Telset.id, Jakarta – Para aktivis sekarang semakin pintar, bisa membalikkan keadaan dan mengidentifikasi polisi yang sedang menyamar dengan menggunakan perangkat lunak facial recognition atau sistem pengenalan wajah.
Selama ini, ketika ada aksi protes, polisi biasanya dilibatkan untuk menjaga keamanan. Dalam beberapa kasus, pengunjuk rasa dan polisi memang tidak terlibat perselisihan sehingga situasi kondusif.
Namun, dalam kasus lain, unjuk rasa bisa menjadi kacau ketika polisi melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Alhasil, ada pihak yang menuntut tanggung jawab polisi atas tindakan di luar batas.
Sayangnya, dalam beberapa kasus, polisi menyamar untuk menyembunyikan identitas sehingga sulit untuk diidentifikasi. Tapi, kini para aktivis semakin pintar berkat perangkat lunak pengenalan wajah untuk identifikasi polisi yang menyamar.
Terdengar ironis memang. Sebab, alat yang mereka gunakan sejatinya sama yang digunakan oleh polisi untuk mengidentifikasi pengunjuk rasa. Lantas, bagaimana ceritanya demonstran bisa punya alat itu?
{Baca juga: Giliran Komunitas Teknologi Protes Soal Pengenalan Wajah}
Menurut laporan Ubergizmo, seperti dikutip Telset, Sabtu (2/1/2021), seorang programmer otodidak bernama Christopher Howell membuat program sendiri setelah terkena gas air mata pada awal tahun ini.
“Ada semacam momen ‘mandi pikiran’ bagi saya. Ada persimpangan dari apa yang saya rasakan. Akuntabilitas penting. Kita perlu tahu siapa yang melakukan apa sehingga bisa menghadapinya,” terangnya.
Andrew Maximov, pengembang lain, menambahkan bahwa semua orang sadar bahwa pejabat maupun petugas bisa menggunakan facial recognition untuk mengidentifikasi dan menindas orang-orang kecil.
“Namun, sekarang, kita mendekati ambang teknologi. Pengunjuk rasa bisa melakukan seperti yang petugas lakukan. Masyarakat bisa mengidentifikasi polisi, bahkan yang sedang menyamar,” pungkas Maximov.
Teknologi Pengenalan Wajah Langgar HAM
Sebelumnya, pengadilan Inggris memutuskan bahwa teknologi pengenalan wajah langgar HAM (hak asasi manusia). Keputusan itu adalah kemenangan melawan praktik invasif oleh pihak berwenang.
Dalam kasus yang disebut-sebut sebagai yang pertama, Pengadilan Banding Inggris telah memutuskan bahwa perkara yang membelit juru kampanye hak-hak sipil Ed Bridges merupakan kesalahan pihak Kepolisian Wales Selatan.
{Baca juga: Teknologi Pengenalan Wajah Dianggap Langgar HAM di Inggris}
Juru kampanye hak-hak sipil Ed Bridges “tertekan” ketika berbelanja pada 2017 dan terbukti mengalami pemindaian wajah. Tak cukup, ia pernah mengalami hal serupa manakala menghadiri protes anti-senjata damai pada 2018.
Disampaikan Megan Goulding, pengacara kelompok hak sipil Liberty yang mendukung klaim Bridges, sistem pengenalan wajah langgar HAM karena merupakan praktik teknologi diskriminatif dan menindas. (SN/MF)