Beranda blog Halaman 31

Asia Pacific Predator League 2026 Dibuka, Acer Cari Juara DOTA 2 & Valorant

0

Telset.id – Geliat industri esports Indonesia kembali memanas. Acer Indonesia secara resmi membuka pendaftaran Road to Asia Pacific Predator League 2026: Indonesian Series, mengawali perburuan tim DOTA 2 dan Valorant terbaik yang akan membawa nama Indonesia di kancah internasional. Bagaimana tidak, total prize pool yang diperebutkan mencapai USD 400,000 atau setara dengan Rp 6,6 miliar—angka yang cukup untuk membuat siapa pun tergoda.

Pendaftaran dibuka mulai 30 September hingga 26 Oktober 2025 secara gratis. Ini adalah kesempatan emas bagi para gamers di seluruh penjuru negeri untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka. Bukan sekadar turnamen biasa, APAC Predator League telah menjadi panggung prestisius yang melahirkan bintang-bintang esports tanah air. Sebelumnya, Indonesia dan Malaysia berhasil mendominasi APAC Predator League 2025, membuktikan bahwa bakat lokal tak kalah bersaing di tingkat regional.

Leny Ng, President Director Acer Indonesia, menegaskan komitmen perusahaan terhadap ekosistem esports nasional. “APAC Predator League hadir bukan hanya sebagai kompetisi, tetapi juga wadah bagi talenta muda untuk mengasah kemampuan, bersaing di tingkat dunia, dan menginspirasi generasi gamer berikutnya,” ujarnya. Pernyataan ini sekaligus menegaskan posisi Acer sebagai salah satu pendukung utama perkembangan gaming di Indonesia.

Jalur Menuju Grand Final India

Road to Asia Pacific Predator League 2026: Indonesian Series akan menjadi proses seleksi yang ketat. Empat tim Valorant dan dua tim DOTA 2 akan lolos sebagai finalis dan bertanding selama dua hari pada 15-16 November 2025. Dari sana, Acer Indonesia akan membawa dua tim terbaik Valorant dan satu tim terbaik DOTA 2 untuk mewakili Indonesia di Grand Final APAC Predator League 2026 di New Delhi, India, pada 11-12 Januari 2026.

Yang menarik, Acer menghadirkan kolaborasi spesial dengan dua legenda DOTA 2 Indonesia, Youk dan Dreamocel. Berbeda dengan format tahun lalu, kedua legenda ini tidak akan memilih individu yang lolos kualifikasi, melainkan bertanding melawan challengers dengan tim masing-masing untuk memperebutkan posisi final di Indonesia Final. Dinamika ini pasti akan menambah daya tarik kompetisi.

Tak kalah seru, RRQ Valorant yang merupakan Brand Ambassador Predator Gaming Indonesia diundang sebagai invited team pada babak Final Indonesia. Kehadiran tim profesional ini tidak hanya menambah semangat kompetisi, tetapi juga memberikan pengalaman berharga bagi peserta yang berkesempatan bertanding melawan mereka.

Rangkaian Acara dan Hadiah Menggiurkan

Rangkaian kegiatan Road to Asia Pacific Predator League 2026 dimulai dengan I-Cafe Attack dan Community Meet-up yang berlangsung pada 3-26 Oktober 2025 di 13 kota: Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Palembang, Medan, Samarinda, dan Makassar. Gamers juga dapat mengikuti kegiatan komunitas dan kompetisi cosplay di empat kota melalui Indonesia Game Expo (IGX) 2025, serta kompetisi Tekken 8 di lima kota.

Untuk kategori Valorant, total hadiah mencapai Rp 108 juta dengan juara pertama dan kedua berhak mewakili Indonesia di Grand Final APAC Predator League 2026. Sementara DOTA 2 menyediakan total hadiah Rp 60 juta dengan juara pertama langsung lolos ke ajang internasional. Tak ketinggalan, kategori Tekken 8 dan Cosplay Competition juga menyediakan total hadiah masing-masing Rp 42,5 juta dan Rp 39,5 juta.

Dengan total hadiah Road to Asia Pacific Predator League 2026: Indonesian Series mencapai Rp 250 juta, ini menjadi salah satu turnamen esports dengan prize pool terbesar di Indonesia. Angka ini menunjukkan betapa seriusnya Acer dalam mendukung perkembangan gaming tanah air, sekaligus memberikan insentif nyata bagi para gamers profesional.

Promosi Spesial dan Dukungan Teknologi

Acer menghadirkan unbeatable promotion selama periode 1 Oktober-30 November 2025. Pelanggan yang membeli produk Predator Gaming dan Nitro berkesempatan menonton langsung Grand Final APAC Predator League 2026 di New Delhi, India. Laptop gaming ditawarkan dengan harga mulai 11 jutaan rupiah, termasuk Predator Helios Neo 16S AI dengan Intel Core Ultra processor dan RTX 5060, serta berbagai varian Nitro series.

Setiap pembelian produk Predator Gaming dilengkapi dengan Garansi Ekstra selama tiga tahun, termasuk layanan on-site dan Acer Accidental Damage Protection selama satu tahun. Fitur ini sangat penting mengingat Acer dikenal konsisten menghadirkan teknologi terkini dengan dukungan purna jual yang memadai.

Pelanggan juga mendapatkan diskon 20% untuk pembelian monitor gaming jika membeli laptop dengan varian grafis NVIDIA GeForce RTX50/40 series, serta hadiah langsung berupa Predator RRQ Exclusive Merch limited edition. Promosi ini jelas menjadi nilai tambah bagi gamers yang ingin upgrade perangkat gaming mereka.

Pendaftaran dapat dilakukan baik sebagai tim maupun perorangan melalui situs resmi www.predatorleague.id. Dengan dukungan teknologi terbaru dan ekosistem yang semakin matang, peluang Indonesia untuk kembali berjaya di kancah internasional terbuka lebar. Apakah tim Indonesia mampu mengulangi kesuksesan tahun-tahun sebelumnya? Jawabannya ada di tangan para gamers tanah air.

Tarik Lagu di Spotify, Paramore dan Hayley Williams Bergabung dalam Boikot Musik Israel

0

Telset.id – Dalam langkah politik yang berani, Paramore dan vokalisnya Hayley Williams secara resmi bergabung dengan gerakan ‘No Music for Genocide’. Keputusan ini menandai babak baru dalam keterlibatan musisi internasional terhadap konflik kemanusiaan di Gaza, sekaligus mengukuhkan posisi mereka sebagai artis yang tidak takut menyuarakan prinsip moral melalui karya seni.

Gerakan ‘No Music for Genocide’ yang digaungkan sejak September 2025 ini bukan sekadar pernyataan simbolis. Ini adalah aksi nyata berupa boikot budaya yang mendorong artis dan pemegang hak cipta untuk menarik musik mereka dari platform streaming di Israel. Tindakan ini merupakan respons terhadap apa yang mereka sebut sebagai genosida berkelanjutan di Gaza. Bagi Paramore dan Williams, ini adalah kelanjutan dari konsistensi mereka dalam isu-isu kemanusiaan yang telah dimulai sejak lama.

Paramore

Mekanisme boikot ini dilakukan dengan cara yang cukup teknis. Para artis yang bergabung dalam koalisi ini mengedit wilayah rilis mereka atau mengirimkan permintaan geo-block kepada distributor dan label. Yang menarik, mereka secara aktif mendorong tiga raksasa label musik – Sony, UMG, dan Warner – untuk mengikuti jejak mereka. Permintaan ini bukan tanpa preseden. Ketiga label besar tersebut sebelumnya telah memblokir seluruh katalog mereka dan menutup operasi di Rusia hanya sebulan setelah invasi ke Ukraina.

Katalog solo Hayley Williams dan seluruh musik Paramore kini tercantum resmi di situs web kampanye ‘No Music for Genocide’. Mereka bergabung dengan deretan nama besar lain seperti Fontaines D.C., Amyl & The Sniffers, dan Kneecap. Yang patut dicatat, mayoritas artis yang bergabung berasal dari label independen, menunjukkan bagaimana gerakan akar rumput mampu menggalang dukungan signifikan di industri musik.

Daftar pendukung kampanye ini terus bertambah dengan nama-nama seperti Rina Sawayama, MIKE, Primal Scream, Faye Webster, Japanese Breakfast, Yaeji, King Krule, MJ Lenderman, Mannequin Pussy, Wednesday, Soccer Mommy, dan MØ. Keragaman genre dan latar belakang artis yang terlibat membuktikan bahwa isu kemanusiaan ini melampaui batas-batas musik.

Konsistensi Sikap Politik Paramore

Meskipun Paramore belum memberikan pernyataan resmi mengenai bergabungnya mereka dengan kampanye ini, tindakan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari sikap politik mereka yang konsisten. Pada Mei 2024, saat Israel mengintensifkan operasi militer di Rafah, band asal Tennessee ini telah menyerukan donasi untuk mendukung bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Dalam pernyataan mereka saat itu, Paramore dengan tegas menyatakan: “Kami tidak percaya bahwa dukungan untuk teman dan keluarga Palestina kami sama dengan anti-Semitisme. Kami mencintai teman dan keluarga Yahudi kami dan berdoa untuk kembalinya para sandera yang masih tertahan. Namun demikian, kami tidak dapat mendukung genosida.” Pernyataan ini menunjukkan nuansa yang matang dalam menyikapi konflik kompleks tersebut.

Komitmen kemanusiaan Paramore dan Williams memang telah lama terlihat. Mereka sebelumnya mendukung Save the Children dan mendorong donasi untuk Dana Darurat Doctors Without Borders. Pada September 2024, mereka bahkan berkolaborasi dengan desainer fesyen Bug Girl untuk merchandise yang hasilnya disumbangkan kepada Medical Aid for Palestinians.

