Telset.id – Bayangkan Anda membuka Spotify, menantikan rekomendasi lagu baru di Release Radar, dan yang muncul justru versi AI dari band favorit yang sudah menarik karyanya dari platform tersebut. Itulah yang baru-baru ini dialami oleh penggemar King Gizzard & the Lizard Wizard. Sebuah akun tiruan bernama “King Lizard Wizard” berhasil menyusup ke algoritma rekomendasi Spotify, menawarkan album berisi lagu-lagu yang meniru gaya dan lirik band aslinya. Yang lebih mencengangkan, album palsu ini bertahan selama berminggu-minggu sebelum akhirnya terungkap lewat sebuah postingan di Reddit. Bukankah Spotify sudah mengklaim memiliki filter spam untuk menangkal “AI slop”? Lantas, di mana efektivitasnya?
Insiden ini bukan sekadar kesalahan teknis biasa. King Gizzard & the Lizard Wizard, band rock eksperimental asal Australia, adalah salah satu musisi yang dengan tegas menarik seluruh katalog musik mereka dari Spotify pada musim panas lalu. Protes mereka berakar pada penemuan bahwa CEO Spotify kala itu, Daniel Ek, merupakan investor utama di sebuah perusahaan senjata dan militer yang berfokus pada kecerdasan buatan. Jadi, kehadiran tiruan AI dari band yang justru memboikot platform tersebut adalah ironi yang pahit. Ini seperti mengundang tamu yang sudah keluar dari pesta karena protes, lalu tanpa sepengetahuan Anda, seseorang memakai topengnya dan menari di tengah ruangan.
Fakta bahwa algoritma Spotify merekomendasikan konten palsu ini kepada pengguna yang sah menunjukkan celah yang mengkhawatirkan. Meski perusahaan telah meluncurkan kebijakan transparansi AI dan filter anti-spam pada September lalu, kasus “King Lizard Wizard” membuktikan bahwa implementasinya belum maksimal. Platform sebesar Spotify, dengan sumber daya teknologi yang melimpah, ternyata masih bisa dikelabui oleh konten hasil mesin yang meniru artis yang sudah tidak ada di sana. Pertanyaannya, jika untuk artis sekelas King Gizzard saja bisa luput, bagaimana dengan musisi independen atau yang kurang terkenal? Ancaman terhadap integritas katalog musik dan hak cipta artis menjadi nyata dan mendesak untuk diatasi.
Baca Juga:
Ujian Bagi Janji Spotify dan Masa Depan Katalog Digital
Ketika Spotify mengumumkan filter dan kebijakan AI-nya, banyak yang mengira platform itu akhirnya serius membentengi ekosistemnya. Mereka berjanji akan menindak tegas impersonasi atau peniruan identitas artis menggunakan AI. Namun, realitasnya berkata lain. Album palsu “King Lizard Wizard” itu tidak hanya menggunakan nama yang mirip, tetapi juga menyalin judul lagu dan lirik asli band tersebut. Ini adalah impersonasi tingkat lanjut yang seharusnya mudah dideteksi oleh sistem, mengingat band aslinya memiliki halaman artis yang sudah tidak aktif. Kegagalan deteksi ini mengindikasikan bahwa sistem mungkin hanya fokus pada artis yang masih aktif atau memiliki streaming tinggi, meninggalkan celah bagi peniru untuk memanfaatkan vakum digital yang ditinggalkan artis yang memboikot.
Thread Reddit yang mengungkap kasus ini juga menyoroti bahwa ini bukan insiden tunggal. Ada laporan-laporan anekdotal lain tentang upaya penipuan serupa dengan meniru band-band populer menggunakan AI. Polanya mungkin sama: memanfaatkan celah dalam algoritma rekomendasi dan sistem moderasi otomatis. Dalam konteks ini, kebijakan Spotify terasa seperti pagar yang dibangun di atas tanah yang masih labil. Tanpa kemampuan deteksi yang proaktif dan menyeluruh, kebijakan hanyalah tulisan di atas kertas. Platform seperti YouTube Shorts yang kini bisa pakai musik berlisensi hingga semenit pun harus belajar dari kasus ini, bahwa integritas konten adalah harga mati.
Lalu, apa implikasi jangka panjangnya? Pertama, kepercayaan pengguna terhadap rekomendasi algoritmik bisa terkikis. Jika “Release Radar” atau “Discover Weekly” bisa terkontaminasi konten palsu, nilai fitur andalan Spotify itu akan merosot. Kedua, ini adalah tamparan bagi artis yang memprotes. Tindakan boikot mereka, yang dimaksudkan untuk menarik perhatian pada masalah etis, justru dimanfaatkan oleh entitas tak bertanggung jawab untuk menyebarkan konten tiruan di platform yang sama. Ironisnya, platform yang mereka tinggalkan malah menjadi sarana untuk menodai karya mereka. Ketiga, ini memperkuat argumen bahwa moderasi konten, terutama untuk audio, membutuhkan pendekatan hybrid yang menggabungkan teknologi canggih dengan kurasi manusia, terutama untuk menangani kasus-kasus abu-abu seperti peniruan gaya artistik.
Antara Teknologi, Etika, dan Masa Depan Industri Musik
Insiden King Gizzard ini adalah gambaran mikro dari pertarungan besar di industri kreatif: teknologi versus orisinalitas, kuantitas versus kualitas. AI generative menawarkan efisiensi dan kemungkinan tak terbatas, tetapi juga membawa serta risiko pemalsuan dan devaluasi karya manusia. Spotify, sebagai gerbang utama distribusi musik digital global, memikul tanggung jawab besar. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan janji dan kebijakan. Mereka perlu membuktikan bahwa sistem mereka bisa bekerja, bahkan ketika berhadapan dengan peniru yang semakin canggih.
Bagi kita sebagai pendengar, ini adalah pengingat untuk lebih kritis. Sebelum menyimpan lagu ke playlist favorit atau mengira telah menemukan “rare track” dari band idola, ada baiknya melakukan pengecekan sederhana. Lihat profil artis, cek katalog resminya, dan waspada terhadap keanehan. Di sisi lain, bagi musisi, kasus ini menunjukkan bahwa menarik karya dari sebuah platform mungkin tidak cukup untuk sepenuhnya melindungi identitas artistik mereka di dunia digital. Perlindungan proaktif, mungkin dengan teknologi watermarking audio yang lebih canggih atau monitoring digital, menjadi semakin penting.
Pada akhirnya, pertanyaan terbesarnya adalah: apakah Spotify dan platform streaming lainnya mampu belajar dari kebocoran ini? Atau, apakah kita akan melihat lebih banyak kasus serupa, di mana “AI slop” berhasil menyelinap ke dalam aliran musik kita, mengaburkan batas antara karya asli dan tiruan? Jawabannya akan menentukan tidak hanya masa depan platform tersebut, tetapi juga integritas seluruh lanskap musik digital. Sementara itu, kasus King Gizzard & the Lizard Wizard akan tercatat sebagai contoh nyata bahwa dalam perang melawan konten AI palsu, pertahanan terkuat masih harus dibangun. Seperti halnya memilih smartphone gaming dengan chipset yang tepat atau mengelola penyimpanan digital dengan bijak, membangun ekosistem musik yang sehat membutuhkan fondasi teknologi dan kebijakan yang kokoh.

