Telset.id – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akan mencabut izin penggunaan frekuensi 2,3 GHz yang diberikan kepada PT First Media Tbk (KBLV), PT Internux (Bolt), dan PT Jasnita Telekomindo. Pencabutan izin itu dilakukan karena ketiga perusahaan tersebut belum melunasi kewajiban membayar Biaya Hak Penggunaan atau BHP frekuensi radio pada frekuensi 2.3 GHz.
Evaluasi dilakukan sehubungan akan berakhirnya masa berlaku Izin Pita Frekuensi Radio pada frekuensi radio 2.3 GHz untuk Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal Berbasis Packet Switched yang akan jatuh tempo pada 17 November 2018.
Pada evaluasi tersebut Kominfo mengungkapkan bahwa PT Internux, PT First Media (KBLV) dan PT Jasnita Telekomindo, belum membayar BHP, dan memiliki tunggakan sejak 2016 dengan angka yang cukup besar.
Tercantum di laporan Evaluasi Kinerja Penyelenggara Broadband Wireless Access (BWA) 2,3 GHz dalam tabel “Kewajiban Pembayaran BHP Frekuensi Radio” yang dirilis Kominfo, tunggakan plus denda PT Internux yang berada di zona 4 yakni Jabodetabek dan Banten memiliki tunggakan sebesar Rp 343.576.161.625.
Sedangkan PT First Media (KBLV) yang berada di zona 1 dan 4 untuk daerah Sumatera bagian Utara, Jabodetabek dan Banten memiliki jumlah tunggakan Rp 364.840.573.118. PT First Media Tbk (KBLV) dan PT Internux selama ini dikenal memiliki layanan dengan merek BOLT.
Sementara tunggakan dan ditambah denda yang belum dibayarkan oleh PT Jasnita mencapai Rp Rp 2.197.782.790. Jasnita sendiri adalah operator BWA (broadband wireless access) yang mendapatkan izin penggunaan frekuensi untuk Zona 12 di Sulawesi bagian Utara.
Ketiganya harus membayar biaya penggunaan spektrum radio yang merujuk pada Peraturan Menteri Kominfo Pasal 83 ayat 1 Nomor 9 Tahun 2018 tentang Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, maka jika ketiga pihak tersebut belum bayar maka akan dikenakan sanksi.
“Tidak ada pembayaran yang masuk sampai pagi ini. Maka kami akan proses dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Direktur Operasi Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo, Dwi Handoko.
Pernyataan itu dipertegas oleh Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu, yang mengatakan bahwa hingga batas akhir jatuh tempo pada 17 November 2018 pukul 23.59, ketiga operator tersebut tidak melakukan pelunasan utang BHP Frekuensi.
“Karena hari ini hari libur, Kominfo sedang memproses penyiapan SK Pencabutan Izin Penggunaan Frekuensi Radio kepada ketiga operator tersebut. Hari Senin,19 November, kami akan keluarkan SK Pencabutan tersebut,” tegas Ferdinandus kepada Telset.id, Minggu (18/11/2017).
Dia juga menjelaskan kenapa Kominfo baru berencana akan mencabut izin frekuensi di tahun 2018, padahal ketiga perusahaan tersebut, yakni First Media, Internux, dan Jasnita Telekomindo sudah menunggak pembayaran sejak tahun 2016.
Ferdinandus membantah jika Kominfo lambat dalam menangani ketiga perusahaan tersebut. Menurutnya sejak tahun 2016 Kominfo sudah memberikan Surat Peringatan (SP) kepada ketiga perusahaan itu, tetapi tidak ditanggapi sehingga pencabutan izin menjadi opsi terakhir yang mereka keluarkan.
“Menurut aturannya memang begitu. Tahun 2016, saat mereka harusnya bayar, kami sudah kasih surat peringatan. Tahun 2017 kami kasih surat peringatan lagi. Berdasarkan peraturan, jika 24 bulan berturut turut belum bayar, baru kami cabut (izin frekuensinya),” jelas Ferdinandus.
“Memang peraturannya seperti itu, setelah 24 bulan berturut-turut tidak bayar, baru bisa dicabut. Jadi bukan satu bulan gak bayar langsung dicabut, tidak seperti Itu,” sambungnya.