Dampak Lebih Luas dari Gerakan Boikot

Gerakan ‘No Music for Genocide’ tidak hanya berhenti pada penarikan musik dari platform streaming di Israel. Massive Attack, yang juga terlibat dalam kampanye ini, telah meminta label mereka, UMG, untuk menghapus musik mereka tidak hanya dari semua platform streaming di Israel, tetapi sepenuhnya dari Spotify.

Tuntutan ini terkait dengan laporan bahwa CEO Spotify Daniel Ek telah melakukan investasi signifikan pada “perusahaan yang memproduksi drone amunisi militer dan teknologi AI yang terintegrasi ke dalam pesawat tempur”. Beberapa artis lain yang memboikot Spotify karena investasi militer Ek termasuk King Gizzard & The Lizard Wizard, Xiu Xiu, dan Deerhoof.

Para penggagas kampanye ‘No Music for Genocide’ menyatakan tujuan mereka adalah “menginspirasi orang lain untuk merebut kembali agensi mereka dan mengarahkan pengaruh mereka menuju tindakan nyata.” Dalam pernyataan resmi mereka, mereka menegaskan: “Kami sangat berterima kasih kepada semua artis, manajer, dan label yang telah berkomitmen pada langkah pertama ini, dan kami bersemangat untuk memperluas ini bersama-sama. Semakin banyak dari kita, semakin kuat kita. Ini baru permulaan.”

Gerakan boikot budaya semacam ini memang bukan yang pertama dalam sejarah. Namun, skalanya dalam industri musik modern patut diperhitungkan. Dengan dominasi platform streaming dalam konsumsi musik kontemporer, penarikan katalog musik dari wilayah tertentu dapat memiliki dampak ekonomi dan kultural yang signifikan.

Konteks Karier Terkini Hayley Williams

Di tengah keterlibatan politiknya, Hayley Williams tetap produktif secara musik. Baru-baru ini, ia membantah rumor perpecahan Paramore dengan menyatakan bahwa band tersebut tidak bubar, tetapi sedang mengambil jeda. Pernyataan ini muncul bersamaan dengan rilis album solo terbarunya ‘Ego Death At A Bachelorette Party’.

Yang menarik, beberapa lirik kriptik dalam album tersebut diinterpretasikan penggemar sebagai petunjuk potensi perpisahan antara Williams dan gitaris Paramore Taylor York, yang dikonfirmasi pacarnya sejak 2022. Namun, seperti biasa, Williams memilih untuk membiarkan musiknya berbicara sendiri.

Rollout album ‘Ego Death At A Bachelorette Party’ memang cukup unik. Williams pertama kali mempreview 17 lagu di situs webnya untuk waktu terbatas sebagai proyek kejutan bernama ‘Ego’. Kemudian, ia merilis semua trek tersebut di platform streaming sebagai single individu. Akhirnya, akhir bulan lalu, ia secara resmi mengemas lagu-lagu tersebut sebagai ‘Ego Death At A Bachelorette Party’, bersama dengan trek ke-18 baru berjudul ‘Paradise’. Album fisik akan dirilis secara resmi pada 7 November.

NME memberikan ulasan bintang lima untuk koleksi 17 lagu tersebut, dengan menyatakan: “Seperti hampir setiap era karier Hayley Williams, rilis baru ini datang dengan pertanyaan tentang masa depan Paramore. Lirik yang penuh tekad pada lagu lembut ‘I Won’t Quit On You’ seharusnya menjadi semua jaminan yang dibutuhkan penggemar yang khawatir, tetapi jika itu tidak cukup, ada banyak hal dalam babak baru yang brilian dan penuh gaya ini untuk dinantikan. Lagu-lagu ini mungkin tentang kesempatan kedua yang terlewat, tetapi Williams tentu memanfaatkan kesempatannya dengan maksimal.”

Keputusan Paramore dan Williams untuk bergabung dengan ‘No Music for Genocide’ terjadi dalam konteks industri musik yang semakin politis. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan bagaimana musisi menggunakan platform mereka untuk menyuarakan isu-isu sosial dan politik, dari perubahan iklim hingga keadilan rasial.

Namun, boikot terhadap Israel menimbulkan kompleksitas tersendiri. Di satu sisi, ada tekanan dari aktivis hak asasi manusia yang mendokumentasikan penderitaan warga Palestina. Di sisi lain, ada kekhawatiran tentang anti-Semitisme dan dampaknya terhadap komunitas Yahudi. Paramore, melalui pernyataan mereka sebelumnya, telah berusaha menavigasi kerumitan ini dengan menekankan bahwa dukungan untuk Palestina tidak sama dengan permusuhan terhadap Yahudi.

Pertanyaan yang muncul adalah: seberapa efektif boikot budaya semacam ini? Sejarah menunjukkan bahwa boikot terhadap Afrika Selatan selama era apartheid berkontribusi pada tekanan internasional yang akhirnya mengakhiri sistem rasis tersebut. Namun, konteks Israel-Palestina memiliki dinamika yang berbeda, dengan dukungan kuat dari Amerika Serikat dan sekutunya.

Yang jelas, keterlibatan artis sekaliber Paramore dan Hayley Williams memberikan amplifikasi signifikan bagi gerakan ini. Dengan basis penggemar global yang loyal, keputusan mereka tidak hanya berdampak pada akses musik di Israel, tetapi juga pada kesadaran publik internasional tentang situasi di Gaza.

Dalam wawancara-wawancara sebelumnya, Williams sering berbicara tentang bagaimana musik dan aktivisme telah terjalin dalam perjalanan kariernya. Dari dukungan untuk organisasi kemanusiaan hingga keterlibatan dalam isu-isu lingkungan, ia telah menunjukkan bahwa menjadi musisi tidak harus terpisah dari menjadi warga global yang peduli.

Bergabungnya Paramore dan Williams dengan ‘No Music for Genocide’ mungkin akan memicu berbagai reaksi. Beberapa penggemar mungkin mendukung penuh, sementara yang lain mungkin kecewa dengan “politisasi” musik. Namun, dalam era di mana seni dan politik semakin sulit dipisahkan, keputusan seperti ini menjadi cerminan dari tanggung jawab sosial yang dirasakan oleh para seniman.

Seperti yang dikatakan oleh para penggagas kampanye, ini baru permulaan. Dengan semakin banyaknya artis yang bergabung, tekanan terhadap industri musik dan pemerintah Israel kemungkinan akan meningkat. Yang pasti, Paramore dan Hayley Williams telah memilih posisi mereka – dan dalam melakukannya, mereka mengingatkan kita bahwa kadang-kadang, seni terhebat adalah seni yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membangkitkan kesadaran.

Kemitraan AI Lionsgate-Runway Ternyata Tak Sesederhana Itu

0

Telset.id – Bayangkan jika studio film besar bisa mengubah waralaba andalannya menjadi anime hanya dalam hitungan jam, menggunakan kecerdasan buatan, lalu menjualnya kembali sebagai film baru. Itulah klaim ambisius yang dilontarkan Michael Burns, Wakil Ketua Lionsgate, awal tahun ini. Namun, realitas di balik kemitraan AI dengan Runway ternyata jauh lebih rumit dan penuh tantangan daripada yang dibayangkan.

Gagasan untuk memanfaatkan AI dalam produksi film bukanlah hal baru. Banyak perusahaan, termasuk OpenAI yang juga merambah animasi, berusaha menemukan efisiensi. Namun, kasus Lionsgate dan Runway ini menjadi contoh nyata betapa jurang antara visi dan eksekusi dalam teknologi generatif masih sangat lebar. Lantas, apa yang sebenarnya menghambat rencana revolusioner ini?

Janji Manis yang Terkendala Realitas Teknis

Kemitraan “pertama di jenisnya” antara Lionsgate dan Runway AI diumumkan tahun lalu dengan gegap gempita. Inti kesepakatannya: Lionsgate memberikan akses penuh ke seluruh perpustakaannya—rumah bagi franchise seperti John Wick dan The Hunger Games—kepada Runway. Runway kemudian akan menciptakan model AI eksklusif yang dapat digunakan Lionsgate untuk menghasilkan video berbasis AI. Impian Burns untuk membuat versi anime dari film mereka dalam beberapa jam pun seolah berada di depan mata.

Namun, laporan dari The Wrap mengungkapkan bahwa rencana ini menemui kendala signifikan. Ternyata, perpustakaan Lionsgate—sebesar dan sekaya apapun—tidak cukup untuk menciptakan model AI yang benar-benar fungsional. Bahkan, dikabarkan bahwa perpustakaan raksasa seperti milik Disney pun tidak akan memadai untuk tugas semacam ini. Ini adalah tamparan realitas bagi banyak yang mungkin mengira bahwa data dari satu studio sudah cukup.

Membangun model AI generatif yang andal membutuhkan data dalam skala yang benar-benar masif. Sebagai perbandingan, model seperti Google Deep Think atau Veo dan OpenAI Sora, yang dilatih dengan data hampir tak terbatas dari internet, masih sering menghasilkan video penuh kesalahan, glitch, dan keanehan yang membuat penonton tidak nyaman. Bayangkan, jika model dengan akses data terbatas seperti milik Lionsgate saja sudah bermasalah, hasilnya tentu akan jauh lebih terbatas lagi.

Misalnya, jika studio ingin menggunakan Runway untuk menciptakan efek pencahayaan tertentu dalam sebuah film, model tersebut hanya akan mampu merender efek itu jika memiliki cukup titik referensi untuk dipelajari. Tanpa data yang memadai, AI tidak bisa “belajar” dengan baik. Ini seperti mencoba mengajari seseorang melukis pemandangan laut hanya dengan menunjukkan padanya tiga gambar pantai—hasilnya tentu tidak akan mendekati realitas.

