Beranda blog Halaman 95

iPhone 17 Diperkirakan Rilis di Indonesia 17 Oktober, Jadi Rekor Tercepat!

0

Telset.id – Bayangkan ini: iPhone 17 series, yang baru saja diperkenalkan Apple secara global pada 10 September, sudah bisa Anda pegang di Indonesia pada 17 Oktober 2025. Sebuah kecepatan yang hampir mustahil untuk standar sebelumnya, bukan? Bocoran terbaru ini, jika terbukti benar, akan memecahkan rekor sebagai periode tercepat iPhone masuk ke pasar Indonesia pasca-rilis global.

Lalu, siapa yang berani menyampaikan prediksi berani ini? Bagus Hernawan, seorang Apple Enthusiast yang aktif di platform X, menjadi sumber utamanya. Pada Senin (29/9), ia dengan percaya diri menulis, “Sepertinya tahun ini jadi rekor iPhone masuk paling cepat! iPhone 17 series. 17 Oktober 2025. Pre-order 10 Oktober.” Pernyataan ini langsung memicu gelombang antusiasme di kalangan penggemar Apple Tanah Air. Sebagai perbandingan, iPhone 16 perlu menunggu hingga April untuk tiba di sini, jeda waktu yang terasa cukup signifikan.

Namun, di balik euforia tersebut, ada proses birokrasi yang telah dilalui. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ternyata telah mengantisipasi kedatangan ponsel flagship ini. Kepala Pusat Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) Kemenperin, Heru Kustanto, bahkan sebelumnya memperkirakan iPhone 17 akan masuk pada awal Oktober. “Iya, awal Oktober harusnya sudah beres insya Allah. Paling lama, ya, dua minggu dari sekarang,” ujarnya pada Kamis (11/9). Pernyataan ini disampaikan saat proses sertifikasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk iPhone 17 sedang dalam tinjauan. Dan kini, proses itu telah rampung. Pada Kamis, 11 September 2025, Kemenperin resmi menerbitkan 4 Sertifikat TKDN untuk produk iPhone 17 dari PT Apple Indonesia, masing-masing dengan nilai TKDN 40 persen.

Dokumen sertifikasi itu juga mengungkap sedikit teka-teki model yang akan datang. Terdapat empat kode model: A3523, A3526, A3520, dan A3517. Model A3523 dan A3526 diidentifikasi sebagai iPhone 17 Pro dan iPhone 17 Pro Max, sementara A3520 merujuk pada model dasar iPhone 17. Yang menarik adalah kode A3517, yang dikonfirmasi merujuk pada varian baru bernama iPhone Air, menggantikan posisi seri Plus. Kehadiran iPhone Air ini menandakan penyegaran dalam lini produk Apple.

Spesifikasi dan Kekuatan di Balik Layar

Lalu, apa yang membuat iPhone 17 series begitu dinanti? Jawabannya terletak pada jantungnya, chip A19. Dibangun dengan fabrikasi 3nm generasi ketiga, chip ini bukan sekadar peningkatan inkremental. Apple mengklaim chip A19 menawarkan performa CPU 1,5 kali lebih cepat dan GPU 2 kali lebih cepat dibandingkan pendahulunya, A15 Bionic. Sebuah lompatan yang signifikan untuk menangani aplikasi berat dan game masa kini. Lebih dari itu, chip ini dilengkapi dengan akselerator Neural di setiap inti GPU, yang memungkinkan pemrosesan AI generatif langsung di perangkat. Fitur ini membuka pintu untuk pengalaman yang lebih personal dan responsif.

Untuk varian Pro dan Pro Max, Apple tidak tanggung-tanggung. Mereka dibekali dengan chip A19 Pro yang lebih gahar, sistem tiga kamera yang masing-masing beresolusi 48 MP, serta fitur video profesional seperti ProRes RAW dan Apple Log 2. Bagi Anda kreator konten, fitur ini ibarat memiliki studio produksi di saku celana. Belum lagi kabar bahwa Apple bakal membekali iPhone 17 series dengan layar 120Hz, yang menjanjikan pengalaman scroll dan gaming yang lebih smooth. Ditambah dengan sistem pendingin baru di iPhone 17 series, performa puncak dapat dipertahankan lebih lama tanpa khawatir overheating.

Kisaran Harga: Siapkan Kantong Lebih Dalam?

Bagus Hernawan juga memberikan gambaran mengenai banderol harga untuk pasar Indonesia. Menurutnya, seri iPhone terbaru akan dibanderol mulai Rp17 jutaan untuk varian termurah dan bisa melambung hingga Rp42 jutaan untuk varian termahal. Angka ini tentu menjadi pertimbangan penting bagi calon pembeli. Sebagai perbandingan, harga global iPhone 17 series untuk varian terendah adalah US$799 (sekitar Rp13,1 juta) dan varian tertinggi US$1.999 (sekitar Rp32,89 juta).

Jika bocoran harga Indonesia ini akurat, maka terdapat selisih yang cukup mencolok dengan harga global, terutama untuk model entry-level. Fenomena semacam ini bukanlah hal baru. Pada era iPhone 15, misalnya, selisih harga antara banderol global dan Indonesia bisa mencapai Rp4 jutaan. Faktor bea masuk, pajak, dan komitmen TKDN diduga menjadi penyumbang utama perbedaan ini. Meski demikian, bagi para kolektor dan penggemar setia, aksesori seperti case aramid fiber tipis dari Raptic mungkin sudah menanti untuk melengkapi iPhone 17 mereka.

CNNIndonesia.com telah berusaha mengonfirmasi kebenaran rumor tanggal rilis dan harga ini langsung kepada pihak Apple, namun belum mendapatkan tanggapan hingga berita ini ditulis. Ini adalah hal yang wajar, mengingat Apple terkenal sangat tertutup mengenai rencana pemasarannya di tingkat regional sebelum pengumuman resmi.

Jadi, apakah Anda termasuk yang sudah menandai kalender untuk tanggal 17 Oktober? Dengan sertifikasi TKDN yang sudah keluar dan pernyataan optimis dari Kemenperin, semua sinyal mengarah pada kemungkinan besar bocoran ini benar adanya. Jika iya, ini adalah kabar gembira yang menandakan perubahan strategi distribusi Apple di Indonesia, mendekatkan produk terbarunya lebih cepat kepada konsumen setianya. Tinggal menunggu pengumuman resmi dari Apple Indonesia untuk memastikan semua spekulasi ini. Siap-siap berebut di hari pre-order?

Cara Batalkan Game Pass Ultimate Setelah Kenaikan Harga 50%

0

Telset.id – Jika Anda termasuk penggemar Xbox yang kaget dengan lonjakan harga Game Pass Ultimate, Anda tidak sendirian. Keputusan Microsoft menaikkan harga langganan dari $20 menjadi $30 per bulan—atau setara kenaikan 50%—memang cukup membuat mata berkedip. Padahal, belum lama ini harga konsol Xbox Series X juga sudah dinaikkan, membuat banyak gamer berpikir ulang tentang komitmen mereka terhadap ekosistem Microsoft.

Lonjakan harga ini terjadi di tengah persaingan ketat di industri gaming, di mana alternatif seperti Asus ROG Ally menawarkan pengalaman gaming portabel yang semakin menarik. Meskipun Microsoft memberikan tambahan benefit termasuk keanggotaan Fortnite Crew, bagi banyak pengguna, kenaikan $10 per bulan terasa terlalu signifikan—terutama di tengah tekanan ekonomi global yang belum sepenuhnya stabil.

Pertanyaannya: apakah Anda harus membatalkan langganan sepenuhnya, atau cukup menurunkan tier ke opsi yang lebih terjangkau? Keputusan ini tidak sederhana, karena membatalkan Game Pass Ultimate berarti kehilangan akses ke multiplayer online, salah satu fitur inti bagi komunitas gaming. Namun, dengan tersedianya tier Game Pass Premium ($15/bulan) dan Game Pass Essential ($10/bulan) yang tidak mengalami kenaikan harga serupa, downgrade bisa menjadi solusi kompromi yang masuk akal.