Tagihan Tunggakan BHP Digugat
Kominfo mungkin tidak pernah menyangka jika penagihan BHP frekuensi ini malah berujung rumit. Berbeda dengan PT Jasnita yang memilih untuk mengembalikan pita frekuensi radio frekuensi 2.3 GHz kepada pemerintah, pihak PT Internux, anak usaha PT First Media Tbk, yang mengeluarkan produk dengan merek Bolt justru melakukan perlawanan.
Sikap Kemkominfo yang mengancam akan mencabut pita frekuensi radio, jelas menjadi kabar buruk bagi First Media dan Internux. Bagaimana tidak, jika keputusan mencabut hak penggunaan frekuensi radio itu benar-benar dilakukan Kominfo, maka layanan mereka bakal bisa terganggu, dan akan berdampak pada konsumennya.
Namun anehnya, salah satu entitas bisnis Lippo Grup itu bukannya melunasi tunggakannya, tapi mereka justru mengajukan gugatan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Sidang pertama gugatan Internux dengan nomor perkara 266/G/2018/PTUN.JKT ini digelar pada Selasa (13/11/2018).
Isi gugatan tersebut antara lain, memohon adanya penundaan pelaksanaan pembayaran BHP frekuensi radio, dan menunda segala tindakan atau paksaan yang dapat dilakukan Kemkominfo dalam melakukan penagihan, beserta dengan segala akibat hukumnya.
Internux juga meminta penundaan pengenaan sanksi dalam bentuk apapun kepada penggugat sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan/atau kesepakatan bersama antara penggugat dan tergugat.
Menanggapi gugatan itu, Menteri Kominfo Rudiantara sempat bereaksi keras. Ia mengatakan Kominfo tetap akan mencabut IPSFR perusahaan itu bila pembayaran BHP tidak dilakukan pada tanggal jatuh tempo, yaitu 17 November 2018.
“Sekarang gini deh, kalau jadi Kominfo yang lagi nagih kemudian dituntut rasanya gimana?,” tanya Rudiantara kepada awak media.
“Ini bukan berkaitan dengan izin operasi, tapi soal izin frekuensi, kalau tidak ada settlement sampai 17 November, bisa dicabut izin penggunaan frekuensi,” tambahnya dengan nada geram.
Meski begitu, Rudiantara mengatakan siap menghadapi perkara hukum yang akan dilalui pasca gugatan First Media. Dirinya akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan masalah ini di meja hijau.
Kalah di PKPU, Proposal Perdamaian Disahkan
Kisruh penagihan tunggakan BHP frekuensi radio dari 2016-2017 ini semakin runyam bagi Kominfo, karena tagihan utang sebesar Rp 463 miliar yang mereka tagih kepada PT Internux malah harus ditangguhkan.
Penangguhan ini berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menerima Proposal Perdamaian (homologasi) yang diajukan PT Internux kepada para krediturnya. Putusan ini disampaikan Ketua Majelis Hakim, Abdul Kohar dalam sidang perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Internux, pada Rabu (14/11/2018).
Dalam putusannya, Hakim Kohar mengatakan bahwa semua persyaratan dalam homologasi telah dipenuhi debitur, dalam hal ini PT Internux, sebagaimana dirumuskan dalam UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.
“Dalam laporan hakim pengawas, kami tidak menemukan adanya alasan untuk menolak homologasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 285 ayat (2) UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Sehingga rencana perdamaian wajib disahkan,” kata Kohar di PN Jakarta Pusat.
Sebagai informasi, Internux tengah dibelit proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Internux terjerat gugatan perkara PKPU berdasarkan permohonan krediturnya, PT Intiusaha Solusindo dan PT Equasel Selaras, yang didaftarkan pada 20 Agustus 2018 dengan perkara No.126/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst.
Equasel berupaya menagih utang senilai Rp 3,21 miliar yang berasal dari peralihan utang Internux kepada PT Cursor Media. Sementara tagihan Intiusaha senilai Rp 932 juta dari peralihan piutang PT Nusapro Telemedia Persada.
