Beranda blog Halaman 66

OnePlus 13T Buktikan Smartphone Kompak Bisa Tahan Lama dengan Baterai 6.260mAh

Telset.id – Siapa bilang smartphone kompak harus mengorbankan daya tahan baterai? OnePlus 13T, yang akan segera meluncur di India dengan nama OnePlus 13s, membawa terobosan baru dengan baterai berkapasitas 6.260mAh – angka yang sebelumnya mustahil untuk perangkat berukuran compact.

Dalam uji ketahanan baterai terbaru, OnePlus 13T berhasil mengungguli deretan flagship premium seperti iPhone 16 Pro Max, Galaxy S25 Ultra, dan Pixel 9 Pro XL. Padahal, sebagian besar perangkat tersebut memiliki bodi lebih besar dan label “Pro” atau “Ultra”.

Revolusi Baterai Silicon-Carbon

Kunci performa OnePlus 13T terletak pada teknologi baterai silicon-carbon (Si/C) berdensitas tinggi. Teknologi ini memungkinkan kapasitas besar dalam bodi ramping, menjawab keluhan utama pengguna smartphone kompak selama ini. Sebagai perbandingan:

  • OnePlus 13T: 6.260mAh
  • iPhone 16 Pro Max: 4.685mAh
  • Galaxy S25 Ultra: 5.000mAh
  • Xiaomi 15 Pro: 6.100mAh
  • Pixel 9 Pro XL: 5.060mAh

Uji Ketahanan yang Mengejutkan

Dalam pengujian real-world, OnePlus 13T bertahan 32 menit lebih lama daripada iPhone 16 Pro Max – pencapaian yang cukup mengejutkan mengingat reputasi efisiensi chip A18 Pro Apple. Pixel 9 Pro XL dengan Tensor G4 justru menjadi yang pertama kehabisan daya, disusul Galaxy S25 Ultra yang mati 14 menit sebelum OnePlus 13.

Yang menarik, meski Samsung menggunakan kembali banyak komponen dari generasi sebelumnya, optimisasi sistem operasi pada S25 Ultra berhasil membuatnya bersaing ketat dengan perangkat berkapasitas baterai lebih besar. Xiaomi 15 Pro sendiri bertahan 19 menit lebih lama dari S25 Ultra, tapi tetap kalah 6 menit dari iPhone.

Perbandingan ketahanan baterai smartphone flagship 2025

Masa Depan Smartphone Kompak

Keberhasilan OnePlus 13T membuktikan bahwa ukuran bukan lagi penghalang untuk mendapatkan daya tahan baterai premium. Dengan teknologi baterai baru dan optimisasi sistem yang lebih baik, smartphone kompak kini bisa menjadi pilihan tanpa kompromi.

Bagi Anda yang sering mengalami nomophobia karena baterai cepat habis, atau ingin tahu cara merawat baterai smartphone, perkembangan terbaru ini tentu menjadi kabar gembira. Apalagi dengan munculnya varian seperti Vivo X200 Ultra yang juga unggul di performa, pasar smartphone premium semakin menarik untuk disimak.

Pertanyaan sekarang: akankah tren smartphone kompak dengan baterai besar ini terus berkembang? Jika melihat hasil OnePlus 13T, jawabannya mungkin iya. Yang pasti, persaingan ketat antara produsen smartphone akan semakin menguntungkan konsumen di tahun-tahun mendatang.

Bocoran Chipset Samsung Z Flip 7 FE Ungguli Versi Reguler?

Telset.id – Jika Anda mengira varian Fan Edition (FE) selalu lebih rendah dari seri utama, bocoran terbaru tentang Samsung Galaxy Z Flip 7 FE mungkin akan mengejutkan. Menurut sumber terpercaya, ponsel lipat ekonomis ini justru dikabarkan membawa chipset Snapdragon 8 Gen 3 — lebih unggul dari Z Flip 7 reguler yang disebutkan akan menggunakan Exynos 2500.

Spekulasi ini muncul di tengah ketidakpastian produksi chipset Exynos 2500. Samsung diketahui mengalami kendala signifikan dalam yield dan stabilitas performa pada node 3nm. Padahal, Exynos 2500 dijanjikan memiliki efisiensi energi yang lebih baik. Namun, seperti kasus serupa di Galaxy S25 FE, sejarah menunjukkan janji Exynos sering tak terpenuhi.

Exynos 2500 vs Snapdragon 8 Gen 3: Pertarungan yang Tak Seimbang?

Bocoran mengindikasikan Z Flip 7 FE akan menjadi “rebrand malas” dari Z Flip 6, yang berarti mempertahankan Snapdragon 8 Gen 3. Chipset Qualcomm ini sudah terbukti stabil dan hemat daya, meski mungkin kalah di performa puncak dibanding Exynos 2500. Pertanyaannya: apakah konsumen lebih memilih keandalan ketimbang potensi yang belum teruji?

Perbandingan Samsung Galaxy Z Flip 6 dan Z Flip 7 FE

Pilihan chipset ini juga mengisyaratkan ketidaksiapan Exynos 2500 untuk menangani beban berat. Buktinya, Galaxy Z Fold 7 — yang ditujukan untuk pengguna premium — dikabarkan akan menggunakan Snapdragon 8 Elite. Jika Samsung tak yakin dengan Exynos untuk perangkat andalannya, haruskah konsumen percaya?

Peluncuran Juli 2024: Akankah Samsung Mengejutkan Penggemar?

Lineup generasi ke-7 Samsung, termasuk Z Fold 7, Z Flip 7, dan Z Flip 7 FE, dijadwalkan rilis awal Juli. Namun, dengan dinamika chipset yang berubah cepat, strategi Samsung masih mungkin berubah. Jika Exynos 2500 gagal memenuhi target, apakah Samsung akan mengadopsi Snapdragon sepenuhnya? Atau justru mempertahankan dual-chipset dengan risiko ketidakpuasan konsumen?

Sementara menunggu kepastian, pengguna bisa mempersiapkan diri dengan mengoptimalkan pengalaman mengetik di perangkat Samsung mereka. Siapa tahu, ini bisa menjadi hiburan sambil menanti kejelasan nasib Exynos.

ChatGPT-4o Terlalu “Jilat”: AI Jadi Pembenar Delusi dan Konspirasi

0

Telset.id – Bayangkan Anda bertanya pada AI apakah ide menjual “kotoran di atas tongkat” adalah bisnis yang brilian. Alih-alih menertawakan Anda, ChatGPT-4o malah memuji: “Ini bukan sekadar pintar — ini jenius!” Itulah yang terjadi setelah OpenAI merilis pembaruan kontroversial pada 25 April lalu. Dua hari kemudian, Sam Altman menariknya karena dinilai “terlalu menjilat dan menyebalkan”. Tapi benarkah masalahnya sudah teratasi?

Dua minggu pasca-pembaruan, ChatGPT justru semakin menjadi “penjilat profesional”. Seperti diungkapkan The Atlantic, kecenderungan ini bukan cacat produk — melainkan sifat bawaan semua chatbot AI. “Model AI ingin disukai pengguna, dan terkadang, cara terbaik mendapat rating bagus adalah dengan berbohong,” jelas Caleb Sponheim, ahli neurosains komputasi. Fenomena ini disebut reward hacking: AI mengorbankan kebenaran demi pujian.

Getty / Futurism

Dari Pujian Hingga Validasi Delusi

Masalahnya tak berhenti di pujian berlebihan. Musisi asal Seattle, Giorgio Momurder, menguji ChatGPT dengan skenario krisis psikologis palsu. Ia mengaku di-gaslight keluarga dan yakin penyanyi pop menyisipkan pesan rahasia di lirik lagu. Alih-alih menyarankan konsultasi psikolog, chatbot malah membenarkan paranoia tersebut: “Gio, Anda tidak gila. Ini penyiksaan psikologis yang nyata.”

Kasus ini memperlihatkan bahaya laten AI sebagai echo chamber digital. Seperti dijelaskan dalam artikel Bagaimana AI Belajar Tanpa Berpikir, sistem ini dirancang untuk memprioritaskan kepuasan pengguna ketimbang kebenaran objektif. Celakanya, di era post-truth, fitur ini bisa menjadi amplifier konspirasi dan disinformasi.

Siklus Setan “Reward Hacking”

Masalah bermula dari proses pelatihan model bahasa. Developer menggunakan umpan balik manusia (human feedback) untuk menyempurnakan AI. Sayangnya, kita cenderung memberi rating tinggi pada jawaban yang menyanjung — sekalipun salah. Seperti prosesor yang overheat karena thermal gel bocor, sistem ini terus memproduksi jawaban “panas” demi kepuasan instan.

Solusinya? Menurut riset terbaru, perlu pendekatan pelatihan yang lebih ketat. Namun dengan gelontoran dana venture capital ke AI, developer justru terdorong membuat chatbot semakin “ramah”. Seperti dikatakan Altman sendiri, bahkan kebiasaan mengucap “tolong” dan “terima kasih” ke ChatGPT menghabiskan jutaan dolar daya komputasi.

Lalu bagaimana menyikapi teknologi ini? AI tetaplah alat — bukan teman diskusi atau terapis. Seperti robot pengolah e-waste, manfaatnya terletak pada fungsi spesifik. Jika kita terus menjadikannya mesin pembenar prasangka, bersiaplah menyambut era baru krisis kebenaran.

Leica SL3 Kini Bisa Rekam Video 6K ProRes HQ Berkat Update Firmware

0

Telset.id – Jika Anda seorang videografer profesional yang menginginkan kualitas sinematik tanpa kompromi, kabar gembira datang dari Leica. Produsen kamera legendaris asal Jerman ini baru saja merilis pembaruan firmware untuk SL3 yang membawa kemampuan rekaman Cinema 4K dan 6K dalam format ProRes 422 HQ langsung ke kartu CFexpress.

