Beranda blog Halaman 31

Siap-siap! Kemenperin Sebut iPhone 17 Segera Hadir di Indonesia Awal Oktober 2025

0

Telset.id – Bagi Anda yang sudah tak sabar menantikan kehadiran iPhone terbaru, kabar gembira datang dari Kementerian Perindustrian. iPhone 17 series dipastikan akan memasuki pasar Indonesia pada awal Oktober 2025, mengakhiri penantian panjang para penggemar Apple di tanah air.

Kepala Pusat Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) Kemenperin, Heru Kustanto, dengan tegas menyatakan bahwa proses sertifikasi TKDN untuk iPhone 17 telah rampung. “Iya, awal Oktober harusnya sudah beres insya Allah. Paling lama, ya, dua minggu dari sekarang,” ujarnya di Inspektorat Jenderal Kemenperin, Jakarta Selatan, Kamis (11/9). Pernyataan ini memberikan kepastian setelah sebelumnya iPhone 16 mengalami keterlambatan masuk ke Indonesia hingga April akibat masalah sertifikasi.

Proses sertifikasi TKDN iPhone 17 telah menghasilkan penerbitan 4 sertifikat untuk PT Apple Indonesia pada Kamis, 11 September 2025. Keempat model tersebut masing-masing mencapai nilai TKDN 40 persen, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat pada Februari lalu. “Ya, 40 persen dapet. Sama seperti yang tempo hari, bulan Februari, kan. Masih satu paket sama investasi kemarin. Masih berlaku tiga tahun,” jelas Heru.

Model dan Varian iPhone 17 yang Akan Datang

Dari pengumuman resmi Kemenperin, teridentifikasi empat model iPhone 17 dengan kode spesifik: A3523 dan A3526 untuk iPhone 17 Pro dan iPhone 17 Pro Max, sementara A3520 merujuk pada model basic iPhone 17. Yang menarik, kode A3517 mengonfirmasi kehadiran varian baru bernama iPhone Air yang menggantikan posisi iPhone Plus.

Setelah menyelesaikan sertifikasi TKDN, Apple masih harus mengurus izin edar melalui sertifikat postel sebelum dapat secara resmi memasarkan produknya di Indonesia. “Ya, biasanya mereka akan mengurus izin edar, ya. Yes, setelah dari TKDN, sertifikat postel,” tambah Heru. Proses ini diharapkan berjalan lancar mengingat sertifikasi TKDN telah terselesaikan tepat waktu.

Spesifikasi Teknis yang Menggiurkan

iPhone 17 series yang resmi dirilis Apple pada Rabu (10/9) membawa sejumlah peningkatan signifikan. Perangkat ini ditenagai oleh chip A19 berbasis fabrikasi 3nm generasi ketiga, yang menjanjikan performa CPU 1,5 kali lebih cepat dan GPU 2 kali lebih cepat dibandingkan A15 Bionic. Tidak hanya itu, chip ini juga dilengkapi dengan akselerator Neural di setiap inti GPU, mendukung pemrosesan AI generatif langsung di perangkat.

Untuk varian Pro dan Pro Max, Apple menyematkan chip A19 Pro yang lebih powerful, dilengkapi tiga kamera 48 MP, serta fitur video profesional seperti ProRes RAW dan Apple Log 2. Spesifikasi ini menunjukkan komitmen Apple dalam memenuhi kebutuhan konten kreator profesional yang menginginkan perangkat mobile dengan kemampuan setara peralatan studio.

Kehadiran iPhone Air sebagai pengganti iPhone Plus juga menjadi perhatian khusus. Varian ini diyakini akan menawarkan kombinasi antara portabilitas dan performa, mengisi celah pasar yang selama ini diisi oleh model Plus. Apakah strategi ini akan berhasil? Hanya waktu yang bisa menjawab, namun langkah Apple dalam memperkenalkan varian baru patut diapresiasi.

Dengan kepastian tanggal kedatangan iPhone 17 di Indonesia, konsumen dapat mulai mempersiapkan budget dan memilih model yang paling sesuai dengan kebutuhan. Mengingat harga iPhone 12 yang mencapai Rp 17 jutaan saat peluncuran, tidak menutup kemungkinan iPhone 17 akan dibanderol dengan harga yang cukup premium. Sebagai perbandingan, iPhone 8 pernah mencapai harga Rp 17 jutaan di pasaran Indonesia, sementara iPhone SE 2022 dibanderol dengan harga yang lebih terjangkau.

Kedatangan iPhone 17 series pada Oktober 2025 ini tidak hanya menjadi kabar gembira bagi penggemar Apple, tetapi juga menunjukkan komitmen perusahaan dalam mematuhi regulasi lokal dan berkontribusi pada pengembangan industri dalam negeri melalui pemenuhan nilai TKDN. Dengan nilai 40 persen, Apple menunjukkan keseriusannya dalam berinvestasi di Indonesia, sekaligus membuka peluang bagi komponen lokal untuk terlibat dalam rantai pasok global.

Jadi, siapkah Anda menyambut iPhone 17 series bulan Oktober mendatang? Dengan segudang fitur canggih dan desain yang diprediksi akan memukau, smartphone flagship terbaru Apple ini pasti akan menjadi pembicaraan hangat di kalangan tech enthusiast Indonesia.

UMKM Indonesia Butuh Perlindungan Ekstra Hadapi Serangan Siber AI

0

Telset.id – Bayangkan ini: sebuah usaha kecil yang baru mulai berkembang tiba-tiba bangkrut karena diretas. Bukan karena kesalahan produk atau pasar, melainkan karena penipuan suara AI yang menyamar sebagai direktur perusahaan. Fantasi? Tidak. Ini kenyataan yang mengintai 64 juta lebih pelaku UMKM Indonesia—penggerak utama ekonomi digital kita.

Data terbaru dari Palo Alto Networks mengungkap fakta mengejutkan: Indonesia justru berada di posisi teratas Asia Tenggara dalam hal ketahanan siber dengan skor 20,65 dari 25. UMKM kita bahkan mengalokasikan 14,4% dari omzet untuk investasi keamanan siber. Tapi di balik angka optimis ini, tersembunyi ancaman yang semakin canggih—serangan berbasis AI dan social engineering yang tak lagi bisa dihadapi dengan sistem konvensional.

Laporan Global Incident Response Unit 2025 menyebut social engineering sebagai taktik paling efektif, mencakup 36% dari seluruh kasus kejahatan siber. Peretas kini memanfaatkan AI generatif untuk mengeksploitasi sisi emosional manusia, mulai dari memanipulasi hasil pencarian Google, membuat prompt palsu, menyusup ke layanan customer service, hingga penipuan menggunakan suara hasil kloning AI. Lebih dari setengah serangan ini berujung pada kebocoran data atau lumpuhnya operasional bisnis—bahkan kebangkrutan.

AI di Tangan Peretas: Bukan Lagi Sekedar Phishing Biasa

Teknologi yang seharusnya memudahkan manusia justru dibajak untuk kejahatan yang lebih terstruktur dan personal. Sebanyak 45% penjahat siber menyamar sebagai pegawai perusahaan untuk membangun kepercayaan, sementara 23% memanfaatkan teknologi duplikasi suara dan callback untuk menjebak korbannya. Bayangkan menerima telepon dari “atasan” yang meminta transfer dana mendesak—dengan suara yang persis sama.

Tak berhenti di situ, otomasi AI memungkinkan serangan phishing dan SMS palsu disebarkan dalam skala masif dengan presisi tinggi. Bahkan, Agentic AI—sistem yang mampu menjalankan tugas rumit dengan intervensi manusia minimal—kini dipakai untuk membuat identitas palsu lengkap dengan CV dan profil media sosial. Dalam satu kasus, pelaku berhasil menyusup ke perusahaan lewat lamaran kerja bodong yang terlihat sangat meyakinkan.