Namun dalam rentang waktu itu ternyata ada 281 kreditur lain yang juga mendaftarkan tagihannya, termasuk Kemenkominfo lewat Ditjen SDPPI. Total tagihan Internux dalam perkara PKPU tersebut mencapai Rp 4,9 triliun.
Selanjutnya pada 17 September 2018, Pengadilan Niaga menerima permohonan tersebut dan menyatakan Internux dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) yang menyebabkan Internux harus mengajukan usulan restrukturisasi utang Perseroan dalam bentuk Proposal Perdamaian.
PKPU Merugikan Negara
Kominfo menyatakan keputusan mereka untuk ikut bergabung ke dalam PKPU supaya mereka mendapatkan jaminan dari Internux untuk segera membereskan pembayaran utang. Saat pendaftaran di PKPU, Kominfo bahkan memasukkan tunggakan pembayaran tahun 2018 yang jatuh tempo pada 17 November. Dengan begitu, total tagihan utang yang dilayangkan Kominfo kepada Internux mencapai Rp 463 miliar.
Menurut Kasubbag Bantuan Hukum Ditjen SDPPI, Fauzan Priyadhani, bahwa tagihan itu bersifat preferen atau prioritas, karena BHP frekuensi radio akan masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Namun disaat PKPU berjalan, Internux malah mengajukan proposal perdamaian kepada Kemenkominfo dan kreditur lain. Berdasarkan salinan proposal itu, Internux mengkategorikan seluruh utangnya ke dalam enam jenis, yakni: utang usaha, afiliasi, provider tower, biaya frekuensi, pembiayaan, dan outsourcing.
Kecuali outsourcing, Internux menjanjikan utang akan dicicil dalam jangka waktu 10 tahun, dengan cicilan per tahun sebesar 5% – 15% dari besaran utang. Tapi anehnya, pada poin lainnya Internux punya opsi menangguhkan utang dan mengakumulasikannya ke akhir jatuh tempo tahun berikutnya, terus-menerus hingga tahun kesepuluh.
Namun yang jadi masalah, ada juga aturan tambahan yang menyebutkan Internux masih memiliki waktu 30 tahun untuk melunasi utangnya, jika mereka belum bisa membayar lunas dalam 10 tahun.
“Aturan ini sudah pasti sangat memberatkan karena bertentangan dengan aturan perundang-undangan,” kata Fauzan.
Diterangkan Fauzan, Izin Pita Spektrum Frekuensi Radio (IPSFR) yang jadi dasar tagihan BHP hanya berlaku 10 tahun. Dengan aturan itu, Internux seharusnya hanya mengantongi izin sejak 2009, dan akan berakhir pada 2019.
Terkait soal izin ini, Pasal 17 (1) Undang-undang Nomor 33 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2000, menyebutkan penetapan IPSFR harus dilelang ulang dan setiap perusahaan bisa memperpanjang IPSFR sebanyak satu kali. Ini berarti batas maksimal IPSFR Internux hanya sampai 2029 atau cuma 20 tahun.
Hal itulah yang dianggap bermasalah, karena kalau batas homologasi yang disetujui PKPU ini benar-benar disepakati, maka Kemenkominfo sama saja memberikan IPSFR kepada Internux selama 30 tahun, setelah perjanjian damai dijalankan.
Kasasi Putusan PKPU
Kementerian Kominfo mempertimbangkan ajukan kasasi atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam perkara PKPU Internux. Proses PKPU yang berujung pada perjanjian damai (homologasi) itu dinilai akan membuat pemerintah rugi dua kali.
Pertama, karena Biaya Hak Pakai (BHP) frekuensi radio yang ditagihkan pemerintah akan dicicil. Kedua, putusan PKPU itu berpotensi mengukuhkan Internux sebagai pemegang Izin Pita Spektrum Frekuensi Radio (IPSFR) hingga jangka waktu 30 tahun.
“Kami sedang memikirkan untuk menghindari kerugian negara akibat putusan (PKPU) tersebut, jadi kami sedang atur waktu untuk ajukan kasasi,” kata Direktur Operasi Sumber Daya Direktorat Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemkominfo, Dwi Handoko di Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Hal itu diamini Kepala Sub Bagian Bantuan Hukum Ditjen SDPPI Kemenkominfo, Fauzan Priyadhani. Dia mengatakan, Kominfo kemungkinan akan mengambil langkah hukum setelah mempelajari semua berkas putusan PKPU. Apalagi, dalam fakta persidangan terungkap adanya kejanggalan berupa poin tambahan yang tak sesuai dengan rencana perjanjian homologasi yang diajukan Internux.
Ia mengatakan hal tersebut diketahui saat dirinya menyampaikan keberatan kepada majelis hakim atas poin perjanjian homologasi yang berpotensi bertentangan dengan undang-undang. Poin tambahan yang dimaksud berbunyi: “Jika ada klausul yang bertentangan dengan undang-undang, maka klausul tersebut tidak dapat dilaksanakan dan para pihak akan menegosiasikan klausul baru”.
Kominfo juga semakin dirugikan karena ada satu klausul di proposal itu yang menyatakan bahwa semua perjanjian dan kesepakatan yang dibuat sebelum homologasi dapat ditiadakan, termasuk IPSFR yang diberikan Kominfo.
Tak cukup sampai di situ, di dalam poin tambahan berikutnya yang dimasukkan Internux disebutkan juga klausul yang didiskusikan itu tidak boleh terlalu jauh dengan rencana perjanjian damai.
“Kalau dilihat isi klausul, sebenarnya kan sama saja, karena tidak ada yang baru. Itu artinya akan kembali berpotensi melanggar regulasi telekomunikasi,” sebut Fauzan. “Kami khawatir, jangan-jangan ada klausul-klausul lain di luar itu,” kata dia menambahkan.
Klausul itu, disebut Fauzan. bertentangan dengan UU 36/1999 tentang Telekomunikasi. Poin-poin dalam proposal perjanjian perdamaian yang jadi keberatan ini telah disampaikan kepada majelis hakim di dalam sidang. Dengan alasan tersebut, Fauzan berharap majelis hakim dapat membatalkan permohonan homologasi.
Proposal Perdamaian Bikin Galau
Menjelang batas akhir waktu penentuan nasib Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) milik First Media dan Internux oleh Kementerian Kominfo pada Senin (19/11) siang, operator layanan Bolt itu membuat langkah mengejutkan dengan mengajukan proposal perdamaian baru.
Proposal perdamaian yang diajukan First Media dan Intenux ternyata cukup menggoda, dan akhirnya membuat Kominfo nampak galau mencabut izin frekuensi kedua perusahaan milik Lippo Group itu. Kominfo mengaku sedang mempertimbangan ulang proposal perdamaian dari First Media dan Internux.
“Kami informasikan, bahwa tadi pada jam 12.00 ada proposal baru masuk dari First Media dan Internux terkait tunggakan BHP frekuensi. Sementara untuk Jasnita tak ada upaya apa pun untuk melakukan pembayaran,” ungkap Plt Kepala Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu di Jakarta, Senin (19/11).
Ia mengungkapkan, selain memberikan proposal terbaru untuk melakukan pembayaran, First Media juga menunjukkan niat baik dengan mencabut gugatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap Kominfo.
“Betul kita pahami memang sudah lewat jatuh tempo, tapi kami mempertimbangkan juga kebutuhan pelanggan dan niat baik dari First Media dan Internux untuk menyelesaikan masalah tunggakan BHP Frekuensi,” ujar pria yang akrab disapa Nando itu.
Nando mengungkapkan bahwa dalam proposal pembayaran terbaru itu, First Media dan Internux mengubah komitmen pembayaran tunggakan BHP frekuensi. Kedua perusahaan itu menyatakan akan melunasi semua tunggakan utangnya paling lambat pada tahun 2020, atau hanya 2 tahun.
“Komitmen ini lebih baik daripada proposal perdamaian sebelumnya di PKPU dengan jangka waktu pelunasan 10 tahun. Dirjen SDPPI sedang membawa proposal pembayaran itu ke Dirjen Keuangan Negara untuk dibahas bisa diterima atau tidak,” jelasnya.
Dia juga mengatakan sampai saat ini belum ada Surat Keputusan (SK) Pencabutan Izin Penggunaan Frekuensi Radio yang ditandatangani. Pihak Kominfo masih menunggu hasil diskusi dengan Kemenkeu.
Skema Pembayaran Utang
Hingga kini Kementerian Kominfo masih mempertimbangan proposal perdamaian yang diajukan PT First Media Tbk dan PT Internux (Bolt). Menurut Ferdinandus Setu, proposal tersebut menawarkan skema pembayaran tunggakan dengan mencicil selama 2 tahun, dan akan dimulai bulan Desember 2018.
“Mereka minta pembayaran pertama dilakukan pada bulan Desember 2018, tapi saya lupa berapa jumlahnya, sepertinya 10 persen,” ucapnya.
Total kedua perusahaan itu akan melakukan pencicilan sebanyak lima kali secara bertahap hingga lunas. Pembayaran akan dilakukan sekitar 2 tahun, sejak 2018 hingga 2020. Pembayaran pertama akan dilakukan pada bulan Desember 2018.
Kemudian di tahun 2019 nanti akan ada dua kali pembayaran di dua semester, yakni di bulan April dan September. Selanjutnya di tahun 2020 juga dua kali pembayaran, yakni di awal tahun dan di bulan September. Total akan ada lima kali pembayaran.
“Jadi Internux dan First Media menawarkan lima kali pembayaran mulai Desember 2018 ini sampai dengan tahun 2020. Jadi, paling lambat 2020 sudah lunas,” terang Nando.
Ia mengaku bahwa tawaran yang diberikan First Media dan Internux cukup menarik. “Kami hold karena kami mempertimbangan skema baru yang ditawarkan First Media dan Internux sangat menarik, sehingga kami masih mencari pilihan terbaik,” imbuhnya.
Hal lain yang masih dipertimbangkan oleh Kominfo adalah terkait skema pelunasannya. Kominfo masih menggodok skema pembayaran yang harus dilakukan First Media dan Internux jika proposal mereka diterima.
“Model bentuk pencairannya itu nanti seperti apa, misalnya tinggal oke debit di September 2020 langsung lunas atau gimana. Jadi itu yang kami secara teknis lakukan di rapat-rapat Ditjen SDPPI. Jadi sekarang memang belum clear banget SOP-nya seperti apa,” jelas Nando.
Homologasi Seharusnya Tidak Berlaku
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai putusan sidang dalam perkara PKPU Internux bisa dinegosiasikan oleh Kominfo. Alasannya, kata Heru, status pemerintah di kasus ini berbeda dengan dua ratus lebih kreditur yang tergabung dalam PKPU Internux.
“Pemerintahan bukan lembaga pemberi utang. Jadi kewajiban mereka memang harus dibayarkan. Homologasi seharusnya tak berlaku karena hubungan Internux dengan pemerintah, karena ini tidak setara. Kalau dengan kreditur lainnya, mereka memang setara,” kata Heru.
Menurut Heru, hal ini bisa dilimpahkan ke Kementerian Keuangan jika pemerintah merasa kesulitan dalam penagihan. Sebab, tagihan dari BHP tersebut merupakan kekayaan negara yang berasal dari peneriman negara bukan pajak (PNBP).
“Jadi kalau tidak bayar tepat waktu berpotensi merugikan negara. Di Kemenkeu sebenarnya ada direktorat jenderal kebendaharaan dan kekayaan negara. Nah, itu sebenarnya masuk ke sana dan mereka bisa tagih. Itu, kan, enggak bisa ditagih 10 tahun,” kata dia.
Heru menilai, pemerintah harus tegas BHP yang jadi kewajiban perusahaan telekomunikasi tidak bisa dilakukan dengan cara mencicil, seperti yang tercantum dalam perjanjian homologasi Internux. Jika itu diberikan, artinya ada perlakuan khusus yang diberikan Kominfo, dan hal tersebut dapat digolongkan ke dalam maladministrasi.
“Jadi menurut saya, suka gak suka izinnya dicabut saja. Karena memang aturannya harus begitu. Dan yang harus dipertimbangkan juga adalah nilai sekarang dengan 10 tahun ke depan kan pasti berbeda. Misalnya nilainya sekarang Rp 1 miliar, nanti 10 tahun ke depan kan nilainya udah beda,” ujarnya.
Berbahaya untuk Kominfo
Proposal perdamaian yang diajukan First Media dan Internux dinilai dapat membahayakan pihak Kominfo sendiri. Pasalnya, skema pembayaran dengan cara mencicil yang diajukan oleh kedua perusahaan tersebut, tidak memiliki jaminan yang kuat sehingga bisa saja mereka mengingkari proposalnya sendiri.
“Ya kalau saya melihat membahayakan diri mereka (Kominfo) sendiri, karena kita punya pengalaman kalau misalnya dibayar sekian tahun bisa jadi molor lagi karena tidak ada yang menjamin kan,” kata Executive Director ICT Institute, Heru Sutadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/11/2018).
Dia menilai jika pihak First Media dan Internux tidak memiliki agunan atau jaminan saat mencicil hutang mereka. Jika dugaannya benar dan Kominfo menerima proposal tersebut, maka akan merugikan negara.
“Tidak ada yang menjamin untuk dibayar. Kalau mekanisme umum diperbankan ada agunan itu yang bisa diambil. Inikan tidak ada agunan sehingga seperti menggali lubang kubur sendiri, dan ini harusnya Kominfo lebih berhati-hati,” tutur Heru.
Mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini juga mengatakan bahwa skema pembayaran dengan cara mencicil membuat pekerjaan tambahan bagi pemerintah Indonesia selanjutnya.
Menurutnya, skema pencicilan hingga 2020 otomatis membuat pemerintah yang baru nantinya harus tetap menagih kedua perusahaan tersebut hingga lunas.
“Janganlah kemudian Pak Menteri Kominfo dan Pak Jokowi memberikan beban ke pemerintah berikutnya. Kalaupun Jokowi lanjut jadi presiden lagi, nanti tetap jadi beban bagi dia dan juga Menkominfo berikutnya, kan ini tidak elok seharusnya,” ujar Heru.
Kominfo Jangan Main Api
Tindakan Kominfo yang mempertimbangkan proposal perdamaian First Media juga dapat menimbulkan kecurigaan publik. Menurut Ketua Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Kamilov Sagala, tindakan Kominfo yang mempertimbangkan proposal First Media adalah tindakan keliru.
“Kominfo sudah lalai menjalankan tugas pokoknya untuk mendapatkan BHP Frekuensi uang menjadi hak Negara dan masyarakat. Sebaiknya Menkominfo mundur saja atau diperiksa KPK,” ucap Kamilov kepada Telset.id melalui WhatsApp Messenger pada Rabu (28/11/2018).
Selain itu, masuknya proposal pada detik menjelang pencabutan izin bisa menimbulkan kecurigaan dan spekulasi di masyarakat. Bisa saja masyarakat kini mempertanyakan integritas kementerian pimpinan Rudiantara tersebut, karena tetap menerima proposal yang masuk padahal waktu jatuh tempo telah berakhir.
“Kalau terjadi saat injury time, patut diduga ada deal-deal yang masyarakat umum timbul kecurigaan dan bertanya ‘ngapain aja 3 bulan kemarin’?” ujar Kamilov.
Dia menilai First Media seharusnya bisa mengirimkan proposal minimal 3 bulan sebelum jatuh tempo. Pasalnya jika mereka mengirimkan proposal menjelang jatuh tempo dianggap melalaikan peraturan pemerintah soal izin frekuensi.
“Proposal dari First Media saat-saat akhir waktu pembayaran tersebut dinilai bentuk lain perbuatan melalaikan hukum, dan memungkinkan terjadinya peristiwa tidak transparan dalam pembayaran kewajiban,” tambahnya.
Terakhir, menurut Kamilov, seharusnya sejak awal pihak Kominfo tetap tegas terhadap First Media dan Internux, dan menolak untuk mempelajari proposal (perdamaian) tersebut. Pasalnya apa yang dilakukan Kominfo saat ini justru merugikan mereka sendiri.
“Pilihan terbaik bagi Kominfo adalah jangan bermain api, karena api dapat membakar diri sendiri. Artinya tegakkan hukum di negara hukum, bukan kekuasaan,” tutup Kamilov. [NM/HBS]
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Bayu Sadewo
Editor: Bayu Sadewo