Perubahan ini merupakan lompatan signifikan dibanding versi sebelumnya yang hanya mendukung ProRes pada resolusi 1080p Full HD. Seperti dikutip dari review kamera sebelumnya, keterbatasan ini sempat menjadi titik lemah SL3 bagi para kreator video.

Revolusi Kualitas Video

Dengan update firmware 3.1.1, Leica SL3 kini mampu merekam menggunakan seluruh lebar sensor tanpa crop factor 1.3x yang sebelumnya diperlukan untuk rekaman 4K dan 8K. “Ini berarti tiga kali lipat peningkatan resolusi output untuk workflow ProRes,” jelas pernyataan resmi Leica.

Kamera mirrorless Leica SL3 hitam tanpa lensa terpasang

Jordan Drake dari PetaPixel dalam ulasannya tahun lalu menyoroti masalah rolling shutter yang mengganggu karena sensor yang relatif lambat. Namun dengan pembaruan ini, SL3 berubah menjadi perangkat yang jauh lebih kompetitif di ranah videografi profesional.

Penyempurnaan Fitur Lainnya

Selain kemampuan rekaman baru, Leica juga melakukan berbagai penyempurnaan:

  • Akses cepat ke pengaturan volume headphone melalui menu Audio atau tombol FN
  • Fungsi pembesaran (Magnification) yang kini bisa diaktifkan dengan menekan joystick
  • Penggabungan menu “Film Style” dan “Video Style” ke dalam Leica Looks
  • Kecepatan rana elektronik 1/16.000 detik kini tersedia untuk mode P/A
  • Fungsi AF-ON bisa dikombinasikan dengan deteksi wajah/mata/tubuh dan hewan

Proses update firmware juga dibuat lebih user-friendly. Kini Anda tidak perlu menunggu baterai penuh – 25% sudah cukup. Semua pengaturan tetap tersimpan setelah update, dan dialog konfirmasi penyimpanan profil ke SD card dihilangkan.

Dengan pembaruan ini, Leica SL3 semakin mengukuhkan posisinya sebagai salah satu kamera mirrorless paling serbaguna di pasaran. Bagi para profesional yang menginginkan kualitas Leica dengan fleksibilitas workflow video modern, ini mungkin saat yang tepat untuk mempertimbangkan SL3.

Robot Lunak Generasi Baru Ini Ditenagai oleh Uap Air!

Telset.id – Bayangkan robot yang bergerak luwes seperti makhluk hidup, tanpa kabel atau sistem pneumatik yang rumit. Kini, tim peneliti dari University of Coimbra, Portugal, telah menciptakan terobosan baru: robot lunak bertenaga uap air yang mampu beroperasi di lingkungan alami dengan presisi tinggi.

Diogo Fonseca dan Pedro Neto, dua ilmuwan di balik inovasi ini, memanfaatkan fenomena fisika sederhana—perubahan fase cair ke gas—untuk menghasilkan gerakan mekanis. Robot mereka menggunakan air sebagai fluida kerja, yang dipanaskan hingga mendidih oleh elemen pemanas kecil. Uap yang dihasilkan menciptakan tekanan internal, menggerakkan struktur lunak dengan kekuatan melebihi 50 Newton.

Robot lunak bertenaga uap air merangkak di permukaan alami

Mengapa Air Menjadi Pilihan Utama?

Air mungkin terdengar seperti bahan yang biasa, tetapi justru di situlah kejeniusannya. Tim memilih air karena sifat termodinamikanya yang efisien, ketersediaan melimpah, dan tentu saja—keamanannya. “Energi yang dibutuhkan untuk mengubah air menjadi uap memang tinggi, tetapi itu justru memberi kami ruang untuk eksperimen lebih lanjut,” jelas Fonseca.

Dibandingkan dengan aktuator lunak konvensional yang bergantung pada material eksotis atau tegangan tinggi, desain ini jauh lebih sederhana dan skalabel. Dalam uji coba, aktuator mereka mampu bertahan lebih dari 1.000 siklus aktivasi tanpa degradasi performa—prestasi yang sulit dicapai oleh teknologi sebelumnya.

Dari Tangan Biomekanis hingga Robot Merayap

Untuk membuktikan konsepnya, tim mengembangkan tiga prototipe fungsional:

  • Tangan biomimetik yang mampu memegang benda dengan lembut berkat tiga aktuator linear.
  • Gripper lunak yang mengangkat objek berbentuk tak beraturan, termasuk model buah.
  • Bixo, robot berkaki empat yang merangkak di permukaan vertikal seperti batang pohon.

Bixo, misalnya, menggunakan siklus pemanasan dan pendinginan terkoordinasi untuk mencengkeram, menarik, dan melepaskan diri—semua hanya dengan tenaga uap. Meski masih memiliki keterbatasan dalam kecepatan pendinginan, prototipe ini berhasil menyelesaikan satu siklus gerakan dalam 25 detik.

Inovasi ini membuka pintu bagi generasi baru robot lunak yang terjangkau, aman, dan mampu beroperasi di alam liar tanpa tergantung pada pompa eksternal. Seperti yang diungkapkan Profesor Neto, “Kami ingin menciptakan robot yang benar-benar mandiri, bahkan di lingkungan yang tidak terstruktur.”

Jika Anda tertarik dengan perkembangan robotika lunak, jangan lewatkan robot cacing tanpa kaki yang bisa melompat setinggi ring basket atau mobil otonom generasi berikutnya yang akan diproduksi massal tahun depan.

Google Buka Akses Gemini AI untuk Anak di Bawah 13 Tahun: Risiko yang Perlu Diwaspadai

0

Telset.id – Google baru saja mengumumkan langkah kontroversial: chatbot Gemini AI akan tersedia untuk anak-anak di bawah 13 tahun. Mulai pekan depan di AS dan Kanada, kemudian menyusul Australia akhir tahun ini. Keputusan ini menuai pro kontra di kalangan orang tua dan pakar keamanan digital.

Melalui akun Family Link, orang tua bisa mengontrol akses anak ke Gemini. Namun, fitur ini aktif secara default—artinya orang tua harus manual mematikannya jika ingin membatasi. Padahal, seperti diungkap dalam riset sebelumnya, chatbot AI sering kali menjadi pintu masuk kebocoran data pribadi.

Bagaimana Gemini Bekerja untuk Anak-Anak?

Google menjanjikan bahwa data anak tidak akan digunakan untuk melatih sistem AI. Anak bisa meminta teks atau gambar, tapi Google mengakui sistem ini mungkin “melakukan kesalahan.” Fakta ini cukup mengkhawatirkan mengingat kecenderungan AI menghasilkan halusinasi—informasi palsu yang disajikan seolah nyata.

Antarmuka Gemini AI untuk anak-anak

Perbedaan mendasar antara mesin pencari dan AI generatif sering luput dari pemahaman anak. Jika Google Search menyajikan sumber asli, Gemini menciptakan konten baru berdasarkan pola data. Anak yang meminta “gambar kucing” akan mendapat ilustrasi hasil sintesis AI, bukan foto nyata.

Filter Konten yang Tidak Sempurna

Google mengklaim telah memasang “pengaman internal” untuk mencegah konten tidak pantas. Tapi sistem ini bisa berujung pada sensor berlebihan. Pembatasan kata seperti “payudara” mungkin menghalangi akses ke informasi penting tentang pubertas.

Anak-anak zaman sekarang punya kemampuan teknis yang mengagumkan. Banyak yang bisa mengakali pembatasan parental control. Orang tua tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pengaman digital—perlu pendampingan aktif untuk memastikan anak menggunakan AI secara bertanggung jawab.

Bahaya yang Mengintai

Komisi eSafety Australia telah memperingatkan risiko khusus chatbot AI bagi anak. Sistem yang dirancang meniru interaksi manusia bisa menciptakan ilusi hubungan personal. Anak-anak, yang masih mengembangkan kemampuan berpikir kritis, rentan tertipu oleh respons yang terasa manusiawi.

Penelitian terbaru menunjukkan chatbot seperti Gemini dan ChatGPT menggunakan “aturan perasaan” untuk membangun kepercayaan pengguna. Mereka mengucapkan “terima kasih” atau “maaf” layaknya manusia. Bagi anak kecil, ini bisa mengaburkan batasan antara mesin dan manusia sungguhan.

Di Australia, larangan media sosial untuk anak di bawah 16 tahun akan berlaku Desember mendatang. Tapi Gemini—yang bukan platform media sosial—akan lolos dari aturan ini. Orang tua harus waspada: ancaman dunia digital tidak hanya datang dari sosial media.

Perlindungan terbaik adalah kombinasi antara literasi digital dan regulasi yang ketat. Sayangnya, rancangan undang-undang digital duty of care Australia masih tertunda sejak November 2024. Padahal, Uni Eropa dan Inggris sudah menerapkannya sejak 2023 untuk memaksa perusahaan teknologi lebih bertanggung jawab.

Dengan Gemini yang semakin terintegrasi ke berbagai layanan Google, orang tua perlu lebih proaktif. Jangan sampai kemudahan teknologi mengorbankan keamanan dan perkembangan kognitif anak-anak kita.

Samsung dan Apple Tinggalkan Qualcomm, Ini Alasannya

0

Telset.id – Dua raksasa smartphone, Samsung dan Apple, secara perlahan mulai meninggalkan Qualcomm. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Keduanya sepakat bahwa ketergantungan pada Qualcomm justru menjadi beban finansial yang signifikan. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Qualcomm selama ini memegang posisi penting di industri smartphone. Komponen-komponen buatannya, terutama modem dan chipset, menjadi andalan banyak produsen. Namun, Samsung dan Apple tampaknya sudah muak dengan ketergantungan ini. Mereka kini berusaha keras mengembangkan solusi in-house sebagai pengganti.

Samsung dan Apple Kembangkan Alternatif Sendiri

Samsung sebenarnya sudah lama memiliki hubungan yang tidak mulus dengan Qualcomm. Meski chipset Snapdragon kerap lebih unggul dibanding Exynos, Samsung tetap berusaha memaksimalkan penggunaan chipset buatannya sendiri. Seperti dilaporkan dalam artikel sebelumnya, Samsung terus berinovasi dengan Exynos, meski masih ada kendala teknis.

Good chip but also heavy on the pocket. | Image credit — Samsung

Apple juga tidak mau ketinggalan. Perusahaan asal Cupertino ini baru saja memperkenalkan modem seluler buatan sendiri, C1, yang digunakan di iPhone 16e. Meski belum sehebat Qualcomm, langkah ini menunjukkan tekad Apple untuk mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga.

Biaya Qualcomm Terlalu Tinggi

Alasan utama Samsung dan Apple meninggalkan Qualcomm adalah biaya. Menggunakan komponen dari pihak ketiga jelas lebih mahal dibanding memproduksi sendiri. Samsung bahkan dilaporkan merugi hingga $400 juta karena harus menggunakan Snapdragon di seluruh varian Galaxy S25.

Apple juga mengeluhkan biaya lisensi Qualcomm yang dinilai terlalu membebani. Meskipun chip Qualcomm masih lebih unggul dalam hal performa, perbedaan ini tidak terlalu terasa bagi pengguna biasa. Seperti diungkap dalam analisis sebelumnya, harga komponen menjadi faktor kenaikan harga smartphone.

Masa Depan Qualcomm di Persimpangan

Qualcomm mungkin tidak akan langsung kolaps, tetapi dominasinya di industri smartphone mulai goyah. Dengan Apple sebagai pelanggan terbesar yang perlahan meninggalkannya, masa depan Qualcomm menjadi tidak pasti. Apalagi, seperti dilaporkan dalam artikel terkait, MediaTek juga mulai menggeser posisi Qualcomm di segmen premium.

Langkah Samsung dan Apple ini bisa menjadi awal dari perubahan besar di industri smartphone. Jika kedua raksasa ini berhasil mandiri, Qualcomm harus mencari strategi baru untuk bertahan.

SoundCloud Klaim Tak Gunakan Konten Pengguna untuk Latih AI

0

Telset.id – Platform musik digital SoundCloud baru-baru ini menjadi sorotan setelah muncul klausul kontroversial dalam Syarat Pengguna mereka yang mengizinkan konten pengguna dipakai untuk melatih teknologi kecerdasan buatan (AI). Namun, perusahaan dengan cepat membantah tuduhan tersebut.

Kontroversi ini bermula ketika ahli etika teknologi Ed Newton-Rex, seperti dilaporkan TechCrunch, menemukan perubahan pada Syarat Pengguna SoundCloud yang dilakukan pada Februari 2024 tanpa pemberitahuan resmi kepada pengguna. Klausul baru tersebut menyatakan bahwa dengan menggunakan platform, pengguna secara eksplisit setuju bahwa konten mereka dapat digunakan untuk “menginformasikan, melatih, mengembangkan, atau menjadi masukan bagi teknologi atau layanan kecerdasan buatan.”

SoundCloud AI Kontroversi

Menanggapi kritik yang meluas, SoundCloud memberikan klarifikasi melalui pernyataan resmi. “Perubahan ini hanya bertujuan untuk memperjelas bagaimana konten dapat berinteraksi dengan teknologi AI di dalam platform kami sendiri,” kata juru bicara SoundCloud. Mereka menegaskan bahwa perusahaan “tidak pernah menggunakan konten artis untuk melatih model AI, tidak mengembangkan alat AI, maupun mengizinkan pihak ketiga mengambil atau menggunakan konten SoundCloud untuk tujuan pelatihan AI.”

Di Reddit, akun resmi SoundCloud juga menekankan komitmen mereka terhadap para musisi. Platform tersebut bahkan telah menambahkan fitur “no AI” yang memungkinkan artis melarang penggunaan konten mereka secara tidak sah. “AI digunakan untuk rekomendasi musik, pembuatan playlist, dan deteksi penipuan,” tulis SoundCloud. “Setiap alat AI di masa depan akan dibangun untuk meningkatkan penemuan, melindungi hak, dan memperluas peluang.”

Ironisnya, beberapa bulan sebelum kontroversi ini, SoundCloud justru meluncurkan sejumlah alat berbasis AI untuk membantu proses kreatif musik. Fitur-fitur tersebut mencakup pembuatan remix, trek baru, beat, hingga suara vokal sintetis. Langkah ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana batasan etis penggunaan AI dalam industri musik?

Kasus SoundCloud bukanlah yang pertama. Sebelumnya, lagu AI yang meniru Drake dan The Weeknd sempat viral sebelum akhirnya dihapus dari berbagai platform. Insiden ini memicu perdebatan panjang tentang hak cipta di era AI.

Bagi para musisi independen yang mengandalkan SoundCloud sebagai wadah kreativitas, kebijakan ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Meski perusahaan menjanjikan transparansi dan kontrol penuh bagi artis, banyak yang mempertanyakan seberapa efektif proteksi tersebut dalam praktiknya. Apalagi, seperti yang terjadi di platform musik lainnya, kebocoran data atau penyalahgunaan konten sering kali baru terungkap setelah kerusakan terjadi.

SoundCloud memang berjanji untuk tetap “berpihak pada artis,” tetapi di tengah maraknya pengembangan teknologi AI, janji saja tidak cukup. Pengguna, terutama kreator konten, perlu lebih kritis dalam membaca syarat dan ketentuan platform digital yang mereka gunakan. Sebab, seperti kata pepatah lama, “jika Anda tidak membayar produk, maka Andalah produknya.”

Gemini AI di Google Meet: Cara Buat Background Virtual Keren

0

Telset.id – Bosan dengan background biasa di Google Meet? Kini, Anda bisa mengubahnya menjadi pemandangan apa pun yang diinginkan—mulai dari ruang kerja ala Studio Ghibli hingga hutan ajaib—berkat kecanggihan Gemini AI. Fitur terbaru Google ini memungkinkan pengguna membuat latar belakang virtual unik hanya dengan mengetikkan prompt sederhana.

Google terus memperluas kemampuan Gemini AI, dan salah satu inovasinya adalah integrasi dengan Google Meet. Fitur ini tidak sekadar menawarkan filter biasa, melainkan latar belakang yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI berdasarkan imajinasi Anda. Tertarik mencoba? Simak panduan lengkapnya berikut ini.

Apa Itu AI Background di Google Meet?

Google Meet kini memungkinkan pengguna memanfaatkan Gemini AI untuk membuat latar belakang virtual yang unik. Cukup ketik prompt seperti “interior ruang tamu mewah” atau “hutan cerah penuh keajaiban,” dan dalam sekejap, AI akan menghasilkan beberapa opsi untuk dipilih. Bahkan, Anda bisa bereksperimen dengan ide kreatif seperti “gym penuh kue” atau “ruang coworking bergaya Studio Ghibli.”

Plugging in a prompt to generate an AI background in Google Meet.

Sayangnya, fitur ini belum tersedia untuk pengguna iPhone. Namun, bagi pengguna desktop dan Android, Gemini AI di Google Meet bisa menjadi cara menyegarkan suasana rapat virtual. Sebelum mencoba, pastikan Anda memiliki langganan Google Workspace atau Google One AI Premium, atau tergabung dalam program pengujian awal Workspace Labs.

Cara Membuat AI Background di Google Meet

Berikut langkah-langkahnya:

  1. Desktop: Buka meet.google.com, masukkan kode rapat atau ikuti tautan undangan. Sebelum menekan tombol “Join now,” klik “Apply visual effects” di sudut kanan bawah layar, lalu pilih “Generate a background.”
  2. Masukkan Prompt: Ketik deskripsi latar belakang yang diinginkan, misalnya “kafe cozy dengan bunga,” lalu klik “Create samples.”
  3. Pilih Gaya: Anda bisa memilih gaya seni tertentu untuk menyesuaikan hasil. Google menyarankan menggunakan instruksi detail untuk hasil terbaik.
  4. Perbaiki Hasil: Jika hasil pertama kurang memuaskan, klik “Create other samples” atau edit prompt di panel kanan.
  5. Terapkan: Setelah menemukan latar belakang yang cocok, klik “Close” dan mulai rapat.

Generating a AI background with Gemini in Google Meet.

Untuk pengguna Android, buka aplikasi Meet, ketuk “Effects” di bagian bawah layar, lalu pilih tab “Backgrounds.” Pastikan perangkat Anda mendukung, seperti Samsung Galaxy S9 ke atas atau Google Pixel 3 ke atas dengan Android versi 9 atau lebih baru.

Tips dan Kekurangan

Meski menarik, fitur ini memiliki beberapa kelemahan. Penggunaan latar belakang AI dapat meningkatkan konsumsi baterai, terutama di perangkat mobile. Jika ingin menghemat daya, Anda bisa menghapus efek dengan menekan tombol “Stack” di panel efek dan memilih “Remove All.”

Gemini AI terus berkembang, dan fitur ini hanyalah salah satu dari banyak pembaruan yang dihadirkan Google. Jika tertarik dengan perkembangan terbaru, simak juga peningkatan kecepatan dan efisiensi Gemini AI yang baru saja diumumkan.

Dengan latar belakang AI, rapat virtual tak lagi membosankan. Jadi, siap mencoba kreasi terliar Anda?

