Beranda blog Halaman 84

Samsung Galaxy S25 Edge Bocor: Kamera 200MP & Desain Ultra Slim Siap Guncang Pasar

Telset.id – Jika Anda mengira smartphone flagship 2025 hanya akan bermain di zona aman dengan peningkatan inkremental, bersiaplah terkejut. Bocoran terbaru mengungkap Samsung Galaxy S25 Edge akan membawa revolusi desain dan fotografi yang belum pernah dilihat sebelumnya. Dengan bodi setipis 5.8mm dan kamera utama 200MP, apakah ini jawaban atas impian penggemar teknologi?

Setelah pertama kali diumumkan di acara Galaxy Unpacked Januari lalu, S25 Edge kini kembali memanas dengan bocoran spesifikasi kameranya. Menurut sumber terpercaya, ponsel ini akan menggunakan sensor utama 200MP berukuran 1/1.3 inci – sama persis dengan yang dipakai Galaxy S25 Ultra. Padahal, ketebalan bodinya hanya 5.8mm berkat frame titanium yang ringan namun kokoh.

Galaxy S25 Edge tampilan lebar dengan desain ultra slim

Kamera 200MP di Bodi Tipis: Kompromi atau Terobosan?

Spesifikasi kamera S25 Edge memang menarik perhatian. Sensor utama 200MP-nya menjanjikan kualitas foto yang setara dengan varian Ultra, termasuk kemampuan zoom 2x yang tajam meski tanpa lensa telefoto khusus. Namun, pilihan Samsung untuk mempertahankan kamera ultrawide 12MP (1/2.55″) alih-alih mengadopsi sensor 50MP seperti di S25 Ultra menuai pro-kontra.

“Ini jelas pilihan desain yang disengaja,” jelas seorang analis industri yang enggan disebutkan namanya. “Dengan ketebalan hanya 5.8mm, Samsung harus memilih antara menjejalkan lebih banyak hardware atau mempertahankan elegannya desain. Mereka memilih yang terakhir.”

Perbandingan kamera ultrawide Galaxy S25 Edge dengan varian Ultra

Dapur Pacu Tangguh di Balik Bodi Ramping

Jangan terkecoh dengan desainnya yang ramping. S25 Edge dikabarkan akan ditenagai Snapdragon 8 Elite chipset terbaru Qualcomm, didukung RAM 12GB. Layar AMOLED 6.66 inci dengan refresh rate 120Hz dan kecerahan hingga 2,600 nits menjanjikan pengalaman visual yang memukau.

Namun, baterai 3,900mAh mungkin menjadi titik lemah, terutama dengan chipset sekuat itu. “Pendinginan akan menjadi tantangan utama,” ungkap seorang insinyur yang familiar dengan desain ponsel tipis. “Tanpa ruang yang cukup untuk sistem pendingin canggih, performa maksimal mungkin tidak bisa dipertahankan dalam waktu lama.”

Galaxy S25 Edge rencananya akan diluncurkan secara online pada 13 Mei 2025, dengan rilis di Korea Selatan dan China pada 23 Mei. Pasar global termasuk AS akan menyusul pada 30 Mei. Dengan harga sekitar $1,099 (Rp17 jutaan), ponsel ini menempati posisi antara S25+ dan Ultra dalam lini produk Samsung.

Pertanyaan besarnya: Akankah kombinasi desain ultra-slim dan kamera 200MP ini cukup untuk mengalahkan pesaing seperti iPhone 17 Air yang mengusung pendekatan single-lens? Atau justru kompromi di bagian kamera ultrawide akan menjadi batu sandungan? Jawabannya akan segera kita dapatkan dalam beberapa minggu ke depan.

ChatGPT Bisa Bikin Action Figure Mirip Anda, Tapi Hati-Hati dengan Privasi

0

Telset.id – Anda mungkin sudah melihat tren terbaru di media sosial: action figure yang dibuat menggunakan ChatGPT dengan wajah persis seperti pemiliknya. Mulai dari cangkir kopi favorit hingga headphone kesayangan, detailnya begitu personal dan mengagumkan. Tapi tahukah Anda bahwa di balik keseruan ini, ada risiko privasi yang patut diwaspadai?

Fenomena ini dimungkinkan berkat GPT-4o, model terbaru OpenAI yang mampu menghasilkan gambar dengan presisi tinggi. Tak hanya action figure, ChatGPT juga bisa mengubah foto Anda menjadi karakter ala Studio Ghibli—sebuah tren yang langsung viral. Prosesnya pun sederhana: cukup unggah foto, dan dalam hitungan detik, Anda mendapatkan versi animasi atau action figure diri sendiri. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Tom Vazdar, pakar keamanan siber dari Open Institute of Technology, setiap unggahan foto membawa serta metadata yang mungkin tak Anda sadari.

Data Tersembunyi di Balik Unggahan Foto

Setiap kali Anda mengunggah gambar ke ChatGPT, platform ini tidak hanya memproses wajah Anda. Metadata seperti waktu pengambilan foto, lokasi GPS, bahkan jenis perangkat yang digunakan turut terekam. Camden Woollven dari GRC International Group menambahkan, foto resolusi tinggi bisa mengungkap latar belakang, dokumen, atau bahkan orang lain di sekitar Anda. “Ini adalah tambang emas untuk melatih model generatif AI,” kata Vazdar.

OpenAI menyangkal bahwa tren ini sengaja dibuat untuk mengumpulkan data pengguna. Namun, seperti dilaporkan dalam artikel Telset sebelumnya, perusahaan terus memperluas kemampuan AI-nya dengan data yang diberikan secara sukarela oleh pengguna. Meskipun OpenAI mengklaim tidak menggunakan data pribadi untuk iklan atau profil pengguna, kebijakan privasinya memperbolehkan penggunaan unggahan untuk pelatihan model.

Perlindungan Data di Berbagai Negara

Di Eropa dan Inggris, GDPR memberikan hak kepada pengguna untuk meminta penghapusan data mereka. Namun, Melissa Hall dari firma hukum MFMac menjelaskan bahwa foto yang diubah menjadi versi kartun belum tentu termasuk data biometrik yang dilindungi. Sementara di AS, perlindungan bervariasi antarnegara bagian. “California dan Illinois punya regulasi ketat, tapi tidak ada standar nasional,” ujar Annalisa Checchi dari Ionic Legal.

Lalu, bagaimana melindungi diri? Vazdar menyarankan untuk mematikan riwayat obrolan di ChatGPT dan menghapus metadata sebelum mengunggah foto. Anda juga bisa menggunakan avatar digital alih-alih foto asli. Seperti yang diulas dalam panduan edit foto di Microsoft Edge, ada banyak cara untuk mengaburkan informasi sensitif sebelum dibagikan ke platform AI.

Jadi, sebelum ikut-ikutan tren action figure atau gaya Studio Ghibli, pertimbangkan baik-baik apa yang Anda korbankan. Sebab, sekali data itu diunggah, sulit untuk menariknya kembali.

Robot Humanoid Atlas Boston Dynamics Siap Bekerja di Pabrik Hyundai

0

Telset.id – Bayangkan sebuah robot humanoid yang mampu mengangkat beban berat, berjalan dengan lincah di lingkungan pabrik, dan bekerja tanpa lelah seperti manusia—tapi dengan kekuatan super. Inilah visi yang akan segera menjadi kenyataan, karena Boston Dynamics bersiap mengerahkan Atlas, robot humanoid terbarunya, di pabrik Hyundai sebelum akhir tahun ini.

Atlas bukanlah robot biasa. Evolusi dari model hidrolik legendaris yang memukau dunia melalui video-viral sejak 2013, versi terbaru ini bertenaga listrik dan dirancang untuk menjadi lebih kuat dan andal dibandingkan pekerja manusia. “Robot ini akan melakukan hal-hal yang sulit bagi manusia,” ujar Kerri Neelon, juru bicara Boston Dynamics, seperti dikutip Telset.id. “Seperti mengangkat benda sangat berat atau membawa barang yang canggung untuk dipegang manusia.”

Revolusi Robot Humanoid di Industri

2025 diprediksi menjadi tahun di mana robot humanoid serba guna—yang sebelumnya hanya hidup di lab penelitian—akhirnya memasuki dunia komersial. Sebelum Atlas, beberapa robot seperti Digit dari Agility Robotics dan Figure dari perusahaan bernama sama telah mencicipi dunia kerja nyata di gudang dan fasilitas logistik. Bahkan raksasa teknologi seperti Apple dan Meta dikabarkan sedang mengembangkan robot humanoid untuk konsumen.

Laporan Goldman Sachs 2024 memperkirakan pasar robot humanoid akan mencapai $38 miliar pada 2035—naik lebih dari enam kali lipat dari proyeksi sebelumnya. Nilai utamanya terletak pada fleksibilitas: robot-robot ini dirancang untuk beralih antar-tugas layaknya manusia, berbeda dengan otomasi tradisional yang terbatas pada satu fungsi spesifik.

Tantangan dan Peluang di Balik Teknologi Canggih

Namun, jalan menuju adopsi massal tidak mulus. Tesla Optimus, misalnya, menuai kritik setelah demo Oktober lalu mengungkapkan bahwa robot-robot tersebut masih dikendalikan manusia. Elon Musk sendiri mengakui kendala produksi akibat pembatasan ekspor logam tanah jarang oleh China.

Salah satu tantangan terbesar adalah mengajari robot berbagai tugas baru. Di sinilah kecerdasan buatan (AI) berperan. Kemajuan pesat model bahasa besar (LLM) seperti Gemini Robotics dari Google DeepMind memungkinkan robot belajar lebih cepat dan beradaptasi dengan situasi baru. “Bayangkan sebuah robot di toko perlengkapan yang bisa mengatur palet, membersihkan, menata rak, dan memeriksa inventaris—semua dalam satu hari,” kata Jonathan Hurst dari Agility Robotics.

Namun, keandalan tetap menjadi pertanyaan. Chris Atkeson dari Carnegie Mellon University mengingatkan risiko kegagalan sistem: “Bagaimana jika suatu pagin pemilik toko menemukan semua barang berantakan di lantai, atau malah terjadi kebakaran?”

Meski demikian, optimisme tetap tinggi. “Lima tahun lalu, saya akan bilang ini mustahil,” akui Atkeson. “Tapi dengan LLM, kita telah membuat lompatan besar dalam ‘akal sehat’ robot. Mungkin kita hampir sampai.”

Dengan Atlas dan generasi baru robot humanoid lainnya, dunia industri—dan mungkin kehidupan sehari-hari—akan segera berubah. Pertanyaannya bukan lagi “apakah” tapi “kapan” robot-robot ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tenaga kerja global.

AI Ciptakan Kode Berbahaya: Ancaman Baru bagi Keamanan Software

0

Telset.id – Jika Anda berpikir kode yang dihasilkan AI selalu aman dan andal, siap-siap terkejut. Penelitian terbaru mengungkap bahwa kode buatan AI sering kali mengandung referensi ke pustaka pihak ketiga yang tidak ada, membuka peluang besar bagi serangan berbahaya pada rantai pasok perangkat lunak.

Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Texas di San Antonio menemukan bahwa dari 576.000 sampel kode yang dihasilkan oleh 16 model bahasa besar (LLM), sebanyak 440.000 dependensi yang terkandung di dalamnya ternyata “berhalusinasi”—artinya, mereka merujuk pada pustaka yang tidak ada. Fenomena ini, yang disebut sebagai “package hallucination”, menjadi ancaman serius bagi keamanan perangkat lunak modern.

Dependensi Palsu: Pintu Masuk Serangan Berbahaya

Dependensi adalah komponen penting dalam pengembangan perangkat lunak modern. Mereka memungkinkan pengembang untuk menggunakan kode yang sudah ada tanpa harus menulis ulang dari awal. Namun, ketika AI menghasilkan referensi ke dependensi yang tidak ada, hal ini menciptakan celah keamanan yang bisa dimanfaatkan oleh penjahat siber.

Joseph Spracklen, mahasiswa PhD yang memimpin penelitian ini, menjelaskan: “Begitu penyerang menerbitkan paket dengan nama yang dihalusinasikan dan menyisipkan kode berbahaya, mereka bisa menunggu pengguna yang tidak curiga menginstalnya. Jika pengguna mempercayai output AI tanpa verifikasi, payload berbahaya akan dieksekusi di sistem mereka.”

Package Hallucination: Masalah yang Berulang

Yang lebih mengkhawatirkan, penelitian ini menemukan bahwa 58% dari nama paket yang dihalusinasikan muncul lebih dari sekali dalam 10 iterasi. Artinya, halusinasi ini bukan kesalahan acak, melainkan pola yang konsisten. Penyerang bisa memanfaatkan pola ini dengan menerbitkan paket berbahaya menggunakan nama-nama yang sering dihalusinasikan oleh AI.

Fenomena ini mengingatkan pada serangan “dependency confusion” yang pertama kali didemonstrasikan pada 2021. Serangan tersebut berhasil mengeksekusi kode palsu di jaringan perusahaan-perusahaan besar seperti Apple, Microsoft, dan Tesla. Kini, dengan maraknya penggunaan AI untuk menghasilkan kode, ancaman ini menjadi semakin nyata.

Perbedaan Antara Model Komersial dan Open Source

Penelitian ini juga mengungkap perbedaan mencolok antara model AI komersial dan open source. Model open source seperti CodeLlama dan DeepSeek menghasilkan hampir 22% package hallucination, sementara model komersial hanya sekitar 5%. Selain itu, kode JavaScript cenderung lebih banyak mengandung halusinasi (21%) dibandingkan Python (16%).

Spracklen menjelaskan bahwa perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kompleksitas ekosistem JavaScript yang memiliki sekitar 10 kali lebih banyak paket dibanding Python. “Dengan lanskap paket yang lebih besar dan kompleks, model menjadi lebih sulit untuk mengingat nama paket tertentu secara akurat,” ujarnya.

Sebagaimana dilaporkan dalam OpenAI Rilis ChatGPT Model “o1” dengan Akurasi Lebih Tinggi, upaya untuk meningkatkan akurasi AI terus dilakukan. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa masalah halusinasi masih menjadi tantangan besar.

Dengan prediksi bahwa 95% kode akan dihasilkan oleh AI dalam lima tahun mendatang, seperti yang diungkapkan oleh CTO Microsoft Kevin Scott, temuan ini menjadi peringatan keras bagi para pengembang. Sebelum benar-benar mempercayai kode yang dihasilkan AI, verifikasi manual terhadap setiap dependensi tetap menjadi keharusan.

Seperti yang terjadi pada kasus AI Ciptakan Kebijakan Palsu, ketergantungan berlebihan pada teknologi AI tanpa pengawasan manusia bisa berakibat fatal. Kini, lebih dari sebelumnya, kolaborasi antara kecerdasan buatan dan keahlian manusia menjadi kunci untuk menciptakan perangkat lunak yang aman dan andal.

Vivo Y19 5G Resmi Meluncur di India dengan Baterai Tahan Lama dan Fitur AI

0

Telset.id – Lima tahun setelah kehadiran pendahulunya, vivo akhirnya meluncurkan generasi terbaru Y19 dengan dukungan 5G. Tidak sekadar upgrade jaringan, smartphone ini hadir dengan sejumlah fitur menarik, termasuk ketahanan baterai yang mengesankan dan optimasi berbasis AI.

Perbedaan utama antara vivo Y19 5G dan varian 2019 terletak pada dukungan jaringan generasi kelima serta peningkatan signifikan di sektor performa. Mengusung chipset MediaTek Dimensity 6300, perangkat ini menjanjikan efisiensi daya yang lebih baik berkat fabrikasi 6nm.

vivo details all of the AI features baked in to FunTouch OS 15

Spesifikasi yang Menarik Perhatian

Layar 6,74 inci dengan refresh rate 90Hz menjadi salah satu sorotan utama. Meski masih menggunakan panel LCD dengan resolusi HD+, kombinasi ini cukup memadai untuk penggunaan sehari-hari. Dari segi kamera, vivo memilih konfigurasi sederhana dengan sensor utama 13MP didampingi lensa dekoratif 0,08MP.

Yang patut diperhatikan adalah kapasitas baterai 5.500mAh dengan klaim ketahanan luar biasa. Menurut vivo, baterai ini masih akan mempertahankan lebih dari 80% kapasitasnya setelah 1.600 siklus pengisian penuh. Artinya, pengguna bisa lebih tenang mengenai degradasi baterai dalam jangka panjang.

Fitur AI dan Harga Terjangkau

Berjalan di atas Android 15 dengan antarmuka Funtouch OS 15, vivo Y19 5G menyertakan beberapa fitur berbasis kecerdasan buatan seperti AI Erase untuk menghapus objek yang tidak diinginkan dari foto, AI Photo Enhance untuk meningkatkan kualitas gambar secara otomatis, serta AI Documents untuk pemindaian dokumen yang lebih cerdas.

vivo X200 FE now rumored to be on its way as a variation of an existing model

Dari segi harga, vivo menjaga posisinya di segmen menengah bawah dengan banderol mulai Rp1,9 juta untuk varian 4GB/64GB. Varian tertinggi dengan RAM 6GB dan penyimpanan 128GB dibanderol Rp2,3 juta. Menariknya, pembeli bisa mendapatkan varian tertinggi ini dengan pembayaran cicilan 0% selama tiga bulan.

Dengan spesifikasi ini, vivo Y19 5G tampaknya ditujukan untuk konsumen yang mengutamakan ketahanan baterai dan pengalaman dasar yang mumpuni, ketimbang performa high-end. Keberadaannya melengkapi lini produk vivo di segmen entry-level 5G, bersaing langsung dengan produk sejenis dari merek lain.

Bocoran Sony Xperia 1 VII: Snapdragon 8 Elite dan Android 15 Terungkap

0

Telset.id – Jika Anda penggemar setia Sony Xperia, bersiaplah untuk kejutan terbaru. Xperia 1 VII, penerus seri flagship Sony, telah muncul dalam bocoran Geekbench, mengungkap spesifikasi intinya. Kabar ini bukan lagi sekadar rumor, melainkan fakta yang terverifikasi melalui benchmark resmi.

Prototipe Xperia 1 VII tercatat menjalani tes Geekbench pada awal Mei 2025. Hasilnya? Smartphone ini dipastikan menggunakan Snapdragon 8 Elite, chipset terbaru Qualcomm yang juga menjadi andalan banyak flagship 2025. Dibekali RAM 12GB dan sistem operasi Android 15, Xperia 1 VII siap bersaing ketat di pasar premium. Seperti biasa, Sony tetap konsisten dengan strateginya: selalu memilih chipset Snapdragon paling mutakhir.

Sony Xperia 1 VII runs Geekbench, confirming its chipset, RAM amount, and Android version

Desain yang Tak Banyak Berubah

Bocoran sebelumnya berupa render berbasis CAD menunjukkan desain Xperia 1 VII yang nyaris identik dengan pendahulunya, Xperia 1 VI. Sony tampaknya tetap teguh dengan bahasa desain uniknya, meski beberapa brand lain berlomba mengusung perubahan radikal. Dimensinya pun hanya berbeda tipis: 161.9 x 74.5 x 8.5mm (lebih pendek 0.1mm, lebih lebar 0.3mm, dan lebih tebal 0.2mm dibanding Xperia 1 VI). Layar tetap dipertahankan pada ukuran 6.5 inci.

Konsistensi desain ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, loyalis Xperia akan merasa familiar. Di sisi lain, inovasi visual yang minim berisiko membuat calon pembeli beralih ke pesaing seperti iPhone 16 atau Vivo X100 Pro yang menawarkan perubahan lebih signifikan.

Kamera dan Fitur Tambahan

Meski benchmark tidak mengungkap detail kamera, Sony dikenal sebagai penyedia sensor kamera terbaik di industri. Kabar terbaru menyebutkan bahwa Xperia 1 VII mungkin akan menggunakan sensor 200MP baru buatan Sony sendiri. Jika benar, ini bisa menjadi senjata pamungkas untuk bersaing dengan legenda kamera smartphone seperti Xperia Z1 Compact di masanya.

Sony allegedly working on a big 200 MP sensor for main cameras

Dari sisi software, kehadiran Android 15 menjanjikan optimasi performa dan fitur baru. Sony juga dikenal rajin memberikan update sistem operasi, seperti yang terlihat pada Xperia 10 VI, Xperia 10 V, dan Xperia 5 V yang sudah menerima Android 15 lebih dulu.

Lalu, kapan Xperia 1 VII resmi diluncurkan? Berdasarkan pola perilisan sebelumnya (Xperia 1 VI rilis Mei 2024), besar kemungkinan Sony akan mengumumkannya dalam beberapa minggu ke depan. Harga? Siap-siap merogoh kocek dalam-dalam, karena flagship Sony selalu masuk kategori premium.

Qualcomm dan Samsung Kolaborasi di Snapdragon 8 Elite Generasi Kedua

0

Telset.id – Jika Anda mengira persaingan chipset mobile hanya didominasi oleh TSMC, bocoran terbaru ini mungkin akan mengubah perspektif Anda. Qualcomm dikabarkan telah menjalin kerja sama dengan Samsung Foundry untuk memproduksi Snapdragon 8 Elite generasi kedua menggunakan teknologi 2nm. Namun, ini bukan sekadar kerja biasa—ini adalah langkah strategis yang bisa mengubah peta persaingan industri semikonduktor.

Menurut laporan eksklusif dari publikasi Korea Sedaily, Qualcomm akan menggunakan pendekatan dual sourcing untuk chipset andalannya ini. Selain memproduksi di Samsung Foundry dengan node 2nm, Qualcomm juga tetap mempertahankan TSMC sebagai mitra produksi dengan node 3nm. Keputusan ini menunjukkan kepercayaan besar terhadap kemampuan Samsung dalam memproduksi chipset kelas tinggi, sekaligus menjaga stabilitas pasokan.

The evolution of transistor design

Dampak Langsung pada Produk Samsung

Produksi chipset Snapdragon 8 Elite generasi kedua di Samsung Foundry akan dilakukan di pabrik Hwaseong S3, dengan kapasitas awal mencapai 1.000 wafer 12 inci per bulan. Namun, jangan berharap chipset ini akan menghiasi Galaxy S26—jadwal produksi yang dimulai pada paruh kedua 2025 kemungkinan besar akan membuatnya lebih cocok untuk seri Galaxy Z Fold8, Z Flip8, atau bahkan tablet Tab S11.

Menariknya, ini bukan satu-satunya kolaborasi antara kedua raksasa teknologi ini. Qualcomm juga dikabarkan telah merancang chipset 4nm khusus untuk headset XR (eXtended Reality) yang akan digunakan dalam proyek rahasia Samsung, Project Moohan. Proyek ini dijadwalkan rilis akhir tahun ini, sementara dua proyek XR lainnya—Project Haean dan Project Jinju—masih menyimpan misteri terkait chipset yang akan digunakan.

Ekspansi Samsung Foundry dan Tantangan ke Depan

Dengan total kapasitas produksi 7.000 wafer 12 inci di node 2nm, kerja sama dengan Qualcomm ini baru memanfaatkan sekitar 15% dari kapasitas Samsung Foundry. Namun, sumber dalam industri menyebutkan bahwa ini adalah langkah penting untuk membangun kepercayaan di pasar foundry, yang selama ini didominasi TSMC. “Ini adalah pengakuan atas kemajuan teknologi Samsung dalam node 2nm,” ujar seorang analis yang enggan disebutkan namanya.

Namun, pertanyaan besar tetap menganga: bagaimana dengan Exynos 2600? Bocoran terbaru menyebutkan bahwa chipset ini akan “pasti” digunakan di Galaxy S26, tapi apakah semua varian S26 akan mengadopsi Exynos? Jawabannya tergantung pada ketersediaan Snapdragon 8 Elite generasi kedua yang diproduksi TSMC. Jika TSMC bisa memenuhi permintaan lebih awal, bukan tidak mungkin Samsung akan kembali menggunakan strategi dual-chipset seperti di masa lalu.

Qualcomm Snapdragon 8 Elite 2 has its AnTuTu score leaked

Qualcomm dijadwalkan mengumumkan Snapdragon 8 Elite generasi kedua pada Oktober mendatang. Saat itulah kita akan mendapatkan gambaran lebih jelas tentang performa, efisiensi, dan tentu saja—strategi pricing yang akan mereka terapkan. Sementara itu, Samsung Foundry terus berbenah, berharap bisa merebut lebih banyak klien di tengah persaingan sengit dengan TSMC.

Lalu, bagaimana dengan masa depan chipset buatan Samsung? Dengan kolaborasi ini, apakah kita akan melihat perubahan persepsi pasar terhadap kualitas chipset produksi Samsung? Jawabannya mungkin akan kita dapatkan dalam beberapa bulan ke depan, ketika produk-produk pertama dengan chipset 2nm ini mulai diuji di dunia nyata.

Aplikasi Kencan Online Makin Membosankan, AI Jadi Solusi?

0

Telset.id – Pernah merasa percakapan di aplikasi kencan seperti memukul kepala ke tembok? Anda tidak sendirian. Pada September 2023, Adam Raines—seorang pengguna gay berusia 25 tahun dari Inggris—membagikan keluhannya di Reddit tentang betapa membosankannya obrolan di platform kencan online. Screenshot percakapan Tinder-nya yang kering seperti gurun menjadi bukti nyata fenomena ini.

Dating App Fatigue: Epidemi Digital Generasi Z

Raines bukan satu-satunya yang frustrasi. Ribuan komentar di thread Reddit-nya mengkonfirmasi gejala “dating app fatigue”: obrolan terasa seperti tugas, jarang berujung ketemuan, dan sensasi swipe sudah kehilangan daya tariknya. Seperti yang diungkapkan salah satu komentator, “Banyak pria sudah terlalu lelah dengan pengalaman buruk di aplikasi kencan sehingga mereka hanya mencari validasi seadanya.”

Fakta ini didukung data dari The Survey Center on American Life: hanya 56% Gen Z yang pernah pacaran di masa remaja, jauh di bawah Baby Boomers (78%) dan Gen X (76%). Laporan Hinge 2024 juga mengungkap bahwa pengguna Gen Z 47% lebih mungkin merasa gugup berbicara dengan orang baru pasca-pandemi.

AI Jadi Guru Flirting?

Menanggapi krisis komunikasi ini, raksasa kencan online mulai berinovasi dengan AI. Maret lalu, Tinder meluncurkan “The Game Game”—simulator flirting berbasis OpenAI yang menempatkan pengguna dalam skenario romantis hiper-spesifik. Fitur ini menganalisis respons vokal pengguna dan memberi saran seperti “tunjukkan antusiasme” atau “ceritakan lebih banyak tentang hobi”.

Grindr tak ketinggalan. Mereka sedang menguji “AI Wingman” yang bisa menyusun pesan witty untuk pengguna, bekerja sama dengan Amazon dan Anthropic. Sementara Bumble menghadirkan “Instant Match” berbasis QR code untuk menghindari obrolan canggung.

Tapi apakah solusi AI ini efektif? Raines skeptis: “Saya ragu model bahasa bot cukup realistis untuk mengajarkan seni flirting.” Tanggapan netizen juga pedas. Salah satu komentar di X menyindir, “Ini hal paling menyedihkan yang pernah kulihat.”

Akankah Manusia Kembali ke Cara Lama?

Di luar algoritma, para pelatih kencan seperti Emyli Lovz melihat lonjakan permintaan pelatihan komunikasi offline. “Banyak klien pria takut dianggap creepy. Mereka butuh latihan di lingkungan bebas penilaian,” ujarnya. Menurut Lovz, pandemi memperparah isolasi sosial yang sudah dimulai oleh ketergantungan pada aplikasi.

Ari Brown, pakar hubungan dari Hinge, menyarankan Gen Z untuk “masuk ke mode cringe”—menerima risiko terlihat kikuk sebagai bagian dari proses belajar. Kampanye “One More Hour” Hinge bahkan menyertakan panduan langkah demi langkah untuk memulai percakapan di dunia nyata.

Dua tahun setelah thread Reddit-nya viral, Raines mengaku belum pernah ketemu siapa pun dari aplikasi kencan. “Fitur AI mungkin membantu rasa percaya diri, tapi tidak menyelesaikan masalah mendasar,” tutupnya. Sepertinya, solusi sejati mungkin terletak pada keberanian untuk meletakkan ponsel—dan mulai berbicara secara langsung.

Mahasiswa Tanpa Pengalaman Pemerintahan Gunakan AI untuk Reformasi Regulasi HUD

0

Telset.id – Bayangkan seorang mahasiswa tingkat tiga tanpa pengalaman pemerintahan diberi tugas memimpin reformasi regulasi di salah satu lembaga federal AS menggunakan kecerdasan buatan (AI). Itulah yang terjadi pada Christopher Sweet, yang kini bekerja untuk Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan AS (HUD) di bawah tim Elon Musk bernama “Department of Government Efficiency” (DOGE).

Sweet, yang masih tercatat sebagai mahasiswa ekonomi dan ilmu data di University of Chicago, diperkenalkan kepada staf HUD sebagai “asisten khusus” dengan fokus utama menggunakan AI untuk meninjau ulang regulasi agensi tersebut. Menurut email internal yang bocor ke WIRED, Sweet disebut sebagai “analis kuantitatif pemrograman AI” yang bertugas mengidentifikasi aturan yang dinilai “terlalu ketat” dan mengusulkan revisi.

AI sebagai Alat Deregulasi Massal

Sweet dikabarkan telah membuat spreadsheet berisi ribuan rekomendasi AI untuk menyederhanakan regulasi HUD, terutama di bidang Perumahan Publik dan Indian (PIH). AI tersebut menganalisis kesesuaian aturan dengan undang-undang dasar, lalu memberi skor “ketidakpatuhan” dalam persentase—meski metode penghitungannya masih misterius. Staf PIH diminta meninjau usulan AI dan memberikan sanggahan jika tidak setuju.

Proyek ini sejalan dengan Project 2025, dokumen kebijakan era Trump yang mendorong deregulasi besar-besaran di berbagai sektor, termasuk perumahan. Seorang sumber di HUD mengaku skeptis: “Ini gila—mengandalkan AI untuk mengubah regulasi. Tapi setidaknya masih ada manusia yang memverifikasi.

Profil Misterius Sang “Whiz Kid”

Sweet hampir tidak memiliki jejak digital, kecuali akun GitHub yang menampilkan proyek analisis beban regulasi pemerintah federal. Ia juga tercatat sebagai pendiri East Edge Securities, firma investasi mahasiswa, dan pernah magang di beberapa perusahaan ekuitas swasta. Yang menarik, Substack-nya mengikuti newsletter Marc Andreessen—miliarder Silicon Valley yang kerap memberi masukan ke tim Trump.

Kehadiran DOGE di HUD sendiri menuai kontroversi. Bulan lalu, anggota kongres Maxine Waters menuduh tim Musk “menyusup ke agensi perumahan, memecat staf ilegal, dan mengakses data sensitif, termasuk korban kekerasan seksual.”

Lantas, bagaimana AI bisa mengubah wajah birokrasi? Seperti laptop gaming ASUS ROG yang mengoptimalkan aplikasi AI, teknologi ini menjanjikan efisiensi. Namun, tanpa transparansi dan pengawasan, risiko kesalahan algoritmik atau bias kebijakan bisa mengancam hak publik.

Sweet menolak berkomentar, sementara HUD enggan menjelaskan perannya. Yang jelas, kasus ini menjadi ujian nyata seberapa jauh AI boleh mengambil alih proses demokratis seperti pembuatan regulasi.

Startup AI Ini Ubah Cara Pelatihan Model Bahasa Besar Secara Global

0

Telset.id – Jika Anda mengira pelatihan model kecerdasan buatan (AI) hanya bisa dilakukan di pusat data raksasa dengan GPU canggih, bersiaplah untuk terkejut. Dua startup AI, Flower AI dan Vana, baru saja menciptakan pendekatan revolusioner dalam melatih model bahasa besar (LLM) secara terdistribusi di seluruh dunia.

Kolaborasi mereka menghasilkan model bernama Collective-1, yang dilatih menggunakan GPU tersebar di berbagai lokasi serta memanfaatkan data pribadi dan publik. Ini adalah terobosan yang berpotensi mengganggu dominasi perusahaan besar dalam pengembangan AI.

Revolusi Pelatihan AI Terdistribusi

Flower AI mengembangkan teknologi yang memungkinkan pelatihan model dilakukan di ratusan komputer yang terhubung via internet. Sementara Vana menyediakan sumber data unik, termasuk pesan pribadi dari platform seperti X, Reddit, dan Telegram.

Nic Lane, ilmuwan komputer dari University of Cambridge dan salah satu pendiri Flower AI, menjelaskan bahwa pendekatan terdistribusi ini bisa diskalakan jauh melampaui ukuran Collective-1 yang saat ini hanya memiliki 7 miliar parameter. “Kami sedang melatih model dengan 30 miliar parameter dan berencana mencapai 100 miliar parameter tahun ini,” ujarnya.

Mengubah Dinamika Kekuatan Industri AI

Pendekatan terdistribusi ini berpotensi mengubah peta kekuatan industri AI yang selama ini dikuasai perusahaan kaya dengan akses ke pusat data besar dan chip canggih. Helen Toner, pakar tata kelola AI di Center for Security and Emerging Technology, menyebut pendekatan Flower AI “menarik dan sangat relevan” untuk kompetisi dan tata kelola AI.

Teknologi ini memungkinkan perusahaan kecil, universitas, bahkan negara dengan infrastruktur terbatas untuk membangun AI canggih dengan memanfaatkan sumber daya yang tersebar. “Ini memungkinkan Anda menskalakan komputasi dengan lebih elegan daripada model pusat data,” kata Lane.

Fotokopi Digital: Teknologi Inti di Balik Terobosan

Untuk membangun Collective-1, Lane dan rekan-rekannya di Inggris dan China mengembangkan alat baru bernama Photon yang membuat pelatihan terdistribusi lebih efisien. Alat ini merupakan penyempurnaan dari pendekatan Google yang disebut DIstributed PAth COmposition (DiPaCo).

Photon telah dirilis sebagai proyek open source bulan lalu, memungkinkan siapa pun memanfaatkan pendekatan ini. “Prosesnya memang lebih lambat daripada pelatihan konvensional, tetapi lebih fleksibel,” jelas Lane.

Anna Kazlauskas, salah satu pendiri Vana, menekankan pentingnya pendekatan baru dalam pengumpulan data. “Ini pertama kalinya data yang langsung disumbangkan pengguna digunakan untuk melatih model dasar, dengan pengguna memiliki kepemilikan atas model AI yang dibuat dari data mereka,” katanya.

Mirco Musolesi dari University College London menambahkan bahwa pendekatan terdistribusi akan membuka akses ke jenis data baru, terutama di sektor sensitif seperti kesehatan dan keuangan, tanpa risiko sentralisasi data.

Dengan perkembangan ini, masa depan industri AI mungkin tidak lagi didominasi oleh segelintir perusahaan raksasa. Pendekatan terdistribusi membuka peluang bagi lebih banyak pemain untuk berkontribusi dalam pengembangan teknologi yang akan membentuk masa depan kita.

WhatsApp Hadirkan Fitur AI dengan Privasi Maksimal, Ini Detailnya

0

Telset.id – Dengan lebih dari 3 miliar pengguna global, WhatsApp tak henti berinovasi. Kini, aplikasi pesan instan besutan Meta tersebut bersiap meluncurkan fitur AI berbasis cloud yang tetap menjaga privasi pengguna. Fitur ini akan menghadirkan kemampuan seperti ringkasan pesan dan alat komposisi pesan, tanpa mengorbankan keamanan end-to-end encryption yang menjadi ciri khas WhatsApp.

Meta, induk perusahaan WhatsApp, telah lama mengintegrasikan fitur AI berbasis model bahasa besar (LLM) open-source mereka, Llama, ke dalam berbagai layanannya. WhatsApp sendiri sudah memiliki asisten AI Meta yang bisa diakses melalui ikon lingkaran biru muda. Namun, banyak pengguna yang merasa kurang nyaman karena interaksi dengan asisten AI tersebut tidak dilindungi oleh enkripsi end-to-end seperti halnya obrolan biasa di WhatsApp.

Private Processing: Solusi Privasi untuk AI di WhatsApp

Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, WhatsApp memperkenalkan fitur baru bernama Private Processing. Fitur ini dirancang sebagai platform khusus yang memproses data untuk tugas-tugas AI tanpa memberikan akses informasi tersebut kepada Meta, WhatsApp, atau pihak ketiga mana pun. Chris Rohlf, Direktur Teknik Keamanan Meta, menjelaskan bahwa WhatsApp memiliki model ancaman yang sudah dipahami dengan baik karena menjadi target berbagai peneliti dan aktor ancaman.

“Ini bukan hanya tentang memperluas model ancaman dan memastikan privasi serta keamanan terpenuhi, tetapi juga tentang pertimbangan cermat terhadap pengalaman pengguna dan membuat fitur ini bersifat opsional,” ujar Rohlf. Pengguna dapat memilih untuk menggunakan fitur AI WhatsApp atau tidak. Selain itu, mereka juga bisa mencegah orang lain dalam obrolan grup menggunakan fitur AI dengan mengaktifkan kontrol baru bernama Advanced Chat Privacy.

Bagaimana Private Processing Bekerja?

Private Processing dibangun dengan perangkat keras khusus yang mengisolasi data sensitif dalam Trusted Execution Environment (TEE), sebuah area terpisah dan terkunci dalam prosesor. Sistem ini dirancang untuk memproses dan menyimpan data dalam waktu sesingkat mungkin. Jika ada upaya peretasan atau manipulasi, sistem akan langsung berhenti bekerja dan mengirimkan peringatan.

WhatsApp juga telah mengundang audit pihak ketiga untuk memeriksa komponen-komponen sistem ini. Selain itu, mereka berencana untuk membuat komponen Private Processing menjadi open-source, sehingga komunitas keamanan dapat memverifikasi jaminan privasi dan keamanannya. Langkah ini mirip dengan yang dilakukan Apple dengan Private Cloud Compute untuk platform AI mereka, Apple Intelligence.

Namun, ada perbedaan mendasar antara pendekatan Apple dan WhatsApp. Apple Intelligence dirancang untuk melakukan sebanyak mungkin pemrosesan AI di perangkat (on-device) dan hanya mengirim permintaan ke infrastruktur cloud ketika diperlukan. Sementara itu, WhatsApp memilih pendekatan berbasis cloud karena keterbatasan perangkat keras yang digunakan oleh penggunanya yang beragam, mulai dari ponsel kelas rendah hingga flagship.

Risiko dan Tantangan ke Depan

Meskipun WhatsApp mengklaim telah merancang Private Processing dengan sangat aman, para ahli kriptografi seperti Matt Green dari Johns Hopkins University mengingatkan bahwa fitur ini tetap membawa risiko. “Setiap sistem end-to-end encrypted yang menggunakan inferensi AI di luar perangkat akan lebih berisiko daripada sistem murni end-to-end,” kata Green.

WhatsApp berencana untuk terus mengembangkan fitur AI mereka di masa depan, termasuk kemampuan yang lebih kompleks yang mungkin melibatkan pemrosesan dan penyimpanan lebih banyak data. Namun, hal ini juga berarti bahwa server Private Processing akan menjadi target empuk bagi peretas dan aktor negara.

Will Cathcart, Kepala WhatsApp, menegaskan bahwa fitur AI adalah sesuatu yang diharapkan oleh pengguna. “Kami pikir membangun cara pribadi untuk melakukannya sangat penting karena orang tidak harus beralih ke platform yang kurang aman hanya untuk mendapatkan fungsi yang mereka butuhkan,” ujarnya.

Dengan hadirnya fitur AI ini, WhatsApp berusaha menyeimbangkan antara inovasi dan keamanan. Namun, apakah pengguna akan sepenuhnya percaya? Jawabannya mungkin akan terlihat dalam beberapa minggu ke depan ketika fitur ini mulai diluncurkan.

Honor Bocorkan Dua Smartwatch Baru, Desainnya Bikin Penasaran

0

Telset.id – Honor kembali membuat gebrakan di dunia wearable dengan membocorkan dua smartwatch terbarunya. Bocoran ini muncul saat peluncuran MagicBook Pro 16 di China, mengundang spekulasi tentang arah baru brand tersebut di segmen perangkat pintar.

Dalam teaser yang dirilis, Honor sengaja hanya menampilkan sebagian dari kedua smartwatch tersebut. Taktik marketing ini jelas berhasil memancing rasa penasaran. Smartwatch pertama memiliki desain case oktagonal dengan crown besar di sisi kanan atas dan tombol fisik di kanan bawah. Desainnya sangat mirip dengan Honor Watch GS Pro yang diluncurkan Maret lalu, memunculkan pertanyaan: apakah ini versi baru atau sekadar varian lain?

Honor teases two upcoming smartwatches, though one of them might not be new

Smartwatch kedua lebih tradisional dengan case bundar, namun memiliki bentuk lug yang unik. Detail ini bisa menjadi pembeda di pasar yang semakin padat. “Honor tampaknya ingin menawarkan pilihan bagi pengguna yang menyukai desain klasik namun tetap ingin terlihat berbeda,” kata seorang analis industri.

Strategi Honor di Pasar Wearable

Peluncuran dua smartwatch sekaligus ini sejalan dengan strategi ekspansi Honor di berbagai segmen produk. Brand yang kini independen dari Huawei ini terlihat serius ingin merebut pangsa pasar wearable, yang selama ini didominasi oleh Apple dan Samsung.

Honor Magic6 and Magic5 series get a new update with loads of improvements

Menariknya, Honor memilih waktu peluncuran yang berdekatan dengan event besar teknologi. Apakah ini pertanda mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar? Beberapa pengamat memperkirakan smartwatch ini akan menjadi bagian dari ekosistem produk Honor yang lebih terintegrasi, mirip dengan apa yang dilakukan Apple dengan Watch dan iPhone.

Apa yang Bisa Kita Harapkan?

Meski detail spesifikasi masih menjadi misteri, pola peluncuran Honor sebelumnya bisa memberikan petunjuk. Smartwatch oktagonal mungkin akan menawarkan fitur premium seperti ketahanan militer, sementara versi bundar mungkin lebih fokus pada gaya dan kenyamanan sehari-hari.

Honor Pad GT and Band 10 unveiled

Dengan semakin banyaknya pilihan smartwatch murah berkualitas di pasaran, Honor perlu menawarkan nilai tambah yang jelas. Apakah itu akan berupa integrasi dengan perangkat lain, fitur kesehatan unik, atau desain yang benar-benar berbeda? Kita tunggu saja pengumuman resminya dalam waktu dekat.

Satu hal yang pasti: persaingan di pasar wearable semakin panas. Dengan dua desain berbeda ini, Honor tampaknya ingin menjangkau lebih banyak segmen pengguna. Pertanyaannya sekarang: mana yang akan lebih menarik minat Anda – desain oktagonal yang sporty atau klasik dengan sentuhan modern?