Telset.id, Jakarta – Cambridge Analytica telah mengumumkan kebangkrutannya belum lama ini. Petisi kebangkrutan penjual data pengguna Facebook ini didaftarkan ke Bankruptcy Court Southen District of New York, Amerika Serikat (AS), yang ditandatangani dewan komisaris Rebekah dan Jennifer Mercer.
Cambridge Analytica dan perusahaan induknya, SCL Elections, menutup operasional usaha pada awal Mei 2018. Dalam dokumen pengadilan di New York, tercatat bahwa perusahaan memiliki aset hingga 500 ribu dolar AS atau Rp 7 miliar dan utang 10 juta dolar AS Rp 140 miliar.
Walau Cambridge Analaytica sudah ditutup, pihak dari regulator tetap menyelidiki kasus penyalahgunaan data 87 juta pengguna Facebook untuk kampanye politik. Cambridge Analytica dinyatakan melakukan tindakan ilegal lantaran memakai privasi orang untuk kepentingan politik.
Baca Juga: Pencipta Tombol “Like” Tidak Suka Facebookan
Pengadilan menyatakan, CEO Cambridge Analytica, Alexander Nix, secara jelas melakukan tindakan melawan hukum lantaran menyuplai informasi ke salah satu kandidat presiden AS. Kondisi itu bertolak belakang dengan pernyataan Cambridge Analaytica melalui situs resmi.
Ada delapan poin yang mereka jabarkan tentang skandal penyalahgunaan data puluhan juta pengguna Facebook. Poin-poin yang dipaparkan tersebut, antara lain: Cambridge Analytica menegaskan tidak ada hukum yang dilanggar mengenai pemakaian data untuk kampanye Pilpres AS.
Cambridge Analytica merasa tak meretas Facebook. Ada sebuah perusahaan riset bernama General Science Research (GSR) yang memberi lisensi data kepada Facebook. Ratusan perusahaan juga telah menggunakan data Facebook dengan cara yang sama.
Cambridge Analytica mengaku tidak mengumpulkan data secara ilegal.
“Cambridge Analytica tidak melanggar regulasi The Federal Election Commision,” tulis mereka.
Baca Juga: Warga AS Merasa Dimata-matai Google & Facebook
Cambridge Analytica juga mengklaim tidak menggunakan data GSR atau turunannya dalam Pilpres AS.
Mereka menggunakan data dari RNC, sumber publik seperti registrasi pemilih, pialang data komersial, dan penelitian yang dikumpulkan sendiri. Mereka mengklaim metode yang digunakan sama dengan yang digunakan untuk kampanye kandidat lain.
Mereka dikabarkan menggunakan model preferensi politik yang sama digunakan saat kampanye Barrack Obama dan Bill Clinton. Cambridge Analytica menyatakan tidak bekerja sama sekali dengan Referendum Brexit maupun melakukan subkontrak beberapa pemasaran digital di AS dan pengembang asal Kanada. [SN/IF]