Beranda blog Halaman 44

Realme Neo 7 Turbo AI Edition: Kolaborasi Eksklusif dengan China Mobile

0

Telset.id – Apa jadinya jika sebuah smartphone gaming andalan tidak hanya mengandalkan performa mentah, tetapi juga dibalut dengan layanan operator yang terintegrasi langsung? Realme menjawabnya melalui kolaborasi eksklusif dengan China Mobile yang melahirkan Realme Neo 7 Turbo AI Edition—sebuah varian khusus yang menawarkan pengalaman berbeda dari versi standarnya.

Kolaborasi ini bukan sekadar tempelan logo atau aplikasi bawaan biasa. Realme dan China Mobile merancang pengalaman yang benar-benar menyatu, mulai dari antarmuka hingga layanan premium yang siap digunakan langsung dari layar utama. Bagi penggemar brand Realme, langkah ini menunjukkan bagaimana vendor semakin agresif dalam menawarkan nilai tambah di luar spesifikasi hardware.

Lantas, apa saja yang membedakan Realme Neo 7 Turbo AI Edition dari varian biasa? Mari kita telusuri lebih dalam.

Perbedaan Utama: Lebih dari Sekadar Logo

Jika Anda sudah familiar dengan Realme Neo 7 Turbo yang sebelumnya telah dibocorkan, edisi AI ini mempertahankan DNA desain yang sama, namun dengan sentuhan khas China Mobile. Logo operator tersebut terpampang jelas pada panel belakang, menandakan bahwa ini adalah perangkat hasil kolaborasi resmi.

Yang lebih menarik, Realme Neo 7 Turbo AI Edition telah dipersenjatai dengan sejumlah aplikasi dan layanan operator yang telah terintegrasi dalam sistem. Salah satu fitur andalannya adalah panel khusus “Mango Card Club” yang dapat diakses dengan menggesek ke kiri dari layar utama. Di sini, pengguna dapat menikmati layanan seperti Mango TV, Migu Video, Migu Sports, dan Migu Quick Games—semuanya dalam satu tempat.

Menurut Realme, edisi ini fokus pada lima pengalaman kustom: performa, idol companionship, e-sports, cloud storage, dan social networking. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan hardware tangguh, tetapi juga ekosistem konten yang siap mendukung gaya hidup digital penggunanya.

Realme Neo 7 Turbo AI Edition

Spesifikasi yang Tetap Tangguh

Di balik layanan kustomnya, Realme Neo 7 Turbo AI Edition tetap mengusung spesifikasi yang sama tangguhnya dengan varian biasa. Ponsel ini ditenagai oleh MediaTek Dimensity 9400e—sebuah chipset yang sebelumnya juga telah dibahas dalam bocoran sebelumnya. Untuk Anda yang penasaran bagaimana chipset ini bersaing dengan rivalnya, simak perbandingannya dalam artikel Snapdragon 7 Gen 3 vs Dimensity 7400.

Layarnya berukuran 6,8 inci dengan refresh rate 144Hz, cocok untuk gaming dan konsumsi konten visual. Daya tahan baterainya juga mengesankan—7200mAh dengan dukungan pengisian cepat 100W. Jadi, meski digunakan untuk marathon streaming atau gaming berat, baterainya tetap bisa diandalkan.

Di sektor kamera, Realme Neo 7 Turbo AI Edition mengandalkan setup dual kamera belakang: sensor utama 50MP dengan OIS dan sensor sekunder 8MP. Hasilnya, fotografi harian maupun dalam kondisi low-light tetap terjaga kualitasnya.

Desain yang Tetap Memukau

Seperti pendahulunya, Realme Neo 7 Turbo AI Edition masih mempertahankan desain belakang transparan yang memamerkan elemen-elemen internal seperti kumparan NFC, tekstur etching, serta emblem DART. Desain ini tidak hanya estetis, tetapi juga memberi kesan premium dan teknologis.

Fitur lain yang tak kalah penting adalah teknologi PWM dimming 4608Hz yang mengurangi kelelahan mata, sertifikasi ketahanan air IP69, serta Realme UI 6.0 sebagai sistem operasi bawaan. Untuk Anda yang menantikan pembaruan software, pantau terus kabar terbaru mengenai Realme UI 7.0 dan Android 16 yang kemungkinan akan datang di kemudian hari.

Dari segi harga, Realme Neo 7 Turbo AI Edition kemungkinan besar akan mengikuti kisaran varian biasa, yang dimulai dari 1.999 Yuan untuk model 12GB+256GB. Varian dengan RAM dan storage lebih besar juga tersedia, dengan harga tertinggi mencapai 2.699 Yuan untuk konfigurasi 16GB+512GB.

Jadi, apakah Realme Neo 7 Turbo AI Edition layak diperhitungkan? Tergantung kebutuhan Anda. Jika Anda mencari smartphone gaming dengan ekosistem konten yang sudah terintegrasi dan dukungan operator yang solid, edisi ini bisa menjadi pilihan menarik. Namun, jika Anda lebih mengutamakan kemurnian software tanpa tambahan aplikasi operator, varian biasa mungkin lebih sesuai.

Yang pasti, kehadiran Realme Neo 7 Turbo AI Edition membuktikan bahwa kolaborasi antara vendor smartphone dan operator masih memiliki ruang untuk berinovasi—tidak hanya di China, tetapi berpotensi dihadirkan juga di pasar global suatu hari nanti.

Huawei Pura X Mid-Range Bocor, Harga Lebih Terjangkau!

0

Telset.id – Bayangkan bisa memiliki smartphone foldable dengan layar lebar seperti tablet, namun dengan harga yang tak membuat kantong jebol. Itulah yang mungkin akan ditawarkan Huawei lewat varian mid-range dari seri Pura X-nya. Bocoran terbaru mengindikasikan perusahaan asal Tiongkok ini sedang mempersiapkan penerus yang lebih terjangkau untuk Pura X, foldable yang sebelumnya meluncur dengan harga sekitar $1.250.

Jika Anda termasuk yang penasaran dengan sensasi menggunakan ponsel lipat tapi enggan merogoh kocek dalam-dalam, kabar ini patut disimak. Huawei, lewat strategi harga yang lebih ramah, berpotensi membuka pasar foldable ke segmen yang lebih luas. Apalagi, dengan format layar 16:10 yang tidak biasa, Pura X sudah lebih dulu mencuri perhatian sebagai perangkat yang memberikan pengalaman mirip tablet dalam bentuk lipat.

Menurut tipster ternama Digital Chat Station, Huawei sedang menggarap versi mid-range Pura X dengan harga target 5.999 yuan atau sekitar $840. Pemotongan harga ini tentu tidak datang tanpa konsekuensi. Kemungkinan besar, Huawei akan mengurangi beberapa spesifikasi performa untuk mencapai titik harga tersebut. Namun, kabar baiknya, fitur andalan perangkat—layar lebar 6,3 inci dengan aspek rasio 16:10—dipastikan tetap dipertahankan.

Layar dengan format yang tidak umum ini menjadi pembeda utama Pura X dibandingkan foldable lain di pasaran. Dengan mempertahankannya, Huawei berpeluang menjadikan varian mid-range ini sebagai salah satu foldable “terjangkau” pertama yang menawarkan desain benar-benar berbeda. Ini adalah langkah berani, mengingat pesaing seperti Samsung masih bertahan dengan format yang lebih konvensional.

Strategi Huawei di Pasar Foldable

Waktu peluncuran varian mid-range Pura X terlihat sangat tepat bagi Huawei. Perusahaan ini sedang dalam momen positif, dengan tri-fold eksperimental Mate XTs dikabarkan akan mencapai angka satu juta pengguna berkat perbaikan iteratif dan harga masuk yang lebih rendah. Kesuksesan ini menunjukkan bahwa strategi penurunan harga bisa menjadi kunci untuk memperluas basis pengguna foldable.