Namun, kelemahan terbesar ternyata masih berasal dari manusia. Sebanyak 13% serangan social engineering berhasil karena karyawan mengabaikan peringatan keamanan. Kurangnya otentikasi berlapis dan pemberian hak akses yang terlalu luas juga berkontribusi pada 10% kasus kebocoran data. Tim keamanan yang kewalahan sering kali baru menyadari serangan setelah peretas sudah menguasai sistem.

Lalu, Bagaimana UMKM Bisa Bertahan?

Menurut Adi Rusli, Country Manager Indonesia Palo Alto Networks, UMKM Indonesia telah tumbuh dan adaptif dalam adopsi digital. Namun, menghadapi ancaman siber yang kian canggih, bisnis tidak bisa lagi mengandalkan sistem keamanan lama. “Perlu beralih ke solusi AI yang adaptif dan bereaksi langsung terhadap ancaman,” tegasnya.

Laporan tersebut merekomendasikan tiga strategi utama. Pertama, memperkuat SDM dengan pelatihan dan simulasi serangan nyata. Karyawan adalah garis pertahanan pertama yang harus mampu mendeteksi ancaman—terutama yang menyasar surel dan browser.

Kedua, menerapkan kendali di layer jaringan melalui Advanced DNS Security dan Advanced URL Filtering. Teknologi ini memblokir akses ke situs mencurigakan, domain palsu, atau tautan pencuri password—sebagai upaya terakhir ketika perlindungan di perangkat gagal.

Ketiga, mengadopsi framework Zero Trust yang membatasi pergerakan peretas meski mereka berhasil masuk. Setiap akses harus melalui evaluasi ketat: cek perangkat, verifikasi lokasi, dan analisis pola login. Prinsipnya: beri akses secukupnya, hanya ketika dibutuhkan, dan pisahkan jaringan untuk meminimalkan dampak peretasan.

Ancaman siber kini bukan soal teknologi semata, tapi juga soal transformasi bisnis secara menyeluruh. Seperti yang diungkap dalam laporan terkait, kolaborasi dan regulasi menjadi kunci—termasuk dalam menghadapi tantangan keamanan digital yang kian kompleks.

Jadi, masihkah UMKM kita hanya fokus pada pertumbuhan omzet tanpa memedulikan lubang keamanan yang siap menyedot segalanya? Ancaman sudah ada di depan mata. Yang diperlukan sekarang bukan sekadar investasi teknologi, tetapi perubahan mindset akan pentingnya manajemen data dan keamanan siber yang terintegrasi—sebelum semuanya terlambat.

Garena Delta Force Season War Ablaze: Kolaborasi SAW dan Map Baru!

0

Telset.id – Bayangkan jika Anda terjebak dalam medan perang yang penuh ketidakpastian, dihadapkan pada cuaca ekstrem dan musuh yang tak terduga. Itulah yang akan dihadirkan Garena® Delta Force dalam season terbaru bertajuk War Ablaze, yang akan rilis serentak pada 23 September 2025 untuk platform PC dan mobile. Tak hanya itu, kolaborasi mengejutkan dengan franchise horor legendaris “SAW” siap menambah dimensi seram dalam pengalaman bermain.

Gimana, sudah siap menghadapi tantangan terbaru dari Garena® Delta Force? Season War Ablaze bukan sekadar update biasa—ini adalah evolusi. Sejak peluncurannya yang spektakuler dengan mode pertempuran 24 vs 24, game FPS besutan Garena ini terus berinovasi. Kini, mereka kembali memukau dengan menghadirkan konten segar yang menjanjikan adrenalin tinggi dan kejutan tak terduga.

Bagi Anda yang sudah familiar dengan intensitas pertempuran di Garena Delta Force, season ini akan membawa pengalaman baru yang lebih mendalam. Mulai dari Operator dengan kemampuan khusus, map warfare yang dirancang untuk uji taktik, hingga kolaborasi unik yang mungkin tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya. Semuanya dirancang untuk membuat Anda terus kembali ke medan tempur.

Raptor: Operator Recon yang Mengubah Permainan

Memperkenalkan Raptor, bounty hunter yang ahli dalam information warfare dan intel acquisition menggunakan drone. Kehadirannya bukan sekadar tambahan karakter, melainkan jawaban atas kondisi cuaca baru yang akan menghadang pemain. Dalam mode Warfare maupun Operations, Raptor menjadi pilihan strategis bagi mereka yang mengutamakan informasi daripada sekadar tembakan membabi buta.

Bayangkan memiliki mata di langit yang bisa menerobos kabut tebal atau mendeteksi pergerakan musuh dari kejauhan. Itulah yang ditawarkan Raptor. Dalam situasi di mana visibilitas terbatas, drone-nya menjadi senjata pamungkas yang bisa menentukan menang atau kalah. Tidak heran jika banyak pemain profesional sudah mulai mempertimbangkan untuk mengintegrasikan Raptor dalam strategi tim mereka.

Fault: Map Warfare Baru dengan Sentuhan Modern dan Klasik

Map baru Fault menghadirkan level pertempuran yang meningkat dengan sentuhan modern dalam setting klasik. Di sini, Anda tidak hanya bertarung melawan musuh, tetapi juga melawan elemen alam. Kabut tebal yang muncul secara tak terduga bisa menjadi sekutu atau pengkhianat—tergantung bagaimana Anda memanfaatkannya.

Yang membuat Fault semakin menarik adalah kehadiran jet tempur F-45A. Bayangkan dogfight berkecepatan tinggi di antara reruntuhan kuno, di mana setiap manuver bisa berarti hidup atau mati. Map ini dirancang untuk menantang naluri bertahan hidup Anda, sekaligus menguji kemampuan adaptasi dalam situasi yang terus berubah.

Bagi penggemar game FPS seperti Battlefield, Fault menawarkan kompleksitas yang familiar namun dengan twist khas Delta Force. Kombinasi antara lingkungan destruktible dan dinamika cuaca menciptakan pengalaman bermain yang tidak pernah statis—setiap match akan terasa seperti petualangan baru.

Update Mode Operations: Tantangan Baru yang Lebih Mendebarkan

Mode Operations mendapat penyegaran signifikan dengan hadirnya Tide Prison di platform mobile. Dua bos baru, Warden dan Raven, siap menguji kemampuan para pemain dengan mekanik pertarungan yang unik. Selama kedua penjaga gerbang ini masih berdiri, Tide Prison tidak akan pernah runtuh—tantangan yang membutuhkan koordinasi tim dan strategi matang.

Selain Tide Prison, Layali Grove juga mengalami transformasi dramatis. Lingkungan yang sebelumnya familiar kini dipenuhi kobaran api, menciptakan arena pertempuran yang panas secara harfiah dan metaforis. Perubahan ini tidak hanya visual belaka; api mempengaruhi jalur pergerakan, visibilitas, bahkan taktik yang harus Anda terapkan.

Update ini menunjukkan komitmen Garena® Delta Force untuk terus menghadirkan konten yang relevan dan menantang. Seperti halnya kolaborasi AOV dengan Jujutsu Kaisen, inovasi dalam game live service menjadi kunci untuk mempertahankan engagement pemain.

Kolaborasi Mencekam: Garena® Delta Force x SAW

Inilah yang mungkin paling tidak terduga: kolaborasi dengan franchise horor legendaris “SAW” dari Lionsgate. Mulai 23 September 2025, pemain bisa mendapatkan berbagai item in-game bertema SAW, termasuk skin Operator, skin senjata spesial, charm Billy-Wolf, dan item loot ikonik lainnya.

Content image for article: Garena Delta Force Season War Ablaze: Kolaborasi SAW dan Map Baru!

