriman smartphone global hanya tumbuh tipis 0,2% year-on-year (YoY) pada kuartal pertama 2025, dengan total 296,9 juta unit terjual. Angka ini hampir tidak berubah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Canalys: Global smartphone market is in stagnation

Pertumbuhan yang nyaris datar ini disebabkan oleh dinamika regional yang saling menetralkan. Pasar seperti Tiongkok Daratan dan Amerika Serikat mencatat kenaikan sehat, tetapi diimbangi oleh penurunan di India, Eropa, serta Timur Tengah. Canalys menyoroti bahwa India, Amerika Latin, dan Timur Tengah menunjukkan tanda-tanda jenuh dalam permintaan penggantian perangkat. Padahal, kuartal sebelumnya, wilayah-wilayah ini sempat mengalami peningkatan.

“Konsumen di wilayah tersebut kini lebih enggan membeli smartphone baru,” tulis Canalys dalam laporannya. Sementara itu, Eropa menghadapi masalah kelebihan stok setelah banyak pengiriman dilakukan pada 2024, menyambut arahan eco-design Uni Eropa yang akan berlaku akhir tahun ini. Aturan baru ini mewajibkan semua produsen menyediakan perangkat yang mudah diperbaiki dan didukung pembaruan software selama beberapa tahun.

Dinamika Regional yang Berbeda

Afrika menjadi cerita berbeda dengan aktivitas ritel yang dinamis dan upaya ekspansi proaktif dari berbagai produsen. Vivo dan Honor mencatat pertumbuhan dua digit di pasar luar negeri, dengan Honor bahkan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Canalys: China smartphone market grows in Q1, Xiaomi and Huawei lead the way

Situasi di Amerika Serikat juga menarik. Produsen, terutama Apple, dikabarkan melakukan banyak pengiriman sebelum penerapan tarif “Liberation Day” untuk menghindari dampak finansial. Namun, kebijakan ini diperkirakan akan lebih memengaruhi model harga rendah, yang berpotensi mendorong kenaikan Average Selling Price (ASP) namun menyulitkan baik konsumen maupun produsen.

Persaingan Ketat di Segmen Menengah

Dari sisi pemain, Samsung mempertahankan kepemimpinannya dengan pangsa pasar 20%, diikuti Apple di posisi kedua dengan 19%—didorong oleh stok besar pada Maret. Xiaomi bertahan di peringkat ketiga (14%), sementara vivo dan Oppo menutup lima besar.

CR: Apple ruled Q1 smartphone shipments for the first time ever

Canalys mencatat bahwa merek-merek besar tetap optimis akan rebound pasar di Q2 2025. Penurunan level inventaris dan peluncuran produk baru diharapkan dapat meningkatkan kinerja pasar. Namun, persaingan di segmen menengah (US$200-US$400) semakin ketat. Selain itu, ketegangan perdagangan global yang meningkat mungkin mendorong negara-negara untuk mengembangkan manufaktur smartphone lokal, yang memerlukan investasi tambahan dan tekanan biaya.

Lalu, apakah era pertumbuhan pesat pasar smartphone sudah berakhir? Seperti dikomentari salah satu netizen, “Saya ingat ketika pasar smartphone tumbuh 30-40% per tahun. Sekarang hanya 0,2%? Ini mungkin normal baru.”

Astronot Wanita Bersiap untuk Spacewalk Langka di ISS

Telset.id – Sejarah kembali tercipta di luar angkasa. Dua astronot wanita NASA, Anne McClain dan Nichole Ayers, bersiap untuk melakukan spacewalk langka di International Space Station (ISS) pada Kamis, 30 April 2025 pukul 8 pagi waktu ET. Misi selama 6 jam 35 menit ini akan disiarkan langsung oleh NASA melalui platform digital mereka.

Spacewalk atau aktivitas ekstrakendaraan (EVA) ini bukan sekadar rutinitas. McClain dan Ayers akan memindahkan antena komunikasi stasiun, memasang braket pendukung untuk panel surya baru (IROSA), serta meningkatkan sistem daya ISS. Panel surya IROSA ini dirancang meningkatkan kapasitas pembangkit listrik ISS hingga 30%, dari 160 kilowatt menjadi 215 kilowatt.

Astronaut Nichole Ayers shows off a research incubator for biology investigations on board the ISS.

Ini akan menjadi spacewalk pertama bagi Ayers dan yang ketiga bagi McClain. Sebelumnya, hanya lima spacewalk all-woman yang pernah dilakukan di ISS. Yang pertama terjadi pada 18 Oktober 2019 oleh Christina Koch dan Jessica Meir setelah beberapa kali tertunda karena masalah ukuran baju antariksa.