Apalagi, Huawei bukan satu-satunya pemain yang melihat potensi format layar lebar. Kabar beredar bahwa Apple juga sedang mempersiapkan iPhone Fold dengan aspek rasio serupa. Keputusan Huawei untuk menggandakan taruhan pada seri Pura X mengindikasikan bahwa mereka yakin format ini adalah pilihan solid untuk masa depan.

Jika laporan ini akurat, Pura X mid-range bisa menjadi pintu masuk bagi lebih banyak pembeli untuk mencoba foldable tanpa harus mengeluarkan uang sebanyak untuk perangkat flagship. Ini juga akan memperkuat kepemimpinan Huawei di pasar foldable Tiongkok yang terus tumbuh, terutama di saat pesaing seperti Samsung berusaha mempertahankan posisi mereka.

Namun, ada satu tanda tanya besar: akankah perangkat ini tersedia secara global? Pura X original hanya diluncurkan di Tiongkok, dan hingga kini belum ada kejelasan apakah Huawei akan membawa varian mid-range-nya ke pasar internasional. Jika iya, ini bisa menjadi angin segar bagi pengguna di luar Tiongkok yang ingin merasakan foldable dengan harga lebih terjangkau.

Pasar mid-range sendiri selalu menjadi ajang persaingan sengit, seperti yang pernah terjadi pada tren smartphone 2019. Kehadiran Pura X mid-range bisa memicu gelombang baru inovasi di segmen ini, di mana merek-merek lain mungkin akan terdorong untuk menawarkan fitur serupa dengan harga kompetitif.

Huawei tampaknya belajar dari kesuksesan pendahulunya. Pura X original, yang diluncurkan pada Maret 2025, dikabarkan telah digunakan oleh lebih dari 700.000 orang. Angka yang cukup impressive untuk perangkat foldable, menunjukkan bahwa ada permintaan nyata untuk format ini asalkan harganya tepat.

Dengan harga ponsel China yang sudah hampir setara Samsung, langkah Huawei untuk menawarkan foldable di kisaran mid-range bisa menjadi game changer. Ini tidak hanya memperluas jangkauan pasar, tetapi juga menantang dominasi merek-merek established yang selama ini menguasai segmen high-end.

Jadi, apakah kita akan segera menyaksikan era di mana foldable bukan lagi barang mewah, melainkan aksesori sehari-hari yang terjangkau? Jawabannya mungkin ada di tangan Huawei dan Pura X mid-range-nya. Tunggu saja kabar selanjutnya.

Godfather AI Geoffrey Hinton Diputusin Pakai ChatGPT, Kok Bisa?

0

Telset.id – Bayangkan, Anda adalah seorang perintis kecerdasan buatan yang dijuluki “godfather AI”, meraih penghargaan Nobel Fisika, dan selama ini memperingatkan bahaya eksistensial AI bagi umat manusia. Lalu, bagaimana perasaan Anda ketika mantan kekasih memutuskan hubungan dengan bantuan ChatGPT—teknologi yang tak mungkin ada tanpa penelitian Anda? Itulah yang dialami Geoffrey Hinton, sang legenda AI yang baru-baru ini mengungkap pengalaman pahit-manisnya.

Hinton, ilmuwan berusia 77 tahun yang karyanya menjadi fondasi pengembangan AI modern, memiliki hubungan kompleks dengan teknologi yang ia ciptakan. Di satu sisi, ia adalah salah satu pengkritik paling vokal terhadap risiko yang dibawa AI, bahkan menandatangani surat terbuka yang mendesak OpenAI untuk tidak meninggalkan akar nirlabanya. Di sisi lain, AI telah merasuk begitu dalam ke kehidupan pribadinya—hingga digunakan untuk mengakhiri hubungan asmaranya.

Dalam wawancara eksklusif dengan Financial Times, Hinton bercerita bahwa mantan kekasihnya menggunakan ChatGPT untuk menyampaikan keputusan putus. “Dia meminta ChatGPT untuk memberitahu saya betapa brengseknya saya,” ujarnya. Chatbot itu menjelaskan secara detail bagaimana perilakunya dianggap buruk, dan hasilnya diberikan langsung kepada Hinton. Meski mengaku tidak merasa bersalah, pengakuan ini menunjukkan betapa teknologi AI telah menjadi bagian tak terpisahkan dari interaksi manusia sehari-hari—bahkan untuk sang penciptanya sendiri.

Pengalaman Hinton bukanlah kasus isolated. ChatGPT telah menjadi “teman” bagi banyak orang yang kesulitan mengungkapkan perasaan, termasuk dalam momen putus cinta. Terutama di kalangan generasi muda, chatbot besutan OpenAI ini kerap dijadikan alat untuk menyusun pesan putus, bahkan mendorong beberapa pengguna mengambil keputusan cerai. Meski tidak sebanding dengan skenario kiamat AI yang sering Hinton peringatkan, fenomena ini tetap menarik untuk dicermati.

Peringatan Sang Godfather AI

Di balik kisah personalnya, Hinton tetap konsisten menyuarakan kekhawatiran akan masa depan AI. Ia mengibaratkan ancaman AI seperti invasi alien yang bisa dilihat dengan teleskop dan tiba dalam 10 tahun ke depan. “Apakah Anda akan berkata ‘Bagaimana kita tetap positif?’ Tidak, Anda akan bertanya ‘Bagaimana kita menghadapi ini?'” tegasnya. Bagi Hinton, bersikap positif tidak berarti menutup mata pada kenyataan.

Hinton juga memperingatkan dampak ekonomi yang timbul dari adopsi AI masif. Menurutnya, AI akan menciptakan “pengangguran besar-besaran dan peningkatan laba yang signifikan”. Teknologi ini akan membuat segelintir orang semakin kaya, sementara mayoritas masyarakat justru semakin miskin. “Itu bukan kesalahan AI, melainkan sistem kapitalis,” tandasnya. Pandangan ini selaras dengan artikel sebelumnya di Telset.id tentang ancaman AI yang lebih mengerikan daripada perubahan iklim.

AI dalam Kehidupan Sehari-hari

Meski sering kali bersuara lantang tentang bahaya AI, Hinton mengakui bahwa ia sendiri menggunakan ChatGPT untuk keperluan sehari-hari. Mulai dari bertanya cara memperbaiki peralatan rumah tangga hingga keperluan penelitian lainnya. Pengakuan ini menunjukkan betapa AI telah menjadi teknologi dual-use—bermanfaat sekaligus berpotensi merugikan.

Fenomena penggunaan AI untuk urusan personal seperti ini semakin mengukuhkan bahwa teknologi telah menjadi bagian dari kultur modern. Seperti halnya lagu-lagu Didi Kempot yang melekat di hati penggemarnya, ChatGPT dan AI lainnya telah menyentuh hampir setiap aspek kehidupan manusia.

Masa Depan AI dan Kemanusiaan

Hinton menegaskan bahwa kita harus bertindak sekarang sebelum terlambat. Ia mendesak pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat global untuk serius mempertimbangkan regulasi dan pengawasan terhadap pengembangan AI. Tanpa langkah konkret, ia khawatir teknologi ini akan menyebabkan “outcome katastrofik” yang tidak terduga.

Namun, di tengah semua peringatan dan kekhawatiran tersebut, Hinton ternyata sudah move on dari pengalaman putusnya. “Saya bertemu seseorang yang lebih saya sukai, Anda tahu bagaimana ceritanya,” ujarnya dengan ringan. “Mungkin Anda tidak tahu!” kelakarnya. Kisahnya mengingatkan kita bahwa di balik teknologi canggih, manusia tetaplah manusia dengan cerita dan perasaan yang kompleks—persis seperti alur dalam game Mafia: The Old Country yang penuh dinamika.

Jadi, apakah AI akan menjadi penyelamat atau penghancur peradaban? Mungkin jawabannya terletak pada bagaimana kita sebagai manusia mengendalikan dan memanfaatkannya. Seperti kata Hinton, masalahnya bukan pada teknologinya, tetapi pada sistem dan niat di balik penggunaannya.

Meta Perbaiki Cara Kerja Threads dengan Fitur Baru “View More”

0

Telset.id – Pernah merasa bingung saat membaca untaian percakapan di Threads? Anda tidak sendirian. Meta akhirnya mendengarkan keluhan pengguna dan memperkenalkan pembaruan signifikan untuk membuat pengalaman membaca thread menjadi lebih intuitif dan jelas. Dengan tambahan fitur “view more” dan penomoran otomatis, kini lebih mudah untuk memahami konteks diskusi panjang tanpa harus menebak-nebak.

Selama ini, salah satu kritik terbesar terhadap Threads adalah kurangnya kejelasan dalam menampilkan thread panjang. Pengguna seringkali tidak menyadari bahwa sebuah postingan adalah bagian dari percakapan yang lebih besar, menyebabkan miskomunikasi atau ketidaktahuan akan konteks lengkap. Meta, melalui pembaruan terbarunya, berusaha mengatasi masalah ini dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan informatif.

Perubahan ini bukan hanya sekadar tambahan fitur biasa, melainkan langkah strategis Meta untuk memperkuat posisi Threads di pasar media sosial yang semakin kompetitif. Dengan basis pengguna aktif bulanan yang telah mencapai 400 juta, platform ini terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan komunitasnya yang terus berkembang.

Fitur “View More” dan Penomoran: Solusi untuk Kebingungan Pengguna

Meta secara resmi mengumumkan “beberapa perubahan yang menampilkan postingan berthread lebih jelas.” Yang paling menonjol adalah label “view more” baru yang memberi tahu pengguna bahwa sebuah postingan adalah bagian dari thread yang lebih panjang. Ini adalah cara sederhana namun efektif untuk langsung mengetahui apakah pemikiran seseorang berlanjut melampaui postingan awal.

Selain itu, ada elemen desain baru yang secara otomatis menumpuk postingan secara berurutan ketika pengguna mengklik masuk ke suatu seri. Setiap postingan sekarang menampilkan nomor yang menunjukkan posisinya dalam thread, bersama dengan jumlah total postingan dalam thread tersebut. Desain ini jauh lebih mudah daripada harus menambahkan manual sesuatu seperti “bagian satu dari 12” di setiap postingan.

Pembaruan ini sedang diluncurkan untuk pengguna mobile dan web, menunjukkan komitmen Meta untuk menyediakan pengalaman yang konsisten di semua platform. Seperti yang pernah kami laporkan dalam artikel sebelumnya tentang fitur Markup, Threads terus berinovasi untuk mempermudah interaksi pengguna.

Strategi Meta Mempertahankan Pertumbuhan Threads

Pencapaian 400 juta pengguna aktif bulanan adalah tonggak penting bagi Threads, tetapi Meta menyadari bahwa angka saja tidak cukup. Platform harus terus berkembang dengan fitur-fitur yang memenuhi kebutuhan nyata pengguna. Pembaruan thread ini adalah bagian dari upaya yang lebih besar untuk membuat Threads menjadi platform yang lebih fungsional dan user-friendly.

Meta telah sibuk menambahkan fitur-fitur baru untuk mengakomodasi audiens yang terus bertambah. Kemampuan untuk melampirkan dokumen teks panjang hingga 10.000 karakter adalah salah satu contoh bagaimana platform ini beradaptasi dengan kebutuhan komunikasi yang lebih kompleks. Seperti yang diungkap dalam laporan tentang perpindahan Threads ke Threads.com, perusahaan terus berinvestasi dalam pengembangan platform.

Pendekatan Meta terhadap Threads mencerminkan pemahaman bahwa kesuksesan platform media sosial tidak hanya tentang jumlah pengguna, tetapi tentang kualitas pengalaman yang ditawarkan. Dengan memperbaiki masalah mendasar seperti kejelasan thread, Meta menunjukkan komitmen untuk membangun produk yang benar-benar melayani kebutuhan komunitasnya.

Implikasi untuk Masa Depan Threads dan Kompetisi Media Sosial

Pembaruan ini datang pada saat yang tepat untuk Threads, yang terus bersaing dengan platform established seperti X (sebelumnya Twitter). Dengan memperbaiki pengalaman membaca thread, Threads mungkin dapat menarik lebih banyak pengguna yang frustrasi dengan batasan platform lain. Fitur penomoran otomatis khususnya merupakan peningkatan signifikan yang membedakan Threads dari kompetitor.

Seperti yang terlihat dalam pembaruan kontrol quote postingan, Meta terus memberikan lebih banyak kendali kepada pengguna atas pengalaman mereka. Pendekatan ini selaras dengan tren broader dalam teknologi yang menekankan privasi dan personalisasi.

Pertanyaan besarnya adalah: apakah pembaruan ini cukup untuk mempertahankan momentum pertumbuhan Threads? Dengan basis pengguna yang sudah mencapai 400 juta, platform ini jelas memiliki daya tarik massal. Namun, kesuksesan jangka panjang akan tergantung pada kemampuan Meta untuk terus berinovasi dan merespons feedback pengguna secara efektif.

Yang pasti, dengan pembaruan thread terbaru ini, Meta mengirimkan pesan jelas bahwa mereka serius tentang membuat Threads menjadi platform yang matang dan fungsional. Bagi pengguna yang telah menantikan improvements dalam navigasi thread, perubahan ini adalah langkah yang sangat disambut baik menuju pengalaman media sosial yang lebih kohesif dan mudah dipahami.

Apple Digugat Penulis karena Gunakan Buku Bajakan untuk AI

0

Telset.id – Bayangkan karya Anda yang butuh bertahun-tahun untuk diselesaikan, tiba-tiba digunakan tanpa izin oleh salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia. Itulah yang dialami oleh dua penulis, Grady Hendrix dan Jennifer Roberson, yang kini menggugat Apple karena diduga menggunakan buku-buku mereka—yang diambil dari perpustakaan bajakan—untuk melatih model kecerdasan buatan (AI) perusahaan.

Gugatan ini bukan sekadar persoalan kecil. Hendrix dan Roberson mengklaim bahwa Apple, melalui web crawler-nya yang bernama Applebot, mengakses “shadow libraries” atau perpustakaan bayangan yang berisi buku-buku berhak cipta tanpa lisensi. Mereka menuduh Apple sengaja memanfaatkan konten ilegal tersebut untuk melatih AI-nya, tanpa memberi kompensasi kepada para penulis asli. Dalam dokumen gugatan, mereka menyebut bahwa tanpa karya-karya tersebut, Apple Intelligence—produk AI andalan perusahaan—akan memiliki nilai komersial yang jauh lebih rendah.

Kedua penulis ini tidak main-main. Mereka mencari status class action, mengingat jumlah buku dan penulis yang terlibat dalam shadow libraries sangat besar. “Perilaku ini telah merampas kendali para penulis atas karya mereka, mengurangi nilai ekonomi dari jerih payah mereka, dan memposisikan Apple untuk meraih kesuksesan komersial besar melalui cara-cara yang tidak sah,” tulis mereka dalam dokumen hukum.

Bukan Kasus Pertama, Tapi Mungkin yang Paling Signifikan

Ini bukan pertama kalinya perusahaan teknologi digugat karena masalah pelatihan AI menggunakan konten berhak cipta. OpenAI, misalnya, menghadapi beberapa gugatan serupa, termasuk dari The New York Times dan organisasi berita nirlaba tertua di AS. Bahkan, Anthropic—perusahaan di balik chatbot Claude—baru saja setuju membayar $1,5 miliar untuk menyelesaikan gugatan class action yang diajukan oleh para penulis. Dalam kasus tersebut, sekitar 500.000 penulis akan menerima kompensasi sekitar $3.000 per karya.

Namun, gugatan terhadap Apple ini punya bobot berbeda. Sebagai perusahaan dengan valuasi triliunan dolar, Apple diharapkan memiliki standar etika dan hukum yang tinggi. Tuduhan bahwa mereka secara sengaja memanfaatkan konten bajakan—daripada berinvestasi pada konten legal—bisa merusak reputasi mereka yang selama ini dibangun dengan hati-hati.

Mengapa Shadow Libraries Menjadi Masalah Besar?

Shadow libraries bukan hal baru di dunia digital. Situs-situs seperti Z-Library telah lama menjadi perhatian karena menyediakan akses ilegal ke jutaan buku. Namun, ketika perusahaan sebesar Apple diduga memanfaatkannya—apalagi untuk keperluan komersial—ini menjadi persoalan serius. Apalagi, Apple dikenal dengan kebijakan ketatnya terhadap hak cipta di platform seperti App Store.

Pertanyaannya: seberapa aware Apple terhadap sumber data yang digunakan untuk melatih AI-nya? Jika benar mereka menggunakan konten bajakan, apakah ini bagian dari kebijakan perusahaan atau kelalaian individu? Atau, seperti yang sering terjadi dalam kasus teknologi, apakah ini adalah hasil dari ekspektasi tinggi terhadap tim AI untuk menghasilkan produk secepat mungkin, tanpa pertimbangan etika yang memadai?

Gugatan ini juga mengingatkan kita pada kasus-kasus sebelumnya di mana Apple terlibat dalam sengketa hukum. Seperti gugatan Epic Games yang menyebut Apple seperti “gengster” di dunia digital, atau Samsung yang dihukum ratusan juta dolar karena melanggar paten. Bedanya, kali ini Apple berada di posisi yang rentan secara moral—karena berurusan dengan karya seni dan intelektual.

Masa Depan AI dan Hak Cipta: Tabrakan yang Tak Terhindarkan?

Perkembangan AI yang pesat memang seringkali berbenturan dengan regulasi dan norma yang ada. Pelatihan model AI membutuhkan data dalam jumlah besar, dan tidak selalu mudah—atau murah—untuk mendapatkan data yang legal. Namun, bagi penulis seperti Hendrix dan Roberson, ini bukan alasan untuk melanggar hak cipta.

Mereka berargumen bahwa AI yang dilatih dengan karya mereka pada akhirnya akan bersaing dengan karya asli tersebut. Misalnya, AI bisa menghasilkan cerita atau artikel dengan gaya yang mirip, sehingga “mengencerkan” pasar untuk karya manusia. Dalam jangka panjang, ini bisa mengancam mata pencaharian para kreator.

Lalu, apa solusinya? Beberapa perusahaan mulai beralih ke data berlisensi atau bekerja sama dengan pemegang hak cipta. Tapi ini tidak mudah dan membutuhkan biaya besar. Alternatif lain adalah menggunakan data open source atau membuat data sintetis. Namun, hingga saat ini, belum ada jawaban ideal yang memuaskan semua pihak.

Yang jelas, gugatan ini mungkin hanya awal dari gelombang tuntutan hukum serupa. Seperti Epic Games yang akhirnya menyelesaikan gugatannya terhadap Samsung, kita mungkin akan melihat lebih banyak penyelesaian di luar pengadilan—atau justru putusan hukum yang mengubah landscape industri AI selamanya.

Bagi Apple, gugatan ini adalah ujian besar. Di satu sisi, mereka ingin bersaing di era AI dengan produk seperti Apple Intelligence. Di sisi lain, mereka harus memastikan bahwa langkah mereka etis dan legal. Apakah mereka akan menyelesaikan kasus ini dengan membayar kompensasi—seperti Anthropic—atau berjuang hingga ke pengadilan? Jawabannya akan menentukan tidak hanya masa depan Apple, tetapi juga standar industri untuk pelatihan AI.

Bagaimana pendapat Anda? Apakah perusahaan teknologi harus bertanggung jawab penuh atas sumber data AI mereka? Ataukah ini adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari kemajuan teknologi? Mari berdiskusi di kolom komentar.

DeepSeek Siap Luncurkan AI Agent Canggih Akhir 2025, Saingi OpenAI

0

Telset.id – Bayangkan sebuah asisten digital yang tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi benar-benar menjalankan tugas kompleks untuk Anda—mulai dari merencanakan perjalanan liburan hingga memperbaiki kode perangkat lunak, hampir tanpa campur tangan manusia. Itulah yang sedang dipersiapkan oleh startup China, DeepSeek, dengan rencana peluncuran AI agent generasi berikutnya pada akhir 2025.

Berdasarkan laporan Bloomberg, perusahaan yang berbasis di Hangzhou ini tengah mengembangkan sistem yang mampu menangani tugas multi-tahap dengan input minimal dari pengguna. Yang lebih menarik, model ini akan belajar dari tindakan sebelumnya untuk meningkatkan performanya seiring waktu. Sebuah langkah yang bisa mengubah cara kita berinteraksi dengan teknologi.

DeepSeek bukanlah nama baru di dunia AI. Awal tahun ini, mereka mengguncang industri dengan meluncurkan model R1 yang menunjukkan kemampuan penalaran tingkat tinggi. Yang mengejutkan, model ini dibangun dengan biaya hanya $6 juta—jauh lebih murah dibandingkan pesaing seperti ChatGPT dari OpenAI atau Gemini milik Google. Tak hanya itu, R1 juga bersifat open source, memungkinkan developer mengakses kodenya secara gratis.

Keberhasilan R1 menjadi bukti bahwa pendekatan “lebih besar lebih baik” yang dianut Silicon Valley—dengan anggaran besar dan dataset masif—bukan satu-satunya jalan menuju kesuksesan AI. DeepSeek berhasil menunjukkan bahwa efisiensi dan inovasi bisa datang dari tempat yang tak terduga.

Perjalanan Hati-Hati Menuju AI Agent

Setelah kesuksesan R1, DeepSeek justru mengambil langkah hati-hati. Pendiri mereka, Liang Wenfeng, memutuskan untuk menunda peluncuran model R2. Keputusan ini dikaitkan dengan penyempurnaan teknis dan kesibukan Liang di High-Flyer Asset Management. Sebuah langkah yang kontras dengan kompetitor seperti Alibaba dan Tencent yang justru mempercepat peluncuran AI mereka.

Namun, penundaan bukan berarti diam. Bulan lalu, DeepSeek merilis update V3.1 yang memperluas jendela konteks menjadi 128.000 token dan meningkatkan parameter menjadi 685 miliar. Mereka juga menerapkan kebijakan baru: semua konten yang dihasilkan AI wajib diberi label, dan kebijakan ini tidak bisa dinonaktifkan. Sebuah langkah transparansi yang membedakan mereka dari kompetitor.

Masa Depan AI Agent dan Persaingan Global

Model R2 yang akan datang ditargetkan untuk pasar AI agent yang sedang berkembang. Berbeda dengan chatbot yang hanya memberikan respons berbasis teks, agent dirancang untuk menangani tugas seperti perencanaan perjalanan, debugging software, dan alur kerja bisnis dengan sedikit pengawasan manusia. Analis melihat teknologi ini sebagai langkah besar berikutnya dalam AI, mampu meningkatkan produktivitas dan membentuk ulang layanan digital.

Persaingan di bidang ini sudah memanas. AI Crypto Agents terbaik sudah mulai bermunculan, sementara raksasa seperti OpenAI, Microsoft, dan Anthropic telah memperkenalkan fitur-fitur yang berfokus pada agent. DeepSeek berambisi untuk menyamai dan bahkan melampaui upaya tersebut, melanjutkan dorongan mereka untuk menantang dominasi AS dalam AI.