Kolaborasi semacam ini bukanlah hal baru di industri game, tetapi execution-nya yang menentukan keberhasilannya. Dengan memasukkan elemen horror ke dalam game FPS yang sudah intense, Garena® Delta Force berhasil menciptakan crossover yang organic dan menarik. Bayangkan harus bertarung sambil dihantui oleh estetika SAW—tentu menambah lapisan psychological pressure yang unik.

Pendekatan semacam ini mengingatkan pada bagaimana game seperti InZOI berusaha menonjol melalui kolaborasi kreatif. Namun, Delta Force melakukannya dengan gaya mereka sendiri—lebih gelap, lebih tense, dan pasti tidak akan mudah dilupakan.

Delta Force Invitational World Championship: Ajang Prestisius untuk Para Competitor

Selain konten baru, Garena® Delta Force juga menggelar Delta Force Invitational World Championship pada 19-21 September 2025. Turnamen esports untuk mode Operations di platform PC ini akan menampilkan 12 tim dari 8 region yang bersaing merebut gelar juara.

Sayangnya, RRQ GTP sebagai satu-satunya wakil Indonesia harus gugur terlebih dahulu dalam babak kualifikasi regional PAN-PACIFIC pada Agustus lalu. Meskipun demikian, turnamen ini tetap menjadi ajang yang ditunggu untuk melihat meta terbaru dan strategi kompetitif level tinggi.

Dengan segala pembaruan dan event yang diumumkan, jelas bahwa Garena® Delta Force tidak setengah-setengah dalam mengembangkan ekosistem game mereka. Dari konten PvE yang challenging hingga kompetisi esports yang prestisius, mereka membangun pengalaman yang komprehensif untuk berbagai tipe pemain.

Jadi, apakah Anda siap untuk War Ablaze? Dengan segala kejutan yang diumumkan, season ini menjanjikan pengalaman bermain yang lebih kaya, lebih menantang, dan tentu saja—lebih mengasyikkan. Tunggu sampai 23 September, dan siap-siap untuk membakar medan tempur!

FTC Investigasi Chatbot AI Pendamping, Lindungi Anak dan Remaja

0

Telset.id – Bayangkan jika anak atau remaja Anda menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan chatbot AI yang seharusnya menjadi teman virtual, namun justru memicu pikiran negatif atau bahkan membahas topik seksual. Itulah yang kini menjadi perhatian serius Federal Trade Commission (FTC) di Amerika Serikat, yang baru saja meluncurkan investigasi formal terhadap tujuh perusahaan pengembang chatbot AI pendamping.

FTC, badan pengawas perdagangan dan konsumen AS, secara resmi meminta tujuh perusahaan teknologi terkemuka untuk berpartisipasi dalam penyelidikan ini. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah Alphabet (induk perusahaan Google), Character Technologies (pembuat Character.AI), Meta, anak perusahaannya Instagram, OpenAI, Snap, dan X.AI. Investigasi ini bukanlah tindakan regulasi, melainkan upaya untuk memahami bagaimana perusahaan-perusahaan ini “mengukur, menguji, dan memantau dampak negatif potensial teknologi ini pada anak-anak dan remaja.”

FTC meminta berbagai informasi dari perusahaan-perusahaan tersebut, termasuk bagaimana mereka mengembangkan dan menyetujui karakter AI, serta cara mereka “memonetisasi keterlibatan pengguna.” Praktik data dan bagaimana perusahaan melindungi pengguna di bawah umur juga menjadi area yang ingin dipelajari lebih lanjut oleh FTC, sebagian untuk melihat apakah pembuat chatbot “mematuhi Aturan Perlindungan Privasi Online Anak-Anak.”

Ilustrasi investigasi FTC terhadap chatbot AI pendamping untuk melindungi anak dan remaja

Meskipun FTC tidak memberikan motivasi jelas untuk investigasinya, dalam pernyataan terpisah, Komisioner FTC Mark Meador menyiratkan bahwa Komisi merespons laporan terbaru dari The New York Times dan Wall Street Journal tentang “chatbot yang memperkuat ide bunuh diri” dan terlibat dalam “diskusi bertema seksual dengan pengguna di bawah umur.” Meador menegaskan, “Jika fakta — yang dikembangkan melalui penyelidikan penegakan hukum berikutnya dan tepat sasaran, jika diperlukan — menunjukkan bahwa hukum telah dilanggar, Komisi tidak boleh ragu untuk bertindak melindungi yang paling rentang di antara kita.”

Fenomena ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, telah terjadi kasus remaja 14 tahun bunuh diri akibat jatuh cinta dengan chatbot AI yang mengguncang dunia maya. Insiden ini menunjukkan betapa dalamnya dampak emosional yang dapat ditimbulkan oleh interaksi dengan AI, terutama pada pengguna muda yang masih dalam tahap perkembangan psikologis.

Investigasi FTC ini terjadi dalam konteks yang lebih luas dimana manfaat produktivitas jangka panjang penggunaan AI menjadi semakin tidak pasti, sementara dampak negatif langsung pada privasi dan kesehatan telah menjadi perhatian utama regulator. Texas Attorney General bahkan telah meluncurkan investigasi terpisah terhadap Character.AI dan Meta AI Studio atas kekhawatiran serupa tentang privasi data dan chatbot yang mengklaim sebagai profesional kesehatan mental.

Perhatian terhadap dampak teknologi pada kesehatan mental remaja bukanlah hal baru. Sebelumnya, AS telah menggugat Meta karena Instagram merusak mental remaja, menunjukkan pola yang konsisten dimana regulator semakin memperketat pengawasan terhadap platform digital yang berinteraksi dengan pengguna muda.

Di tengah kekhawatiran ini, muncul solusi alternatif seperti Backpack Healthcare yang menawarkan solusi AI untuk kesehatan mental anak dengan pendekatan manusiawi. Pendekatan ini menekankan pentingnya keseimbangan antara teknologi AI dan sentuhan manusia, terutama ketika berhadapan dengan isu-isu sensitif seperti kesehatan mental.

Beberapa perusahaan yang diselidiki telah mengambil langkah proaktif. Meta menggunakan AI untuk memeriksa usia pengguna yang masih anak-anak, menunjukkan kesadaran akan pentingnya melindungi pengguna muda. Namun, investigasi FTC menunjukkan bahwa langkah-langkah ini mungkin belum cukup.

Pertanyaan besar yang muncul adalah: sejauh mana perusahaan teknologi harus bertanggung jawab atas dampak emosional dan psikologis dari produk AI mereka? Apakah cukup dengan menambahkan peringatan usia, atau perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap konten dan interaksi yang dihasilkan oleh chatbot ini?

Investigasi FTC terhadap chatbot AI pendamping ini menandai babak baru dalam regulasi teknologi AI. Ini bukan hanya tentang privasi data atau keamanan informasi, tetapi tentang dampak emosional dan psikologis yang dalam dari interaksi manusia-AI. Hasil investigasi ini kemungkinan akan menentukan standar baru untuk pengembangan dan penerapan AI, terutama yang berinteraksi dengan populasi rentan seperti anak-anak dan remaja.

Sebagai konsumen dan orang tua, kita perlu lebih kritis dalam memantau interaksi anak-anak dengan teknologi AI. Sementara chatbot AI pendamping menawarkan janji persahabatan virtual dan dukungan emosional, kita harus tetap waspada terhadap potensi risiko yang mungkin timbul. Investigasi FTC ini mengingatkan kita bahwa di balik kecanggihan teknologi, selalu ada tanggung jawab etis yang harus dipikul oleh pengembang dan regulator.

Pengisi Suara Lara Croft Gugat Aspyr Soal AI di Tomb Raider Remastered

0

Telset.id – Bayangkan jika suara Anda, yang telah menjadi bagian dari kenangan jutaan pemain game, tiba-tiba diubah tanpa izin menggunakan kecerdasan buatan. Itulah yang dialami Françoise Cadol, pengisi suara Lara Croft dalam versi bahasa Prancis untuk Tomb Raider IV-VI Remastered. Ia baru-baru ini mengirimkan somasi hukum kepada Aspyr, penerbit game tersebut, karena diduga menggunakan AI untuk memodifikasi performa vokalnya tanpa persetujuan. Bagaimana cerita lengkapnya?

Kasus ini bermula dari laporan media Prancis, Le Parisien, yang kemudian diangkat oleh Game Developer. Menurut informasi yang beredar, pembaruan patch Agustus 2025 untuk koleksi game remaster tersebut mencakup penyesuaian audio, termasuk perbaikan masalah volume suara yang terlalu pelan dan pemulihan beberapa rekaman suara yang hilang di versi Steam. Namun, yang mengejutkan, penggemar setia Tomb Raider versi Prancis mendeteksi perubahan pada suara Lara Croft yang dianggap tidak wajar—seolah-olah hasil olahan artificial intelligence.

Françoise Cadol, yang telah lama menjadi suara ikonik karakter tersebut, langsung mengambil tindakan. Ia mengirim somasi resmi kepada Aspyr meminta agar penjualan game koleksi remaster dihentikan sementara sampai masalah ini diselesaikan. Aspyr sendiri belum memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan tersebut, meski Telset.id telah menghubungi mereka untuk meminta tanggapan.

Françoise Cadol, pengisi suara Lara Croft versi Prancis

Isu penggunaan AI dalam industri hiburan, termasuk game, bukanlah hal baru. Seiring dengan perkembangan teknologi, kekhawatiran akan penyalahgunaan AI untuk mereplikasi atau memodifikasi karya seni manusia semakin mengemuka. Bahkan, aksi protes besar-besaran pernah dilakukan oleh serikat pekerja seperti SAG-AFTRA, yang melakukan pemogokan terhadap beberapa perusahaan game pada musim panas lalu. Pemogokan tersebut baru dihentikan pada Juni 2025 setelah dicapainya kesepakatan yang lebih melindungi hak-hak para pekerja seni.

Lantas, mengapa kasus seperti ini penting untuk diperhatikan? Selain menyangkut hak cipta dan kepemilikan intelektual, modifikasi suara tanpa izin dapat merusak integritas artistik dan emosional yang dibangun oleh pengisi suara. Bagi para penggemar, suara asli Lara Croft bukan sekadar elemen teknis, melainkan bagian dari pengalaman bermain yang autentik. Perubahan yang tidak transparan berpotensi mengikis kepercayaan konsumen terhadap developer dan publisher game.

Industri game global tengah berada di persimpangan antara inovasi teknologi dan etika. Di satu sisi, AI menawarkan efisiensi dan kemudahan dalam produksi konten. Di sisi lain, praktik yang tidak bertanggung jawab dapat memicu konflik hukum dan reputasi. Beberapa perusahaan teknologi besar telah mulai mengadopsi AI dalam layanan mereka, seperti yang terjadi pada penggantian Google Assistant oleh Gemini di ChromeOS. Namun, penting untuk memastikan bahwa adopsi teknologi ini dilakukan dengan mempertimbangkan aspek etika dan hukum.

Kasus Françoise Cadol juga mengingatkan kita pada tren penggantian tenaga manusia oleh AI di berbagai sektor. Beberapa waktu lalu, Duolingo mengganti sebagian pekerja manusia dengan AI, memicu debat tentang kualitas dan keberlanjutan layanan. Apakah langkah serupa akan terjadi di industri game? Jika ya, bagaimana dampaknya terhadap kreativitas dan kualitas narasi dalam game?

Selain isu AI, industri game juga tidak lepas dari masalah teknis lainnya yang sering kali mengganggu pengalaman pengguna. Misalnya, masalah perangkat keras seperti yang dialami oleh iPhone 14 Pro yang tiba-tiba restart saat mengisi daya, atau bahkan insiden berbahaya seperti Pixel 6a yang meledak saat charging. Namun, kasus modifikasi suara dengan AI membawa dimensi baru yang lebih kompleks karena menyentuh ranah hak cipta dan moral.

Ke depan, kolaborasi antara pengembang teknologi, seniman, dan regulator menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem yang adil. Penggunaan AI seharusnya tidak dimaksudkan untuk menggantikan manusia, melainkan melengkapi dan meningkatkan kreativitas mereka. Tanpa batasan yang jelas, innovation bisa berubah menjadi exploitation.

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari kasus Françoise Cadol? Pertama, pentingnya transparansi dalam penggunaan teknologi baru seperti AI. Kedua, penghormatan terhadap hak dan kontribusi seniman sebagai pencipta karya. Ketiga, peran komunitas dan penggemar dalam mengawasi praktik-praktik yang meragukan. Aspyr kini berada di bawah sorotan, dan tanggapan mereka akan menjadi penentu apakah perusahaan lain akan belajar dari insiden ini atau justru mengulangi kesalahan yang sama.

Tensor G5 vs Snapdragon 8 Gen 2: Chipset Mana yang Lebih Unggul?

0

Telset.id – Bayangkan ini: chipset terbaru Google, Tensor G5, yang baru diumumkan Agustus 2025, harus berhadapan dengan Snapdragon 8 Gen 2 yang sudah berumur hampir tiga tahun. Apakah Tensor G5 akhirnya bisa membuktikan diri, atau justru kalah dari veteran Qualcomm? Mari kita selidiki fakta-fakta yang tersembunyi di balik angka benchmark.

Sejak kemunculan perdana chipset Tensor, Google selalu mendapat kritik karena performanya yang dianggap tidak sebanding dengan pesaing dari Qualcomm dan MediaTek. Meski cukup andal untuk tugas sehari-hari, Tensor kerap tertinggal jauh dalam hal performa puncak. Tensor G5 pun, meski diklaim memiliki “peningkatan performa signifikan”, masih tidak sanggup menyaingi Snapdragon 8 Elite atau bahkan Snapdragon 8 Gen 3. Lantas, bagaimana jika dibandingkan dengan Snapdragon 8 Gen 2 yang sudah berusia tiga tahun? Apakah Google akhirnya unggul, atau malah makin mempermalukan diri?

Pertarungan ini bukan sekadar soal gengsi. Bagi pengguna yang mencari smartphone dengan performa terbaik, pilihan chipset bisa menjadi penentu kepuasan penggunaan jangka panjang. Tensor G5 hadir dengan janji efisiensi dan AI yang lebih cerdas, sementara Snapdragon 8 Gen 2 sudah teruji di berbagai flagship ternama. Mana yang lebih layak jadi pilihan? Simak analisis mendalam berikut.

Benchmark AnTuTu: CPU vs GPU, Dua Dunia Berbeda

Dalam tes AnTuTu, Snapdragon 8 Gen 2 masih unggul tipis dengan skor keseluruhan 1.512.682, sementara Tensor G5 berada di angka 1.429.557. Tapi jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Cerita sebenarnya justru terletak pada rincian masing-masing komponen.

Tensor G5 vs Snapdragon 8 Gen 2 AnTuTu score

Tensor G5 ternyata lebih perkasa dalam hal CPU, dengan skor 483.989 berbanding 373.687 untuk Snapdragon 8 Gen 2. Itu artinya keunggulan 29% untuk Tensor, menunjukkan bahwa core custom terbaru Google memang dirancang untuk memproses data dengan lebih gesit. Namun, Snapdragon 8 Gen 2 membalas dengan keperkasaan GPU-nya: 599.957 berbanding 416.313 untuk Tensor. Keunggulan 44% ini membuktikan bahwa chipset Qualcomm masih jadi jawara untuk urusan grafis, gaming, dan rendering 3D.

Skor memory dan UX keduanya berdekatan. Tensor unggul di memory (293.467 vs 273.714), sementara Snapdragon memimpin di UX (265.325 vs 235.788). Intinya, untuk penggunaan sehari-hari, kedua chipset ini akan terasa mulus. Tapi kalau Anda gemar main game berat, Snapdragon 8 Gen 2 masih jadi pilihan yang lebih meyakinkan.

Geekbench: Kemenangan Mutlak Tensor G5 di Sektor CPU

Google mengklaim peningkatan CPU rata-rata 30% pada Tensor G5 dibandingkan pendahulunya, Tensor G4. Klaim ini terbukti dalam benchmark Geekbench. Dalam single-core, Tensor mencetak 2.316, mengalahkan Snapdragon 8 Gen 2 yang hanya 1.912. Itu berarti keunggulan 21% yang bisa Anda rasakan saat membuka aplikasi, menjelajahi web, atau sekadar menggeser antarmuka.

Tensor G5 vs Snapdragon 8 Gen 2 Geekbench score

Di multi-core, jaraknya makin melebar: 6.452 untuk Tensor vs 5.204 untuk Snapdragon. Keunggulan 24% ini menjadikan Tensor G5 lebih handal dalam menangani multitasking, aplikasi berat, dan proses latar belakang. Jadi, kecuali Anda adalah gamer hardcore atau sering bekerja dengan konten visual intensif, Tensor G5 menawarkan responsivitas yang lebih memuaskan.

Dengan kata lain, selama Anda tidak tergantung pada performa grafis tinggi, Tensor G5 adalah pemenangnya. Tapi ingat, Snapdragon 8 Gen 2 bukanlah chipset sembarangan. Ia masih menjadi tulang punggung banyak flagship tangguh, termasuk beberapa ponsel dengan DNA flagship yang beredar di pasaran.

Spesifikasi Teknis: Mengapa Tensor G5 Lebih Cepat?

Spesifikasi Tensor G5 dan Snapdragon 8 Gen 2 mengungkapkan mengapa hasil benchmark bisa begitu berbeda. Tensor G5 diproduksi dengan proses 3nm TSMC, lebih mutakhir daripada 4nm pada Snapdragon 8 Gen 2. Konfigurasi CPU-nya juga lebih modern: 1x Cortex-X4 3.78GHz, 5x Cortex-A725 3.05GHz, dan 2x Cortex-A520 2.25GHz. Bandingkan dengan Snapdragon yang masih menggunakan Cortex-X3, A715, A710, dan A510.

Sayangnya, Tensor G5 masih tertinggal di sektor GPU. Ia mengandalkan PowerVR DXT-48-1536 tanpa dukungan ray tracing, sementara Snapdragon 8 Gen 2 punya Adreno 740 dengan ray tracing dan fitur Snapdragon Elite Gaming. Untuk AI, Tensor dilengkapi Google Edge TPU yang mungkin lebih canggih daripada Hexagon NPU Qualcomm. Tensor juga lebih unggul dalam konektivitas, dengan Bluetooth 6.0 vs 5.3 pada Snapdragon.

Jadi, meski Tensor G5 unggul di CPU dan efisiensi, Snapdragon 8 Gen 2 tetap juara di grafis dan gaming. Tertarik dengan performa baterai? Cek hasil tes baterai ekstrem Pixel 10 Pro yang mengungguli iPhone 16 Pro.

Lantas, mana yang harus Anda pilih? Jika Anda lebih sering bekerja dengan aplikasi produktif, browsing, dan multitasking, Tensor G5 di Pixel 10 series layak dipertimbangkan. Tapi kalau gaming adalah prioritas, Snapdragon 8 Gen 2 masih belum tergantikan. Atau mungkin Anda ingin menunggu Pixel 11 dengan chipset 2nm yang dikabarkan lebih gahar?

Pada akhirnya, pilihan kembali kepada kebutuhan dan preferensi Anda. Tensor G5 membawa angin segar dengan CPU yang lebih cepat dan efisien, sementara Snapdragon 8 Gen 2 membuktikan bahwa usia bukanlah halangan untuk tetap relevan. Yang jelas, persaingan chipset makin seru, dan kita sebagai konsumen yang diuntungkan.

OpenAI Temukan Penyebab AI Berhalusinasi, Ini Solusinya

0

Telset.id – Pernahkah Anda bertanya pada chatbot AI dan mendapatkan jawaban yang terdengar meyakinkan, tapi ternyata salah besar? Itulah yang disebut “halusinasi AI”—fenomena di mana model bahasa besar (LLM) menghasilkan informasi yang tidak akurat atau sama sekali fiktif. OpenAI, salah satu pelopor di bidang kecerdasan buatan, kini mengklaim telah menemukan akar masalahnya dan sedang mengembangkan solusi yang dapat membuat AI lebih dapat dipercaya.

Masalah halusinasi bukanlah hal sepele. Bayangkan Anda menggunakan AI untuk riset akademis, dan ia memberikan kutipan dari jurnal yang tidak pernah ada. Atau saat meminta rekomendasi produk, AI menyebutkan fitur yang sebenarnya tidak dimiliki. Ini bukan hanya mengganggu, tetapi juga berpotensi merugikan. OpenAI, melalui penelitian kolaboratif dengan Georgia Tech, telah menerbitkan makalah sepanjang 36 halaman yang mengupas tuntas mengapa hal ini terjadi—dan yang mengejutkan, kesalahannya mungkin bukan pada desain model, melainkan pada cara kita mengujinya.

Ilustrasi AI chatbot sedang berhalusinasi dengan gelembung pikiran berisi informasi salah

Menurut penelitian tersebut, sistem penilaian (benchmark) yang digunakan saat ini justru memicu AI untuk “berbohong”. Sebagian besar tes dirancang untuk menghukum model yang menjawab “Saya tidak tahu” atau menolak pertanyaan, sementara memberi reward pada model yang berani menjawab—bahkan jika jawabannya salah. Analoginya seperti ujian pilihan ganda di sekolah: lebih baik menebak daripada tidak menjawab sama sekali. Akibatnya, AI cenderung memproduksi jawaban dengan keyakinan tinggi, meskipun faktanya ia tidak yakin.

OpenAI dan tim peneliti, termasuk Santosh Vempala dari Georgia Tech, mengusulkan perubahan radikal dalam metodologi evaluasi. Alih-alih menghargai kuantitas jawaban, sistem seharusnya lebih menghargai kejujuran dan kehati-hatian. Misalnya, jawaban yang “percaya diri tetapi salah” harus diberi penalti besar, sementara pengakuan ketidaktahuan atau respons yang hati-hati justru diberi nilai positif.

Contoh nyata dari paper tersebut menunjukkan perbedaan mencolok. Satu model yang hati-hati hanya menjawab 50% pertanyaan, tetapi akurasinya mencapai 74%. Sebaliknya, model lain yang menjawab hampir semua pertanyaan justru berhalusinasi pada tiga dari empat kesempatan. Artinya, kepercayaan buta pada AI yang selalu siap menjawab justru berisiko tinggi.

Jika pendekatan ini diadopsi secara luas, perilaku asisten AI sehari-hari bisa berubah drastis. Daripada dengan yakin menyebutkan statistik palsu atau merujuk sumber fiktif—seperti yang terjadi pada kasus restoran di Montana yang memprotes Google AI karena memberikan informasi menu yang salah—AI akan lebih sering mengakui batasan pengetahuannya. Mungkin terdengar kurang “pintar”, tetapi ini justru langkah maju menuju transparansi dan keandalan.

