Telset.id – Angka-angka terbaru dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 baru saja dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Hasilnya? Indeks literasi keuangan Indonesia mencapai 66,4%, sementara indeks inklusi keuangan meningkat ke 80,51%. Lonjakan signifikan dari 65,43% (literasi) dan 75,02% (inklusi) pada 2024. Tapi benarkah pertumbuhan ini merata di semua lapisan masyarakat? Atau justru menyisakan celah lebar yang menganga?
Di balik optimisme angka statistik tersebut, tersembunyi realitas pahit yang jarang terangkat ke permukaan. Data Susenas BPS 2023 mengungkap fakta mencengangkan: hanya 24,3% penyandang disabilitas usia ≥ 15 tahun yang memiliki rekening bank. Akses kredit bahkan lebih memprihatinkan, sekitar 14,2%, jauh di bawah 20,1% pada rumah tangga non-disabilitas. Meski 75,7% penyandang disabilitas tercakup program jaminan kesehatan, kepemilikan produk keuangan swasta seperti asuransi individu masih terkatung-katung di bawah 2%.
Anda mungkin bertanya, di mana letak masalah sebenarnya? Apakah rendahnya angka literasi keuangan menjadi biang keladi? Atau justru sistem keuangan kita yang belum ramah terhadap kelompok tertentu? Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2025 ini seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pemangku kepentingan. Peningkatan angka inklusi keuangan ke 80,51% patut diapresiasi, tapi apakah benar-benar mencerminkan akses yang merata?
Kesenjangan yang Tak Terlihat: Ketika Angka Statistik Menutupi Realita
Dalam euforia peningkatan indeks inklusi keuangan Indonesia, kita sering kali lupa melihat detail-detail kecil yang justru menentukan keberhasilan sesungguhnya. Data SNLIK 2025 menunjukkan kemajuan, tapi data Susenas BPS 2023 mengungkap ketimpangan yang masih lebar. Bayangkan, dari sekitar 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia, hanya seperempatnya yang memiliki rekening bank. Bagaimana mungkin mereka bisa berpartisipasi dalam ekonomi digital tanpa alat dasar perbankan?
Rendahnya akses kredit pada level 14,2% untuk penyandang disabilitas dibandingkan 20,1% untuk non-disabilitas mengindikasikan masalah sistemik. Bukan sekadar masalah literasi, tapi mungkin juga bias dalam sistem penilaian kredit, ketidakmampuan mengakses layanan digital, atau hambatan fisik dalam mengunjungi kantor layanan. Fenomena ini mengingatkan kita pada program Rupiah Cepat Dorong Inklusi Keuangan untuk Penyandang Disabilitas yang baru-baru ini digulirkan.
Baca Juga:
Literasi vs Inklusi: Dua Sisi Mata Uang yang Berbeda
Peningkatan indeks literasi keuangan Indonesia dari 65,43% menjadi 66,4% dalam setahun patut diapresiasi. Namun, pertanyaannya: apakah peningkatan 1% ini cukup signifikan? Dan yang lebih penting, apakah literasi tersebut sudah tepat sasaran? Literasi keuangan tanpa diikuti akses yang memadai bagai memiliki teori mengemudi tanpa memiliki mobil. Sebaliknya, inklusi keuangan tanpa literasi yang memadai bisa berujung pada salah penggunaan produk keuangan.
Fenomena menarik terlihat dari selisih 14,11% antara indeks inklusi keuangan (80,51%) dan literasi keuangan (66,4%). Gap ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang sudah menggunakan layanan keuangan tanpa benar-benar memahami produk yang mereka gunakan. Situasi ini berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari, terutama dalam hal pengelolaan utang dan investasi. Inisiatif seperti yang dilakukan GoPay Siap Dorong Inklusi Keuangan Pelaku UMKM menunjukkan pentingnya pendekatan holistik.
Peran Fintech dalam Menjembatani Kesenjangan
Di sinilah platform fintech seperti Rupiah Cepat memainkan peran krusial. Dengan komitmen menyalurkan dana CSR sebesar Rp100 juta dan program literasi keuangan bagi penyandang disabilitas, mereka mencoba menjawab tantangan yang terungkap dalam data SNLIK 2025. Yang menarik, pendekatan mereka tidak hanya fokus pada aspek komersial, tapi juga membangun ekosistem yang inklusif.
Anna Maria Chosani, Direktur Utama Rupiah Cepat, menegaskan: “Rupiah Cepat percaya bahwa literasi keuangan adalah hak semua kalangan, tanpa terkecuali.” Pernyataan ini relevan dengan temuan SNLIK 2025 yang menunjukkan bahwa meski angka inklusi keuangan Indonesia meningkat, distribusinya belum merata. Program serupa juga terlihat dalam inisiatif LinkAja Ingin Tingkatkan Inklusi Keuangan yang baru saja diluncurkan.
Kolaborasi multipihak menjadi kunci. Seperti diungkapkan Yasmine Meylia, Direktur Eksekutif AFPI, sinergi antara platform fintech, asosiasi, regulator, dan komunitas sangat penting untuk memastikan tidak ada kelompok yang tertinggal. Pendekatan ini sejalan dengan semangat SNLIK 2025 yang mengukur tidak hanya angka, tapi juga kualitas inklusi keuangan.
Data SNLIK 2025 seharusnya menjadi peta jalan bagi semua pemangku kepentingan. Peningkatan indeks inklusi keuangan ke 80,51% adalah kabar baik, tapi pekerjaan rumah kita masih banyak. Terutama dalam memastikan bahwa pertumbuhan ini dinikmati secara merata oleh semua kelompok masyarakat, termasuk penyandang disabilitas yang masih tertinggal. Literasi keuangan yang meningkat menjadi 66,4% harus diikuti dengan akses yang setara, sehingga tidak ada lagi warga negara yang terpinggirkan dalam sistem keuangan nasional.