Detail tentang harga, ketersediaan, dan spesifikasi teknis masih terbatas. Namun, pengamat industri memperkirakan peluncuran ini akan dipantau ketat baik di Silicon Valley maupun Washington, di mana kemajuan pesat DeepSeek telah memicu kekhawatiran tentang pengaruh China yang semakin besar dalam kecerdasan buatan.

Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh AI agent taruhan olahraga dan berbagai aplikasi AI lainnya, langkah DeepSeek ini bisa menjadi titik balik. Apakah mereka akan berhasil menyaingi dominasi Barat dalam AI? Atau justru membuka jalan bagi lebih banyak inovasi dari Timur? Jawabannya mungkin akan kita lihat di akhir 2025.

Seperti yang terjadi dengan Meta Llama yang mencapai 1 miliar unduhan, kesuksesan AI seringkali datang dari keterbukaan dan kolaborasi. DeepSeek dengan pendekatan open source-nya mungkin sedang membangun fondasi untuk revolusi AI berikutnya—sebuah revolusi yang mungkin tidak didominasi oleh raksasa teknologi Barat saja.

Jadi, bersiaplah untuk menyambut era baru AI agent. Sebuah era dimana asisten digital Anda tidak hanya pintar berbicara, tetapi juga mampu bertindak untuk Anda. Dan siapa tahu, mungkin DeepSeek-lah yang akan memimpin perubahan tersebut.

Warner Bros. Gugat Midjourney Soal Gambar AI Superman & Batman

0

Telset.id – Bayangkan jika Anda bisa menciptakan gambar Superman atau Batman hanya dengan mengetikkan beberapa kata. Itulah yang ditawarkan oleh teknologi AI seperti Midjourney. Namun, di balik kemudahan itu, tersimpan pertarungan hukum yang bisa mengubah masa depan kreativitas digital. Warner Bros. Discovery baru saja menggugat Midjourney karena dianggap melanggar hak cipta karakter ikonik mereka.

Gugatan ini bukan sekadar perselisihan biasa. Ini adalah babak baru dalam perdebatan panjang tentang batas antara inspirasi manusia dan replikasi mesin. Warner Bros. menuduh Midjourney dengan sengaja membiarkan penggunanya menghasilkan gambar dan video yang sangat mirip dengan karakter seperti Batman, Superman, Wonder Woman, Scooby-Doo, dan Bugs Bunny. Menurut studio, karakter-karakter ini bukan hanya sekadar fiksi, melainkan aset inti yang telah membentuk budaya pop selama beberapa dekade.

Gugatan diajukan di pengadilan federal Los Angeles pada 5 September 2025. Warner Bros. mengklaim bahwa Midjourney awalnya memiliki pengaman untuk mencegah penggunaan tidak sah, tetapi kemudian menghapusnya sebagai bagian dari keputusan yang dihitung matang. Mereka membandingkan gambar yang dihasilkan AI dengan versi asli, dan kemiripannya sangat mencolok. Studio kini menuntut ganti rugi hingga US$150.000 dan perintah pengadilan untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan.

Bukan Kasus Pertama untuk Midjourney

Ini bukan pertama kalinya Midjourney menghadapi tuntutan hukum. Studio besar lain seperti Universal dan Disney juga telah menuduh platform tersebut melakukan praktik serupa. Kasus-kasus ini menunjukkan betapa rumitnya mengatur hak cipta di era AI, di mana mesin dapat “belajar” dari miliaran gambar dan menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan tersebut.

Midjourney membela diri dengan argumen “penggunaan wajar transformatif”. Mereka menyatakan bahwa teknologi mereka tidak menyalin gambar secara langsung, tetapi belajar dari visual yang ada—mirip dengan cara manusia menggambar inspirasi. Perusahaan juga mengalihkan tanggung jawab kepada pengguna, dengan menyatakan bahwa terms of service mereka melarang pembuatan konten yang melanggar hak cipta.

Dampak Jangka Panjang bagi Industri Kreatif

Hasil dari gugatan ini akan memiliki efek berantai yang signifikan. Jika Warner Bros. menang, ini bisa menjadi preseden bagi studio lain untuk lebih agresif melindungi properti intelektual mereka. Di sisi lain, jika Midjourney berhasil mempertahankan argumen “penggunaan wajar”, pintu mungkin terbuka lebar bagi inovasi AI—meski dengan risiko pelanggaran hak cipta yang lebih besar.

Kasus ini juga menyoroti perlunya regulasi yang lebih jelas tentang kepemilikan dan orisinalitas di era digital. Seperti yang terjadi dalam kasus Meta yang menang gugatan hak cipta AI, kemenangan hukum tidak selalu berarti akhir dari perdebatan. Ada catatan penting tentang bagaimana AI harus diatur agar tidak merugikan kreator asli.

Pertanyaan besarnya: apakah AI hanya alat yang mempermudah proses kreatif, atau ancaman bagi hak cipta? Jawabannya mungkin tidak hitam putih. Seperti inovasi teknologi lainnya, AI membawa serta tantangan dan peluang. Namun, satu hal yang pasti—pertarungan hukum seperti ini akan terus berlanjut seiring dengan perkembangan teknologi.

Bagi Anda yang tertarik dengan perkembangan AI, kasus ini adalah pengingat bahwa teknologi tidak pernah netral secara hukum. Setiap terobosan membawa serta konsekuensi yang harus dipertimbangkan dengan cermat. Seperti yang terjadi dengan gugatan FTC terhadap Meta, hasil dari persidangan ini bisa mengguncang tidak hanya industri hiburan, tetapi juga seluruh ekosistem digital.

Jadi, apa pendapat Anda? Apakah AI seperti Midjourney harus dibatasi, atau justru diberi kebebasan untuk berinovasi? Bagaimanapun, keputusan pengadilan dalam kasus Warner Bros. vs Midjourney akan menjadi penanda arah baru bagi masa depan kreativitas—manusia dan mesin.

Film Street Fighter 2026: Bocoran Pemain dan Tanggal Rilis Resmi!

0

Telset.id – Siapa yang tidak kenal Street Fighter? Game legendaris yang telah menghibur generasi gamer sejak era 20 Game PS1 Terbaik dan Legendaris, Serunya Bikin Kangen! ini akhirnya akan kembali diangkat ke layar lebar. Kabar terbaru mengonfirmasi bahwa film Street Fighter akan tayang pada 16 Oktober 2026. Tidak main-main, deretan pemainnya pun terdiri dari bintang-bintang ternama Hollywood dan atlet profesional. Apakah film ini akan sesukses adaptasi game lainnya seperti Daftar Game Terbaru yang Rilis Tahun 2023, Ada Hogwarts Legacy? Mari kita kupas lebih dalam.

Pengumuman resmi ini datang langsung dari akun X (sebelumnya Twitter) film Street Fighter. “Rahasia tidak bertahan lama di arena—Street Fighter sekarang sedang dalam produksi. Di bioskop 16 Oktober 2026. Mari turnamen dimulai!” tulis unggahan tersebut. Pengumuman ini disertai dengan gambar pemain yang disusun mirip dengan layar pemilihan karakter di Street Fighter 2, memberikan sentuhan nostalgia yang kuat bagi para penggemar lama.

Daftar pemain yang terungkap cukup mencengangkan. Andrew Koji, yang dikenal dari serial “Warrior”, akan memerankan Ryu. Sementara itu, Callina Liang dipercaya sebagai Chun-Li, karakter ikonik yang menjadi favorit banyak pemain. Tidak ketinggalan, nama-nama besar seperti Cody Rhodes, Eric André, dan 50 Cent juga terlibat. Bahkan, Joe “Roman Reigns” Ano’i akan memerankan Akuma, sosok antagonis yang ditakuti. Dengan line-up sehebat ini, apakah film ini akan menjadi masterpiece atau justru kecewa?

