Mengungkap Kepribadian Psikopat Para CEO Silicon Valley

Telset.id, Jakarta  – Silicon Valley dikenal sebagai markasnya perusahaan raksasa teknologi dunia, seperti Apple, Facebook, Tesla, dan lainya. Namun di balik itu ada “kengerian” yang terungkap dari para psikopat Silicon Valley. Siapa mereka?

Maëlle Gavet, seorang veteran yang pernah 15 tahun berkecimpung di industri teknologi, mengenang percakapan meresahkan ketika menghadiri pesta koktail para CEO perusahaan Silicon Valley pada 2017.

Saat itu, Gavet asyik mengobrol dengan investor di Uber. Kepada sang investor, ia mengeluhkan kemunculan beberapa berita mengganggu seputar co-founder dan CEO Uber, Travis Kalanick. Semuanya negatif dan menyudutkan.

{Baca juga: Saat Silicon Valley Mulai Terusik China}

Ada berita tentang praktik Uber memata-matai penumpang, kasus pelecehan seksual, budaya kerja yang “beracun”, dan lain sebagainya. Investor tersebut hanya tertawa dan berkata, ” Ia jauh lebih buruk daripada yang orang ketahui.”

Gavet pun tercengang. Ia lalu bertanya kepada investor itu, kenapa memilih berbisnis dengan seseorang yang begitu kejam. Investor menjawab pertanyaan Gavet secara rinci meski tidak diungkap gamblang dalam artikel ini.

Dikutip Telset.id dari New York Post, Minggu (27/9/2020), cerita tersebut hanyalah satu dari banyak rahasia yang menginspirasi Gavet untuk menulis buku berjudul “Trampled by Unicorns: Big Tech’s Empathy Problem and How to Fix It”.

Buku itu akan dirilis pada Selasa (29/9/2020) waktu setempat. Di dalamnya memuat kisah hidup Kalanick, yang ternyata perilaku psikopatnya sudah menjadi rahasia umum di kalangan eksekutif perusahaan teknologi kelas kakap.

Menurut Hare Psychopathy Checklist, alat diagnostik untuk mengecek gangguan seseorang, psikopat mencakup sifat-sifat seperti rasa harga diri yang muluk, kurangnya penyesalan, kontrol perilaku buruk, dan kebohongan patologis.

“Atribut psikopat tidak hanya hadir, “tetapi dirayakan di Silicon Valley,” kata Gavet, yang pernah menjabat sebagai wakil presiden eksekutif operasi global untuk Priceline Group. Dan, Kalanick bukanlah seorang diri di Silicon Valley.

Berita tentang perilaku buruk para CEO Silicon Valley sering terdengar, baik dari cuitan “ngawur” Elon Musk di Twitter tentang pandemi hingga manuver pendiri WeWork, Adam Neumann, yang sekarang berujung di meja jaksa agung.

Menular

Sebelum membahas Musk dan Neumann, mari sejenak menyimak tingkah polah CEO Theranos, Elizabeth Holmes. Ia menjadi miliarder setelah perusahaan tes darahnya diklaim akan merevolusi perawatan kesehatan dengan tes tusuk jari.

Tes tusuk jari yang ia tawarkan disebut inovatif, memberikan hasil cepat, tanpa rasa sakit, dan berharga murah. Namun, semua klaimnya bohong. Ia dituduh melakukan penipuan dan kabarnya membuat pembelaan gila di persidangan.

Melalui kekuatan psikopatnya, Holmes meyakinkan banyak orang, termasuk investor veteran dan politisi, dari “visi mesianis” untuk menentang kenyataan menggunakan alat tes darah ajaib. FBI sempat turun tangan melakukan penyelidikan.

Riset FBI menemukan bahwa perusahaan yang dikelola oleh psikopat cenderung mengalami penurunan produktivitas dan semangat kerja karyawan rendah. Ironisnya, kepribadian psikopat di Silicon Valley “menular ke seluruh organisasi”.

Hal itu dimungkinkan oleh “budaya infantil” di banyak perusahaan baru. Para karyawan menjadi terbiasa bekerja dalam “gelembung yang sangat istimewa”. Setiap keinginan mereka dipenuhi dan setiap kebutuhan akan selalu diantisipasi.

{Baca juga: Ini Rahasia Silicon Valley Jadi Markas Raksasa Teknologi}

Di Google, misalnya, karyawan disuguhi tempat tidur siang, pijat gratis, dan layanan pramutamu bergaya hotel mewah. Perusahaan bioteknologi Genentech menawarkan fasilitas cuci mobil, potong rambut, perawatan spa, bahkan dokter gigi.