Bagi pengguna, ini berarti lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk memverifikasi setiap klaim AI. Bagi developer dan peneliti, ini adalah pengingat bahwa kecerdasan buatan bukan hanya tentang kecepatan atau keluwesan bahasa, tetapi juga integritas informasi. Bahkan isu kepercayaan terhadap AI ini telah memicu kekhawatiran mendalam, seperti yang tercermin dalam keputusan seorang mantan mahasiswa MIT yang memilih keluar karena khawatir AI dapat mengancam manusia.

OpenAI bukan satu-satunya yang bergulat dengan tantangan ini. Persaingan dalam pengembangan AI semakin ketat, termasuk dengan kehadiran Grok xAI yang baru saja disetujui pemerintah AS. Namun, pendekatan berbasis kejujuran ini bisa menjadi standar baru dalam industri—terutama jika OpenAI berhasil mengintegrasikannya ke dalam model generasi berikutnya seperti GPT-5.

Jadi, lain kali Anda berinteraksi dengan chatbot dan ia menjawab “Saya tidak yakin” atau “Saya belum mempelajari itu”, jangan langsung menganggapnya kurang canggih. Bisa jadi, itulah AI yang lebih cerdas dan bertanggung jawab—AI yang lebih peduli pada kebenaran daripada tampilan percaya diri.

Bocoran Desain Terungkap! Samsung Galaxy S26 Pro Tampil Lebih Ramping dan Canggih

0

Telset.id – Bayangkan sebuah smartphone yang tidak hanya mempertahankan DNA desain ikoniknya, tetapi juga menyempurnakan setiap detail dengan presisi tinggi. Itulah yang mungkin akan ditawarkan Samsung Galaxy S26 Pro berdasarkan bocoran terbaru yang beredar. Sebagai bagian dari jajaran Galaxy S26 yang dirombak untuk tahun 2026, model “Pro” ini sepertinya fokus pada penyempurnaan alih-alih perubahan radikal. Tapi jangan salah, di balik tampilan yang familiar, tersimpan sejumlah peningkatan yang layak ditunggu.

Bocoran berbasis CAD yang beredar untuk pertama kalinya memperlihatkan Galaxy S26 Pro dari berbagai sudut, memberikan gambaran lebih jelas tentang apa yang bisa kita harapkan dari flagship Samsung ini. Yang paling mencolok adalah perubahan pada modul kamera belakang yang kini mengadopsi bentuk pulau kamera pill-shaped, menampung tiga lensa terpisah namun tetap mempertahankan estetika khas Samsung. Desain ini mungkin terasa familiar bagi Anda yang mengikuti perkembangan seri Galaxy Z Fold, karena model terbarunya juga menggunakan gaya serupa.

Perbandingan desain Samsung Galaxy S25 dan Galaxy S26 Pro

Dari depan dan samping, Galaxy S26 Pro tampak hampir tidak bisa dibedakan dari pendahulunya. Namun, detail-detail kecil justru yang membuat perbedaan signifikan. Layarnya disebut-sebut akan sedikit lebih besar, yaitu 6,3 inci dibandingkan 6,2 inci pada S25. Dimensi tubuhnya juga mengalami perubahan menjadi 149,3 x 71,4 x 6,96 mm, membuat ponsel ini lebih tinggi, lebih lebar, dan lebih ramping dari sebelumnya yang memiliki ketebalan 7,2 mm. Bump kamera-nya memiliki ketebalan 10,23 mm, menyempurnakan profil keseluruhan perangkat.

Di balik layar yang lebih besar tersebut, Samsung dikabarkan akan menyematkan pilihan chipset yang bervariasi tergantung region. Untuk beberapa pasar, Galaxy S26 Pro akan ditenagai oleh Snapdragon 8 Elite 2 (yang juga disebut sebagai 8 Elite Gen 5), sementara di region lainnya akan menggunakan Exynos 2600. Kombinasi ini menunjukkan strategi Samsung dalam mengoptimalkan performa sesuai dengan karakteristik pasar yang berbeda-beda.

Bagian kamera juga mendapatkan peningkatan signifikan. Sensor ultrawide dikabarkan akan ditingkatkan ke sensor 50 MP baru, memberikan kualitas gambar yang lebih baik terutama dalam kondisi cahaya rendah. Ini merupakan langkah yang tepat mengingat semakin tingginya tuntutan konsumen terhadap kemampuan fotografi smartphone flagship.

Desain pill-shaped camera island Samsung Galaxy S26 Pro

Kapasitas baterai juga mengalami peningkatan kecil menjadi 4,300 mAh, yang seharusnya memberikan daya tahan lebih baik seiring dengan optimasi software dan hardware. Fitur pengisian daya nirkabel dengan magnet built-in juga diharapkan hadir, mengikuti tren yang ditetapkan oleh seri Pixel 10 Google. Fitur ini akan memudahkan pengguna dalam mengisi daya tanpa harus repot menyesuaikan posisi perangkat.

Meskipun Galaxy S26 Pro mungkin bukan perubahan radikal dari pendahulunya, kombinasi layar yang lebih besar, kapasitas RAM yang lebih tinggi, dan setup kamera yang ditingkatkan menunjukkan pendekatan Samsung dalam menyempurnakan flagship mereka. Dalam persaingan melawan iPhone 17 Apple dan flagship Xiaomi 2026, Samsung tampaknya memilih strategi refinement yang berfokus pada pengalaman pengguna yang lebih polished.

Seperti yang terlihat dalam perbandingan bezel dengan model lainnya, Samsung tetap konsisten dengan filosofi desain mereka sambil terus berinovasi pada aspek-aspek teknis. Pendekatan ini mungkin justru menjadi keunggulan kompetitif di tengah pasar yang semakin jenuh dengan perubahan desain drastis.

Tampilan samping dan dimensi Samsung Galaxy S26 Pro

Dengan peluncuran yang dijadwalkan pada Januari 2026, masih ada waktu bagi Samsung untuk melakukan finalisasi dan mungkin bahkan menambahkan kejutan-kejutan terakhir. Mengingat dukungan Qi2 penuh yang diharapkan, serta berbagai fitur lainnya, Galaxy S26 Pro berpotensi menjadi penantang serius di kelas flagship.

Bagi Anda yang penasaran dengan varian lainnya, Galaxy S26 Edge juga menunjukkan desain yang menarik dengan sentuhan yang berbeda. Setiap model dalam jajaran Galaxy S26 tampaknya memiliki karakteristik uniknya masing-masing, memenuhi berbagai preferensi pengguna.

Jadi, apakah Samsung Galaxy S26 Pro akan menjadi flagship yang Anda tunggu-tunggu? Dengan pendekatan refinement alih-alih revolution, Samsung mungkin justru memberikan apa yang benar-benar dibutuhkan pengguna: pengalaman yang lebih baik tanpa harus beradaptasi dengan perubahan drastis. Dalam dunia di mana innovation seringkali diartikan sebagai perubahan besar, mungkin justru kesempurnaan dalam detail-detail kecil yang membuat perbedaan sesungguhnya.

iPhone 17 Pro Max Rp 30 Juta Terasa Mahal? Tunggu Sampai iPhone Fold Rilis!

0

Telset.id – Bayangkan harus merogoh kocek hingga $2.000 atau sekitar Rp 30 juta untuk sebuah ponsel. Gila? Mungkin dulu iya. Tapi sekarang, dengan kehadiran iPhone 17 Pro Max versi 2TB, angka tersebut bukan lagi sekadar angan-angan. Dan percayalah, ini baru permulaan. Tunggu sampai Apple meluncurkan iPhone Fold!