Pencapaian wanita di luar angkasa memang patut diapresiasi. Seperti yang pernah kami liput dalam artikel sebelumnya, representasi wanita di misi antariksa terus meningkat. Bahkan, awal tahun ini, Suni Williams memecahkan rekor total durasi spacewalk wanita setelah menyelesaikan misi 5,5 jam di luar ISS, menjadikan total waktu spacewalk-nya 62 jam 6 menit.

Spacewalk sendiri adalah aktivitas berisiko tinggi. Astronot harus menghadapi suhu ekstrem, radiasi kosmik, dan risiko mikrometeorit. Seperti dalam kasus meteor yang nyaris menimpa seorang wanita di Bumi, bahaya dari luar angkasa memang nyata.

Misi ini juga menjadi bukti kemajuan teknologi antariksa. Dari masalah ukuran baju antariksa yang pernah menghambat spacewalk wanita pertama, kini NASA telah mengembangkan solusi yang lebih inklusif. Kini, lebih banyak astronot wanita yang bisa berkontribusi dalam misi-misi kritis di ISS.

Bagi Anda yang ingin menyaksikan momen bersejarah ini, NASA akan menyiarkannya langsung di NASA+ dan kanal YouTube resmi mereka. Jangan lewatkan kesempatan melihat langsung bagaimana para wanita tangguh ini bekerja di lingkungan paling ekstrem di alam semesta.

AI Psychiatry: Solusi Baru untuk Menganalisis Kegagalan Sistem AI

0

Telset.id – Bayangkan sebuah mobil otonom tiba-tiba berbelok tanpa alasan jelas dan menabrak. Sensor menunjukkan kamera yang rusak membuat AI salah mengartikan rambu jalan. Tapi apa penyebab sebenarnya? Apakah ini kesalahan teknis atau serangan siber? Inilah tantangan yang dihadapi para peneliti di Georgia Institute of Technology, dan mereka punya solusi revolusioner: AI Psychiatry.

Robot dalam siluet yang merepresentasikan kecerdasan buatan

David Oygenblik dan Brendan Saltaformaggio, dua ilmuwan komputer dari Georgia Tech, telah mengembangkan sistem bernama AI Psychiatry (AIP) yang mampu “membangkitkan” otak AI yang gagal untuk memahami apa yang salah. Teknologi ini menjadi penting di era dimana sistem AI semakin tertanam dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari drone pengirim obat hingga asisten digital.

“Sistem ini tidak ajaib, dan mereka tidak sempurna – mereka bisa dan memang sering gagal bekerja seperti yang dimaksudkan,” tulis para peneliti dalam artikel mereka di The Conversation. Kegagalan bisa terjadi karena desain teknis yang buruk, data pelatihan yang bias, atau kerentanan dalam kode yang dieksploitasi peretas.

Bagaimana AI Psychiatry Bekerja?

Sistem AIP menerapkan serangkaian algoritma forensik untuk mengisolasi data di balik pengambilan keputusan sistem AI. Potongan-potongan ini kemudian disusun kembali menjadi model fungsional yang bekerja identik dengan model aslinya. Investigasi bisa “menghidupkan kembali” AI di lingkungan terkontrol dan mengujinya dengan input berbahaya untuk melihat apakah menunjukkan perilaku tersembunyi.

Teknologi ini mengambil memori image – snapshot dari bit dan byte yang dimuat saat AI beroperasi. Dalam skenario mobil otonom, memori image saat kecelakaan menyimpan petunjuk penting tentang keadaan internal dan proses pengambilan keputusan AI yang mengendalikan kendaraan.

Astronot Nichole Ayers menunjukkan inkubator penelitian

Tim telah menguji AIP pada 30 model AI, 24 di antaranya sengaja diberi “backdoor” untuk menghasilkan hasil yang salah di bawah pemicu tertentu. Sistem berhasil memulihkan, menghosting ulang, dan menguji setiap model, termasuk model yang biasa digunakan dalam skenario dunia nyata seperti pengenalan rambu jalan di kendaraan otonom.

Lebih dari Sekadar Mobil Otonom

Algoritma utama AIP bersifat generik: berfokus pada komponen universal yang harus dimiliki semua model AI untuk membuat keputusan. Ini membuat pendekatan mereka mudah diperluas ke model AI apa pun yang menggunakan kerangka kerja pengembangan AI populer.

“Siapapun yang bekerja untuk menyelidiki kemungkinan kegagalan AI dapat menggunakan sistem kami untuk menilai model tanpa pengetahuan sebelumnya tentang arsitektur pastinya,” jelas para peneliti. Baik itu bot yang membuat rekomendasi produk atau sistem yang memandu armada drone otonom, AIP dapat memulihkan dan menghosting ulang AI untuk dianalisis.

Presiden Donald Trump berbicara di rapat umum

Yang menarik, AIP sepenuhnya open source dan dapat digunakan sebagai alat berharga untuk melakukan audit pada sistem AI sebelum masalah muncul. Dengan lembaga pemerintah mulai dari penegak hukum hingga layanan perlindungan anak mengintegrasikan sistem AI ke dalam alur kerja mereka, audit AI menjadi persyaratan pengawasan yang semakin umum di tingkat negara bagian.

Dengan alat seperti AIP, auditor dapat menerapkan metodologi forensik yang konsisten di berbagai platform dan penyebaran AI. Dalam jangka panjang, ini akan memberikan dividen berarti baik untuk pencipta sistem AI maupun semua orang yang terkena dampak tugas yang mereka lakukan.

Di dunia yang semakin bergantung pada AI, kemampuan untuk memahami dan memperbaiki kegagalan sistem ini menjadi semakin kritis. AI Psychiatry mungkin baru permulaan dari era baru dalam forensik digital, di mana kita tidak hanya bisa memahami bagaimana AI bekerja, tetapi juga mengapa mereka terkadang gagal.

Meta Ray-Bans Kini Lebih “Mata-Mata”, Kebijakan Privasi Diperketat

0

Telset.id – Jika Anda pengguna kacamata pintar Ray-Ban Meta, bersiaplah untuk kabar yang mungkin tidak menyenangkan. Meta baru saja memperbarui kebijakan privasi perangkat ini, membuka pintu lebih lebar untuk pengumpulan data pengguna demi melatih model AI mereka.

Mark Zuckerberg wearing Meta Ray-Bans

Menurut laporan The Verge yang dikonfirmasi Telset.id, pembaruan kebijakan yang dikirim via email pada 29 April 2025 ini menghilangkan beberapa opsi perlindungan privasi yang sebelumnya tersedia. Kini, asisten AI Meta akan selalu aktif kecuali pengguna mematikan fitur “Hey Meta” – frasa aktivasi untuk berinteraksi dengan asisten virtual.

Mata yang Selalu Terbuka

Fitur wake phrase seperti “Hey Meta” memang umum di perangkat berbasis AI. Namun, konsekuensinya adalah perangkat secara teknis selalu dalam keadaan siaga. “Ini menghilangkan hambatan fungsionalitas, tapi juga membuka realitas tidak nyaman bahwa perangkat mungkin mengumpulkan informasi bahkan ketika Anda tidak menyadarinya,” tulis AJ Dellinger dalam laporannya.

Yang lebih mengkhawatirkan, Meta kini menghapus opsi bagi pengguna untuk mencegah penyimpanan rekaman suara di server mereka. Pengguna harus menghapus rekaman secara manual jika ingin melindungi privasi sebelum rekaman tersebut kadaluarsa secara otomatis.

Data untuk Mesin AI

Motivasi di balik perubahan kebijakan ini jelas: lebih banyak data untuk melatih AI. Meta baru saja meluncurkan fitur terjemahan langsung pada Ray-Ban Meta yang mampu menerjemahkan secara real-time antara beberapa bahasa termasuk Prancis, Italia, Spanyol, dan Inggris.

Perusahaan juga baru meluncurkan aplikasi mandiri Meta AI, menandakan fokus besar mereka pada pengembangan teknologi ini. “Ini adalah arah tak terelakkan bagi perangkat dengan mikrofon dan kamera,” tulis Dellinger. “Pada titik tertentu, perusahaan pembuat akan memutuskan bahwa apa yang bisa mereka tangkap lebih berharga daripada privasi pengguna.”

image of a robot in silhouette

Meta dalam pernyataannya kepada Gizmodo menegaskan bahwa foto dan video yang disimpan di galeri pribadi tidak akan digunakan untuk pelatihan AI. Namun, “Jika Anda membagikan foto tersebut ke produk lain – misalnya Meta AI, layanan cloud, atau produk pihak ketiga – maka kebijakan produk tersebut yang akan berlaku.”

Menurut laporan sebelumnya, Meta memang sedang gencar berinvestasi di bidang AI, termasuk melakukan restrukturisasi internal dengan memangkas 5% karyawan berkinerja rendah untuk fokus pada pengembangan teknologi ini.

Masa Depan yang Mengintai

Perubahan kebijakan privasi ini memunculkan pertanyaan penting tentang batasan antara kemajuan teknologi dan hak privasi pengguna. Dengan semakin canggihnya perangkat wearable seperti Ray-Ban Meta, pengguna harus lebih kritis dalam mempertimbangkan trade-off antara kenyamanan dan keamanan data pribadi.