Belitan Masalah Hukum dan Hak Cipta

Selain kendala teknis, ada ranah lain yang sama peliknya: hukum. Burns sendiri mengakui kepada Vulture bahwa untuk mewujudkan impiannya membuat versi anime dari film Lionsgate menggunakan AI, dia harus membayar para aktor dan pemegang hak lainnya. Tapi pertanyaannya: siapa saja yang berhak mendapat kompensasi?

Apakah penulis skenario perlu mendapat bayaran? Bagaimana dengan sutradara? Atau bahkan kru pencahayaan (gaffer) untuk karya lighting mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab dengan jelas, menciptakan kabut hukum yang menghalangi jalan menuju rilisnya film yang sepenuhnya dihasilkan AI. Padahal, Lionsgate adalah pemilik intellectual property-nya sendiri.

Ini mengingatkan kita pada kompleksitas yang juga muncul dalam penggunaan AI di perangkat seperti Galaxy S25 Edge, di mana batasan antara alat bantu dan pelanggaran hak cipta menjadi semakin kabur. Industri kreatif sedang berjalan di atas tali yang sama sekali tidak kokoh ketika berbicara tentang regulasi AI.

Pertanyaan mendasarnya: ketika sebuah AI “belajar” dari karya manusia, lalu menciptakan sesuatu yang “baru”, siapa sebenarnya pemilik karya tersebut? Apakah studio yang memiliki data latih? Perusahaan AI yang mengembangkan model? Atau para kreator asli yang karyanya menjadi fondasi pembelajaran mesin tersebut? Ini adalah wilayah abu-abu yang belum dipetakan dengan baik oleh hukum mana pun di dunia.

Antara Pengakuan Resmi dan Realitas di Lapangan

Menanggapi laporan-laporan yang beredar, Peter Wilkes, Chief Communications Officer Lionsgate, memberikan pernyataan resmi yang cukup diplomatis. “Kami sangat puas dengan kemitraan kami dengan Runway dan inisiatif AI lainnya, yang sedang berjalan sesuai rencana,” katanya kepada Gizmodo.

Wilkes menambahkan bahwa Lionsgate memandang AI sebagai alat penting untuk melayani para pembuat film mereka, dan telah berhasil menerapkannya dalam beberapa proyek film dan televisi untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan menciptakan peluang bercerita yang baru. Dia juga menyebut penggunaan AI untuk mencapai penghematan biaya signifikan dan efisiensi yang lebih besar dalam lisensi perpustakaan film dan televisi mereka.

Namun, yang menarik adalah pernyataan “berjalan sesuai rencana” ini agak bertolak belakang dengan laporan tentang kendala teknis dan hukum yang dihadapi. Mungkin yang dimaksudkan Lionsgate adalah mereka tetap menggunakan Runway, meski tidak melalui model eksklusif seperti yang semula direncanakan.

Faktanya, dalam artikel Vulture yang sama awal tahun ini, disebutkan bahwa Lionsgate sedang mengerjakan pembuatan trailer yang dihasilkan AI untuk film yang bahkan belum syuting. Tujuannya? Agar eksekutif bisa menjual film berdasarkan adegan-adegan yang difabrikasi tersebut. Ini menunjukkan bahwa meski model eksklusif mungkin tidak terwujud, Lionsgate tetap mencari celah untuk memanfaatkan AI dalam proses kreatif—atau lebih tepatnya, proses bisnis—mereka.

Pertanyaan besarnya: apakah penonton dan para kreator benar-benar diuntungkan oleh proses seperti ini? Ataukah ini sekadar cara untuk memotong sudut dan menghemat biaya dengan mengorbankan integritas artistik? Ketika trailer bisa dibuat sebelum filmnya ada, batas antara visi kreatif dan manipulasi pemasaran menjadi semakin tipis.

Kisah Lionsgate dan Runway ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh industri. Teknologi AI generatif memang menjanjikan revolusi, tetapi jalan menuju adopsi yang sukses ternyata dipenuhi dengan rintangan teknis, hukum, dan etika yang tidak terduga. Sebelum kita melihat John Wick versi anime yang dibuat AI dalam waktu semalam, masih banyak PR yang harus diselesaikan—baik oleh para pengembang teknologi maupun pembuat kebijakan.

Realme GT 8 Pro Konfirmasi Modul Kamera yang Bisa Ditukar, Inovasi Baru!

0

Telset.id – Bayangkan Anda bisa mengubah tampilan belakang smartphone sesuka hati, layaknya mengganti casing. Realme GT 8 Pro menjadikan fantasi ini kenyataan dengan mengonfirmasi fitur modul kamera yang dapat ditukar—sebuah gebrakan yang mengubah cara kita memandang personalisasi perangkat.

Bocoran awal bulan ini sempat mengindikasikan desain modul kamera bulat. Namun, tipster terpercaya Digital Chat Station kemudian membagikan gambar dengan desain yang sedikit berbeda. Kini, Realme sendiri telah mengakhiri semua spekulasi dengan pengumuman resmi: GT 8 Pro akan menampilkan “camera deco” yang dapat diganti sesuai keinginan pengguna.

Ini bukan sekadar gimmick. Dalam video teaser yang dirilis, Realme memperlihatkan tiga pilihan bentuk modul kamera: desain bulat klasik, opsi persegi yang minimalis, dan versi “terinspirasi robot” dengan bentuk tidak beraturan. Pendekatan ini melampaui cut-out kamera biasa dan memberi sentuhan interaktif, memungkinkan Anda menyesuaikan estetika perangkat dengan kepribadian atau mood sehari-hari.

Lebih Dari Sekadar Estetika: Kamera 200MP dan Performa Tangguh

Di balik modul kamera yang bisa disesuaikan, Realme GT 8 Pro menyembunyikan kemampuan fotografi yang serius. Perangkat ini diyakini akan dilengkapi dengan lensa telefoto periskop 200 megapiksel, yang dijuluki “Ultra Eye”. Meski informasi tentang sensor kamera lainnya masih tertutup rapat, kehadiran sensor beresolusi ultra-tinggi ini menjanjikan detail gambar yang luar biasa bahkan pada zoom jarak jauh.

Layar menjadi salah satu pilar penting dalam pengalaman pengguna. Realme GT 8 Pro dikabarkan akan membawa layar AMOLED 2K 144Hz yang dikembangkan bersama BOE. Menggunakan material Q10+, layar ini tidak hanya menawarkan refresh rate tinggi untuk pengalaman gaming yang mulus, tetapi juga meningkatkan kecerahan dan perlindungan mata. Yang mengejutkan, Realme mengklaim tingkat kecerahan puncak mencapai 4.000 nit—angka yang hampir tak terbayangkan untuk smartphone konsumen.

Bagaimana dengan performa? Di jantung perangkat ini terdapat Snapdragon 8 Elite Gen 5, dipadukan dengan chip display khusus R1 dari Realme. Konfigurasi “dual-chip” ini dirancang khusus untuk meningkatkan performa gaming dan kualitas visual. Bicara soal ketahanan daya, Realme GT 8 Pro dikabarkan akan dibekali baterai berkapasitas besar melebihi 7.000mAh dengan dukungan pengisian cepat 120W.

Pengalaman Pengguna yang Lengkap dan Mendalam

Realme tidak setengah-setengah dalam menyempurnakan pengalaman menggunakan GT 8 Pro. Perangkat ini akan dilengkapi dengan speaker stereo untuk kualitas audio yang imersif, motor linear sumbu-X untuk umpan balik haptik yang presisi, dan pengenalan sidik jari ultrasonik 3D untuk keamanan biometrik yang lebih cepat dan akurat.

Semua fitur canggih ini akan segera bisa dinikmati konsumen. Realme GT 8 Pro dijadwalkan meluncur di China pada bulan Oktober, bersamaan dengan varian standarnya. Meski belum ada konfirmasi resmi mengenai peluncuran global, inovasi yang dibawa GT 8 Pro tentu membuatnya layak ditunggu oleh pasar internasional.

Langkah Realme dengan GT 8 Pro ini mengingatkan kita pada peluncuran global Realme GT 7 Pro di Malaysia, namun dengan pendekatan yang lebih berani dalam hal personalisasi. Di tengah persaingan smartphone yang semakin homogen, inisiatif seperti ini bisa menjadi pembeda yang signifikan.

Pertanyaannya sekarang: apakah konsep modul kamera yang dapat ditukar ini akan menjadi tren baru di industri smartphone, atau sekadar eksperimen sesaat? Jawabannya mungkin terletak pada bagaimana konsumen merespons inovasi ini ketika GT 8 Pro resmi diluncurkan. Satu hal yang pasti—Realme sekali lagi membuktikan bahwa mereka tidak takut mengambil risiko untuk menawarkan sesuatu yang berbeda.

Realme GT 8 Bocoran Geekbench: Snapdragon 8 Elite dan Skor Gahar

0

Telset.id – Bayangkan sebuah smartphone yang mampu membuat konsol gaming terbaru sekalipun merasa tersaingi. Itulah kesan pertama yang muncul dari bocoran terbaru Realme GT 8, yang baru saja terungkap melalui listing Geekbench. Dalam dunia teknologi yang bergerak cepat, Realme kembali menunjukkan taringnya dengan persiapan peluncuran seri GT 8 yang dijadwalkan Oktober mendatang di China.

