Telset.id, Jakarta – Praktik kecurangan tidak hanya dilakukan oleh para penjahat ataupun koruptor terhadap keuangan negara. Tapi sudah menjadi budaya di berbagai bidang, termasuk di industri jasa transportasi online, seperti ojek online.
Dalam diskusi yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF) dan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Rabu (06/06/2018), pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira mengungkapkan bahwa modus kecurangan pada ojek online antara lain melakukan order fiktif dan penggunaan aplikasi Fake GPS oleh segelintir mitra pengemudi.
Menurutnya, praktik kecurangan tersebut bisa menimbulkan kerugian hingga miliaran rupiah terhadap industrinya.
“Kami sudah melakukan survei mengenai ojek online bulan lalu. Setelah dihitung, jumlah kerugiannya bisa mencapai miliaran rupiah karena dalam seminggu driver mendapat 2-3 kali order fiktif,” ujar Bhima.
Selain itu, gara-gara penggunaan Fake GPS pun pengguna jasa ojek online dapat dirugikan, sebab mereka harus menunggu lama untuk mendapatkan tumpangan.
Alhasil, aksi kecurangan inipun dapat merusak pasar, karena konsumen merasa telah kehilangan banyak waktunya untuk menunggu jemputan yang tak kunjung datang.
Lanjut Bhima, sampai saat ini masih belum ada upaya konkrit dari penyedia jasa layanan transportasi online untuk mengatasi masalah order fiktif maupun penggunaan aplikasi Fake GPS. Sehingga ia menduga ada oknum tertentu yang memanfaatkan situasi tersebut.
Di kesempatan yang sama, Presidium MTI, Muslih Zaenal Asikin menjelaskan bahwa munculnya praktik order fiktif disebabkan oleh persaingan mendapatkan order atau penumpang yang semakin ketat. Karenanya, aparat penegak hukum diminta untuk menindak para pelaku praktik kecurangan, untuk menekan tindakan tersebut.
Baca juga: Tak Ada Lagi “Fake GPS” di Snapdragon 845
Selain itu, institusi terkait juga diharapkan melakukan kampanye dan penyadaran hukum kepada para mitra pengemudi bahwa modus order fiktif dan penggunaan Fake GPS atau “Tuyul” adalah tindakan melawan hukum yang memiliki konsukuensi hukum.
“Order fiktif dan “Tuyul” itu masuk dalam kategori penyakit masyarakat, masuk dalam kategori pencurian dan penipuan. Kondisinya saat ini sudah masuk kategori darurat,” kata Muslih.
“Untuk itu perlu sinergi berbagai pihak dalam memberantas para sindikat tersebut. Karena mereka itu, diindikasikan tidak hanya dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh jaringan sindikat,” lanjutnya.
Sementara itu, pengamat keamanan siber, Pratama Persada juga menganggap perusahaan dan juga aparat penegak hukum perlu melakukan sosialisasi yang masif untuk membuat gerakan melawan praktik kecurangan.
Ia juga memberikan solusi untuk menanggulanginya, yakni menerapkan penggunaan sertifikat digital untuk aplikasi ojek online.
Dengan adanya sertifikat digital ini, maka proses otentifikasi serta otorisasi dipastikan semakin kuat, supaya transaksi elektronik termasuk penggunaan aplikasi transportasi online dan sejenisnya semakin aman dan terpercaya.
Baca juga: 3 Ponsel yang Cocok untuk Driver Ojek Online
“Saat ini memang penggunaan sertifikat digital dalam kepentingan e-commerce belum mempunyai tata perundangan dan tata kelola yang matang, namun demikian sudah terlihat upaya dari pemerintah untuk menerapkan sertifikat digital dalam transaksi elektronik,” tandas Pratama.
Selain sertifikat digital, pemerintah juga didorong untuk merumuskan Undang-undang (UU) Perlindungan Data Pribadi agar setiap perusahaan dan instansi yang menyimpan dan memproses data penduduk wajib menyediakan sistem yang unggul dan aman. (WA/FHP)