Telset.id, Jakarta – Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal UU ITE, menjadi topik hangat dalam berbagai forum diskusi di media maupun sosial media. Tapi apakah Anda sudah tahu apa itu UU ITE, dan pasal apa saja yang penting diketahui?
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE telah berusia 12 tahun. UU ITE diharapkan bisa lebih mengatur perilaku masyarakat supaya tidak menyalahgunakan kecanggihan teknologi.
UU ITE selalu ramai diperbincangkan masyarakat terlebih jika ada kasus-kasus yang terjadi di internet atau media sosial, seperti pencemaran nama baik, pornografi ataupun penipuan.
Namun di balik niat mulianya, UU Informasi dan Transaksi Elektronik juga banyak menuai kontroversi karena dianggap mengancam kebebasan berpendapat atau berekspresi masyarakat. Benarkah demikian?
Menanggapi hal tersebut Kominfo melalui Dirjen Aptika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan membantah UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE mengekang kebebasan berekspresi. Semuel menilai kalau UU tersebut justru hadir untuk menciptakan ketertiban masyarakat.
“Saya rasa enggak (mengekang berekspresi). Gini, undang-undang ITE itu dilihatnya seperti jalan raya. Jalan raya tanpa rambu-rambu apakah kita lebih lancar. Pasti ada tabrakan dan jalan jadi macet. Undang-undang itu dibuat sebagai rambu untuk membuat ketertiban,” jelas Semuel, dalam konferensi pers pada Oktober 2020 lalu.
Terlepas dari kontroversi yang disematkan pada UU ITE, masyarakat sepertinya harus memahami mengenai pasal-pasal apa saja yang ada di UU ITE. Tujuannya sederhana, agar masyarakat mengetahui dan memahami, sehingga tidak melanggar UU tersebut.
Sejarah Lahirnya UU ITE
Dibuatnya Undang-undang ITE tidak terlepas dari perkembangan teknologi di Indonesia. Tak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi memberikan dampak positif namun juga dampak negatif, seperti pornografi dan kejahatan siber.
Ditjen Aptika Kominfo, Plt. Kabiro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu menjelaskan bahwa isi dari UU ITE merupakan gabungan dari dua Rancangan Undang-undang (RUU), yakni RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dari Universitas Padjajaran dan RUU E-Commerce dari Universitas Indonesia.
Selanjutnya pada tahun 2003 kedua RUU tersebut digabung menjadi satu naskah RUU untuk dibahas di DPR. Dua tahun kemudian pemerintah mendirikan Departemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang dipimpin oleh Menteri Kominfo, Sofyan Djalil.
{Baca juga: UU ITE Ancam Kebebasan Berekspresi? Begini Kata Kominfo}
Salah satu tugas Departemen Kominfo saat itu adalah membentuk Panitia Kerja (Panja) yang beranggotakan 50 orang.
Dalam proses penyusunan, ditentukan mengenai teori yang dijadikan landasan UU ITE. Ketika itu ada tiga teori yang diajukan, yakni teori Instrumental, teori Substantif, dan yang ketiga teori Sintesa.
Teori Instrumental artinya teknologi dianggap sebagai sesuatu yang netral. Sedangkan teori Substantif artinya teknologi tidak netral atau bisa berdiri sendiri.
Sementara teori sintesa merupakan gabungan dari kedua teori tersebut (Instrumental dan Substantif). Akhirnya landasan teori UU ITE yang dipilih adalah teori Sintesa.
“Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menggunakan teori sintesa, yang merupakan gabungan atau kombinasi antara teori instrumental dan teori substantif,” jelas Nando.
Selanjutnya, rapat rutin sering dilakukan untuk merumuskan undang-undang, dan akhirnya pada 21 April 2008 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
UU Informasi dan Transaksi Elektronik terbagi dalam 13 BAB dan 54 Pasal. Lalu UU ITE juga terbagi dalam dua bagian, yakni terkait e-commerce dan tindak pidana teknologi informasi.
Pada bagian yang terkait e-commerce, UU ITE mengatur tentang nama domain, tanda tangan elektronik digital dan non digital, serta marketplace.
Di bagian kedua yang mengatur tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi terbagi dalam empat sub bagian. Sub bagian pertama adalah ilegal konten seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan online, kasus pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik juga termasuk dalam sub bagian pertama.
Sedangkan pada sub bagian kedua mengatur tentang hacking, sementara sub bagian ketiga mengatur illegal interception seperti penyadapan. Sub bagian keempat mengenai data interference seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal.
“Dengan adanya UU ITE ini untuk pertama kalinya hal mengenai informasi atau dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah yang tertuang pada Pasal 5 dan Pasal 44,” ujar pria yang akrab disapa Nando itu.
Revisi UU ITE
Beberapa tahun kemudian Indonesia mengalami peralihan kepemimpinan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, pemerintah mengajukan RUU Revisi UU ITE kepada DPR RI pada 22 Desember 2015.
Melalui surat bernomor R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015, Presiden Jokowi juga menugaskan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Revisi UU ITE bersama DPR RI.
Ketika itu Menkominfo Rudiantara menjelaskan bahwa tujuan Revisi UU ITE untuk menanggapi aspirasi masyarakat mengenai UU ITE. Masyarakat kala itu menilai kalau UU ITE berpotensi membelenggu kebebasan berpendapat melalui sistem elektronik.