Langkah Demi Langkah Membatalkan Game Pass Ultimate

Proses pembatalan Game Pass Ultimate sebenarnya cukup sederhana, asalkan Anda ingat informasi login Microsoft account. Berbeda dengan pengaturan pada konsol Xbox, manajemen langganan harus dilakukan melalui browser web—baik di komputer maupun perangkat mobile.

Pertama, akses akun Microsoft Anda dengan mengklik ikon profil di pojok kanan atas situs Microsoft, atau langsung menuju ke account.microsoft.com. Setelah login, navigasi ke tab “Subscriptions” di sidebar kiri. Di bagian Game Pass, klik “Manage” dan kemudian pilih opsi “Cancel subscription” yang biasanya berada di posisi terbawah menu.

Menu yang ditampilkan Microsoft saat Anda mencoba membatalkan langganan Game Pass

Yang menarik, Microsoft seringkali menawarkan opsi refund parsial tergantung waktu langganan dan tanggal penagihan berikutnya. Jika Anda memilih untuk berhenti segera daripada menunggu akhir periode penagihan, mungkin ada sebagian dana yang dikembalikan—meskipun kebijakan ini bisa bervariasi tergantung region dan metode pembayaran.

Setelah konfirmasi, langganan Anda akan segera dihentikan. Namun ingat, begitu membatalkan, akses ke seluruh library Game Pass dan fitur multiplayer online akan hilang. Bagi yang mengandalkan Xbox untuk gaming sosial, ini adalah pertimbangan serius yang tidak bisa dianggap enteng.

Alternatif Cerdas: Downgrade ke Tier Lebih Rendah

Bagi yang tidak ingin kehilangan akses sepenuhnya tetapi tetap ingin menghemat pengeluaran, downgrade ke tier lebih rendah adalah solusi yang patut dipertimbangkan. Prosesnya hampir mirip dengan pembatalan, hanya saja Anda memilih opsi “Change subscription plan” daripada “Cancel subscription”.

Menu untuk mengganti langganan yang ditampilkan Microsoft saat Anda mencoba mengelola langganan Game Pass

Game Pass Premium dengan harga $15 per bulan masih menawarkan akses ke library game yang luas, sementara Game Pass Essential di $10 per bulan memberikan benefit multiplayer online tanpa akses ke katalog game tambahan. Pilihan ini menjadi semakin relevan mengingat rencana Microsoft mengembangkan Xbox handheld yang kemungkinan akan terintegrasi dengan ekosistem Game Pass.

Setelah memilih tier baru, Microsoft akan meminta konfirmasi dan mungkin memverifikasi metode pembayaran. Klik “Subscribe” dan perubahan akan langsung berlaku. Transisi biasanya mulus tanpa gangguan layanan, meskipun beberapa fitur premium tentu saja tidak akan tersedia di tier yang lebih rendah.

Strategi downgrade ini terutama menarik bagi mereka yang masih ingin tetap terhubung dengan komunitas gaming Xbox namun dengan budget lebih terbatas. Dalam konteks yang lebih luas, ini mencerminkan bagaimana Microsoft berusaha menyeimbangkan antara tekanan bisnis dan loyalitas konsumen di tengah persaingan dengan platform seperti Meta Quest.

Keputusan akhir tentu kembali kepada preferensi dan kebutuhan masing-masing gamer. Yang jelas, dalam era di mana pilihan gaming semakin beragam—dari cloud gaming hingga VR—konsumen sekarang memiliki leverage lebih besar dalam menentukan nilai dari setiap dolar yang mereka keluarkan untuk hiburan digital.

Mirip Transaksi Motor Second, Komdigi Wacanakan Balik Nama HP Bekas

0

Telset.id – Bayangkan Anda membeli smartphone bekas dengan proses serupa membeli sepeda motor second: ada surat kepemilikan, proses balik nama, dan kepastian hukum yang jelas. Itulah wacana revolusioner yang sedang digodok Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengubah lanskap perdagangan ponsel bekas di Indonesia.

Dalam diskusi publik yang digelar Institut Teknologi Bandung pekan lalu, Komdigi secara resmi mengungkap rencana penerapan sistem balik nama untuk transaksi jual beli HP bekas. Gagasan ini bukan sekadar wacana kosong, melainkan bagian integral dari skema besar perlindungan konsumen digital melalui mekanisme pemblokiran IMEI perangkat curian. Lantas, bagaimana sistem ini akan bekerja di dunia nyata?

Adis Alifiawan, Direktur Penataan Spektrum Frekuensi Radio, Orbit Satelit, dan Standarisasi Infrastruktur Digital Komdigi, dengan tegas menyatakan bahwa konsep ini bertujuan menciptakan ekosistem yang lebih aman. “Hp second itu kita harapkan nanti juga jelas, seperti kita jual beli motor, ada balik namanya, ada identitasnya,” ujarnya dalam paparan yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi ITB.

Pernyataan ini bukan datang tiba-tiba. Komdigi telah lama mempelajari pola penyalahgunaan identitas dalam transaksi ponsel bekas, dimana perangkat hasil curian sering kali beredar bebas tanpa jejak yang jelas. Sistem balik nama diharapkan menjadi solusi tepat untuk memutus mata rantai ini sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi pembeli dan penjual.

Mekanisme Kerja: Dari Pemilik Lama ke Pemilik Baru

Bagaimana sebenarnya sistem balik nama untuk HP bekas ini akan diimplementasikan? Adis menjelaskan bahwa mekanisme ini akan terintegrasi dengan sistem pemblokiran IMEI yang sedang dikembangkan. Ketika sebuah ponsel berpindah tangan secara sah melalui transaksi jual beli, pemilik lama cukup menghentikan atau melakukan unregister terhadap layanan blokir yang sebelumnya aktif pada perangkat tersebut.

Proses ini membuka jalan bagi pemilik baru untuk melakukan registrasi ulang dengan data identitasnya sendiri. “Hp ini beralih dari atas nama A menjadi nama B, agar menghindari penyalahgunaan identitas,” tegas Adis. Sistem ini pada dasarnya menciptakan siklus kepemilikan yang terdokumentasi dengan baik, mirip dengan proses balik nama pada kendaraan bermotor.

Yang menarik, layanan pemblokiran IMEI ini bersifat opsional – tidak diwajibkan untuk semua pengguna ponsel. Pemilik perangkat dapat mendaftarkan perangkatnya secara online, kemudian sistem akan melakukan verifikasi data. Jika validasi berhasil, ponsel tersebut terdaftar dalam sistem blokir IMEI untuk ponsel hilang dan dicuri.

Lindungi Konsumen, Hentikan Peredaran HP Ilegal

Prinsip dasar yang diusung Komdigi dalam wacana ini cukup jelas: memberikan kepastian bahwa perangkat legal tetap dapat digunakan, sementara perangkat hasil tindak pidana dapat dicegah peredarannya. Pendekatan ini sejalan dengan upaya penegakan hukum terhadap peredaran ponsel ilegal yang marak terjadi belakangan ini.

Masalah ponsel ilegal bukan isu sepele. Seperti yang pernah diungkap dalam laporan Telset sebelumnya, ribuan unit ponsel palsu berhasil disita dari pabrik ilegal. Sistem balik nama dan pemblokiran IMEI diharapkan dapat menjadi tameng efektif melawan praktik semacam ini.

Bagi Anda yang aktif bertransaksi di platform jual beli online, sistem ini juga akan memberikan rasa aman tambahan. Seperti halnya ketika Anda menggunakan aplikasi jual beli barang bekas terbaik, adanya mekanisme verifikasi kepemilikan akan meminimalisasi risiko penipuan.

Implementasi Bertahap dan Uji Coba Terbatas

Meski konsepnya sudah jelas, Adis menegaskan bahwa layanan blokir IMEI ponsel hilang atau dicuri ini masih dalam tahap kajian dan penyempurnaan. Proses pengembangan melibatkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, asosiasi, dan tentu saja konsumen.