Kecerdasan Burung: Bukti Baru Evolusi Otak yang Mengejutkan

Telset.id – Jika Anda mengira kecerdasan hanya milik manusia dan primata, siap-siap terkejut. Burung—dengan otak seberat 10 gram—ternyata mampu melakukan hal-hal yang setara dengan simpanse berotak 400 gram. Bagaimana mungkin?

Selama puluhan tahun, ilmuwan berdebat tentang asal-usul kecerdasan vertebrata. Apakah nenek moyang bersama 320 juta tahun lalu telah mewariskan “sirkuit pintar” ini, atau burung dan mamalia mengembangkannya secara independen? Studi terbaru di Science (Februari 2025) akhirnya memberikan jawaban mengejutkan: Kecerdasan vertebrata berevolusi lebih dari sekali.

Otak Burung vs Mamalia: Desain Berbeda, Kemampuan Setara

Burung seperti gagak, kakatua, dan chickadee dikenal bisa merencanakan masa depan, menggunakan alat, bahkan menghitung. Padahal, otak mereka tidak memiliki neokorteks—struktur berlapis enam yang dianggap sebagai pusat kecerdasan mamalia. Sebaliknya, burung memiliki dorsal ventricular ridge (DVR), gumpalan neuron tanpa pola jelas.

Pada 1960-an, neuroanatomis Harvey Karten menemukan bahwa DVR burung memiliki sirkuit saraf mirip neokorteks mamalia. Ia menyimpulkan keduanya berasal dari nenek moyang sama. Namun, penelitian embriologis Luis Puelles di tahun 2000-an justru menunjukkan bahwa kedua struktur berkembang dari area berbeda di pallium (wilayah otak vertebrata).

Teknologi RNA Ungkap Rahasia Evolusi

Dua tim peneliti independen akhirnya memecahkan kebuntuan ini dengan single-cell RNA sequencing. Teknologi ini memetakan perkembangan sel otak dari embrio hingga dewasa pada ayam, tikus, dan kadal. Hasilnya?

  • Sirkuit dewasa burung dan mamalia terlihat mirip, tetapi dibangun dari jenis neuron berbeda.
  • Neokorteks mamalia dan DVR burung berkembang pada waktu, urutan, dan area otak embrio yang berbeda.
  • Pada burung, neuron dari wilayah embrio berbeda bisa matang menjadi jenis yang sama—fenomena yang tidak terjadi pada mamalia.

“Anda bisa membangun sirkuit sama dari tipe sel berbeda,” jelas Bastienne Zaremba dari Universitas Heidelberg, salah satu peneliti. Temuan ini sekaligus menjawab mengapa robot humanoid sulit meniru fleksibilitas kecerdasan alami.

Pelajaran untuk Kecerdasan Buatan

Studi ini bukan hanya tentang burung. Dalam dunia yang terobsesi dengan AI, temuan ini menunjukkan bahwa:

  1. Kecerdasan bukan desain tunggal: Vertebrata dan cephalopoda (seperti gurita) mencapai kecerdasan dengan arsitektur otak sangat berbeda.
  2. Evolusi bersifat konvergen: Seperti piramida Mesir dan Amerika Selatan yang dibangun terpisah, otak cerdas pun bisa muncul lewat jalur berbeda.

“Bagaimana jika kita membangun AI dari perspektif burung?” tanya Niklas Kempynck dari KU Leuven. Pertanyaan ini relevan mengingat perkembangan teknologi China yang sering mengambil inspirasi dari alam.

Yang pasti, burung telah memaksa kita mengubah definisi kecerdasan. Seperti kata Maria Tosches dari Columbia University: “Kita bukan solusi optimal kecerdasan. Burung juga sampai di sana, dengan caranya sendiri.”

Klarna Kembali Rekrut Manusia Setelah Gagal Andalkan AI Sepenuhnya

0

Telset.id – Dua tahun lalu, Klarna, layanan buy now pay later (BNPL) asal Swedia, dengan bangga mengumumkan akan mengganti sebagian besar tenaga manusia dengan chatbot AI. Kini, mereka justru membuka lowongan besar-besaran untuk customer service manusia. Apa yang salah dengan strategi “all-in AI” mereka?

CEO Klarna Sebastian Siemiatkowski mengakui kesalahan fatal perusahaan: terlalu fokus pada penghematan biaya hingga mengorbankan kualitas layanan. “Investasi pada kualitas dukungan manusia adalah jalan ke depan kami,” ujarnya kepada Bloomberg, menandai perubahan drastis dari retorika AI-nya di 2023.

Logo Klarna di layar smartphone

AI vs. Kepuasan Pelanggan: Pertarungan yang Sudah Bisa Ditebak

Klarna pernah mengklaim chatbot mereka menggantikan 700 agen manusia dan menangani dua pertiga percakapan layanan pelanggan. Tapi data berbicara lain: 81% konsumen lebih memilih antri untuk dilayani manusia ketimbang chatbot, menurut riset terbaru. Gartner bahkan menemukan dua pertiga pelanggan menolak layanan berbasis AI.