“RUU ini telah dipersiapkan selama setahun terakhir dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat maupun unsur pemerintah yang berkepentingan dengan penerapan UU ITE,” papar Rudiantara seperti dilansir laman resmi Kominfo.
Selain itu, tujuan Revisi UU ITE adalah untuk menghindari multitafsir terhadap penerapan Pasal 27 ayat (3) yang mengatur mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui sistem elektronik.
Setelah pemerintah dan DPR RI mengadakan rapat, akhirnya pada tanggal 27 Oktober 2019, RUU Revisi UU ITE disahkan menjadi UU ITE. Terdapat beberapa poin perubahan dalam UU ITE versi 2016. Misalnya pada Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE.
{Baca juga: Sebar Video Syur Mirip Gisel Terancam Kena UU ITE}
Poin Penting yang Diubah di Revisi UU ITE
Perubahan yang dilakukan yaitu menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”.
UU hasil revisi ini juga menegaskan bahwa pasal tersebut adalah delik aduan, bukan delik umum. Selanjutnya unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
Revisi UU ITE juga menurunkan ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dari sebelumnya ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun menjadi paling lama 4 tahun, dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
Kemudian ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari sebelumnya ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun, menjadi paling lama 4 tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
UU ITE versi 2016 juga mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
Lalu menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
Undang-undang ini juga melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara KUHAP serta memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5).
Revisi UU ITE juga menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, dan memperkuat peran pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan pada ketentuan Pasal 40.
Pasal 27 dan 28 UU ITE
Terdapat beberapa pasal yang harus menjadi perhatian masyarakat supaya tidak terjerat UU ITE. Pertama adalah pasal pasal 27 ayat (1) sampai dengan ayat (4) yang berkaitan dengan konten kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, dan pemerasan.
Pasal 27 ayat (1)
UU ITE Pasal 27 ayat (1) berkaitan dengan pembuatan atau penyebaran konten yang melanggar kesusilaan atau konten pornografi dalam bentuk informasi elektronik atau dokumen elektronik. Berikut isi pasal 27 ayat (1):
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Dokumen Elektronik sendiri menurut UU ITE adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik.
Dokumen termasuk tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Ancaman pidana dari pasal 27 ayat (1) tertuang dalam pasal 45 ayat (1) yaitu pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Pasal 27 ayat (2)
Kemudian yang kedua adalah penyebaran konten perjudian seperti diatur dalam pasal 27 ayat (2) yang isinya sebagai berikut:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”.
Ancaman dalam pasal tersebut tertuang dalam pasal 45 ayat (2), yakni pidana
penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Pasal 27 ayat (3)
Ketiga adalah pasal pencemaran nama baik atau pasal 27 ayat (3). Pasal ini menjelaskan mengenai tindakan penghinaan dalam bentuk informasi elektronik atau dokumen elektronik. Berikut isi pasal 27 ayat (3):
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Bagi yang melanggar pasal ini maka dapat akan mendapat hukuman dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta seperti tertulis pada pasal 45 ayat 3.
Pasal 27 ayat (4)
Keempat adalah pasal 27 ayat (4) tentang konten pemerasan dan pengancaman. Berikut ini isi dari pasal 27 ayat (4):
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”.
Ancaman pidana dalam pasal 27 ayat (4) tertuang pada pasal 45 ayat (4) yakni pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Pasal 28 ayat (1)
Selanjutnya yang juga harus dicermati adalah UU ITE pasal 28 ayat (1), yang mengatur tentang kasus berita bohong, atau yang banyak dikenal dengan hoaks. Berikut isi pasal 28 ayat (1)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.
Ancaman pidana dalam pasal 28 ayat (1) diatur dalam pasal 45A ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Pasal 28 ayat (2)
Pada pasal 28 ayat (2) UU ITE ini mengatur tentang ujaran kebencian yang menimbulkan permusuhan antar suku, agama, ras (SARA). Berikut isi pasal 28 ayat (2):
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
{Baca juga: Kominfo Hanya Blokir Akun Medsos Penyebar Hoaks?}
Ancaman pidana dalam pasal ini diatur di pasal 45A ayat (2) dengan dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Kurang Sosialisasi, Masyarakat Jadi Korban
Meski UU ITE sejatinya dibuat dengan tujuan yang baik, namun hingga kini banyak yang menuding UU ini banyak “pasal karet”, yang berpotensi memberangus kebebasan berekspresi masyarakat.
Kami melihat masalah ini muncul karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah ke masyarakat, sehingga banyak yang belum mengerti apa isi dan maksud UU tersebut.
Alhasil, banyak masyarakat yang menjadi “korban ketidaktahuan”, sehingga mereka harus berurusan dengan hukum karena dituduh telah melanggar UU ITE. Dari banyak kasus yang telah diberitakan di media, kebanyakan orang yang ditangkap karena mereka tidak tahu isi dari UU ITE.
Kami berharap pemerintah bisa lebih aktif lagi melakukan sosialisasi UU ITE ke masyarakat, sehingga warga bisa lebih melek tentang isi dari UU, terutama yang berkaitan dengan aktifitas di media sosial. [NM/HBS]