Bocoran ini bukan sekadar rumor biasa. Data yang terungkap dari platform benchmarking terpercaya memberikan gambaran nyata tentang kemampuan yang akan dibawa ponsel flagship ini. Realme GT 8 muncul dengan kode model RMX6999, dan yang membuatnya istimewa adalah jantung pacu Snapdragon 8 Elite yang siap menghadirkan pengalaman performa tak tertandingi.

Mari kita bedah lebih dalam apa yang membuat Realme GT 8 layak ditunggu. Menurut listing Geekbench, chipset Snapdragon 8 Elite ini memiliki konfigurasi yang benar-benar mengesankan: dua core berkecepatan 4.32GHz dan enam core dengan kecepatan 3.53GHz, didukung oleh GPU Adreno 830. Kombinasi ini seperti memiliki mesin sport yang siap melesat kapan saja dibutuhkan.

Yang lebih menarik lagi, Realme GT 8 dibekali dengan RAM 16GB yang menjamin kelancaran multitasking ekstrem. Sistem operasinya pun sudah mengadopsi Android 16, menunjukkan komitmen Realme untuk menghadirkan pengalaman terdepan. Skor benchmark yang dicapai pun tak main-main: 2825 untuk single-core dan 8840 untuk multi-core test.

Bukti Kekuatan di Platform Lain

Konsistensi performa tinggi Realme GT 8 tidak hanya terlihat di Geekbench. Sebelumnya, ponsel ini sudah muncul di AnTuTu dengan skor mencengangkan sebesar 3.32 juta poin. Angka ini bukan sekadar statistik biasa, melainkan bukti nyata bahwa Realme serius menargetkan pasar smartphone gaming dan power user.

Sertifikasi 3C di China juga mengungkap kehadiran charger 100W, yang menjamin pengisian daya super cepat. Bagi Anda yang aktif menggunakan smartphone untuk produktivitas dan gaming, fitur ini seperti angin segar yang menghilangkan kekhawatiran kehabisan baterai di saat-saat penting.

Spesifikasi Layar dan Desain Mewah

Layar menjadi salah satu aspek yang tak kalah mengesankan. Realme GT 8 dikabarkan akan menggunakan panel OLED flat dengan resolusi 2K dan refresh rate 144Hz. Bayangkan betapa mulusnya pengalaman gaming dan scrolling dengan spesifikasi seperti ini. Sensor sidik jari ultrasonik di bawah layar menambah kesan premium sekaligus memastikan keamanan yang optimal.

Daya tahan baterai juga menjadi perhatian khusus. Dengan kapasitas 7000mAh, Realme GT 8 seperti membawa power bank internal yang siap menemani aktivitas seharian penuh. Desain fisiknya pun tak kalah premium, mengusung material glass back dan metal middle frame yang memberikan kesan kokoh sekaligus elegan.

Meskipun informasi tentang kamera masih tertutup rapat, spesifikasi yang sudah terungkap cukup untuk membuat para tech enthusiast bersemangat. Realme tampaknya belajar dari pengalaman sebelumnya dan fokus menghadirkan paket komplit yang tak hanya powerful, tetapi juga memiliki daya tahan baterai luar biasa.

Prospek Global dan Pesaing

Realme GT 8 Pro sudah dikonfirmasi akan meluncur di pasar global, namun nasib varian standar GT 8 masih menjadi tanda tanya. Keputusan ini cukup menarik mengingat spesifikasi Realme GT 8 yang sangat kompetitif bahkan untuk standar global. Seperti yang kami laporkan sebelumnya, Realme GT 8 Pro siap menjadi smartphone Snapdragon 8 Elite Gen 5 pertama di India, menunjukkan ekspansi agresif merek ini.

Bocoran tentang desain kamera bulat dan spesifikasi gahar Realme GT 8 Pro juga semakin melengkapi gambaran tentang ambisi Realme di segmen flagship. Sementara itu, kabar tentang baterai jumbo 8000mAh untuk GT 8 Pro menunjukkan bahwa Realme tidak main-main dalam hal daya tahan.

Dengan semua bocoran ini, pertanyaannya adalah: apakah Realme GT 8 akan menjadi game changer di pasar smartphone gaming? Jawabannya mungkin terletak pada strategi harga dan waktu peluncuran yang tepat. Yang pasti, persaingan di segmen flagship Oktober mendatang akan semakin panas dan menarik untuk disimak.

Bagi konsumen, kehadiran Realme GT 8 dengan spesifikasi segudang ini seperti angin segar yang menawarkan alternatif menarik di tengah maraknya smartphone flagship dengan harga selangit. Tunggu saja kejutan-kejutan lain yang mungkin masih disimpan Realme untuk peluncuran resmi Oktober nanti.

Microsoft Cabut Akses Teknologi untuk Pengawasan Massal Israel di Palestina

0

Telset.id – Bayangkan teknologi yang Anda gunakan setiap hari untuk bekerja, berkomunikasi, dan menyimpan data tiba-tiba menjadi alat pengawasan massal terhadap warga sipil. Inilah realitas kelam yang diungkap Microsoft dalam keputusan bersejarah mereka untuk memutus akses layanan cloud dan AI kepada unit intelijen Israel, Unit 8200, setelah terbukti digunakan untuk memata-matai warga Palestina secara masif.

Keputusan ini datang setelah investigasi internal Microsoft mengonfirmasi laporan The Guardian yang mengungkap bagaimana Azure—platform cloud andalan Microsoft—disalahgunakan untuk menyimpan dan memproses jutaan rekaman panggilan telepon warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Yang mengejutkan, data pengawasan yang dikumpulkan mencapai 8.000 terabyte—setara dengan menyimpan seluruh perpustakaan digital dunia berulang kali—semua tersimpan rapi di data center Microsoft di Belanda.

Brad Smith, Presiden Microsoft, dalam pernyataan resminya mengakui bahwa perusahaan telah “menghentikan dan menonaktifkan” layanan tertentu untuk Unit 8200, termasuk penyimpanan cloud dan layanan AI tertentu. Namun, ada yang mengganjal dalam pernyataan ini: Smith dengan hati-hati menghindari pengakuan langsung tentang program pengawasan massal, dengan alasan Microsoft tidak mengakses konten pelanggan dalam investigasi semacam ini. Sebuah posisi yang kontras dengan pernyataan mereka bulan Mei lalu yang menyatakan “tidak ada bukti” teknologi mereka digunakan untuk menyasar warga Palestina.

Dari Ruang Rapat ke Medan Perang Digital

Yang mungkin tidak Anda sadari adalah bagaimana pertemuan tingkat tinggi antara CEO Microsoft Satya Nadella dengan pimpinan Unit 8200 pada akhir 2021 menjadi awal dari kolaborasi yang bermasalah ini. Kala itu, mereka membahas hosting materi intelijen di platform cloud Microsoft—sebuah pembicaraan bisnis biasa yang ternyata menyimpan konsekuensi luar biasa bagi privasi dan hak asasi manusia.

Lalu apa yang membuat Microsoft akhirnya berubah pikiran? Tekanan dari dalam sendiri ternyata memegang peran krusial. Gerakan “No Azure for Apartheid” yang diorganisir oleh karyawan Microsoft telah melakukan berbagai aksi protes, termasuk mengganggu presentasi Nadella di Microsoft Build Conference dan menduduki kantor Brad Smith. Aksi terakhir ini bahkan berujung pada pemecatan beberapa karyawan yang berpartisipasi—sebuah langkah keras yang justru memicu perhatian lebih besar.

Hossam Nasr, mantan pekerja Microsoft dan organisator No Azure for Apartheid, menyebut keputusan ini sebagai “kemenangan signifikan dan belum pernah terjadi sebelumnya” bagi kampanye mereka. “Dalam waktu kurang dari sebulan sejak pendudukan di kantor Brad Smith, Microsoft telah mengambil keputusan penting untuk menjadi perusahaan teknologi AS pertama yang menghentikan penjualan beberapa teknologi kepada militer Israel sejak dimulainya genosida di Gaza,” ujarnya kepada Gizmodo.

Kemenangan Kecil di Tengah Kontrak yang Masih Berjalan

Namun, jangan terlalu cepat bertepuk tangan. Nasr dengan tegas menyoroti bahwa Microsoft hanya mematikan “sebagian kecil layanan untuk hanya satu unit dalam militer Israel,” sementara “sebagian besar kontrak Microsoft dengan militer Israel tetap utuh.” Pernyataan Smith sendiri mengonfirmasi hal ini, dengan menegaskan bahwa Microsoft terus “melindungi keamanan siber Israel dan negara-negara lain di Timur Tengah, termasuk di bawah Perjanjian Abraham.”

Pertanyaannya: bisakah kita benar-benar memisahkan antara “perlindungan keamanan siber” dengan program pengawasan massal? Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, batas antara keduanya seringkali kabur. Teknologi yang sama yang digunakan untuk melindungi sebuah negara bisa dengan mudah dialihfungsikan untuk memata-matai warganya sendiri.

Kasus ini mengingatkan kita pada pentingnya tanggung jawab perusahaan teknologi dalam mencegah penyalahgunaan platform mereka, mirip dengan bagaimana otoritas berusaha menangani ancaman siber global. Sementara di platform media sosial, upaya membersihkan konten berbahaya terus dilakukan, seperti fitur baru Instagram yang memudahkan penghapusan pengikut spam—sebuah langkah kecil namun penting dalam menciptakan ruang digital yang lebih sehat.

Nasr menegaskan komitmen gerakannya: “Sementara warga Palestina terus dibom, dibunuh, dibersihkan secara etnis, dan dibuat kelaparan secara paksa oleh militer Israel, tidak dapat diterima dan secara moral tidak dapat dipertahankan bagi Microsoft untuk terus menyediakan teknologi apa pun kepada militer tersebut. Keputusan hari ini hanya memotivasi kami lebih lanjut untuk melanjutkan organisasi kami sampai semua tuntutan kami terpenuhi, dan sampai Palestina merdeka.”