“Mereka seperti terlindungi di dalam ‘kepompong atau rahim kecil’. Semua kebutuhan akan disediakan oleh ‘sang ibu,” kata Richard Walker, profesor emeritus geografi di University of California, Berkeley, dan veteran Silicon Valley.

Kurang empati

Pada Februari 2018, seorang pengemudi berusia 61 tahun menembak dirinya sendiri di depan Balai Kota di Manhattan. Ia kehilangan pekerjaan karena persaingan ketat sebagai pengemudi Uber. Bos Uber pun seolah abai dengan kasus tersebut.

Perilaku kurang empati sangat melekat dan sulit diperbaiki di bidang teknologi. Orang-orang di Silicon Valley terbiasa dengan budaya pesta, memprioritaskan pertumbuhan hiper di atas keuntungan, dan berkomentar merendahkan.

Apakah Anda masih ingat ketika CEO Facebook, Mark Zuckerberg, meminta maaf setelah Komisi Perdagangan Federal mendenda USD 5 miliar karena mengizinkan Cambridge Analytica untuk menambang data pengguna untuk tujuan politik?

Seorang moderator konten untuk Facebook, yang bekerja antara 2017-2018, setiap hari mencari ujaran kebencian dan kekerasan grafis di platform. Ia ingat tatkala menandai gambar yang diposting tentang kasus pembantaian di Asia Tenggara.

“Ada gambar bayi dengan kaki seseorang di dadanya. Saya memutuskan bahwa gambar tersebut adalah bayi yang mati. Tapi, auditor berpikir sebaliknya, bersikeras tidak ada bukti sang bayi telah mati. Foto itu pun tetap tayang,” bebernya.

Dalam bekerja, moderator konten di Facebook mendapatkan skor kualitas. Setiap gambar yang ditandai secara keliru akan berbanding terbalik dengan skor yang didapatkan. Hasilnya, penilaian kinerja mereka pun kerap tidak manusiawi.

{Baca juga: Kerja di Apple Tak Seindah yang Dibayangkan}

Setali tiga uang, kultur di Facebook mirip dengan di Apple. Mantan CEO Apple, Steve Jobs, pernah memotivasi para karyawan dengan berulang kali menyebut istilah “bajingan brengsek.” Ia menuntut para staf menjadi brengsek sekaligus jenius.

Sindrom Steve Jobs pun mendominasi. Para mantan teknisi berprestasi dan sedang naik daun sangat percaya kepada doktrin almarhum Jobs. Bahkan, sikap kejam Theranos Holmes meniru Jobs. Ia adalah seorang nabi bahkan ketika bersalah.

Cuma fatamorgana

Adam Neumann, yang kini berstatus eks CEO WeWork, terkenal punya gaya kepemimpinan berani. Ia sering berjalan-jalan tanpa alas kaki di Manhattan. Ia tak jarang menawari karyawan tequila serta menggelar konser Run DMC di dalam kantor.

Akan tetapi, kesuksesan yang diraup Neumann hanyalah fatamorgana. Ia menghasilkan jutaan sewa gedung yang kembali ke WeWork. Ia membeli merek dagang, kemudian menjualnya ke WeWork, perusahaannya sendiri, seharga USD 5,9 juta.

Sempat bernilai USD 47 miliar pada Januari 2019, nilai WeWork turun menjadi USD 10 miliar pada September tahun yang sama. Namun, ketika mengundurkan diri dari kursi CEO, Neumann dibayar USD 185 juta sebagai “biaya konsultasi”.

{Baca juga: Ingin jadi Googlers, Perempuan Ini Malah Dipecat Google}

Neumann bukanlah satu-satunya CEO yang diberi penghargaan karena secara aktif memperburuk keadaan bagi investor. CEO Tesla, Elon Musk, pernah mencuit ngawur di Twitter yang membuat harga perusahaan seketika terjun payung.

Juragan Amazon, Jeff Bezos, pun tak luput dari kontroversi. Dengan kekayaan bejibun, ia bersikap kurang kontrol, termasuk ketika ketahuan berselingkuh dengan Lauren Sanchez. Ia akhirnya harus bercerai dan berbagi harta dengan MacKenzie. [SN/HBS]

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKAIT

REKOMENDASI
ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI