Telset.id, Jakarta – Iklim perdagangan yang tengah memanas antara China dan AS, yang dipicu pengumuman tariff baru oleh Presiden AS Donald Trump, rupanya berimbas juga terhadap dua mega transaksi Qualcomm di Negeri Panda tersebut.
Menurut Channelnewsasia, ada bocoran yang mengatakan otoritas perdagangan China menahan atau melambatkan tinjauan mereka terhadap dua transaksi yang bernilai miliaran dolar AS itu.
Tentu saja ini akan mengakibatkan proposal pembelian produsen chip asal Belanda NXP Semiconductors NV senilai USD 44 miliar atau mencapai Rp 650 triliun itu terancam gagal.
Sebelumnya, otoritas China juga masih menahan hasil tinjauan penjualan unit chip Toshiba sebesar USD 19 miliar atau mencapai Rp 261,3 triliun kepada konsorsium Bain Capital. Dengan demikian, China menjadi satu-satunya negara yang belum menandatangani kesepakatan tersebut.
Masa perjanjian merger Qualcomm dengan NXP diperpanjang untuk kedua kalinya pada Januari lalu, dengan perubahan batas waktu hingga 25 April. Kendati demikian, para pihak terkait dapat memutuskan untuk memperpanjang tenggat waktu itu.
Maret lalu, Wakil Presiden China Wang Qishan dikabarkan telah meyakinkan Chief Executive Qualcomm Steve Mollenkopf bahwa tinjauan itu tidak akan terpengaruh oleh politik.
Hingga berita ini dimuat, pihak Qualcomm dan Toshiba memberikan komentarnya terhadap kabar bocoran itu.
sebelumnya, Broadcom mengeluarkan pernyataan resmi pada Kamis (15/3) waktu setempat soal rencana mengakuisisi Qualcomm. Kepada publik, seperti dilaporkan CNBC, Broadcom menegaskan tak lagi berencana membeli Qualcomm.
Broadcom memutuskan menghentikan upaya mengakuisisi Qualcomm pada Rabu (14/3) setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, angkat suara. Ia menolak pembelian Qualcomm oleh Broadcom dengan berbagai alasan, termasuk soal ancaman keamanan nasional.
Baca juga: Akhirnya Broadcom Putuskan Batal Beli Qualcomm
Bulan ini pemerintahan Trump mengumumkan skema tarif baru untuk perusahaan China di bidang teknologi, transportasi dan produk medis yang jumlahnya mencapai USD 50 miliar atau sekitar Rp 687 triliun.
Aturan ini diharapkan dapat menekan menurunkan surplus perdagangan china dengan AS yang mencapai USD 375 miliar atau mencapai Rp 5.158 triliun.
Jelas saja itu memancing aksi pembalasan dari Beijing. Namun pada saat yang sama, China malah berjanji untuk lebih membuka ekonomi dan menurunkan tarif impor pada produk-produk tertentu, langkah yang diklaim tidak terkait dengan kisruh perdagangan itu.
Sumber: Channelnewsasia