Menurut laporan dari The Hollywood Reporter, film ini akan berlatar tahun 1993. Alur ceritanya dimulai ketika Chun-Li membujuk Ryu dan Ken untuk kembali ke arena dalam Turnamen World Warrior. Tentu saja, seperti yang bisa kita duga, turnamen ini menyimpan rahasia gelap yang perlahan terungkap seiring berjalannya cerita. Gaya narasi seperti ini mengingatkan kita pada serial thriller seperti Stranger Things 5, di mana setiap episode membawa kejutan baru.

Josh Greenstein, co-chair of Paramount Pictures, menyatakan optimisme tinggi terhadap kolaborasi ini. “Legendary telah membangun reputasi untuk film-film ambisius dan menarik secara global, dan kami sangat senang bermitra dengan mereka. Street Fighter adalah awal yang sempurna untuk kolaborasi kami, yang kami yakini akan kuat dan langgeng,” ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan keyakinan bahwa film Street Fighter bukan sekadar adaptasi biasa, tetapi proyek besar yang dirancang untuk memuaskan baik penggemar lama maupun penonton baru.

Lalu, bagaimana dengan persaingan dengan film fighting game lainnya? Tidak bisa dipungkiri, Mortal Kombat yang akan tayang pada 24 Oktober 2025 menjadi pesaing langsung. Kedua franchise ini telah bersaing puluhan tahun di dunia game, dan kini pertarungan tersebut berpindah ke layar lebar. Apakah Street Fighter bisa mengungguli Mortal Kombat dalam hal box office dan kritik? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Dari segi teknis, film ini dipastikan akan menampilkan visual yang memukau. Mengingat perkembangan teknologi CGI saat ini, adegan-adegan pertarungan pasti akan dibuat sangat epik. Bahkan, perangkat seperti Asus Vivobook Pro 15 OLED K3500 yang memiliki layar menawan mungkin digunakan dalam proses pascaproduksi untuk memastikan kualitas terbaik.

Jadi, apakah Anda sudah siap menyambut kembalinya Street Fighter? Dengan pemain yang menjanjikan dan cerita yang penuh misteri, film ini berpotensi menjadi salah satu adaptasi game terbaik sepanjang masa. Tandai kalender Anda untuk 16 Oktober 2026, dan saksikan bagaimana turnamen legendaris itu hidup kembali di bioskop.

Life is Strange Jadi Serial TV Amazon Prime Video, Dibuat Charlie Covell

0

Telset.id – Dunia adaptasi game ke layar kaca kembali mendapat angin segar. Amazon Prime Video secara resmi mengumumkan greenlight untuk serial TV “Life is Strange”, mengakhiri perjalanan panjang pencarian rumah produksi yang tepat untuk franchise populer ini. Kabar ini tentu menggembirakan bagi jutaan penggemar yang telah menantikan adaptasi layar lebar dari game episodik penuh emosi tersebut.

Berdasarkan laporan eksklusif Variety, proyek ambisius ini akan dipimpin oleh Charlie Covell sebagai penulis sekaligus showrunner. Covell bukan nama baru di industri hiburan, dengan portofolio yang termasuk serial Netflix “Kaos” dan mini series Channel 4 “Truelove”. Pengalamannya dalam menangani narasi kompleks menjadi nilai tambah untuk mengadaptasi cerita “Life is Strange” yang kaya akan dimensi karakter dan pilihan moral.

Tim produksi juga melibatkan beberapa nama berat. Dmitri M. Johnson, Mike Goldberg, dan Timothy I. Stevenson dari Story Kitchen akan bertindak sebagai executive producers. Yang menarik, Square Enix sebagai pemilik IP terlibat langsung sebagai produser bersama Amazon, LuckyChap, dan Story Kitchen. Namun, dua studio pengembang game asli—Deck Nine dan Dontnod—tampaknya tidak terlibat dalam produksi serial ini.

Amazon MGM Studios melalui akun Twitter resminya mengonfirmasi pengumuman ini pada 5 September 2025. “Amazon MGM Studios telah memberikan greenlight untuk Life is Strange, berdasarkan game terlaris yang critically acclaimed, langsung ke serial dari creator/showrunner Charlie Covell,” tulis pernyataan resmi mereka.

Johnson dan Goldberg dari Story Kitchen menyampaikan antusiasme mereka melalui pernyataan: “Story Kitchen selalu percaya bahwa ‘Life is Strange’ layak menjadi lebih dari sekadar game—ini adalah cultural touchstone. Setelah perjalanan selama satu dekade, kami merasa terhormat dapat membawa cerita yang dicintai ini ke Amazon MGM bersama mitra luar biasa di Square Enix, showrunner/penulis brilian Charlie Covell, dan tim amazing di LuckyChap.”

Covell sendiri menyatakan: “Merupakan kehormatan besar mengadaptasi ‘Life Is Strange’ untuk Amazon MGM Studios. Saya adalah penggemar berat game ini, dan saya sangat senang bisa bekerja dengan tim incredible di Square Enix, Story Kitchen dan LuckyChap. Saya tidak sabar untuk berbagi cerita Max dan Chloe dengan sesama pemain dan audiens baru.”

Jon Brooke dan Lee Singleton dari Square Enix External Studios menambahkan: “Selama bertahun-tahun banyak orang meminta kami untuk membuat serial TV ‘Life is Strange’ dan kami sangat senang akhirnya bermitra dengan Amazon MGM Studios yang kami percaya akan melakukan pekerjaan incredible dalam menghidupkan universe kami.”

Adaptasi “Life is Strange” menjadi bagian dari strategi besar Amazon dalam mengembangkan konten berdasarkan franchise game populer. Platform streaming ini telah memiliki daftar panjang adaptasi game dalam produksi, termasuk Tomb Raider, God of War, Fallout, Wolfenstein, Warhammer, Like a Dragon: Yakuza, dan Mass Effect.

Lalu bagaimana dengan Netflix? Platform streaming rival ini memang memiliki berbagai konten original berkualitas, termasuk drama Korea bertema dunia medis yang populer. Namun dalam hal adaptasi game, Amazon tampaknya lebih agresif dalam mengakuisisi IP besar.

Bagi Anda yang penasaran dengan konten Netflix namun belum memiliki akun, ternyata ada cara menonton serial dan film original Netflix tanpa akun. Meskipun demikian, kehadiran “Life is Strange” di Amazon Prime Video tentu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemar setia.

Netflix sendiri sebenarnya telah menunjukkan minat dalam industri game, seperti ketika mereka bergabung dengan acara E3 2019 yang memicu spekulasi tentang rencana masuk ke sektor gaming. Namun hingga kini, adaptasi game besar mereka masih terbatas dibandingkan dengan Amazon.

Pertanyaan besar sekarang adalah: akankah adaptasi “Life is Strange” ini memenuhi harapan penggemar? Game original terkenal dengan narasi yang dalam, karakter yang kompleks, dan mekanika “pilihan dan konsekuensi” yang menjadi jiwa franchise. Mengalihmediakan elemen-elemen ini ke format serial televisi bukanlah tugas mudah.

Dengan begitu banyak adaptasi game yang sedang dalam produksi—tidak hanya di Amazon tetapi juga di platform lain—muncul kekhawatiran tentang kelelahan audiens terhadap konten adaptasi. Kesuksesan serial “Fallout” Amazon memberikan harapan, namun jika kualitas adaptasi lainnya menurun drastis, antusiasme penonton mungkin akan memudar.

Proyek “Life is Strange” telah melalui berbagai percobaan adaptasi selama bertahun-tahun sebelum akhirnya Amazon Prime Video yang berhasil merealisasikannya. Dengan tim kreatif yang solid dan dukungan dari pemegang IP, serial ini memiliki potensi untuk menjadi salah satu adaptasi game terbaik yang pernah dibuat—atau justru menjadi kekecewaan besar bagi penggemar setia.