Jika kita mundur ke tahun 2007, harga $499 untuk iPhone pertama sudah dianggap sangat mahal. Bahkan Steve Ballmer dari Microsoft sempat mengejek harga tersebut. Tapi lihatlah sekarang—Apple tidak hanya berhasil menaikkan harga, tetapi juga membuat kita menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Bagaimana mereka melakukannya? Dan apa artinya bagi kita sebagai konsumen?

Apple telah berhasil “melatih” kita untuk menerima kenaikan harga bertahap. Dimulai dari iPhone X di 2017 yang menjadi iPhone pertama yang menembus harga $1.000, hingga kini iPhone 17 Pro Max dengan varian 2TB seharga $2.000. Bagi sebagian orang—seperti sineprof profesional yang butuh ruang penyimpanan besar—harga ini bahkan bisa dianggap sebagai nilai tambah yang masuk akal. Tapi bagi kebanyakan dari kita, ini adalah bukti bahwa Apple terus mendorong batas harga lebih tinggi lagi.

Dari $499 Menjadi $2.000: Evolusi Harga iPhone

Jika dulu orang mengernyitkan dahi melihat harga $499, sekarang Apple dengan percaya diri menawarkan iPhone 17 Pro Max versi 2TB dengan harga fantastis. Bahkan, varian dengan kapasitas terbesar ini tidak hanya menjadi barang mewah, tetapi juga solusi bagi mereka yang membutuhkan penyimpanan besar tanpa repot membawa perangkat eksternal.

Lalu, bagaimana Apple bisa terus menaikkan harga tanpa kehilangan pembeli? Jawabannya adalah segmentasi produk yang cerdas. Dengan menghadirkan iPhone 17 Pro Max yang resmi dirilis dengan peningkatan kamera dan baterai, Apple memberikan alasan kuat bagi calon pembeli untuk merogoh kocek lebih dalam. Tidak heran jika para profesional kreatif rela membayar mahal untuk fitur-fitur yang memang mereka butuhkan.

iPhone Fold: Langkah Berikutnya dalam Lanskap Harga Tinggi

Jika Anda mengira $2.000 untuk iPhone 17 Pro Max sudah keterlaluan, bersiaplah untuk terkejut. Bocoran terbaru mengindikasikan bahwa iPhone Fold, yang dijadwalkan rilis pada 2026, akan dibanderol mulai dari $2.000 untuk varian dasar. Bayangkan berapa harga untuk versi dengan penyimpanan 2TB atau bahkan 3TB? Mungkin kita perlu menyiapkan dana lebih besar lagi.

Apple tidak hanya menjual produk; mereka menjual pengalaman, kebanggaan, dan solusi. Seperti yang terjadi dengan iPhone 15 Pro dan 15 Pro Max yang resmi diumumkan dengan chip A17 Bionic, setiap peningkatan kecil dijadikan alasan untuk menaikkan harga. Dan konsumen—termasuk mungkin Anda—ternyata menerimanya dengan tangan terbuka.

Apakah Harga Tinggi Selaras dengan Nilai yang Diberikan?

Pertanyaan penting yang perlu kita ajukan adalah: apakah harga yang semakin tinggi ini sebanding dengan nilai yang diberikan? Untuk sebagian orang, jawabannya adalah ya. Bagi filmmaker yang sering bergelut dengan file besar, memiliki iPhone dengan penyimpanan 2TB adalah kemewahan yang layak dibayar. Tapi bagi kebanyakan orang, ini mungkin sekadar pemborosan.

Apple telah membangun ekosistem di mana harga bukan lagi penghalang, melainkan penanda status dan kebutuhan. Dan selama masih ada yang bersedia membayar, Apple akan terus mendorong batas tersebut. Jadi, bersiaplah untuk era di mana ponsel seharga Rp 30 juta bukan lagi sesuatu yang mengejutkan—bahkan mungkin menjadi norma baru.

Jadi, apa pendapat Anda? Apakah Anda akan membeli iPhone 17 Pro Max versi 2TB atau menunggu iPhone Fold? Atau justru memilih untuk tidak terlibat dalam perlombaan harga ini? Satu hal yang pasti: Apple tidak akan berhenti di sini. Mereka akan terus berinovasi—dan tentu saja, menaikkan harga.

iPhone 17 Air vs Samsung S25 Edge: Duel Titan Super Tipis 2025

0

Telset.id – Ketipisan bukan lagi sekadar tren—ia telah menjadi medan perang baru bagi para raksasa teknologi. Di tengah persaingan sengit, Apple resmi meluncurkan iPhone 17 Air, menjawab tantangan Samsung Galaxy S25 Edge yang telah lebih dulu memukau pasar. Keduanya hadir dengan klaim sebagai ponsel tertipis di kelasnya, namun dengan pendekatan filosofis yang bertolak belakang. Manakah yang layak menjadi pilihan Anda?

Pertarungan ini bukan sekadar soal angka di atas kertas, melainkan perdebatan antara minimalisme ekstrem versus fleksibilitas fungsional. Seperti dua petinju dengan gaya bertarung berbeda, keduanya mengandalkan keunggulan spesifik untuk memenangkan hati konsumen. Mari kita selami lebih dalam bagaimana kedua perangkat ini berusaha mendefinisikan ulang makna “premium” di era pascaketebalan.

Sebelum kita membandingkan keduanya, penting untuk memahami konteks di balik kemunculan iPhone 17 Air. Apple bukan hanya sekadar mengikuti jejak Samsung, melainkan merespons permintaan pasar akan perangkat yang lebih portabel tanpa mengorbankan estetika. Kesuksesan Apple menjual 3 miliar iPhone menjadi fondasi kuat bagi inovasi terbarunya ini, sementara Samsung tetap percaya pada pendekatan “lebih banyak fitur, lebih baik”.

Desain dan Material: Pertarungan Milimeter yang Sengit

Di arena ketipisan, setiap sepersepuluh milimeter berarti. iPhone 17 Air berhasil merebut mahkota dengan ketebalan hanya 5,5-5,6 mm, mengungguli Samsung Galaxy S25 Edge yang berada di angka 5,8 mm. Perbedaan 0,2-0,3 mm mungkin terlihat sepele, namun dalam dunia desain industri, ini adalah pencapaian yang signifikan. Bobot pun menjadi medan pertempuran berikutnya: 145 gram untuk iPhone Air versus 163 gram untuk rivalnya.

Keduanya menggunakan material titanium untuk frame dan kaca pelindung mutakhir—Ceramic Shield 2 untuk Apple dan Gorilla Glass Ceramic 2 untuk Samsung. Namun, sensasi menggenggam iPhone 17 Air terasa seperti memegang selembar kartu premium, sementara S25 Edge memberikan kesan solid dan berisi. Pilihan ada di tangan Anda: ultra-ringan versus kepadatan yang terasa lebih “premium”.

Layar: Kecerahan vs Resolusi

Kedua ponsel menawarkan panel OLED memukau dengan refresh rate 120Hz, namun dengan keunggulan berbeda. Samsung unggul dalam resolusi QHD+ (1440 x 3120) dan ukuran layar 6,7 inci, menawarkan ketajaman visual yang sulit ditandingi. Namun, Apple membawa kejutan dengan kecerahan puncak 3.000 nits—yang tertinggi dalam sejarah iPhone—menjadikannya juara tak terbantahkan untuk penggunaan di bawah sinar matahari langsung.

Pilihan di sini bergantung pada preferensi penggunaan. Apakah Anda lebih sering menikmati konten HDR dalam ruangan? Galaxy S25 Edge mungkin pilihan tepat. Namun jika aktivitas Anda banyak dilakukan outdoor, layar iPhone 17 Air akan menjadi penyelamat mata Anda.

Kamera: Minimalisme vs Fleksibilitas

Inilah titik dimana filosofi kedua brand benar-benar berbeda. Apple mengambil risiko dengan hanya menyertakan satu kamera belakang 48MP pada iPhone 17 Air—sebuah keputusan berani yang mengutamakan kesederhanaan. Hasilnya? Pengalaman fotografi yang intuitif: bidik dan dapatkan hasil memuaskan tanpa kerumitan memilih lensa.

Samsung mengambil jalan berbeda dengan sistem dual camera: sensor utama 200MP yang mengesankan plus lensa ultra-wide 12MP. Pendekatan Samsung ini bahkan menginspirasi brand lain seperti Nubia yang dikabarkan akan mengadopsi filosofi serupa. Untuk kamera depan, Apple unggul dengan sensor 18MP dan fitur AI Center Stage yang cerdas.

Performa dan Baterai: Kekuatan vs Daya Tahan

Keduanya ditenagai prosesor terbaik di kelasnya: A19 Pro untuk Apple dan Snapdragon 8 Elite untuk Samsung, keduanya dengan RAM 12GB. Dalam hal performa mentah, A19 Pro dianggap memiliki sedikit keunggulan, khususnya dalam efisiensi daya dan kemampuan AI.

Namun, ketipisan ekstrem iPhone 17 Air datang dengan pengorbanan: baterai hanya 2.800mAh, jauh di bawah kapasitas 3.900mAh yang berhasil dijejalkan Samsung ke dalam bodinya yang hanya sedikit lebih tebal. Jika Anda pengguna berat, S25 Edge jelas memberikan ketenangan pikiran lebih lama.

Pada akhirnya, pilihan antara iPhone 17 Air dan Samsung Galaxy S25 Edge adalah pertanyaan tentang prioritas. Apakah Anda menginginkan mahakarya desain yang nyaris tak terasa di saku, dengan layar terang benderang dan kesederhanaan yang elegan? Atau Anda membutuhkan perangkat serba-bisa dengan kamera fleksibel dan baterai yang tak mudah menyerah?

Dengan harga yang bersaing ketat—sekitar Rp16 juta untuk iPhone 17 Air versus Rp19,5-21,5 juta untuk Galaxy S25 Edge—keputusan akhir kembali kepada nilai-nilai yang Anda anut. Apple menawarkan seni dalam bentuk teknologi, samsung menghadirkan teknologi dalam wujud yang praktis. Di medan perang titan super tipis ini, tidak ada yang kalah—yang ada hanya pilihan yang lebih tepat untuk kebutuhan spesifik Anda.

iPhone Air Resmi Gantikan iPhone Plus, Desain Tipis 5,6mm Jadi Andalan

0

Telset.id – Apple baru saja menggebrak pasar dengan menghadirkan varian baru dalam seri iPhone 17. Varian ‘Plus’ yang selama ini menjadi pilihan banyak pengguna akhirnya tutup usia, dan digantikan oleh model ‘Air’ untuk pertama kalinya. Lantas, apa yang membuat iPhone Air begitu spesial hingga Apple berani mengambil langkah berani ini?

iPhone Air mengusung desain super tipis dengan ketebalan hanya 5,6mm, membuatnya lebih ramping dibandingkan rival terdekatnya, Samsung Galaxy S25 Edge yang memiliki ketebalan 5,8mm. Meski tipis, Apple mengklaim bahwa mereka tidak mengorbankan kapasitas baterai. Sayangnya, Apple enggan mengungkap spesifikasi baterai secara detail, dan hanya menyebut bahwa iPhone Air mampu bertahan seharian penuh.

Para analis dari Morgan Stanley menyatakan kekaguman mereka terhadap desain dan kapabilitas yang dibawa oleh iPhone Air. Dalam catatan resmi mereka, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (11/9/2025), mereka menulis, “Kami bisa melihat ini

Nothing OS 4.0 Segera Hadir, Daftar Ponsel yang Mendapat Pembaruan

0

Telset.id – Apakah Anda pengguna setia perangkat Nothing dan menantikan pembaruan sistem operasi terbaru? Kabar gembira datang dari perusahaan teknologi asal London ini. Nothing secara resmi telah mengumumkan kehadiran Nothing OS 4.0, versi terbaru sistem operasi berbasis Android 16 yang menjanjikan perubahan signifikan bagi pengalaman pengguna.

Dalam sebuah unggahan di platform X, Nothing menyebutkan bahwa OS terbaru mereka “akan segera hadir” dengan tagline “Refined” dan “Redefined”. Dua kata kunci ini mengisyaratkan penyempurnaan menyeluruh dan pendefinisian ulang fitur-fitur yang ada. Meskipun tanggal rilis resmi belum diumumkan, antusiasme komunitas teknologi sudah mulai terasa.

Perjalanan Nothing OS 4.0 sebenarnya sudah dimulai sejak peluncuran Nothing Phone (3) pada awal Juli lalu. Saat itu, perusahaan yang didirikan Carl Pei ini secara samar menyebutkan rencana pembaruan sistem operasi. Tak lama setelahnya, versi beta tertutup sudah dirilis untuk sejumlah kecil pengguna Nothing Phone (3). Sayangnya, beta ini tidak diperluas ke perangkat Nothing lainnya, mengindikasikan bahwa perangkat lain akan langsung menerima versi stabil.

Nothing OS 4.0 Carl Pei post on X

Dengan rilis stabil yang semakin dekat, pertanyaan terbesar tentu saja: apakah perangkat Nothing Anda termasuk yang berhak mendapatkan pembaruan besar ini? Berikut adalah daftar resmi perangkat yang akan menerima Nothing OS 4.0:

  • Nothing Phone (3)
  • Nothing Phone (3a)
  • Nothing Phone (3a) Pro
  • Nothing Phone (2)
  • Nothing Phone (2a)
  • Nothing Phone (2a) Plus
  • CMF Phone 1
  • CMF Phone 2 Pro

Sayangnya, Nothing Phone (1) tidak termasuk dalam daftar ini. CEO Nothing Carl Pei telah mengonfirmasi bahwa Phone (1) telah menerima tiga pembaruan OS yang dijanjikan, memenuhi komitmen perusahaan. Namun, Pei juga mengungkapkan bahwa perusahaan sedang mengerjakan program khusus untuk pengguna Phone (1), meski detailnya masih ditutup rapat. Spekulasi berkembang bahwa ini mungkin berupa program upgrade ke model yang lebih baru dengan harga khusus.

Nothing Phone (3) sebagai flagship terbaru perusahaan akan menjadi yang pertama menerima pembaruan Nothing OS 4.0 versi stabil. Rollout kemudian akan berlanjut secara bertahap ke perangkat eligible lainnya. Kabar baiknya, dengan portofolio smartphone Nothing yang tidak terlalu luas, proses distribusi pembaruan diharapkan tidak memakan waktu lama.

Nothing OS 4.0 launch poster

Pertanyaan berikutnya: apa yang bisa kita harapkan dari Nothing OS 4.0? Meskipun detail fitur masih sedikit, basis Android 16 sendiri menjanjikan berbagai peningkatan keamanan, optimasi baterai, dan fitur privasi yang lebih baik. Kombinasi dengan pendekatan minimalis Nothing tentu akan menarik untuk disimak.

Bagi penggemar teknologi, perkembangan Nothing OS 4.0 patut diikuti. Seperti yang terjadi dengan Realme UI 7.0 dan pembaruan Android 16 dari Motorola, transisi ke sistem operasi baru selalu membawa angin segar bagi ekosistem smartphone.

Jadi, apakah Anda sudah siap menyambut Nothing OS 4.0? Pantau terus perkembangan terbaru melalui kanal resmi Nothing dan jangan lupa untuk memeriksa pembaruan secara berkala begitu rilis dimulai. Siapa tahu, pengalaman menggunakan perangkat Nothing Anda akan menjadi lebih “refined” dan “redefined” dalam waktu dekat.