Implementasi nantinya akan dilakukan secara bertahap setelah regulasi ditetapkan dan mekanisme teknis dipastikan telah matang. Komdigi juga berencana melakukan uji coba terbatas terlebih dahulu untuk meminimalkan potensi risiko yang dapat merugikan masyarakat sebagai konsumen pengguna ponsel.

Pendekatan hati-hati ini patut diapresiasi. Mengingat kompleksitas ekosistem ponsel di Indonesia dengan ratusan juta pengguna, perubahan sistem yang terburu-buru justru dapat menimbulkan masalah baru. Proses transisi perlu dikelola dengan cermat, mirip dengan evolusi sistem yang terjadi di industri otomotif bekas Indonesia.

Wacana balik nama HP bekas ini bukan sekadar gebrakan administratif belaka. Ini adalah langkah visioner menuju ekosistem digital yang lebih tertib, transparan, dan aman bagi semua pihak. Ketika sistem ini akhirnya diimplementasikan, membeli ponsel bekas tak lagi seperti membeli kucing dalam karung, melainkan transaksi yang memiliki dasar hukum yang jelas dan perlindungan nyata bagi konsumen.

OpenAI Geser SpaceX Jadi Startup Paling Berharga di Dunia

Telset.id – Dunia startup baru saja menyaksikan pergeseran kekuatan yang dramatis. OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT yang fenomenal, resmi mengambil mahkota sebagai startup dan perusahaan swasta paling berharga di dunia. Nilainya melonjak ke level yang sulit dibayangkan: $500 miliar. Bayangkan, itu setara dengan setengah triliun dolar! Pencapaian ini menggeser SpaceX milik Elon Musk yang sebelumnya memegang rekor dengan valuasi $400 miliar.

Bagaimana mungkin perusahaan yang fokus pada kecerdasan buatan ini bisa tumbuh begitu cepat? Rahasianya terletak pada penjualan saham sekunder yang baru-baru ini dilakukan. Menurut laporan eksklusif Bloomberg, OpenAI mengizinkan mantan dan karyawan saat ini untuk menjual saham mereka. Awalnya, perusahaan membuka penawaran senilai $10,3 miliar, namun pada akhirnya terjual $6,6 miliar kepada investor-investor kelas kakap. Siapa saja mereka? Softbank, dana MGX milik pemerintah Abu Dhabi, firma investasi Amerika Thrive Capital, dan raksasa manajemen investasi global T. Rowe Price.

Transaksi inilah yang mendongkrak valuasi OpenAI dari $300 miliar menjadi $500 miliar secara resmi. Tidak hanya mengungguli SpaceX, OpenAI juga meninggalkan jauh ByteDance, pengembang TikTok yang bernilai $220 miliar. Sebuah pencapaian yang membuktikan betapa panasnya pasar AI saat ini.

Transformasi Menuju Struktur Baru

Di balik kesuksesan finansial ini, OpenAI sedang menjalani transformasi fundamental. Pada awal September, perusahaan mengumumkan sedang mempersiapkan transisi ke struktur baru: Public Benefit Corporation (PBC) yang akan dikendalikan oleh lengan nirlabanya. Ini bukan sekadar perubahan administratif biasa, melainkan pergeseran filosofis yang menuai kontroversi.

Yang menarik, divisi nirlaba OpenAI menerima saham senilai lebih dari $100 miliar, menjadikannya pemegang saham utama di PBC baru. Keputusan ini menunjukkan komitmen untuk tetap mempertahankan misi awal meski struktur perusahaannya berubah. Namun, apakah perubahan ini benar-benar bisa mempertahankan idealisme awal perusahaan?

OpenAI berharap status sebagai PBC akan membuatnya lebih menarik bagi investor, karena menghilangkan batasan atas pengembalian finansial yang bisa mereka dapatkan. Dan mereka memang membutuhkan banyak uang. Sam Altman, CEO OpenAI, sebelumnya mengungkapkan rencana ambisius untuk menghabiskan triliunan dolar membangun pusat data guna menjalankan layanan AI. Angka yang membuat siapapun tercengang!

Elon Musk dan Kritik Pedas

Ironisnya, salah satu kritik terkeras justru datang dari salah satu pendiri OpenAI sendiri: Elon Musk. CEO SpaceX ini sedang berusaha memblokir transisi OpenAI ke perusahaan profit melalui jalur pengadilan. Musk, yang pernah mendanai operasional awal OpenAI, merasa dikhianati.

Dalam gugatannya, Musk menuduh OpenAI dan Altman melanggar kontrak dengannya dan menyimpang dari misi pendirian perusahaan: membangun AI “untuk manfaat umat manusia”. Sebuah tuduhan yang cukup berat, mengingat Musk sendiri dikenal sebagai visioner di bidang teknologi. Perseteruan ini seperti cerita sinetron bisnis teknologi, namun dengan taruhan yang jauh lebih tinggi.

Yang menarik, SpaceX di bawah kendali Musk justru menjadi korban dari kesuksesan OpenAI. Perusahaan antariksa yang dikenal inovatif ini harus rela menyerahkan tahta setelah bertahun-tahun menjadi yang terdepan. Sebuah pembalikan nasib yang dramatis dalam ekosistem startup global.

Masa Depan yang Penuh Tantangan

Dengan valuasi $500 miliar, tekanan pada OpenAI semakin besar. Investor tentu mengharapkan return yang sepadan dengan investasi mereka. Namun, jalan menuju kesuksesan komersial penuh dengan tantangan. Teknologi AI masih menghadapi berbagai masalah mendasar, termasuk yang diungkap dalam riset OpenAI tentang penyebab AI berhalusinasi.

Pertanyaannya sekarang: apakah struktur PBC benar-benar bisa menjaga keseimbangan antara keuntungan finansial dan misi kemanusiaan? Ataukah ini hanya langkah strategis untuk menarik lebih banyak modal? Dunia sedang menunggu jawabannya.

Yang pasti, lompatan valuasi OpenAI ini menandai era baru dalam industri teknologi. AI bukan lagi sekadar tren, melainkan kekuatan ekonomi yang mampu menggeser raksasa-raksasa sebelumnya. Dan kita semua adalah saksi dari perubahan besar ini. Bagaimana menurut Anda, apakah OpenAI bisa mempertahankan posisinya atau akan ada startup lain yang siap merebut mahkota?

OPPO A5i Pro 5G Eksklusif di Shopee: Tangguh & Baterai 6000mAh

0

Telset.id – Bayangkan sebuah smartphone yang bisa menemani Anda bertualang di tengah hujan, bersepeda melewati jalan berdebu, dan tetap bertahan dari pagi hingga larut malam tanpa perlu repot mencari colokan listrik. Itulah janji yang dibawa OPPO A5i Pro 5G, perangkat terbaru seri #JagonyaBertahan yang baru saja meluncur eksklusif di Shopee. Dengan harga spesial Rp2.999.000 selama periode 3–9 Oktober 2025, smartphone ini bukan sekadar gadget biasa, melainkan partner setia untuk gaya hidup dinamis generasi muda.

Lalu, apa yang membuat OPPO A5i Pro 5G layak menjadi perhatian? Di pasar yang dipenuhi pilihan smartphone dengan klaim serupa, perangkat ini hadir dengan proposisi jelas: ketangguhan tingkat militer dipadukan dengan baterai raksasa 6000mAh. Kombinasi ini jarang ditemukan di segmen harganya. Apalagi dengan tambahan gratis Baseus E16 TWS Earphone dan cicilan 0% hingga 6 bulan, nilai tambahnya semakin sulit diabaikan. Bagi Anda yang aktif mobilitasnya, fitur-fitur ini bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan primer.

Ketika smartphone lain fokus pada kamera atau desain tipis, OPPO justru memilih pendekatan berbeda dengan mengedepankan daya tahan. Dalam dunia di mana ponsel sering menjadi korban kecelakaan kecil atau paparan elemen, ketangguhan fisik menjadi aset berharga. OPPO A5i Pro 5G seolah menjawab kegelisahan banyak pengguna yang menginginkan perangkat tak hanya cantik, tetapi juga sanggup menghadapi realitas penggunaan sehari-hari yang keras.

Ketangguhan Kelas Militer untuk Hidup Tanpa Batas

OPPO A5i Pro 5G bukan sekadar smartphone biasa. Perangkat ini dibekali material pelindung kelas flagship dengan standar militer dan sertifikasi IP65. Apa artinya bagi Anda? Smartphone ini tahan terhadap semprotan air dan paparan debu halus. Bayangkan ketika Anda harus berangkat kerja dengan ojek online di tengah hujan gerimis, atau bersepeda ke kampus melewati jalan berdebu. Dengan OPPO A5i Pro 5G, kekhawatiran perangkat cepat rusak bisa Anda tinggalkan.

Content image for article: OPPO A5i Pro 5G Eksklusif di Shopee: Tangguh & Baterai 6000mAh

Ketangguhan fisik ini menjadi pembeda signifikan dibandingkan smartphone lain di kelasnya. Sementara banyak produsen fokus pada estetika semata, OPPO memahami bahwa bagi pengguna aktif, ketahanan terhadap elemen sama pentingnya dengan spesifikasi teknis. Pendekatan ini mengingatkan kita pada filosofi behind OPPO A5i Pro yang sebelumnya telah dirilis dengan fokus serupa pada daya tahan.

Baterai 6000mAh: Daya Tahan Seharian Tanpa Kompromi

Dengan baterai berkapasitas 6000mAh, OPPO A5i Pro 5G memastikan Anda tetap terhubung dari pagi hingga malam tanpa perlu khawatir kehabisan daya. Mulai dari navigasi menuju lokasi meeting, menerima panggilan kerja, memotret produk di kafe, hingga hiburan di perjalanan pulang – semuanya bisa dilakukan tanpa repot mencari stopkontak. Dan ketika waktunya mengisi ulang, teknologi 45W SUPERVOOC Flash Charge memastikan pengisian daya berlangsung cepat dan efisien.

Yang lebih mengesankan, Battery Health Engine menjaga performa baterai tetap optimal bahkan setelah lebih dari 1.700 kali siklus pengisian daya – setara dengan pemakaian selama lima tahun. Ini berarti investasi Anda dalam OPPO A5i Pro 5G akan terbayar dalam jangka panjang. Tren baterai besar ini juga terlihat pada POCO C85 yang akan rilis dengan baterai 6000mAh dan vivo Y400 untuk mahasiswa dengan baterai serupa, menunjukkan bahwa kebutuhan akan daya tahan baterai menjadi prioritas utama konsumen saat ini.

Layar 120Hz dan Performa MediaTek Dimensity 6300

Layar dengan refresh rate 120Hz membuat setiap gerakan terlihat mulus, baik saat scrolling media sosial, menonton film, maupun bermain game ringan. Kecerahannya yang tinggi memastikan tampilan tetap jelas meski di bawah sinar matahari langsung. Dengan begitu, Anda bisa dengan nyaman menonton serial favorit saat menunggu kereta atau scrolling TikTok tanpa terasa lag atau cepat lelah di mata.

Ditenagai chipset MediaTek Dimensity 6300 yang mendukung jaringan 5G, OPPO A5i Pro 5G menghadirkan pengalaman konektivitas yang lebih lancar dan stabil. Kombinasi RAM 8GB dan penyimpanan internal 256GB memberikan keleluasaan multitasking yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Anda bisa mengunduh file kuliah atau presentasi kantor dalam hitungan detik sambil tetap membuka aplikasi chat dan musik secara bersamaan tanpa hambatan.

Yang patut dicatat, OPPO A5i Pro 5G telah lolos uji kelancaran selama 36 bulan. Artinya, Anda bisa menikmati performa yang tetap mulus dan stabil hingga tiga tahun pemakaian tanpa khawatir perangkat menjadi lambat seiring waktu. Janji ketahanan performa ini menjadi nilai tambah yang sering diabaikan produsen smartphone lainnya.

Desain Stylish yang Tak Kalah dengan Flagship

Meski tangguh, OPPO A5i Pro 5G tetap tampil modern dan ringan dengan ketebalan hanya 8,12 mm dan bobot 194 gram. Dua pilihan warna baru Biru dan Ungu menghadirkan kesan fresh yang sesuai gaya anak muda masa kini. Perangkat ini cocok menjadi pelengkap outfit saat nongkrong di kafe, meeting santai, atau traveling karena tampilannya tetap keren di mana saja.

Desain yang tipis dan ringan ini menunjukkan bahwa OPPO berhasil menyeimbangkan antara ketangguhan dan estetika. Pendekatan serupa juga bisa kita lihat pada Realme C73 yang resmi dirilis dengan desain tipis meski memiliki baterai 6000mAh, membuktikan bahwa baterai besar tidak harus berarti desain yang tebal dan kurang elegan.

Dengan kombinasi ketangguhan, baterai awet, layar mulus, serta konektivitas 5G, OPPO A5i Pro 5G menjadi pilihan tepat bagi konsumen di rentang harga terjangkau yang menginginkan smartphone serbaguna untuk aktivitas sehari-hari. Promo eksklusif di Shopee periode 3–9 Oktober 2025 dengan harga Rp2.999.000 (dari normal Rp3.299.000) plus gratis TWS dan cicilan 0% membuatnya semakin sulit untuk ditolak. Bagi Anda yang mencari smartphone tangguh dengan baterai tahan lama, OPPO A5i Pro 5G layak menjadi pertimbangan utama.

Apple Geser Fokus ke Kacamata Pintar, Vision Pro Ditunda?

0

Telset.id – Apa yang terjadi jika raksasa teknologi terbesar dunia tiba-tiba mengubah haluan strategisnya? Bocoran terbaru dari Bloomberg mengindikasikan Apple sedang melakukan manuver dramatis: menggeser prioritas dari headset Vision Pro yang mahal menuju kacamata pintar yang lebih terjangkau dan langsung bersaing dengan Meta Ray-Bans. Ini bukan sekadar rumor biasa, melainkan laporan langsung dari Mark Gurman yang terkenal akurat mengenai rahasia dapur Apple.

Bayangkan Anda sebagai engineer di Apple yang tiba-tiba dipindahkan dari proyek Vision Pro menuju pengembangan perangkat wearable baru. Itulah yang terjadi pekan lalu menurut laporan tersebut. Perusahaan secara resmi memindahkan staf dari pengembangan versi lebih murah dan ringan dari Vision Pro untuk mempercepat roadmap kacamata pintar mereka. Langkah ini jelas sinyal kuat: Apple serius ingin merebut pasar yang saat ini didominasi Meta.

Yang menarik, Apple ternyata mengembangkan dua model kacamata pintar secara paralel. Model pertama, dengan kode “N50”, bahkan tidak memiliki display sendiri dan akan berpasangan dengan iPhone. Bayangkan seperti AirPods dalam bentuk kacamata – perangkat yang mengandalkan sepenuhnya pada konektivitas dengan smartphone Anda. Menurut timeline yang beredar, model ini rencananya diluncurkan tahun depan dengan availability luas pada 2027.

Tapi itu baru permulaan. Model kedua jauh lebih ambisius: kacamata pintar dengan display augmented reality yang dirancang khusus untuk menyaingi Meta Ray-Ban Display. Awalnya dijadwalkan 2028, namun Apple sekarang berusaha mempercepat pengembangannya. Mengapa terburu-buru? Jawabannya sederhana: mereka sadar sudah tertinggal jauh dari Meta di arena ini.

Pertanyaannya, bagaimana cara Apple mengejar ketertinggalan ini? Kuncinya ada pada integrasi AI dan voice interaction. Seperti halnya Meta, perangkat Apple akan sangat mengandalkan perintah suara dan AI. Kabarnya, Apple sedang mempersiapkan Siri generasi baru yang ditenagai large language models untuk debut tahun depan – teknologi yang dirancang khusus untuk display, speaker, dan tentu saja kacamata pintar.

Desain menjadi faktor kritis lain. Apple memahami bahwa kacamata pintar harus fashionable, bukan sekadar gadget. Laporan menyebutkan perangkat ini akan hadir dalam berbagai gaya, didukung chip baru khusus, dilengkapi speaker untuk playback, serta kamera untuk menangkap foto dan video. Bahkan kabarnya ada fitur health-tracking capabilities – sesuatu yang sangat Apple banget, bukan?

Ini sebenarnya bukan kejutan total bagi yang mengikuti perkembangan Apple. Sudah lama beredar wacana bahwa tujuan akhir Apple adalah meluncurkan kacamata augmented reality sendiri, perangkat yang suatu hari nanti bisa menyaingi smartphone. Yang berubah hanyalah timeline-nya. Dengan Vision Pro yang harganya $3,499 terbukti terlalu niche, wajar jika Apple mencari alternatif yang lebih massal.

Jangan salah sangka dulu. Perubahan prioritas ini tidak berarti Apple meninggalkan Vision Pro sepenuhnya. Dokumen FCC baru-baru ini masih menyebutkan “Head Mounted Device” terbaru dari Apple, meski belum jelas apakah ini versi lebih ringan dan murah yang sempat digosipkan. Tapi yang pasti, fokus utama sekarang ada di kacamata pintar.

Lalu bagaimana dengan teknologi display-nya? Kabar sebelumnya menyebut Apple mungkin menggunakan layar dari Sony, bukan Samsung. Pilihan yang menarik mengingat track record Sony di bidang micro-display. Bahkan ada teknologi yang memancarkan gambar langsung ke pupil – pendekatan yang bisa memberikan pengalaman AR lebih imersif.

Yang tak kalah penting adalah dukungan software. Apple dikabarkan sedang fokus mengembangkan VisionOS untuk kacamata pintar, mengindikasikan ekosistem yang terintegrasi antara berbagai produk wearable mereka. Ini strategi khas Apple: membangun ecosystem yang sulit ditandingi kompetitor.

Jadi, apa artinya semua ini bagi kita sebagai konsumen? Pertama, persaingan di pasar kacamata pintar akan memanas. Kedua, kita mungkin akan melihat inovasi lebih cepat dalam teknologi wearable. Ketiga, harga mungkin akan lebih terjangkau dibanding Vision Pro. Dan yang paling penting: era di mana kacamata pintar menjadi mainstream mungkin lebih dekat dari yang kita kira.

Apple selalu dikenal sebagai perusahaan yang sabar menunggu momentum tepat sebelum masuk ke pasar baru. Tapi kali ini, mereka tampaknya tidak punya luxury untuk menunggu terlalu lama. Dengan Meta sudah lebih dulu menguasai pasar, Apple harus bergerak cepat dan tepat. Perubahan strategi ini menunjukkan mereka sadar waktu terus berjalan, dan terkadang kesempataan tidak datang dua kali.

Lenovo Legion Pro 5i & 5i: Solusi Hybrid Tanpa Kompromi untuk Gamer & Kreator

0

Telset.id – Bayangkan sebuah perangkat yang mampu membawa Anda dari rapat klien yang menegangkan langsung ke medan tempur game AAA tanpa jeda. Di era di mana batas antara kerja, belajar, dan bermain kian kabur, Lenovo menjawab tantangan ini dengan dua jawara baru: Legion Pro 5i dan Legion 5i. Keduanya bukan sekadar laptop, melainkan mitra produktivitas dan hiburan yang menolak berkompromi.

Diluncurkan di Indonesia dengan harga mulai Rp31.999.000 untuk Legion Pro 5i dan Rp24.999.000 untuk Legion 5i, kedua perangkat ini hadir di tengah gaya hidup hybrid yang semakin dinamis. Apa yang membuat mereka layak menjadi perhatian? Bukan hanya spesifikasi di atas kertas, melainkan pendekatan holistik dalam memahami kebutuhan generasi modern yang menuntut fleksibilitas tanpa mengorbankan performa puncak.

Seperti yang diungkapkan Santi Nainggolan, Consumer Lead Lenovo Indonesia, filosofi di balik kedua laptop ini adalah memberikan pilihan yang tepat bagi pengguna dengan kebutuhan berbeda. Legion Pro 5i ditujukan bagi mereka yang haus akan performa maksimal, sementara Legion 5i hadir untuk menjangkau kalangan yang lebih luas tanpa mengorbankan esensi teknologi flagship. Ini adalah sebuah evolusi dari ekosistem gaming Lenovo Legion yang terus berinovasi.

Legion Pro 5i: Kekuatan Tak Terbantahkan untuk Para Elite

Bagi Anda yang bergelut di dunia kreatif atau kompetisi gaming, Legion Pro 5i adalah senjata yang Anda idamkan. Jantung dari performa beringas ini adalah prosesor Intel® Core™ Ultra HX generasi kedua. Bayangkan, dengan konfigurasi hingga 24 core, laptop ini bagaikan memiliki sebuah tim spesialis yang siap menangani segala tugas—dari rendering video 4K yang rumit hingga multitasking belasan aplikasi sekaligus. Arsitektur hibridanya memastikan bahwa tenaga yang besar tidak berarti boros daya, memberikan konsistensi performa yang jarang ditemui di kelasnya.

Content image for article: Lenovo Legion Pro 5i & 5i: Solusi Hybrid Tanpa Kompromi untuk Gamer & Kreator

Namun, kekuatan mentah saja tidak cukup. Legion Pro 5i memahami bahwa stabilitas adalah segalanya. Di sinilah teknologi pendingin Legion ColdFront generasi terbaru berperan. Sistem ini bekerja seperti sistem pendingin ruang operasi—efisien, cerdas, dan hampir tanpa suara. Dengan kipas bertekanan tinggi dan kontrol berbasis AI, suhu perangkat tetap terjaga optimal bahkan di bawah tekanan ekstrem. Hasilnya? Tidak ada lagi lag atau thermal throttling yang mengganggu momentum Anda saat sedang asyik bermain atau menyelesaikan proyek deadline.

Pengalaman visual yang ditawarkan melalui layar PureSight OLED benar-benar memukau. Dengan resolusi WQXGA (2560×1600), refresh rate 240Hz, dan kecerahan 500 nits, setiap detail—dari percikan api dalam game hingga gradasi warna saat editing foto—ditampilkan dengan presisi sempurna. Berbagai sertifikasi seperti TÜV Low Blue Light dan VESA DisplayHDR™ True Black 1000 memastikan kenyamanan mata Anda terjaga selama sesi marathon, baik untuk bekerja maupun bermain.

Legion 5i: Teknologi Flagship yang Terjangkau untuk Semua

Bagaimana jika Anda menginginkan pengalaman visual dan performa yang hampir setara dengan seri Pro, namun dengan budget yang lebih terjangkau? Legion 5i adalah jawabannya. Yang mengejutkan, laptop ini tidak melakukan kompromi signifikan dalam hal kualitas layar. Ia masih membawa panel PureSight OLED yang sama mengagumkan, dengan resolusi WQXGA dan gamut warna 100% DCI-P3. Bagi mahasiswa STEM atau profesional muda, fitur ini bukan sekadar kemewahan, melainkan kebutuhan untuk akurasi warna dalam tugas desain atau analisis data.

Ditenagai oleh prosesor Intel® Core™ Ultra 7 255HX yang dibangun dengan proses 3nm, Legion 5i menawarkan efisiensi daya yang lebih baik dibanding generasi sebelumnya. Kombinasi dengan GPU hingga NVIDIA GeForce RTX 5070 menjadikannya mitra yang andal untuk berbagai skenario—dari mengerjakan tugas kuliah, coding, hingga sesi gaming casual di akhir pekan. Sistem pendingin Legion ColdFront Hyper memastikan semua komponen ini tetap dingin dan stabil, memberikan pengalaman penggunaan yang konsisten.

Keyboard Legion TrueStrike dengan backlit RGB 24-Zone tidak hanya menawarkan estetika yang memukau, tetapi juga fungsionalitas tinggi. Dengan jarak travel key 1,6mm dan fitur anti-ghosting, setiap ketikan terasa responsif dan akurat. Ini adalah detail yang sering diabaikan, namun sangat berarti baik untuk mengetik laporan panjang maupun melakukan manuver cepat dalam game.

Lebih dari Sekadar Perangkat: Sebuah Ekosistem yang Terintegrasi

Kedua laptop ini tidak berdiri sendiri. Mereka adalah bagian dari ekosistem Lenovo yang semakin cerdas. Melalui platform Legion Space, pengguna dapat dengan mudah mengatur segala aspek perangkat—dari mode kinerja, pencahayaan RGB, hingga terhubung dengan aksesori Legion lainnya. Fitur seperti Game Coach dan Game Clip Master menghadirkan nilai tambah yang memperkaya pengalaman, baik untuk meningkatkan skill gaming maupun membuat konten.

Layanan purna jual yang ditawarkan juga patut diacungi jempol. Dengan 3 tahun Legion Ultimate Support dan 3 tahun Accidental Damage Protection, Lenovo seolah mengatakan, “Kami percaya dengan kualitas produk kami, dan kami akan mendukung Anda sepenuhnya.” Ini adalah jaminan yang langka di industri laptop gaming, dan mencerminkan komitmen Lenovo terhadap kepuasan pengguna jangka panjang. Perlindungan serupa juga pernah dihadirkan untuk lini lain, seperti pada Lenovo IdeaPad Slim 3 yang menawarkan proteksi premium 2 tahun.

Jadi, mana yang harus Anda pilih? Jika Anda adalah kreator konten profesional atau gamer kompetitif yang menuntut performa tertinggi dalam setiap kondisi, Legion Pro 5i adalah investasi yang tepat. Namun, jika Anda menginginkan keseimbangan sempurna antara performa, portabilitas, dan harga—tanpa mengorbankan pengalaman visual flagship—Legion 5i adalah pilihan yang lebih bijaksana. Keduanya membuktikan bahwa di era hybrid, Anda tidak perlu lagi memilih antara produktivitas dan kesenangan. Semuanya bisa didapatkan dalam satu perangkat andal.

Disney+ Rombak Total Antarmuka, Hulu Gantikan Star di Luar AS

0

Telset.id – Baru saja melewati badai kontroversi penangguhan Jimmy Kimmel, Disney kini bergerak cepat dengan merombak habis aplikasi Disney+. Ini bukan sekadar perubahan kosmetik, melainkan transformasi mendalam yang menyatukan Hulu secara global dan menghadirkan pengalaman personalisasi baru. Sebuah langkah strategis setelah perusahaan dilaporkan kehilangan 1,7 juta pelanggan selama saga Kimmel yang menghebohkan itu.

Bayangkan membuka aplikasi streaming favorit Anda dan langsung disambut rekomendasi yang benar-benar sesuai selera. Itulah yang Disney+ tawarkan dengan pembaruan terbarunya. “For You” kini menjadi tab andalan yang muncul pertama kali, menggantikan halaman beranda generik sebelumnya. Di balik perubahan ini, Disney juga mengaku telah menyempurnakan algoritma rekomendasinya, berharap bisa lebih jitu menebak konten apa yang ingin Anda tonton berikutnya.

Disney+ redesign

Navigasi pun menjadi lebih intuitif. Bilah navigasi horizontal baru di bagian atas layar memberikan akses cepat ke tiga konten inti: Disney+, Hulu, dan ESPN. Sementara bilah vertikal di sisi kiri yang sudah ada sebelumnya kini diperkaya dengan hub live, tempat Anda bisa menemukan siaran langsung berita, olahraga, acara khusus, dan streaming 24/7. Perubahan antarmuka ini terasa seperti Disney sedang membersihkan meja setelah badai, memastikan pengalaman pengguna menjadi prioritas utama.

Transformasi paling signifikan justru terjadi di balik layar, khususnya untuk pengguna di luar Amerika Serikat. Mulai 8 Oktober mendatang, Hulu secara resmi akan menggantikan Star sebagai merek hiburan global di aplikasi Disney+. Bagi yang belum familiar, inilah gerbang menuju konten-konten dari ABC, FX, dan jaringan lainnya, termasuk tayangan dengan rating lebih dewasa dibanding konten Disney pada umumnya. Pengguna AS tidak akan merasakan perubahan ini, namun bagi kita di wilayah lain, Star akan berubah menjadi Hulu mulai Rabu depan.

Integrasi Hulu ke Disney+ ini bukan keputusan mendadak. Perusahaan telah mempersiapkan langkah ini selama berbulan-bulan, dan timing-nya terasa begitu tepat pasca-kontroversi Jimmy Kimmel. Anda mungkin masih ingat, pada 17 September lalu, ABC yang dimiliki Disney harus menangguhkan sementara Jimmy Kimmel Live! setelah tekanan dari pejabat pemerintahan Trump, termasuk Ketua FCC Brendan Carr yang terkenal mengancam, “Kita bisa melakukan ini dengan cara mudah atau cara sulit.”

Still from a Jimmy Kimmel monologue. A threatening quote from FCC Chair Brendan Carr is overlaid at the bottom.

Disney memilih “cara mudah” dengan mengubah sikap dan mengaktifkan kembali Kimmel pada 22 September. Secara resmi, perusahaan menyebut keputusan ini hasil dari “percakapan penuh pertimbangan dengan Jimmy.” Namun di balik layar, dampaknya cukup signifikan. Laporan internal menunjukkan Disney+ kehilangan hampir 2 juta pelanggan selama periode kritis tersebut, disertai seruan boikot yang meluas.

Kini, dengan pembaruan aplikasi yang masif ini, Disney seolah ingin mengalihkan perhatian ke inovasi dan layanan yang lebih baik. Mereka bahkan meluncurkan widget iOS yang memberikan akses satu-klik ke konten aplikasi. Yang lebih menarik, perusahaan mengisyaratkan akan menghadirkan “pengalaman mobile-first dan mobile-eksklusif” dalam tahun mendatang, meski detailnya masih disimpan rapat-rapat.

Kolaborasi Disney dengan berbagai brand teknologi sebenarnya bukan hal baru. Seperti yang pernah kami liput dalam artikel tentang kehadiran karakter Disney di aplikasi Canva, perusahaan ini memang aktif berekspansi ke berbagai platform digital. Bahkan di ranah hardware, kita telah melihat kolaborasi Oppo dengan franchise Toy Story dan edisi spesial Reno2 Disney Edition yang dirilis menyambut Imlek 2020.

Pertanyaannya sekarang: apakah transformasi Disney+ ini cukup untuk memulihkan kepercayaan pelanggan dan menarik kembali mereka yang memutus berhenti berlangganan? Dalam industri streaming yang semakin kompetitif, pengalaman pengguna yang mulus dan konten yang relevan seringkali menjadi penentu utama. Pembaruan antarmuka dan integrasi Hulu global bisa menjadi senjata ampuh, terutama jika disertai dengan konten-konten berkualitas seperti serial Andor yang baru saja rampung.

Bagi penggemar setia Disney, perubahan ini tentu menyenangkan. Tapi bagi analis, ini adalah ujian nyata kemampuan Disney beradaptasi di tengah gejolak. Seperti performa laptop gaming HP Victus 16 yang mengandalkan desain minimalis namun performa kencang, atau smartphone Vivo V27 5G yang menawarkan pengalaman premium, Disney+ kini harus membuktikan bahwa transformasinya bukan sekadar gimmick, melainkan peningkatan substantif yang layak diperhitungkan.

Dalam beberapa hari ke depan, mata dunia akan tertuju pada bagaimana respons pengguna terhadap perubahan besar ini. Apakah Disney berhasil membalikkan keadaan, atau justru menghadapi tantangan baru? Satu yang pasti: pertarungan di dunia streaming semakin panas, dan Disney tidak mau ketinggalan.

Hubungan Romantis dengan AI: Tren atau Ilusi yang Mengkhawatirkan?

0

Telset.id – Bayangkan jika hampir sepertiga orang di sekitar Anda ternyata sedang menjalin hubungan asmara dengan chatbot AI. Menggelikan? Mungkin. Tetapi sebuah survei terbaru mengklaim angka tersebut bukanlah fantasi belaka. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, batas antara manusia dan mesin pun kian kabur.

Vantage Point, layanan konseling asal Texas, baru saja merilis temuan yang cukup mencengangkan. Dari 1.012 orang dewasa yang disurvei, hampir 30% mengaku pernah setidaknya sekali memiliki hubungan romantis dengan pendamping AI. Angka ini tentu membuat kita mengernyit. Bagaimana mungkin? Survei ini menjadi pembicaraan hangat, meski perlu diingat bahwa ini adalah penelitian pertama mereka dan dilakukan melalui SurveyMonkey—lebih cocok disebut jajak pendapat informal ketimbang studi ilmiah. Namun, benarkah fenomena ini begitu massif?

Kita tentu ingat kasus Friend, perangkat AI portabel yang diiklankan sebagai “teman” dan sempat membanjiri kereta bawah tanah New York. Iklan-iklannya bahkan sampai dirusak oleh orang yang mungkin jengah dengan eksploitasi rasa kesepian. Tapi di balik penolakan publik, ternyata ada banyak orang yang secara diam-diam membangun ikatan emosional—bahkan seksual—dengan entitas digital.

Data yang Berbeda, Realitas yang Kompleks

Sebelum terburu-buru mengambil kesimpulan, mari bandingkan dengan penelitian lain. Match.com bersama Kinsey Institute di Indiana University melaporkan bahwa 16% orang dewasa pernah berinteraksi dengan AI sebagai pasangan romantis. Perbedaan definisi mungkin memainkan peran besar di sini. Vantage Point menggunakan frasa “hubungan romantis”, sementara Match/Kinsey menyebutnya “interaksi”. Seperti dikutip dari salah satu responden Vantage Point, mereka mengaku “mengobrol seksual” dengan chatbot tetapi “tidak menganggapnya sebagai hubungan”.

Lalu, bagaimana dengan generasi muda? Data Match/Kinsey menunjukkan 23% Milenial dan 33% Gen Z melaporkan interaksi romantis dengan AI. Vantage Point tidak memecah data berdasarkan usia, tetapi kemungkinan besar respondennya didominasi kalangan muda. Namun, survei Family Studies/YouGov terhadap 2.000 orang dewasa di bawah 40 tahun justru menemukan hanya 1% yang mengaku sudah memiliki pendamping AI, dan 7% terbuka dengan ide kemitraan romantis bersama AI. Perbedaan metodologi dan sampel jelas mempengaruhi hasilnya.

Ketika AI Menjadi “Selingkuh” Digital

Aspek lain yang menarik adalah persepsi tentang kesetiaan. Vantage Point menemukan bahwa kaum muda lebih mungkin menganggap “berkencan” dengan chatbot AI sambil tetap menjalin hubungan dengan manusia sebagai bentuk pengkhianatan. Sebanyak 66% menyebutnya sebagai ketidaksetiaan, meski 10% di antaranya menganggapnya sebagai “selingkuh yang dapat diterima”. Temuan ini sejalan dengan studi Kinsey lainnya bersama DatingAdvice.com, di mana 61% orang dewasa percaya bahwa sexting atau membangun koneksi romantis dengan chatbot adalah kecurangan.

Bloomberg juga melaporkan bahwa sekitar 60% Gen Z secara umum waspada terhadap penggunaan AI dalam dunia kencan, termasuk memanfaatkannya untuk menulis biografi atau mengirim pesan. Di tengah kekhawatiran akan AI sycophancy—pola di mana AI cenderung membenarkan segala hal yang diinginkan pengguna—risiko ketergantungan emosional pada mesin menjadi nyata. Apalagi dengan maraknya kasus penipuan yang memanfaatkan teknologi AI, seperti video deepfake Brad Pitt yang merugikan korban hingga miliaran rupiah.

Masa Depan Hubungan Manusia-AI

Analisis terhadap komunitas Reddit r/MyBoyfriendIsAI mengungkap bahwa hanya 6,5% orang yang berhubungan dengan chatbot memang berniat untuk menjalin hubungan romantis. Angka ini jauh lebih rendah daripada klaim Vantage Point. Jadi, meski tren hubungan manusia-AI mungkin akan meningkat di masa depan, untuk saat ini cukup aman untuk berasumsi bahwa kurang dari 30% orang Amerika benar-benar “berkencan” dengan pendamping AI.

Fenomena ini mengingatkan kita pada betapa kompleksnya kebutuhan manusia akan kedekatan emosional. Di satu sisi, teknologi seperti Xiaoice menawarkan solusi atas kesepian. Di sisi lain, kita harus bertanya: sampai di mana batasnya? Seperti menonton film fiksi ilmiah yang menjadi kenyataan, hubungan romantis dengan AI bukan lagi sekadar fantasi—tetapi realitas yang perlu kita hadapi dengan kritis.

Jadi, benarkah kita sedang menyaksikan revolusi hubungan manusia? Atau justru gejala sosial yang patut diwaspadai? Jawabannya mungkin terletak pada bagaimana kita sebagai masyarakat menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan keberadaan manusia yang autentik. Yang pasti, percakapan tentang etika, batasan, dan masa depan hubungan manusia-AI baru saja dimulai.

Meta Luncurkan Fitur Komunitas Threads untuk 400 Juta Pengguna

0

Telset.id – Bayangkan platform media sosial yang benar-benar memahami minat Anda. Di mana setiap scroll memberi Anda konten yang relevan, bukan sekadar unggulan acak dari akun tak dikenal. Itulah yang sedang diupayakan Meta dengan fitur komunitas terbaru di Threads, yang kini telah melampaui 400 juta pengguna. Sebuah langkah strategis yang bisa mengubah identitas platform ini selamanya.

Fitur komunitas ini bukan sekadar tambahan biasa. Ini adalah evolusi dari fitur feed khusus dan tag topik yang sebelumnya sudah ada di Threads. Meta menggambarkannya sebagai “ruang kasual untuk berbagi pandangan unik tentang topik seperti basket atau acara TV dengan orang-orang yang juga mencintainya.” Dengan kata lain, ini adalah upaya menciptakan ruang digital yang lebih intim dan terfokus di tengah lautan konten yang semakin luas.

Yang menarik, Meta tidak mulai dari nol. Perusahaan telah menciptakan lebih dari 100 komunitas untuk topik-topik yang sudah memiliki basis penggemar besar di platform. Anda bisa menemukan “NBA Threads” untuk penggemar basket, “Book Threads” untuk pecinta literasi, atau “Tech Threads” untuk mereka yang haus informasi teknologi. Beberapa pengguna bahkan sudah melaporkan melihat dan bergabung dengan ruang-ruang ini dalam beberapa hari terakhir.

Threads communities have custom emoji for likes.

Lebih dari Sekadar Pengelompokan Topik

Pada pandangan pertama, feed komunitas mungkin terlihat mirip dengan feed topik Threads yang sudah ada. Tapi jangan tertipu oleh kemiripan permukaan ini. Menurut Meta, postingan di dalam komunitas akan diranking secara khusus untuk menampilkan konten yang lebih relevan di bagian atas feed. Bandingkan dengan feed berbasis topik saat ini yang cenderung menjadi campuran acak dari siapa pun yang menandai topik tersebut.

Ada sentuhan personalisasi yang menarik perhatian. Ketika Anda menjelajahi feed komunitas dan menyukai postingan, akan muncul emoji kustom yang sesuai dengan tema komunitas. Di “NBA Threads”, misalnya, Anda akan melihat ikon basket menggantikan tombol like biasa. Detail kecil ini mungkin terlihat sepele, tapi justru menciptakan pengalaman yang lebih imersif dan kontekstual.

Meta juga memberikan pengakuan khusus bagi “suara terdepan” dalam komunitas dengan memberikan lencana biru pada profil mereka. Ini bukan sekadar simbol status, melainkan cara untuk menunjukkan keterlibatan aktif dalam kelompok tersebut. Sebuah sistem reputasi yang bisa mendorong partisipasi lebih berkualitas.