Keputusan Microsoft hari ini mungkin hanya setetes air di tengah samudera masalah, namun ia menciptakan preseden penting: untuk pertama kalinya, raksasa teknologi AS mengambil tindakan nyata terhadap penyalahgunaan teknologi mereka dalam konflik. Pertanyaannya sekarang—akankah perusahaan teknologi lainnya mengikuti jejak ini, atau bisnis akan terus berjalan seperti biasa atas nama keamanan nasional?

Perfect Corp Luncurkan Teknologi Virtual Try-On untuk Sepatu

0

Telset.id – Pernahkah Anda merasa ragu saat membeli sepatu secara online? Ukuran yang tidak pas, warna yang berbeda dari gambar, atau desain yang tidak sesuai ekspektasi seringkali menjadi momok yang menghantui para pembeli daring. Padahal, tren belanja sepatu melalui platform digital terus menunjukkan peningkatan signifikan. Menurut data Statista, pasar penjualan sepatu online mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun terakhir, dengan mayoritas transaksi dilakukan melalui perangkat mobile seperti smartphone dan tablet.

Fenomena ini sebenarnya wajar mengingat kemudahan dan aksesibilitas yang ditawarkan oleh belanja online. Namun, dibalik kepraktisan tersebut tersembunyi sederet masalah klasik yang belum sepenuhnya terpecahkan. Konsumen tidak bisa mencoba sepatu secara langsung, kesulitan menilai detail produk secara akurat, menghadapi ketidakkonsistenan ukuran antar merek, dan yang paling menyebalkan – proses pengembalian barang yang rumit dan memakan waktu. Bayangkan, Anda sudah menunggu berhari-hari, namun ketika paket tiba, sepatu yang Anda idamkan justru tidak sesuai dengan harapan.

Merespons tantangan inilah Perfect Corp menghadirkan terobosan revolusioner: Shoes Virtual Try-On (VTO). Teknologi mutakhir berbasis artificial intelligence (AI) dan augmented reality (AR) ini memungkinkan konsumen mencoba berbagai model sepatu secara virtual melalui kamera smartphone, komputer desktop, atau perangkat digital lainnya. Seolah-olah Anda memiliki fitting room pribadi di genggaman tangan.

Revolusi Digital dalam Dunia Alas Kaki

Teknologi Shoes VTO dari Perfect Corp bukan sekadar gimmick belaka. Dibangun dengan fondasi yang kuat, sistem ini menggabungkan model 3D beresolusi tinggi dengan motion tracking canggih, menghasilkan visualisasi yang sangat realistis. Sepatu virtual akan tampak melekat secara natural pada kaki pengguna, bahkan mengikuti pergerakan dengan presisi tinggi. Anda bisa berjalan, berputar, atau sekadar menggerakkan kaki – semua akan terlihat seperti sedang mencoba sepatu sungguhan.

Yang membuat teknologi ini begitu mengesankan adalah kemampuannya menampilkan detail-detail halus. Tekstur bahan, gradasi warna, hingga finishing desain dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dengan akurasi yang hampir sempurna. Pengalaman ini tidak hanya fungsional, tetapi juga menghadirkan sensasi imersif yang menyenangkan. Konsumen bisa bereksperimen dengan berbagai model dan gaya tanpa batasan, layaknya berbelanja di butik mewah dengan koleksi tak terbatas.

Alice Chang, Founder & CEO Perfect Corp, dalam pernyataannya menyampaikan visi perusahaan dengan jelas. “Di Perfect Corp, kami percaya bahwa teknologi dapat menghadirkan pengalaman belanja yang lebih personal, menyenangkan, dan penuh kepercayaan diri. Dengan Shoe Virtual Try-On, konsumen di Indonesia bisa mencoba berbagai model sepatu hanya dengan smartphone mereka, sehingga keputusan belanja menjadi lebih mudah dan meyakinkan.”

Dampak Positif Bagi Brand dan Lingkungan

Kehadiran teknologi Virtual Try-On ini bagaikan angin segar bagi brand dan retailer sepatu. Di satu sisi, mereka bisa meningkatkan conversion rate secara signifikan karena konsumen merasa lebih yakin dengan pilihan mereka. Di sisi lain, tingkat pengembalian produk dapat ditekan secara drastis, yang berarti penghematan biaya operasional yang cukup substantial. Bayangkan berapa banyak sumber daya yang bisa dihemat ketika angka retur berkurang.

Lebih dari sekadar keuntungan finansial, teknologi ini juga memperkuat positioning brand sebagai pionir inovasi digital. Di era dimana konsumen semakin cerdas dan menuntut pengalaman berbelanja yang eksklusif, kemampuan adaptasi terhadap teknologi terbaru menjadi nilai jual yang sangat powerful. Brand yang mampu menghadirkan pengalaman personalized dan cutting-edge akan lebih mudah merebut hati konsumen milenial dan Gen Z.

Yang tak kalah penting, inovasi ini membawa dampak positif bagi lingkungan. Setiap proses pengembalian produk berarti tambahan emisi karbon dari pengiriman ulang dan limbah kemasan yang semakin menumpuk. Dengan mengurangi frekuensi retur, teknologi Shoes VTO turut berkontribusi dalam menciptakan industri fashion yang lebih sustainable. Langkah kecil memang, tapi dalam skala besar, dampaknya bisa sangat signifikan bagi kelestarian planet kita.

Masa Depan Belanja Fashion yang Lebih Cerdas

Perfect Corp tidak berhenti pada sepatu virtual semata. Visi mereka jauh lebih besar – menciptakan ekosistem belanja fashion digital yang terintegrasi. Kedepannya, konsumen tidak hanya bisa mencoba sepatu secara virtual, tetapi juga memadukannya dengan aksesori dan pakaian dalam wardrobe virtual. Bayangkan bisa mix and match seluruh outfit tanpa perlu berganti pakaian berulang kali.

Teknologi ini sebenarnya merupakan bagian dari transformasi digital yang sedang terjadi di berbagai sektor retail. Seperti halnya fitting room virtual untuk pakaian atau augmented reality untuk perhiasan, Shoes VTO menjadi bukti bahwa batas antara dunia fisik dan digital semakin kabur. Konsumen modern menginginkan kemudahan tanpa mengorbankan pengalaman, dan solusi semacam inilah jawabannya.

Di Indonesia, dimana penetrasi smartphone sudah sangat tinggi dan e-commerce terus berkembang pesat, kehadiran teknologi Shoes Virtual Try-On sangat tepat waktu. Konsumen lokal yang dikenal sangat detail dalam memilih produk kini memiliki alat yang mampu memenuhi ekspektasi mereka. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa ini bisa menjadi game changer dalam industri retail sepatu tanah air.

Lalu, apa artinya semua ini bagi Anda sebagai konsumen? Simple saja – belanja sepatu online tidak akan pernah sama lagi. Keraguan akan ukuran dan kesesuaian desain bisa diminimalisir, proses decision making menjadi lebih cepat dan akurat, dan yang paling penting – pengalaman belanja menjadi lebih menyenangkan. Seperti memiliki personal shopper yang memahami selera dan kebutuhan Anda.

Perfect Corp melalui inovasi Shoes Virtual Try-On tidak hanya menjawab kebutuhan praktis konsumen modern, tetapi juga membuka jalan menuju masa depan belanja fashion yang lebih cerdas, engaging, dan berkelanjutan. Saatnya mengatakan selamat tinggal pada era trial and error dalam berbelanja sepatu online, dan menyambut era baru dimana confidence dalam berbelanja digital bukan lagi sekadar impian.

Galaxy Buds3 FE dan Buds Core: Audio Premium dengan Harga Terjangkau

0

Telset.id – Pernahkah Anda merasa harus mengeluarkan budget besar hanya untuk mendapatkan pengalaman audio berkualitas? Era dimana true wireless stereo (TWS) premium identik dengan harga selangit kini mulai menemui titik balik. Samsung dengan cerdas membaca kebutuhan ini dan menghadirkan solusi melalui duo terbaru: Galaxy Buds3 FE dan Galaxy Buds Core. Dua produk yang hadir bukan sekadar sebagai alternatif, melainkan jawaban konkret atas kerinduan akan perangkat audio yang menghadirkan kualitas tanpa menguras kantong.

Di tengah pasar yang semakin padat, Samsung mengambil pendekatan strategis dengan meluncurkan dua varian yang memiliki positioning jelas. Galaxy Buds3 FE hadir untuk mereka yang menginginkan fitur lengkap ala flagship dengan harga lebih terjangkau, sementara Galaxy Buds Core fokus pada esensi audio yang andal untuk penggunaan sehari-hari. Keduanya bukan sekadar produk biasa, melainkan manifestasi dari komitmen Samsung dalam mendemokratisasikan teknologi audio berkualitas.

Annisa Maulina, MX Product Marketing Senior Manager Samsung Electronics Indonesia, menegaskan hal ini. “Kehadiran Galaxy Buds3 FE dan Galaxy Buds Core merupakan komitmen kami untuk memperluas akses terhadap teknologi audio terdepan dari Samsung. Kami memahami bahwa kebutuhan konsumen Indonesia sangat beragam. Untuk itu, kami menghadirkan dua pilihan yang sama-sama powerful namun dengan value proposition yang berbeda.”