Bagaimana pendapat Anda tentang adaptasi “Life is Strange” ini? Apakah Anda percaya Charlie Covell dan tim dapat menangkap esensi dari game yang kita cintai? Ataukah Anda termasuk yang skeptis dengan maraknya adaptasi game belakangan ini? Ceritakan pendapat Anda di kolom komentar!

Samsung Akhiri Dukungan Software untuk Galaxy Note 20 Series

0

Telset.id – Sudah siapkah Anda untuk melepas salah satu legenda smartphone Samsung? Setelah lima tahun setia menemani, Samsung resmi mengakhiri dukungan software untuk seri Galaxy Note 20. Artinya, tidak akan ada lagi pembaruan OS atau patch keamanan untuk perangkat yang dulu menjadi kebanggaan ini.

Seri Galaxy Note 20, yang meliputi Note 20, Note 20 5G, Note 20 Ultra, dan Note 20 Ultra 5G, pertama kali diluncurkan pada Agustus 2020 dengan Android 10. Kala itu, siapa sangka bahwa mereka akan menjadi model Galaxy Note terakhir yang pernah diproduksi Samsung. Kini, setelah melalui berbagai pembaruan dan inovasi, perjalanan mereka telah sampai di ujung jalan.

Sebelum mencapai akhir masa dukungan, seri ini sempat masuk dalam siklus pembaruan biannual, yang berarti mereka hanya menerima dua pembaruan software per tahun. Meskipun kemungkinan besar tidak akan ada pembaruan software lagi ke depan, Samsung menyatakan bahwa jika terdapat masalah keamanan besar yang memengaruhi model ini, pengguna masih bisa mengharapkan perbaikan melalui pembaruan darurat.

Perjalanan Panjang Galaxy Note 20

Selama lima tahun terakhir, Samsung telah memenuhi janjinya dengan merilis tiga pembaruan Android utama untuk model Galaxy Note 20. Perangkat-perangkat ini awalnya menerima patch keamanan bulanan untuk waktu yang cukup lama, sebelum kemudian dialihkan ke siklus pembaruan triwulanan, dan akhirnya ke biannual. Setiap bulannya, Samsung memperbarui halaman security scope yang memberi tahu kita seberapa sering perangkat Galaxy akan menerima pembaruan keamanan. Bulan lalu, model Galaxy Note 20 masih terdaftar dalam kategori biannual, tetapi kini mereka sudah tidak ada lagi dalam daftar tersebut.

Bagi Anda yang masih setia menggunakan Galaxy Note 20 atau Note 20 Ultra, perangkat Anda akan tetap berada di Android 13 dengan patch keamanan terbaru yang sudah terinstal. Namun, Anda sudah melewatkan banyak fitur dan peningkatan luar biasa dari Samsung dan Google yang dikemas dalam pembaruan One UI utama dalam beberapa tahun terakhir.

Masa Depan Tanpa Pembaruan Keamanan

Meskipun Anda masih bisa terus menggunakan Galaxy Note 20, kenyataan pahitnya adalah perangkat ini tidak akan lagi menerima perbaikan keamanan melalui pembaruan. Ini berarti perangkat Anda tidak akan lagi seaman dulu, terutama jika menyimpan data-data kritis. Dalam dunia yang semakin terhubung seperti sekarang, keamanan data menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar.

Lantas, apa yang terjadi dengan warisan Galaxy Note? Samsung ternyata tidak serta merta meninggalkan semua ciri khas Galaxy Note. Beberapa trait seperti S Pen dan prinsip-prinsip desain tertentu telah diwariskan ke model Ultra dalam seri Galaxy S. Jadi, meskipun nama Galaxy Note sudah menjadi sejarah, semangatnya tetap hidup dalam produk-produk Samsung lainnya.

Opsi Upgrade Terbaik untuk Pengguna Galaxy Note 20

Jika Anda sedang mempertimbangkan untuk upgrade, ada banyak pilihan menarik yang tersedia. Anda bisa beralih ke model Galaxy S25 atau Galaxy Z Fold 7. Kedua perangkat ini dilengkapi dengan hardware yang excellent dan menawarkan tujuh tahun pembaruan Android dan patch keamanan—jaminan yang jauh lebih panjang dibandingkan masa pakai Galaxy Note 20.

Bagi penggemar setia Samsung, Samsung Galaxy Z TriFold juga menjadi opsi yang patut dipertimbangkan dengan fitur multitasking ekstremnya. Atau jika budget lebih terbatas, Samsung Galaxy A07 menawarkan performa gesit dengan harga terjangkau.

Perlu diingat, keputusan untuk upgrade tidak hanya tentang mengikuti tren terbaru, tetapi juga tentang menjaga keamanan data dan pengalaman pengguna yang optimal. Dengan tidak adanya pembaruan keamanan, Galaxy Note 20 menjadi semakin rentan terhadap ancaman siber yang terus berkembang.

Jadi, apa langkah selanjutnya untuk Anda para owner Galaxy Note 20? Apakah akan tetap bertahan dengan perangkat legendaris ini, atau sudah saatnya beralih ke generasi berikutnya? Pilihan ada di tangan Anda, tetapi satu hal yang pasti: era Galaxy Note 20 telah resmi berakhir, meninggalkan kenangan manis dan pelajaran berharga tentang siklus hidup produk teknologi.

Samsung Kembangkan Kamera Zoom Optik Kontinu untuk Smartphone Masa Depan

0

Telset.id – Bayangkan jika Anda bisa melakukan zoom pada smartphone tanpa kehilangan detail gambar sama sekali. Itulah yang mungkin akan dihadirkan Samsung dalam waktu dekat. Menurut laporan terbaru dari media Korea The Elec, Samsung Electro-Mechanics sedang mengembangkan modul telephoto dengan zoom optik kontinu — sesuatu yang belum pernah ditawarkan oleh smartphone mainstream sebelumnya.

Selama ini, kebanyakan ponsel menggunakan tingkat zoom tetap, seperti 3x, 5x, atau 10x, dan mengandalkan zoom digital untuk jangkauan di antaranya. Itulah mengapa kualitas gambar cenderung menurun begitu Anda bergerak dari titik-titik tetap tersebut. Zoom optik kontinu akan mengubah segalanya, memungkinkan lensa bergeser dengan mulus dalam suatu rentang sambil menjaga ketajaman detail.

Ilustrasi modul kamera zoom optik kontinu Samsung

Cara kerjanya cukup kompleks: lensa dibagi menjadi beberapa kelompok, dengan beberapa bagian bergerak secara independen untuk menyesuaikan panjang fokus. Namun, ada trade-off yang harus dibayar: modul yang lebih besar, mekanisme yang lebih rumit, dan kebutuhan akan penyelarasan yang sangat presisi. Samsung telah mengajukan paten pada tahun 2024 dan 2025, mengisyaratkan bahwa mereka telah mengerjakan teknologi ini untuk beberapa waktu.

Yang menarik adalah siapa yang mungkin akan membawa teknologi ini pertama kali ke pasar smartphone mainstream. Menurut laporan tersebut, Samsung sedang menawarkan teknologi ini kepada merek-merek China seperti Xiaomi, yang biasanya lebih cepat mengadopsi fitur-fitur eksperimental. Bagi bisnis komponen Samsung, ini juga merupakan langkah cerdas di pasar yang melambat — fokus pada modul bernilai tinggi seperti zoom kontinu, aperture variabel, dan desain yang lebih tipis, dan menjualnya ke sebanyak mungkin pembuat ponsel.

Persaingan Teknologi Kamera Smartphone

Sementara beberapa pembuat ponsel lebih mengandalkan pemrosesan gambar daripada optik — ambil contoh jajaran Pixel 10 Google, yang menggunakan AI untuk meningkatkan hasil zoom alih-alih menambahkan perangkat keras telephoto yang lebih besar dan lebih baik — sebagian besar pembuat smartphone China masih memasang lensa terbaik yang bisa mereka muat dalam flagship mereka. Itulah mengapa pekerjaan Samsung pada zoom optik kontinu terasa seperti sesuatu yang patut diperhatikan.