Sementara kompetitor seperti Apple memilih menghentikan proyek kacamata AR mereka, Meta justru semakin memperdalam integrasi AI dalam produk wearable-nya. Pertanyaannya sekarang: sejauh mana pengguna bersedia mengorbankan privasi untuk kemudahan yang ditawarkan teknologi ini?

Marc Andreessen: AI Takkan Gantikan Pekerjaan Venture Capitalist

0

Telset.id – Marc Andreessen, salah satu venture capitalist paling berpengaruh di Silicon Valley, baru-baru ini membuat pernyataan mengejutkan: menurutnya, pekerjaan sebagai venture capitalist (VC) akan menjadi salah satu profesi terakhir yang bertahan di era dominasi kecerdasan buatan (AI). Pernyataan ini muncul dalam podcast a16z, di mana Andreessen dengan yakin menyatakan bahwa AI tidak akan pernah bisa menggantikan peran manusia dalam industri modal ventura.

Andreessen, pendiri Andreessen Horowitz yang dijuluki “egg-headed” karena gaya khasnya, menjelaskan bahwa pekerjaan VC melibatkan banyak aspek psikologis yang sulit direplikasi oleh mesin. “Setiap VC hebat dalam 70 tahun terakhir melewatkan sebagian besar perusahaan besar di generasinya. VC terbaik mungkin hanya berhasil memilih 2 dari 10 perusahaan besar dalam satu dekade,” ujarnya. Menurutnya, pekerjaan ini bukan sekadar analisis data, tetapi juga membaca karakter pendiri startup dan membantu mereka bertahan di bawah tekanan.

Marc Andreessen laughing

AI vs. Intuisi Manusia

Andreessen menggambarkan pekerjaannya sebagai kombinasi unik antara analisis finansial dan terapi psikologi. “Banyak dari pekerjaan ini adalah analisis psikologis. Siapa orang-orang ini? Bagaimana reaksi mereka di bawah tekanan? Bagaimana mencegah mereka jatuh mental? Bahkan, bagaimana mencegah diri sendiri menjadi gila?” katanya sambil tertawa. Ia meyakini bahwa aspek manusiawi ini akan tetap menjadi domain manusia, bahkan ketika AI mengambil alih sebagian besar pekerjaan lain.

Namun, pernyataan ini menuai kritik. Jika AI masa depan benar-benar sekuat yang digembar-gemborkan Andreessen dan rekan-rekannya, bukankah AI juga bisa dilatih untuk menganalisis data psikologis dan mengambil keputusan investasi yang lebih baik? Lagipula, seperti yang diungkap dalam analisis sebelumnya tentang Elon Musk, teknologi seringkali melampaui prediksi manusia.

Optimisme Teknologi yang Kontroversial

Pandangan Andreessen ini konsisten dengan manifesto “Techno-Optimist” yang ia tulis beberapa tahun lalu. Dalam tulisan itu, ia menggambarkan AI dan teknologi sebagai solusi untuk hampir semua masalah manusia. Namun, kritikus menilai pandangannya terlalu naif dan dipengaruhi kepentingan bisnisnya sendiri. Bagaimanapun, Andreessen Horowitz telah berinvestasi besar-besaran di berbagai startup AI.

Robot in silhouette

Seperti yang terjadi pada gerakan startup sebelumnya, klaim tentang ketahanan profesi tertentu terhadap otomatisasi seringkali terbukti salah. Sejarah menunjukkan bahwa teknologi selalu menemukan cara untuk menggantikan pekerjaan yang dianggap “khusus” oleh manusia. Apakah VC benar-benar berbeda, atau ini sekadar bentuk penyangkalan dari seorang miliarder yang takut tergantikan?

Andreessen mungkin benar bahwa VC membutuhkan sentuhan manusia. Tapi seperti kata pepatah Silicon Valley: “Jangan pernah bilang tidak mungkin.” Jika ada yang bisa memprediksi masa depan, mungkin itu justru AI—bukan seorang VC yang melewatkan investasi di Google atau Facebook dulu.

Teleskop James Webb Temukan Planet Terdingin di Luar Tata Surya

Telset.id – Bayangkan sebuah planet yang suhunya mencapai -125° Fahrenheit (-87° Celsius), lebih dingin daripada freezer rumah Anda. Inilah WD 1856+534 b, eksoplanet terdingin yang berhasil dideteksi secara langsung oleh Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST). Penemuan ini bukan hanya memecahkan rekor, tetapi juga membuka jendela baru untuk memahami dinamika planet di sekitar bintang mati.

WD 1856 b pertama kali terdeteksi pada 2020, tetapi baru sekarang para astronom berhasil mengungkap sifat-sifat uniknya berkat kecanggihan JWST. Planet ini berukuran sebesar Jupiter tetapi enam kali lebih masif, dan yang paling mengejutkan, usianya dua kali lebih tua dari tata surya kita. “Ini seperti menemukan fosil hidup di alam semesta,” kata Dr. Mary Anne Limbach dari University of Michigan, salah satu peneliti dalam studi ini.

Konsep artistik eksoplanet WD 1856 b yang mengorbit bintang katai putih.

Mengorbit Bintang Mati di Zona Terlarang

Yang membuat WD 1856 b semakin misterius adalah lokasinya. Planet ini mengorbit sangat dekat dengan bintang katai putih (white dwarf), sisa-sisa bintang yang sudah kehabisan bahan bakar nuklir. Jaraknya hanya 0,02 unit astronomi (AU)—lebih dekat daripada Merkurius ke Matahari. Padahal, selama fase raksasa merah sebelumnya, bintang ini seharusnya melahap planet-planet di sekitarnya.

“WD 1856+534 b adalah bukti langsung bahwa planet bisa bermigrasi ke orbit dekat katai putih, termasuk zona layak huni,” tulis tim peneliti dalam makalah yang diunggah ke arXiv. Temuan ini mendukung teori bahwa beberapa planet bisa selamat dari kematian bintang induknya dan menetap di orbit baru. Seperti diungkap dalam studi sebelumnya tentang brown dwarfs, dinamika sistem bintang mati masih menyimpan banyak teka-teki.

Teknologi JWST Membuka Batas Baru

Deteksi langsung cahaya dari WD 1856 b adalah prestasi besar bagi JWST. Biasanya, cahaya bintang jauh lebih terang daripada planet yang mengorbitnya, membuat pengamatan langsung hampir mustahil. Namun, karena katai putih sangat redup, JWST bisa menangkap pancaran inframerah samar dari planet ini. Teknik ini mirip dengan yang digunakan dalam misi eksplorasi antariksa lainnya, tetapi dengan presisi yang jauh lebih tinggi.

Sebelumnya, rekor planet terdingin yang teramati langsung dipegang oleh Epsilon Indi Ab dengan suhu 2°C. WD 1856 b memecahkan rekor itu dengan selisih yang signifikan. Penemuan ini juga mengakhiri perdebatan tentang status WD 1856 b—apakah ia planet atau brown dwarf. Data JWST mengkonfirmasi bahwa massanya tidak lebih dari 5,9 kali massa Jupiter, sehingga masuk kategori eksoplanet.

Dengan kemampuan JWST, para astronom kini bisa mempelajari lebih banyak planet dingin dan matang di sekitar bintang mati. Siapa tahu, suatu hari nanti kita akan menemukan dunia yang bisa mendukung kehidupan di sekitar katai putih. Seperti yang terjadi di fenomena pencairan es Antartika, alam semesta terus menunjukkan kejutan-kejutannya.

Astronom Temukan Petunjuk Baru Planet Sembilan di Tata Surya

Telset.id – Selama puluhan tahun, para astronom berburu hantu di tepi tata surya kita. Sebuah planet raksasa yang diduga bersembunyi di balik orbit Neptunus—Planet Sembilan. Kini, tim peneliti internasional mengklaim telah menemukan petunjuk terkuat sejauh ini: sebuah objek bergerak lambat dalam data inframerah yang telah terabaikan selama beberapa dekade.

Penemuan ini bermula dari analisis data dua teleskop inframerah: IRAS milik NASA (1983) dan AKARI milik Jepang (2006-2007). Tim yang dipimpin oleh astronom Terry Long Phan dari National Tsing Hua University, Taiwan, memanfaatkan jeda 23 tahun antara kedua misi untuk melacak pergerakan objek yang sangat redup dan dingin. Hasilnya? Satu kandidat yang memenuhi kriteria Planet Sembilan.

Ilustrasi artistik Planet Sembilan di tepi tata surya

Misteri di Balik Sabuk Kuiper

Teori Planet Sembilan pertama kali mengemuka pada 2016, ketika astronom Caltech Mike Brown dan Konstantin Batygin mengamati pola aneh di Sabuk Kuiper—kumpulan benda es di luar Neptunus. Objek-objek ini mengelompok dengan cara yang hanya bisa dijelaskan oleh gravitasi sebuah planet masif yang belum terdeteksi. Perkiraan terbaru menyebut planet ini memiliki massa enam kali Bumi dan mengorbit Matahari setiap 7.400 tahun.

Namun, kandidat terbaru ini justru mengarah ke lokasi yang lebih jauh dari prediksi Brown dan Batygin. “Jika objek ini nyata, ia bukan Planet Sembilan yang kami prediksi, melainkan sesuatu yang sama sekali baru,” ujar Brown kepada Gizmodo. Spekulasi pun bermunculan: apakah ini planet kesepuluh? Atau sekadar ilusi data?

Tantangan dan Harapan ke Depan

Kendati menjanjikan, temuan ini masih menyisakan skeptisisme. Hanya dua titik data dalam rentang 23 tahun belum cukup untuk memastikan orbit objek tersebut. Bisa jadi, sinyal inframerah itu berasal dari bintang latar atau galaksi jauh yang kebetulan tertangkap dalam kedua pengamatan.

Namun, tim peneliti optimis. Mereka menyarankan observasi lanjutan menggunakan teleskop berbasis darat seperti Dark Energy Camera (DECam) di Chile. Jika terkonfirmasi, ini akan menjadi penemuan bersejarah—bukti pertama planet baru di tata surya sejak Pluto “diturunkan pangkatnya” pada 2006.

Penelitian ini juga mematahkan teori liar seperti dugaan Planet Sembilan sebagai black hole purba, karena objek tersebut memancarkan cahaya inframerah. “Ini membuka babak baru dalam pencarian planet trans-Neptunus,” tulis tim dalam makalah yang akan diterbitkan di Proceedings of the Astronomical Society of Australia.

Bagi Anda yang penasaran, Observatorium Vera Rubin yang akan beroperasi tahun depan mungkin menjadi kunci akhir misteri ini. Sementara itu, langit malam terus menyimpan rahasianya—sebuah titik cahaya redup yang mungkin mengubah peta tata surya kita selamanya.

NVIDIA Desak Trump Tinjau Ulang Kebijakan AI, Khawatir China Jadi Pesaing Berat

Telset.id – Dalam langkah yang mengejutkan, CEO NVIDIA Jensen Huang secara terbuka mendesak pemerintahan Trump untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ekspor chip AI yang akan diberlakukan mulai 15 Mei mendatang. Menurut Huang, aturan baru ini justru berpotensi mengubah China dari sekadar pasar menjadi pesaing langsung yang berbahaya bagi dominasi teknologi Amerika.

Dalam pertemuan terbatas dengan media, Huang menyatakan keprihatinannya: “Kita perlu mempercepat penyebaran teknologi AI Amerika ke seluruh dunia. Kebijakan dan dukungan pemerintah harus mendukung hal ini. Dunia telah berubah secara fundamental sejak aturan difusi AI sebelumnya dirilis.” Pernyataan ini dikutip dari wawancara eksklusif dengan Bloomberg.

Kebijakan yang Berpotensi Kontraproduktif

Aturan difusi AI yang diperkenalkan era Biden membagi negara-negara ke dalam beberapa tingkatan dengan pembatasan berbeda. Namun, kabar terbaru menyebut pemerintahan Trump berencana mengubahnya menjadi skema lisensi. Artinya, negara yang ingin mengimpor chip AI mutakhir dari AS harus mendapatkan izin khusus—sebuah langkah yang disebut sebagai “alat negosiasi” dalam perang tarif.

NVIDIA Blackwell & AMD MI325X Showdown In Latest MLPerf Inference Benchmarks

Bagi NVIDIA, kebijakan ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, perusahaan harus tunduk pada regulasi pemerintah. Di sisi lain, pasar di wilayah “tidak difavoritkan” seperti China—yang menyumbang 20% pendapatan NVIDIA—terancam menyusut drastis. Seperti dilaporkan sebelumnya, AS memang sedang memperketat ekspor chip AI ke China dengan alasan keamanan nasional.

Bangkitnya China sebagai Rival Berat

Huang mengakui bahwa pembatasan ekspor justru memicu inovasi mandiri China di sektor AI. “Huawei telah membuktikan diri mampu memproduksi chip canggih dengan sumber daya dalam negeri,” ujarnya. Ini sejalan dengan laporan China yang mulai mendominasi robotika global.

Analis teknologi Telset.id mencatat, langkah AS ini bisa menjadi bumerang. Alih-alih memperlemah China, pembatasan justru memacu mereka untuk berinovasi—seperti terlihat pada peluncuran chip Ascend 910D yang mampu menyaingi produk NVIDIA.

Dengan tenggat waktu 15 Mei yang semakin dekat, dunia menunggu keputusan akhir Trump. Apakah Amerika akan tetap mempertahankan kebijakan proteksionis, atau mendengarkan desakan pelaku industri seperti NVIDIA? Jawabannya akan menentukan peta persaingan AI global dalam dekade mendatang.