Galaxy Buds3 FE: Paket Lengkap dengan Sentuhan AI

Bagi Anda yang menginginkan pengalaman audio imersif tanpa kompromi, Galaxy Buds3 FE layak menjadi pertimbangan serius. Produk ini menghadirkan fitur-fitur yang biasanya hanya ditemui di TWS kelas atas, mulai dari Active Noise Cancelling (ANC) yang efektif hingga integrasi dengan Galaxy AI melalui Gemini AI Quick Access.

Yang menarik, meski hadir dengan harga terjangkau, Samsung tidak setengah-setengah dalam menghadirkan pengalaman premium. ANC pada Buds3 FE mampu meredam kebisingan dengan efektif, membuatnya ideal untuk digunakan saat commuting, bekerja, atau belajar di lingkungan ramai. Integrasi AI-nya pun bukan sekadar gimmick, melainkan fitur yang benar-benar fungsional untuk merekomendasikan mode suara sesuai kondisi dan membantu aktivitas harian.

Fernanda Gunsan, audio reviewer dan content creator, membenarkan klaim ini. “Yang langsung terasa dari Galaxy Buds3 FE adalah kenyamanan pakai seharian dan kualitas audio yang benar-benar impresif untuk harganya. Desainnya ergonomis, ringan, dan nggak gampang lepas. Soal suara, bass-nya terasa dalam dan punchy, sementara detail di treble tetap jernih dan jelas.”

Dari segi ketahanan, Buds3 FE dilengkapi sertifikasi IP54 yang membuatnya tahan terhadap debu, keringat, dan percikan air. Baterainya yang tahan lama semakin melengkapi paket lengkap ini, memastikan Anda bisa menggunakannya seharian tanpa khawatir kehabisan daya.

Galaxy Buds Core: Simplicity yang Powerful

Di sisi lain, Galaxy Buds Core hadir dengan filosofi berbeda. Produk ini ditujukan bagi mereka yang mencari TWS entry-level yang sederhana namun tetap andal. Dengan fokus pada kepraktisan dan kemudahan penggunaan, Buds Core menghadirkan fondasi audio yang solid untuk kebutuhan sehari-hari.

Dilengkapi Bluetooth 5.3 yang stabil dan dukungan codec SBC & AAC, Buds Core memastikan koneksi yang reliable dan suara yang jernih. Yang mengesankan, untuk kelas entry-level, produk ini mampu bertahan hingga 35 jam dengan charging case – angka yang cukup impresif bahkan dibandingkan beberapa kompetitor di kelas lebih tinggi.

Fernanda Gunsan memberikan apresiasi khusus terhadap pendekatan sederhana namun efektif dari Buds Core. “Hal yang saya suka dari Galaxy Buds Core adalah pendekatannya yang fokus pada hal esensial. Meski harganya sangat terjangkau, build quality-nya tidak mengecewakan. Desainnya ringan dan pas di telinga, cocok untuk pemakaian berjam-jam.”

Dengan sertifikasi IP54 yang sama dengan varian FE, Buds Core juga siap menemani aktivitas fisik ringan hingga olahraga. Produk ini menjadi bukti bahwa Samsung memahami betul kebutuhan pasar entry-level yang menginginkan produk andal tanpa fitur berlebihan.

Strategi Pasar yang Cerdas

Kehadiran kedua produk ini menunjukkan pemahaman mendalam Samsung terhadap segmentasi pasar Indonesia. Galaxy Buds3 FE dengan hashtag #MakinWorthIt menargetkan konsumen yang menginginkan upgrade pengalaman audio tanpa harus membayar harga flagship. Sementara Galaxy Buds Core dengan tagline #YangPentingPas menyasar pengguna pertama kali atau mereka yang mengutamakan fungsi dasar yang andal.

Strategi ini sejalan dengan lini produk FE lainnya dari Samsung, seperti yang terlihat pada Samsung Galaxy S25 FE yang juga menghadirkan fitur premium dengan harga lebih terjangkau. Pendekatan ini terbukti efektif dalam memperluas jangkauan pasar sekaligus mempertahankan kualitas brand.

Fernanda menambahkan, “Banyak orang berpikir fitur premium selalu identik dengan harga tinggi, tapi hal ini tidak berlaku untuk duo terbaru dari Samsung. Keduanya berhasil menawarkan teknologi yang biasanya ditemui di TWS kelas atas, namun dengan harga yang lebih terjangkau. Samsung juga memberikan tuning suara yang cukup konsisten di seluruh lini TWS-nya.”

Konsistensi dalam tuning suara ini menjadi poin penting yang sering diabaikan merek lain. Dengan menjaga kualitas audio yang konsisten across different segments, Samsung membangun ekosistem audio yang kohesif dan dapat diandalkan.

Ketersediaan dan Harga yang Menarik

Dari sisi ketersediaan, Samsung memberikan pilihan yang fleksibel. Galaxy Buds3 FE telah tersedia di Samsung Store offline sejak 18 September 2025 dan di online store samsung.com/id sejak 26 September 2025. Dengan harga normal Rp1.999.000, konsumen bisa mendapatkan promo cashback Rp200.000 hingga 31 Oktober 2025, sehingga harga efektifnya menjadi Rp1.799.000.

Sementara Galaxy Buds Core hadir dengan harga lebih terjangkau di Rp799.000 dan tersedia di seluruh channel penjualan. Perbedaan harga yang signifikan antara kedua varian ini memungkinkan konsumen memilih sesuai kebutuhan dan budget tanpa harus mengorbankan kualitas dasar.

Kehadiran duo TWS terbaru ini bukan sekadar peluncuran produk biasa. Ini adalah pernyataan strategis Samsung dalam menguasai segmen audio dengan pendekatan yang lebih inklusif. Seperti yang terjadi pada Galaxy S25 FE, Samsung kembali membuktikan kemampuannya dalam menghadirkan produk berkualitas dengan value proposition yang kuat.

Di era dimana teknologi AI semakin berkembang pesat – meski masih menyisakan misteri seperti yang diakui CEO Anthropic – integrasi AI pada perangkat audio seperti Galaxy Buds3 FE menjadi langkah natural dalam evolusi teknologi konsumen. Samsung memahami bahwa masa depan audio personal tidak hanya tentang kualitas suara, tetapi juga tentang kecerdasan yang membuat pengalaman lebih personal dan intuitif.

Dengan Galaxy Buds3 FE dan Galaxy Buds Core, Samsung tidak hanya menawarkan produk, melainkan solusi audio yang memahami keragaman kebutuhan konsumen Indonesia. Keduanya hadir sebagai bukti bahwa pengalaman audio premium kini bisa dinikmati oleh lebih banyak kalangan, tanpa harus mengorbankan kualitas atau fitur penting. Inilah demokratisasi teknologi audio dalam bentuknya yang paling elegan dan terjangkau.

ManageEngine Perkuat Log360 dengan Deteksi Ancaman yang Dirancang Ulang

0

Telset.id – Bayangkan Anda adalah seorang analis keamanan siber yang harus menyaring ribuan peringatan setiap hari. Dari sekian banyak notifikasi yang berdering, 53 persen di antaranya ternyata hanyalah “kebisingan” belaka—false positive yang menguras energi dan waktu berharga. Inilah realitas pahit yang dihadapi lebih dari 60 persen tim SOC global menurut studi 2025 Threat Intelligence Benchmark yang ditugaskan Google. Namun, ManageEngine baru saja meluncurkan solusi yang bisa mengubah segalanya.

ManageEngine, divisi dari Zoho Corporation, secara resmi mengumumkan pembaruan besar pada platform SIEM mereka, Log360. Yang menarik, ini bukan sekadar tambalan kecil atau pembaruan rutin. Ini adalah perubahan fundamental dalam pendekatan deteksi ancaman—sebuah respons langsung terhadap epidemi “alert fatigue” yang melanda industri keamanan siber. Dengan lebih dari 1.500 aturan deteksi siap pakai yang telah dipetakan ke kerangka kerja MITRE ATT&CK dan SIGMA, Log360 yang telah diperbarui ini menjanjikan revolusi dalam cara tim SOC bekerja.

Manikandan Thangaraj, Wakil Presiden di ManageEngine, menjelaskan dengan gamblang: “Tantangan terbesar tim keamanan saat ini bukan mengumpulkan data—tetapi memisahkan sinyal asli dari kebisingan yang berlebihan.” Pernyataan ini menyentuh inti masalah yang selama ini menjadi momok di industri keamanan siber. Bagaimana tidak, ketika serangan siber global semakin mengkhawatirkan, kemampuan untuk fokus pada ancaman nyata menjadi kebutuhan kritis.

Yang membedakan pembaruan ini dari sekadar peningkatan teknis biasa adalah pendekatan human-centered design-nya. Alih-alih menambahkan kompleksitas dengan aturan yang semakin rumit, ManageEngine justru menyederhanakan pengalaman analis. Konsol deteksi terpusat yang baru mengkonsolidasikan semua konten deteksi—aturan selaras MITRE ATT&CK, logika korelasi, UEBA, dan threat intel feeds—ke dalam satu tampungan yang intuitif. Hasilnya? Analis tidak perlu lagi berjuang dengan kueri kompleks atau bolak-balik antara berbagai antarmuka.

Bukti Nyata dari Lapangan: Pengurangan 90% False Positive

Cerita paling meyakinkan datang dari Emergency Communications of Southern Oregon (ECSO) 911, salah satu peserta uji coba beta yang berbasis di Amerika Serikat. Corey Nelson, IT Manager ECSO 911, membagikan pengalaman transformatif mereka: “Dengan aturan deteksi Log360 yang dioptimalkan dan teknik pemfilteran, kami berhasil mengurangi peringatan salah atau prioritas rendah hingga 90%.” Angka ini bukan sekadar statistik—ini tentang menyelamatkan nyawa dalam konteks pusat panggilan darurat 911.