Perlu dicatat bahwa ini bukan pertama kalinya kita melihat zoom optik mulus di ponsel. Sony Xperia 1 VII dapat bergerak antara 3.5x dan 7.1x secara optik tanpa banyak kehilangan detail. Masalahnya? Perangkat Xperia tidak pernah benar-benar klik dengan pembeli mainstream. Mereka solid di beberapa area, tetapi tidak cukup lengkap untuk bersaing dengan pemain besar di ruang tersebut.

Jika pengembangan Samsung berjalan sesuai harapan, zoom optik kontinu akhirnya bisa membuat “super zoom” pada smartphone lebih dari sekadar gimmick pemasaran. Tapi untuk saat ini, sepertinya flagship China akan mendapatkan kesempatan pertama. Ini bisa menjadi game-changer bagi merek seperti Huawei Mate 40 yang dikenal dengan inovasi kameranya.

Masa Depan Fotografi Smartphone

Dengan teknologi zoom optik kontinu, Samsung tidak hanya menawarkan peningkatan teknis tetapi juga membuka pintu bagi kreativitas pengguna yang lebih luas. Bayangkan merekam video dengan transisi zoom yang halus seperti kamera profesional, atau mengambil foto dengan komposisi yang lebih fleksibel tanpa khawatir kehilangan kualitas.

Teknologi ini juga sejalan dengan perkembangan kamera periskop yang sudah mulai banyak digunakan di smartphone flagship. Kombinasi antara desain periskop dan mekanisme zoom kontinu bisa menjadi solusi sempurna untuk menciptakan pengalaman zoom yang superior tanpa membuat bodi ponsel menjadi terlalu tebal.

Bagi para content creator dan vlogger, teknologi ini bisa menjadi revolusi tersendiri. Seperti yang kita lihat pada Sony ZV-1 yang dirancang khusus untuk vlogger, kemampuan zoom yang mulus dan berkualitas tinggi adalah fitur yang sangat dihargai. Dengan hadirnya teknologi serupa di smartphone, batas antara kamera dedicated dan ponsel semakin kabur.

Jadi, apakah kita akan segera melihat smartphone dengan zoom optik kontinu? Semuanya tergantung pada adopsi dari merek-merek smartphone dan seberapa cepat Samsung bisa memproduksi massal modul ini. Yang pasti, ini adalah perkembangan yang patut ditunggu bagi siapa pun yang peduli dengan fotografi mobile.

Xiaomi Hentikan Update 6 Smartphone, Ini Daftarnya!

0

Telset.id – Apakah Anda masih menggunakan salah satu dari enam smartphone Xiaomi yang akan berhenti menerima pembaruan perangkat lunak mulai akhir bulan ini? Jika ya, inilah saatnya untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya. Xiaomi secara resmi mengumumkan penghentian siklus update untuk enam model ponselnya, yang berarti tidak akan ada lagi pembaruan keamanan atau fitur utama setelah tanggal yang ditentukan.

Keputusan ini bukanlah hal yang mengejutkan bagi mereka yang memahami siklus hidup produk teknologi, namun tetap menjadi perhatian serius bagi pengguna setia. Bagaimana tidak? Tanpa pembaruan keamanan, perangkat Anda menjadi lebih rentan terhadap ancaman siber yang terus berkembang. Lalu, model mana saja yang terdampak dan apa yang harus dilakukan pengguna?

Mari kita mulai dengan tiga model flagship dari seri Xiaomi 11. Xiaomi 11T, 11T Pro, dan 11 Lite 5G NE akan mencapai akhir masa dukungan perangkat lunak pada 23 September 2025. Ketiganya diluncurkan pada September 2021 dengan janji tiga pembaruan Android utama dan empat tahun patch keamanan. Janji itu telah dipenuhi dengan baik – ketiganya diluncurkan dengan Android 11 dan sekarang telah mencapai Android 14.

Bahkan, Xiaomi memberikan bonus berupa upgrade ke HyperOS. Xiaomi 11T dan 11T Pro menerima HyperOS 1 berbasis Android 14, sementara 11 Lite 5G NE lebih beruntung dengan mendapatkan HyperOS 2. Namun, setelah hampir empat tahun, perjalanan mereka akhirnya sampai di ujung jalan.

Bergeser ke segmen entry-level, Redmi A1 dan Redmi A1+ juga akan mengakhiri perjalanan update mereka pada tanggal yang sama. Kedua ponsel ini diluncurkan pada September 2022 dengan MIUI 12 berbasis Android 12. Ironisnya, meskipun menerima upgrade ke MIUI 13, mereka tidak pernah mendapatkan pembaruan versi Android – tetap terjebak di Android 12 hingga akhir hayatnya.

Terakhir, Poco M5 menyelesaikan perjalanan update-nya lebih awal pada 6 September 2025. Diluncurkan juga pada September 2022 dengan Android 12 dan MIUI 13, ponsel ini berhasil mendapatkan dua pembaruan Android utama (ke Android 13 dan 14) seperti yang dijanjikan.

Apa Artinya Bagi Pengguna?

Pertanyaan besar yang mungkin menghantui Anda: apa konsekuensi nyata dari penghentian update ini? Jawabannya lebih serius dari sekadar tidak mendapatkan fitur baru. Perangkat Anda akan terus berfungsi normal, tetapi menjadi sasaran empuk bagi penjahat siber. Setiap celah keamanan baru yang ditemukan di Android atau perangkat Xiaomi tidak akan lagi ditambal pada perangkat-perangkat ini.

Bayangkan jika perangkat Anda menyimpan data sensitif seperti informasi perbankan, kredensial login, atau dokumen penting. Risikonya tidak main-main. Dalam dunia yang semakin terhubung, menggunakan perangkat tanpa pembaruan keamanan ibarat meninggalkan pintu rumah terbuka lebar saat Anda pergi berlibur.

Lalu, apa solusinya? Idealnya, upgrade ke model yang lebih baru yang masih mendapatkan dukungan penuh. Xiaomi sendiri telah mulai menjanjikan dukungan update yang lebih panjang untuk produk-produk terbarunya, bahkan hingga enam tahun untuk beberapa model. Ini merupakan langkah progresif yang patut diapresiasi.

Masa Depan HyperOS dan Strategi Xiaomi

Keputusan penghentian update ini juga memberikan gambaran menarik tentang strategi software Xiaomi ke depan. Dengan HyperOS yang semakin matang, perusahaan tampaknya berfokus pada konsistensi dan longevity support untuk produk-produk barunya. Seperti yang pernah kami bahas dalam analisis sebelumnya, Xiaomi mungkin sedang mengadopsi pendekatan seperti Apple dalam manajemen siklus update.

Namun, transisi ke HyperOS tidak selalu mulus. Seperti yang terjadi dengan kasus fitur SU7 Ultra, Xiaomi terkadang harus belajar dari kesalahan dalam implementasi fitur baru. Pelajaran berharga yang semoga membuat mereka lebih hati-hati dalam menjanjikan dukungan update di masa depan.

Bagi pengguna yang memutuskan untuk tetap menggunakan perangkat yang telah EOL, setidaknya pastikan untuk berhati-hati dalam mengunduh aplikasi. Seperti yang kami ungkap dalam investigasi aplikasi berbahaya, ancaman malware semakin canggih dan bisa menyusup melalui aplikasi yang tampaknya tidak berbahaya.

Jadi, apakah ponsel Xiaomi Anda termasuk dalam daftar yang berakhir masa updatenya? Jika ya, mungkin inilah saat yang tepat untuk mempertimbangkan upgrade – bukan hanya untuk fitur baru, tetapi terutama untuk keamanan digital Anda yang lebih terjamin.