Google Perluas Audio Overviews di Gemini dengan Dukungan 50+ Bahasa

Telset.id – Bayangkan memiliki asisten pribadi yang bisa meringkas dokumen panjang menjadi podcast dalam bahasa pilihan Anda. Itulah yang kini ditawarkan Google melalui fitur Audio Overviews dalam Gemini, yang baru saja mendapat upgrade besar-besaran dengan dukungan lebih dari 50 bahasa.

Fitur yang awalnya eksklusif untuk NotebookLM ini telah menjadi lebih cerdas dan inklusif. Google tak sekadar menerjemahkan konten, tapi menciptakan pengalaman mendengarkan yang alami layaknya narator manusia. “Ini bukan sekadar text-to-speech biasa,” ujar salah satu insinyur Google dalam demo terbaru. “AI kami memahami konteks dan menekankan poin-poin penting secara dinamis.”

Audio Overview now is multilingual

Revolusi Konsumsi Konten Multibahasa

Dengan tambahan fitur output language setting, pengguna kini bisa dengan mudah beralih antar bahasa tanpa perlu mengubah dokumen sumber. Ini menjadi solusi bagi tim multinasional atau pelajar yang bekerja dengan materi dalam berbagai bahasa. Seperti yang terjadi pada program akses gratis AI untuk mahasiswa AS, Google konsisten mendemokratisasi teknologi canggih.

Cara kerjanya sederhana namun powerful:

  • Unggah dokumen ke NotebookLM atau Gemini
  • Tentukan fokus dengan pertanyaan panduan
  • Pilih bahasa output dari 50+ opsi
  • Dengarkan ringkasan audio yang dipersonalisasi

Langkah Strategis Google di Pasar AI Global

Ekspansi bahasa ini bukan keputusan random. Analis melihat ini sebagai respons terhadap strategi multibahasa YouTube dan upaya menguasai pasar emerging markets. “Dengan mengakomodasi bahasa minor sekalipun, Google membangun loyalitas pengguna di wilayah yang sering diabaikan kompetitor,” jelas Sarah Chen, pakar teknologi di MIT.

Integrasi dengan Google Workspace juga diprediksi akan segera menyusul. Bayangkan meeting notes yang langsung bisa didengarkan dalam perjalanan pulang, atau laporan keuangan yang dijelaskan dalam bahasa ibu Anda. Potensi produktivitasnya sungguh revolusioner.

Bagi yang penasaran mencoba, fitur ini sudah tersedia secara gratis dengan akun Google biasa. Cukup buka NotebookLM atau aplikasi Gemini, dan mulailah bereksperimen dengan dokumen pertama Anda. Siapa tahu, ini akan menjadi solusi bagi masalah informasi overload yang selama ini menghantui pekerja digital.

Epic Games vs Apple: Fortnite Kembali ke iOS dengan Syarat Damai

Telset.id – Pertarungan hukum antara Epic Games dan Apple yang sudah berlangsung selama lima tahun akhirnya mencapai titik terang. Setelah pengadilan memutuskan bahwa Apple melanggar perintah pengadilan tahun 2021 terkait pembatasan metode pembayaran alternatif, Epic Games mengumumkan akan membawa Fortnite kembali ke App Store minggu depan – dengan sebuah proposal perdamaian yang bisa mengubah lanskap ekonomi aplikasi seluler selamanya.

Tim Sweeney, CEO Epic Games, melalui akun Twitter-nya menyatakan kesediaan untuk mengakhiri semua litigasi jika Apple bersedia menghapus komisi 27% untuk transaksi eksternal. “Kami akan mengembalikan Fortnite ke iOS App Store AS minggu depan. Epic mengajukan proposal perdamaian: Jika Apple menerapkan kerangka bebas pajak dan bebas gesekan pengadilan secara global, kami akan mengembalikan Fortnite ke App Store di seluruh dunia dan menghentikan litigasi saat ini dan masa depan tentang topik ini,” tulis Sweeney.

Tim Sweeney mengumumkan kembalinya Fortnite ke iOS dengan syarat Apple menghapus komisi transaksi eksternal

Latar Belakang Pertikaian

Konflik ini berawal ketika Epic Games memperkenalkan sistem pembayaran alternatif di Fortnite yang menghindari komisi 30% Apple, yang langsung berujung pada penghapusan game tersebut dari App Store. Sejak saat itu, pertempuran hukum sengit terjadi di pengadilan, dengan hakim Yvonne Gonzalez-Rogers memutuskan pada 2021 bahwa Apple harus mengizinkan developer mengarahkan pengguna ke opsi pembayaran eksternal.