Nelson menekankan, “Bagi pusat komunikasi darurat 911, keamanan adalah fondasi dari kepercayaan publik—dan setiap kegagalan memiliki konsekuensi nyata secara langsung.” Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap peringatan keamanan yang terlewat, bisa jadi ada nyawa yang dipertaruhkan. Inilah mengapa ancaman terhadap sistem teknologi kritis harus ditangani dengan serius.

Pencapaian ECSO 911 ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan ManageEngine bukan sekadar janji marketing. Pengurangan 90% false positive berarti analis bisa menghabiskan waktu mereka untuk ancaman yang benar-benar berbahaya, bukan terjebak dalam “wild goose chase” mengejar bayangan yang tidak nyata. Dalam industri di setiap detik berarti, percepatan siklus deteksi-respon seperti ini bisa menjadi pembeda antara bencana dan keselamatan.

Arsitektur untuk Skala Enterprise yang Semakin Kompleks

Di era di mana ancaman siber semakin canggih, skalabilitas menjadi tantangan berikutnya. ManageEngine menjawab ini dengan arsitektur multi-tier kelas enterprise yang memungkinkan skalabilitas horizontal. Dengan cluster log processor dan pemrosesan berbasis peran (korelasi, pengayaan, pemberitahuan), serta pengumpulan terpusat dari lokasi terdistribusi, Log360 memastikan performa tetap optimal bahkan di organisasi dengan cakupan geografis luas.

Yang menarik, pembaruan ini juga mencakup filter berbasis objek di seluruh pengguna, grup, dan OU Active Directory. Fitur ini memastikan identitas bernilai tinggi—seperti akun administrator atau akses ke data sensitif—selalu dipantau dengan ketat, sementara kebisingan dari aktivitas rutin bisa ditekan. Ini seperti memiliki sistem keamanan yang tahu persis mana jendela yang rawan dan mana yang aman, alih-alih memperlakukan semua jendela sama.

Dengan lebih dari 1.500 aturan siap pakai yang mencakup beragam kasus penggunaan—dari eskalasi hak akses dan pergerakan lateral hingga manipulasi endpoint dan serangan SaaS—Log360 memberikan coverage yang komprehensif. Aturan-aturan ini tidak dikembangkan asal-asalan; mereka diteliti, dikurasi, dan diuji oleh tim riset ancaman internal ManageEngine untuk memastikan akurasi tinggi dan false positive rendah.

ManageEngine mengundang para profesional keamanan siber untuk bergabung dalam sesi peluncuran pada 30 September 2025 melalui https://mnge.it/8gM. Bagi yang ingin mempelajari lebih dalam tentang kapabilitas deteksi ancaman Log360, informasi lengkap tersedia di https://mnge.it/Vi9. Di tengah landscape ancaman siber yang semakin kompleks, solusi yang mampu memisahkan sinyal nyata dari kebisingan mungkin menjadi investasi terpenting yang bisa dilakukan organisasi mana pun.

OpenAI Luncurkan Fitur Belanja Langsung di ChatGPT

0

Telset.id – Bayangkan memesan sepatu lari terbaik atau kado rumah baru tanpa pernah meninggalkan obrolan dengan asisten AI Anda. Itulah kenyataan yang mulai hari ini bagi pengguna ChatGPT di Amerika Serikat, berkat peluncuran fitur Instant Checkout oleh OpenAI. Langkah strategis ini bukan sekadar tambahan fitur belanja biasa, melainkan sebuah terobosan signifikan yang mengantarkan kita lebih dekat ke era agen AI yang sepenuhnya fungsional.

Dengan Instant Checkout, proses belanja online menjadi semudah bertanya rekomendasi. Ketika Anda menanyakan “ide kado untuk rumah baru” atau “sepatu lari terbaik di bawah $100”, produk dari penjual Etsy yang mendukung fitur ini akan menampilkan opsi “Beli”. Cukup ketuk, konfirmasi pesanan, alamat pengiriman, dan detail pembayaran—semuanya terjadi dalam antarmuka chat yang familiar. Bagi pelanggan berlangganan ChatGPT, pembayaran bisa menggunakan kartu yang sudah terdaftar atau memilih metode lain. Penjual kemudian menangani pesanan seperti biasa, dengan ChatGPT bertindak sebagai perantara yang memberikan informasi pembeli. Layanan ini gratis untuk pengguna, meski penjual dikenakan biaya kecil untuk setiap transaksi yang berhasil.

OpenAI dengan tegas menyatakan bahwa produk dengan Instant Checkout tidak akan mendapatkan perlakuan khusus dalam hasil pencarian atau memengaruhi rekomendasi secara keseluruhan. Namun, dalam peringkat penjual produk yang sama, faktor “apakah Instant Checkout diaktifkan” akan dipertimbangkan untuk “mengoptimalkan pengalaman pengguna”—sebuah nuance penting dalam algoritma rekomendasi yang patut dicermati.

Ekspansi Besar-besaran dan Sumber Terbuka

Yang membuat gebrakan ini semakin menarik adalah skalanya. OpenAI mengungkapkan bahwa lebih dari satu juta merchant Shopify—termasuk merek-merek ternama seperti Glossier, SKIMS, dan Spanx—akan segera bergabung dalam platform ini. Untuk saat ini, Instant Checkout hanya mendukung pembelian item tunggal, namun perusahaan sudah berencana menambahkan keranjang belanja multi-item dan memperluas jangkauan ke lebih banyak merchant serta region di seluruh dunia.

Mungkin yang paling visioner dari seluruh pengumuman ini adalah keputusan OpenAI untuk membuka sumber teknologi yang mendukung Instant Checkout. Protokol yang dikembangkan bersama processor pembayaran Stripe ini, disebut Agentic Commerce Protocol, dimaksudkan menjadi standar untuk belanja berbasis AI dan memudahkan developer mengintegrasikan toko mereka dengan ChatGPT. Langkah open source ini mengingatkan pada upaya OpenAI mengembangkan chip sendiri demi meningkatkan kemampuan ChatGPT—sebuah komitmen jangka panjang untuk membangun ekosistem yang independen dan powerful.

Perlombaan Menuju Agen AI yang Autonom

Instant Checkout bukanlah langkah isolated OpenAI. Ini adalah bagian dari puzzle besar yang sedang disusun perusahaan untuk menciptakan agen AI yang benar-benar mandiri. Industri secara keseluruhan sedang berlomba meluncurkan apa yang disebut agen AI—asisten virtual yang secara teori bisa menangani tugas seperti menulis laporan, memesan perjalanan, berbelanja online, dan menjadwalkan appointment.

Baru minggu lalu, OpenAI meluncurkan ChatGPT Pulse, yang melakukan riset relevan untuk pengguna dan terhubung ke email, kalender, dan aplikasi lain untuk memberikan briefing pagi harian. Fitur lain yang diperkenalkan tahun ini, ChatGPT Agent, juga terhubung ke aplikasi pengguna namun masih membutuhkan prompt eksplisit untuk menjalankan tugas. Dan pada Januari, perusahaan memperkenalkan OpenAI Operator, tool yang bisa mengisi form online dan menempatkan pesanan sendiri—meski pembeli masih harus memasukkan informasi pembayaran secara manual.

Perkembangan ini terjadi dalam landscape kompetitif yang semakin panas. Persetujuan Grok xAI oleh pemerintah AS dan investasi besar-besaran seperti komitmen Apple senilai Rp 16 triliun untuk server AI Nvidia menunjukkan betapa seriusnya perlombaan teknologi ini.

Pertukaran yang Tak Terelakkan: Kemudahan vs Privasi

Namun ada satu hal yang semakin jelas seiring mendekatnya era agen AI: mereka membutuhkan akses ke banyak data pribadi kita untuk bekerja dengan baik, jika memang mereka bisa bekerja. Instant Checkout membutuhkan informasi kartu kredit, alamat, preferensi belanja—data yang sangat sensitif yang sekarang dipercayakan kepada sistem AI.

Ini mengingatkan pada temuan mengejutkan tentang chatbot AI yang paling banyak mengumpulkan data pribadi. Ketika AI menjadi semakin terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, pertanyaan tentang privasi dan keamanan data menjadi semakin kritis. Bagaimana OpenAI akan melindungi data pengguna? Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kebocoran? Dan yang paling penting—seberapa jauh kita bersedia mengorbankan privasi untuk kemudahan?

Lanskap kompetisi juga patut diperhatikan. Dengan ChatGPT menjadi platform belanja, bagaimana dampaknya terhadap pemain e-commerce mapan? Apakah kita akan melihat respons regulator seperti yang terjadi pada iklan Google yang dianggap merugikan persaingan oleh pengawas Inggris?

OpenAI dengan Instant Checkout-nya tidak hanya mengubah cara kita berbelanja, tetapi juga mendefinisikan ulang hubungan kita dengan teknologi AI. Ini bukan sekadar fitur baru—ini adalah jendela menuju masa depan di mana asisten digital kita tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi benar-benar mengambil tindakan untuk kita. Pertanyaannya sekarang: seberapa siapkah kita menyambut masa depan itu, dengan segala konsekuensi dan komprominya?

Bocoran Aplikasi Sora 2 OpenAI: TikTok AI dengan Fitur Wajah yang Kontroversial

0

Telset.id – Bayangkan sebuah platform media sosial di mana setiap video yang Anda scroll sepenuhnya dibuat oleh kecerdasan buatan. Tidak ada konten manusia asli, tidak ada momen spontan—hanya simulasi digital yang dipersonalisasi untuk Anda. Inilah yang sedang dipersiapkan OpenAI, menurut laporan eksklusif dari Wired. Aplikasi Sora 2 yang sedang dikembangkan dikabarkan akan menjadi TikTok versi AI murni, lengkap dengan fitur pengenalan wajah yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Laporan ini muncul di tengah gelombang skeptisisme terhadap konten AI. Meta baru-baru ini meluncurkan feed khusus AI di aplikasi Meta AI-nya, yang langsung menuai kritik pedas dari pengguna. Sekarang, OpenAI dikabarkan akan melangkah lebih jauh dengan aplikasi mandiri untuk model pembuatan video Sora 2. Yang membedakan? Platform ini akan menggunakan algoritma rekomendasi personalisasi untuk menyajikan konten yang sesuai minat pengguna, mirip dengan cara kerja TikTok, Instagram Reels, atau YouTube Shorts. Bedanya, semua konten di sini 100% buatan mesin.

Mekanisme Platform yang Mengusik Privasi

Yang paling kontroversial dari bocoran aplikasi Sora 2 ini adalah sistem verifikasi identitas melalui pengenalan wajah. Pengguna akan diminta untuk mengonfirmasi kemiripan wajah mereka, dan setelah itu—inilah bagian yang mengkhawatirkan—wajah mereka dapat digunakan dalam video AI. Bahkan lebih mengganggu lagi: pengguna lain dapat menandai Anda dan menggunakan kemiripan wajah Anda dalam video buatan mereka sendiri. Setiap kali wajah Anda digunakan, Anda akan mendapat notifikasi—bahkan jika video tersebut hanya disimpan sebagai draf dan tidak pernah diposting.

Di era ketika pemerintah federal AS baru mulai membahas regulasi terbatas untuk melindungi korban deepfake non-konsensual, fitur semacam ini terasa seperti langkah mundur. Apakah ini berarti Sora 2 pada dasarnya memfasilitasi manipulasi wajah oleh orang lain? Pertanyaan ini semakin menguat mengingat rekam jejak OpenAI dalam hal keamanan konten. Meskipun perusahaan mengklaim telah menambahkan perlindungan ke model Sora asli untuk mencegah generasi konten telanjang dan eksplisit, pengujian independen menunjukkan sistem tetap dapat menghasilkan konten terlarang—meski dalam tingkat yang rendah.

Batasan Teknis dan Implikasi Sosial

Dari segi teknis, video yang dihasilkan Sora 2 akan dibatasi hingga 10 detik—jauh lebih pendek dari kemampuan Sora versi pertama yang bisa menghasilkan video 60 detik. Pembatasan ini kemungkinan besar terkait dengan keterbatasan teknologi: setelah 10 detik, kualitas video AI mulai menurun dan “berhalusinasi” elemen aneh. Meskipun OpenAI melatih modelnya untuk menolak pelanggaran hak cipta dan menerapkan filter untuk membatasi jenis video tertentu, pertanyaan tentang efektivitas perlindungan ini tetap menggantung.

Yang menarik, tidak ada cara untuk mengunggah foto atau video langsung tanpa edit di platform ini. Semua konten harus melewati proses “AI-fikasi” terlebih dahulu. Pendekatan ini sekilas terlihat seperti upaya untuk mengkarantina konten AI dalam ekosistem terpisah—sebuah konsep yang mungkin justru bijaksana di tengah banjirnya konten AI di platform konvensional. Namun, implementasi fitur sosialnya, khususnya yang melibatkan penggunaan wajah pengguna, justru menciptakan risiko privasi baru.

Bagi Anda yang tertarik dengan alternatif pembuatan konten video, tersedia berbagai aplikasi untuk membuat video bokeh terbaik Android 2024 yang menawarkan kreativitas tanpa kompromi privasi. Sementara platform seperti X yang mirip Zoom dengan fitur video call mendemonstrasikan bagaimana fitur sosial dapat diimplementasikan dengan lebih transparan.

Masa Depan yang Masih Spekulatif

Hingga saat ini, OpenAI belum mengonfirmasi rencana pengembangan aplikasi Sora 2. Gizmodo telah menghubungi perusahaan tersebut tetapi belum menerima tanggapan pada saat publikasi. Spekulasi tentang peluncuran Sora 2 telah beredar selama berbulan-bulan, dengan beberapa pihak memperkirakan pengumuman akan dilakukan bersamaan dengan peluncuran GPT-5. Untuk saat ini, aplikasi dan modelnya masih bersifat teoretis.

Namun, jika laporan Wired akurat, kita mungkin sedang menyaksikan kelahiran bentuk baru media sosial—atau mungkin “anti-sosial media”—di mana interaksi manusia digantikan oleh simulasi AI. Konsep feed AI eksklusif sebenarnya mengandung potensi positif: memisahkan konten AI dari platform konvensional, mirip bagaimana cara download video YouTube pakai aplikasi Telegram memisahkan fungsi unduhan dari platform streaming. Namun, implementasi fitur sosial yang melibatkan data biometrik pengguna justru menimbulkan paradoks keamanan yang serius.

Pertanyaan terbesar yang masih belum terjawab: akankah ada opsi opt-out atau kemampuan untuk membatasi siapa yang dapat menggunakan kemiripan wajah kita? Jika tidak, kita mungkin sedang menuju ke era baru pelanggaran privasi digital—di mana wajah kita bisa menjadi konten viral tanpa persetujuan kita, di platform yang sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma.

Oppo Find X9 Pro Tantang Kamera Hasselblad Rp 170 Juta

0

Telset.id – Bayangkan sebuah smartphone yang berani menantang kamera profesional senilai Rp 170 juta. Bukan sekadar klaim marketing biasa, melainkan perbandingan langsung yang dipamerkan secara resmi. Inilah yang dilakukan Oppo dengan Find X9 Pro menjelang peluncurannya pada 16 Oktober mendatang.

Dalam postingan Weibo yang menggemparkan, Zhou Yibao, manajer seri Find Oppo, membagikan foto side-by-side antara Find X9 Pro dan Hasselblad X2D II 100C. Hasilnya? Mengejutkan. Sample dari Find X9 Pro menunjukkan ketajaman dan reproduksi warna yang hampir menyamai kamera profesional tersebut, berkat prosesing gambar canggih yang diterapkan Oppo.

Namun, tentu ada batasan yang tak bisa ditutupi. Hasselblad tetap unggul dalam dynamic range dan kedalaman natural, berkat pixel raksasa 3.76µm yang mampu menangkap lebih banyak cahaya dibanding pixel 0.5µm pada smartphone. Tapi bagi traveler atau content creator yang menginginkan kualitas foto tinggi tanpa repot membawa kamera besar, Find X9 Pro mulai terlihat seperti pilihan yang sangat menarik.

Telephoto 200MP: Senjata Rahasia Oppo

Jantung dari sistem kamera Find X9 Pro adalah sensor ISOCELL HP5 beresolusi 200MP yang digunakan untuk lensa telephoto 70mm. Berbeda dengan sensor high-megapixel generasi sebelumnya yang biasanya binning ke 12MP, sensor ini dikabarkan mampu menangkap gambar pada resolusi penuh 200MP (atau 50MP) dalam kondisi cahaya cukup.

Konfigurasi lengkapnya, berdasarkan bocoran yang beredar, meliputi kamera utama Sony LYT-828 50MP dengan OIS, kamera ultrawide 50MP, dan periskop 200MP yang menawarkan zoom optikal 3.5x (hingga 120x hybrid). Yang menarik, Oppo juga menyertakan sentuhan khas Hasselblad seperti mode XPAN dan trik triple-exposure baru.

Bahkan lebih ambisius lagi, tersedia kit imaging opsional dengan teleconverter yang memperpanjang jangkauan dari 70mm menjadi 220mm. Ini merupakan langkah berani yang menunjukkan komitmen Oppo dalam menghadirkan pengalaman fotografi profesional di perangkat mobile. Seperti yang pernah kami bahas dalam artikel sebelumnya, kamera 200MP ini memang menjadi fokus utama Find X9 Pro.

Spesifikasi yang Tak Kalah Mengagumkan

Di balik kemampuan kameranya yang luar biasa, Find X9 Pro juga dibekali dengan spesifikasi yang tak kalah mentereng. Ponsel ini dikabarkan akan ditenagai oleh chipset MediaTek Dimensity 9500 terbaru, didukung baterai berkapasitas besar 7.500mAh dengan pengisian daya wired 80W dan wireless 50W.

Layar 6.78-inch LTPO OLED menawarkan resolusi 1.5K dengan refresh rate 120Hz, sementara desainnya tetap relatif ramping dengan ketebalan 8.25mm dan berat 224g. Kombinasi spesifikasi ini menjadikan Find X9 Pro tidak hanya unggul di bidang fotografi, tetapi juga sebagai perangkat premium yang komprehensif. Seperti yang terungkap dalam bocoran sebelumnya, chipset Dimensity 9500 memang menjadi andalan untuk seri Find X9.

Dengan harga sekitar $1.000 atau setara Rp 16 juta, jelas Find X9 Pro tidak dimaksudkan untuk menggantikan peralatan Hasselblad bagi fotografer profesional. Namun, bagi mereka yang menginginkan kualitas gambar mendekati profesional dengan kemudahan dan portabilitas smartphone, Oppo mungkin telah menciptakan salah satu camera phone paling berani yang pernah ada.

Pertanyaannya sekarang: apakah Anda termasuk yang lebih memilih kemudahan smartphone dengan kualitas hampir profesional, atau tetap setia dengan kamera dedicated meski harus repot membawa peralatan tambahan? Jawabannya mungkin akan lebih jelas setelah peluncuran resmi 16 Oktober mendatang.