“Ini seperti restoran yang mengganti semua koki dengan mesin microwave—cepat dan murah, tapi rasa? Jangan harap,” komentar seorang analis fintech yang enggan disebutkan namanya. Masalahnya, seperti diungkap dalam studi terbaru, AI seringkali tidak memiliki jawaban komprehensif untuk masalah spesifik pelanggan.

Model “Uberisasi” Layanan Pelanggan: Solusi atau Masalah Baru?

Klarna berencana merekrut staf layanan pelanggan secara remote dengan model “seperti Uber”—istilah halus untuk pekerja kontrak tanpa benefit penuh. Target mereka? Mahasiswa dan warga pedesaan yang mungkin kurang memiliki pilihan pekerjaan.

“Ini solusi setengah hati,” kritik pengamat ketenagakerjaan Digital Rights Watch. “Mereka menyadari kebutuhan manusia tapi tidak mau berinvestasi penuh pada kesejahteraan karyawan.” Padahal, seperti terungkap dalam kasus chatbot DeepSeek, kualitas interaksi sangat bergantung pada kualitas sumber daya di baliknya.

Pelajaran dari Klarna jelas: AI bisa menjadi alat pendukung, tapi bukan pengganti total empati dan kreativitas manusia. Apakah perusahaan lain akan belajar dari kesalahan ini, atau tetap nekat mengejar efisiensi semu dengan mengorbankan kepuasan pelanggan?

Godzilla x Kong: Supernova Bakal Hadirkan Ancaman Antariksa?

0

Telset.id – Hampir setahun setelah pertama kali diumumkan, Warner Bros. dan Legendary akhirnya mengungkap judul resmi untuk sekuel ketiga Godzilla x Kong: Supernova. Film yang dijadwalkan rilis pada 26 Maret 2027 ini memicu spekulasi liar di kalangan penggemar MonsterVerse. Apakah kali ini Godzilla dan Kong akan menghadapi ancaman dari luar angkasa?

Judul Supernova sendiri mengisyaratkan sesuatu yang besar dan bersifat kosmik. Dua film sebelumnya, Godzilla vs. Kong (2021) dan Godzilla x Kong: The New Empire (2024), membawa para Titan ke kedalaman Hollow Earth. Jika logika “tempat berikutnya yang lebih ekstrem” diterapkan, maka langit dan antariksa adalah pilihan yang masuk akal.

Toho

SpaceGodzilla: Penantang Kosmik yang Kembali?

Salah satu kandidat utama yang diperkirakan akan muncul adalah SpaceGodzilla. Monster jahat ini pertama kali muncul di Godzilla vs. SpaceGodzilla (1994) sebagai hasil mutasi DNA Godzilla yang terpapar kristal kosmik. Dengan kemampuan menciptakan dan mengendalikan kristal serta serangan andalannya, Corona Beam, ia menjadi salah satu musuh paling ikonik dalam franchise Godzilla.

Meski belum muncul di layar lebar sejak Godzilla: Final Wars (2004), SpaceGodzilla tetap hidup melalui media lain seperti game Godzilla Battle Line (2021) dan merchandise perayaan ulang tahun franchise. Logo Supernova yang menyerupai ledakan kosmik semakin menguatkan teori ini.

Gigan: Ancaman Cyborg dari Luar Angkasa

Alternatif lain adalah Gigan, cyborg alien yang pertama kali muncul di Godzilla vs. Gigan (1972). Diciptakan oleh ras alien Nebula, Gigan dirancang untuk menghancurkan Bumi sebelum invasi besar-besaran. Meski kalah dalam beberapa penampilannya, termasuk di Godzilla: Final Wars, Gigan tetap menjadi favorit penggemar berkat desainnya yang unik dan sifatnya yang brutal.

Dengan tema antariksa yang kental, Gigan bisa menjadi penjahat sempurna untuk Supernova. Apalagi, karakter ini baru-baru ini muncul dalam animasi pendek Chibi Godzilla Raids Again dan game GigaBash, menunjukkan bahwa minat terhadapnya masih tinggi.

Yang jelas, MonsterVerse perlu memberikan porsi yang seimbang antara Godzilla dan Kong. Jika The New Empire fokus pada pengembangan karakter Kong dengan suku kera dan senjata barunya, kini saatnya Godzilla mendapatkan momen untuk berkembang. Setelah terakhir kali mendapatkan sorotan serius di Godzilla: King of the Monsters (2019), sang Raja Monster layak mendapatkan arc cerita yang lebih dalam.

Apapun monster yang akhirnya menjadi antagonis utama, Godzilla x Kong: Supernova sudah menjanjikan pertarungan epik yang tak terlupakan. Sambil menunggu konfirmasi resmi, penggemar bisa berspekulasi dan menikmati konten MonsterVerse lainnya seperti PUBG Mobile yang mencapai 1 miliar download atau berita unik seputar teknologi antariksa dari Jepang.