Namun, Apple merespons dengan tetap mengambil komisi 12-27% untuk transaksi eksternal tersebut, yang menurut pengadilan merupakan “pelanggaran sengaja” terhadap perintah pengadilan sebelumnya. Hakim Rogers dengan tegas menyatakan: “Upaya Apple yang terus-menerus untuk mengganggu persaingan tidak akan ditoleransi.”

Dampak Potensial bagi Ekosistem Aplikasi

Keputusan ini bisa menjadi pukulan telak bagi model bisnis Apple yang selama ini mengandalkan komisi dari transaksi dalam aplikasi. Dengan diperbolehkannya developer mengarahkan pengguna ke pembayaran eksternal tanpa komisi, pendapatan layanan Apple yang saat ini menyumbang seperempat total pendapatannya bisa terpukul signifikan.

Namun di sisi lain, ini bisa menjadi angin segar bagi developer yang selama ini merasa terbebani oleh komisi tinggi Apple. “Ini kemenangan besar bagi developer dan konsumen,” komentar seorang analis industri game. “Developer sekarang punya lebih banyak kebebasan dalam mengelola monetisasi aplikasi mereka.”

Kasus ini juga telah dirujuk ke Jaksa Amerika Serikat untuk Distrik Utara California untuk menyelidiki apakah proses pidana atas penghinaan terhadap pengadilan layak dilakukan terhadap Apple – sebuah perkembangan yang menunjukkan betapa seriusnya pengadilan memandang pelanggaran ini.

Sekarang, bola ada di tangan Apple. Perusahaan asal Cupertino ini harus memutuskan apakah akan menerima proposal damai Epic Games dan mengubah kebijakan komisinya secara global, atau melanjutkan pertarungan hukum yang sudah menelan waktu dan biaya besar ini. Apapun keputusannya, dampaknya akan terasa di seluruh ekosistem aplikasi mobile.

Taksi Listrik Pertama di Dunia dengan Pilot Sukses Terbang, Siap Meluncur di Dubai

0

Telset.id – Bayangkan bisa mengejar waktu dengan terbang melintasi kemacetan ibukota. Mimpi itu semakin dekat menjadi kenyataan setelah Joby Aviation, perusahaan asal California, mencatat sejarah dengan menerbangkan taksi listrik pertama di dunia yang dikemudikan pilot.

Pada 22 April 2025, prototipe S4 milik Joby menyelesaikan uji terbang penuh: lepas landas vertikal seperti helikopter, beralih ke mode penerbangan horizontal, lalu mendarat secara vertikal—semua dalam satu sistem tilt-rotor. Pencapaian ini menempatkan Joby di posisi terdepan dalam perlombaan mengoperasikan layanan taksi udara listrik (eVTOL) komersial pertama.


Prototipe S4 Joby Aviation saat uji terbang

Desain Revolusioner untuk Transportasi Masa Depan

S4 bukanlah eVTOL biasa. Dengan enam rotor yang bisa dimiringkan, pesawat ini dirancang untuk operasi komersial nyata. Keunggulannya mencakup kecepatan hingga 322 km/jam, jarak tempuh 241 km, dan ketinggian operasional 5.000 meter. Sejak 2017, prototipe ini telah menempuh lebih dari 64.000 km dalam uji terbang tanpa awak.

“Pencapaian ini sangat signifikan bagi Joby,” ujar Didier Papadopolous, Presiden Aircraft OEM Joby. “Ini membuktikan keandalan desain kami sekaligus membuka jalan untuk uji terbang bersama FAA.”

Jalan Panjang Menuju Komersialisasi

Industri eVTOL telah menyaksikan banyak startup yang gagal memenuhi janji mereka. Namun, Joby tampaknya belajar dari kesalahan pesaing. Perusahaan ini mengambil pendekatan bertahap sejak didirikan pada 2009, dengan fokus pada pengujian intensif sebelum beralih ke penerbangan berawak.

Kini, dengan dukungan Angkatan Udara AS dan proses sertifikasi FAA yang sedang berjalan, Joby menargetkan peluncuran layanan komersial di Dubai pada akhir 2025. Tiga pilot berbeda telah menguji S4 dalam serangkaian penerbangan transisi sejak kesuksesan awal April lalu.

Ilustrasi taksi terbang di kota masa depan

Langkah berikutnya adalah uji terbang dengan pilot FAA untuk memvalidasi keamanan dan kinerja dalam kondisi operasional nyata. Jika semua berjalan lancar, kita mungkin akan melihat taksi listrik Joby melayani penumpang dalam waktu dekat—mengubah cara kita berpikir tentang transportasi perkotaan.