Belajar dari Kompetitor, Menyempurnakan Konsep

Meta bukanlah yang pertama mencoba ide komunitas di platform media sosial. Twitter (sekarang X) memperkenalkan fitur serupa pada 2021, dan tahun lalu mengklaim mengalami “lonjakan 495%” dalam “menit aktif pengguna”. Data ini tentu tidak luput dari perhatian Meta, yang sedang berusaha membangun diferensiasi Threads di pasar yang semakin kompetitif.

Yang membedakan mungkin pada integrasinya dengan ekosistem yang lebih luas. Meta menyatakan bahwa komunitas yang Anda ikuti juga akan mempengaruhi konten yang muncul di feed utama. Bergabung dengan lebih banyak komunitas bisa membantu menyempurnakan rekomendasi secara keseluruhan. Ini adalah solusi elegan untuk keluhan pengguna tentang algoritma Threads yang terlalu menekankan postingan rekomendasi dari akun-akun tidak terkoneksi.

Fitur ini muncul di saat yang tepat. Seperti yang pernah kami laporkan dalam artikel sebelumnya, Meta terus memperbaiki cara kerja Threads dengan berbagai fitur baru. Komunitas bisa menjadi jawaban atas kebutuhan pengguna akan ruang yang lebih terorganisir dan bermakna.

Masa Depan Interaksi Sosial yang Lebih Terarah

Fitur komunitas di Threads bukan sekadar tambahan fitur biasa. Ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam cara kita berinteraksi di media sosial. Dari model broadcast massal menuju ruang-ruang khusus yang lebih intim dan kontekstual. Sebuah evolusi yang mungkin akan menentukan masa depan platform ini.

Dengan lebih dari 400 juta pengguna, Threads perlu menemukan identitas uniknya. Fitur komunitas bisa menjadi pembeda utama, terutama mengingat platform ini lahir sebagai respons terhadap perubahan di Twitter/X. Seperti yang terjadi dengan perubahan kebijakan fact-checking Meta yang kemudian digantikan dengan fitur baru, perusahaan terus beradaptasi dengan lanskap digital yang berubah cepat.

Pertanyaannya sekarang: apakah fitur komunitas ini akan menjadi game-changer yang dibutuhkan Threads? Ataukah hanya akan menjadi fitur tambahan yang tenggelam di antara inovasi lainnya? Yang pasti, dengan integrasi yang lebih dalam ke algoritma rekomendasi dan sentuhan personalisasi yang thoughtful, Meta sedang menempatkan fondasi untuk pengalaman sosial yang lebih terarah dan bermakna.

Bagi Anda yang sudah merasa jenuh dengan feed yang tidak terkendali, fitur komunitas di Threads mungkin worth to try. Bergabunglah dengan kelompok yang sesuai minat, lihat bagaimana pengalaman berubah, dan mungkin Anda akan menemukan alasan baru untuk tetap aktif di platform ini. Bagaimanapun, di era informasi yang overload, ruang yang terfokus dan relevan adalah komoditas yang semakin berharga.

Pengadilan Belanda Paksa Meta Ubah Timeline Facebook dan Instagram

0

Telset.id – Bayangkan Anda membuka Instagram atau Facebook, ingin melihat unggahan terbaru dari teman-teman Anda secara berurutan. Namun, setelah beberapa saat, aplikasi itu secara diam-diam kembali menyuguhkan konten yang dipilih algoritma. Situasi yang familiar? Di Belanda, pengadilan baru saja mengambil langkah tegas untuk menghentikan praktik ini, memerintahkan Meta mengubah timeline Facebook dan Instagram agar lebih menghormati pilihan pengguna.

Langkah hukum ini bukan datang tiba-tiba. Kasusnya digulirkan oleh Bits of Freedom, kelompok hak digital Belanda yang gigih memperjuangkan otonomi pengguna di ruang digital. Mereka berargumen bahwa praktik Meta selama ini telah merampas kebebasan fundamental pengguna untuk memilih bagaimana mereka mengonsumsi informasi. “Orang-orang di Belanda tidak cukup mampu membuat pilihan bebas dan otonom tentang penggunaan sistem rekomendasi yang diprofilkan,” bunyi putusan pengadilan dengan nada tegas. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan persoalan tentang siapa yang sebenarnya mengendalikan arus informasi yang kita terima setiap hari.

Ilustrasi pengadilan Belanda memerintahkan perubahan timeline Facebook dan Instagram

Inti dari keputusan ini sederhana namun berdampak luas: Meta harus memberikan opsi yang lebih sederhana kepada pengguna, khususnya opsi yang tidak bergantung pada algoritma. Yang diminta pengadilan sangat jelas—ketika seorang pengguna memilih untuk melihat timeline dalam urutan kronologis atau opsi non-profil lainnya, pilihan itu harus dihormati. Aplikasi tidak boleh secara otomatis kembali ke versi yang digerakkan algoritma setiap kali pengguna menutup dan membuka kembali aplikasi. Bayangkan jika remote TV Anda tiba-tiba kembali ke saluran default setiap kali Anda mematikan TV—bukankah itu sangat menjengkelkan?

Maartje Knaap, juru bicara Bits of Freedom, menyuarakan keresahan yang mungkin juga Anda rasakan. “Tidak dapat diterima bahwa beberapa miliarder teknologi Amerika dapat menentukan bagaimana kita melihat dunia,” ujarnya. Pernyataan ini menyentuh inti persoalan yang lebih dalam: dalam era digital ini, apakah kita benar-benar mengendalikan apa yang kita lihat, atau justru menjadi produk dari mesin rekomendasi yang dirancang untuk membuat kita terus menggulir layar?

Reaksi Meta terhadap keputusan ini bisa ditebak. Perusahaan yang dipimpin Mark Zuckerberg itu menyatakan akan mengajukan banding. Dalam pernyataannya, Meta berargumen bahwa masalah-masalah terkait Digital Services Act (DSA) ini seharusnya ditangani oleh Komisi Eropa dan regulator UE lainnya, bukan oleh pengadilan negara-negara individu. “Proses seperti ini mengancam pasar digital tunggal dan rezim regulasi yang terharmonisasi yang seharusnya mendasarinya,” ujar juru bicara Meta. Argumentasi hukum ini menarik—apakah dengan adanya regulator tingkat Eropa, pengadilan nasional tidak berwenang menangani kasus semacam ini?

Denda yang mengintai tidak main-main. Meta menghadapi potensi denda sebesar $117,450 untuk setiap hari mereka gagal mematuhi perintah pengadilan, dengan maksimal mencapai $5,8 juta. Meski jumlah ini mungkin terlihat kecil dibandingkan pendapatan Meta, dampak reputasinya bisa jauh lebih besar. Terlebih lagi, keputusan dari Belanda ini bisa menjadi preseden bagi negara-negara Eropa lainnya untuk mengambil langkah serupa.

Digital Services Act (DSA) memang telah menjadi duri dalam daging bagi perusahaan-perusahaan teknologi besar sejak disetujui pada 2022. Regulasi ambisius Uni Eropa ini telah digunakan untuk menegakkan perubahan pada platform-platform digital dalam nama privasi, keamanan data, dan perlindungan anak-anak. Komisi Eropa sendiri tidak segan-segan menjatuhkan denda ratusan juta dolar kepada raksasa teknologi seperti Apple, Meta, dan Alphabet untuk pelanggaran terhadap DSA. Tampaknya, Eropa serius ingin menjinakkan kekuatan big tech yang selama ini dianggap terlalu dominan.

Pertanyaan besarnya: apakah perubahan yang dipaksakan oleh pengadilan ini benar-benar akan membawa dampak signifikan? Di satu sisi, memberi pengguna kendali lebih besar atas timeline mereka adalah langkah menuju transparansi dan otonomi digital. Di sisi lain, algoritma rekomendasi telah menjadi tulang punggung model bisnis media sosial modern—mesin yang mendorong engagement dan, pada akhirnya, pendapatan iklan. Apakah Meta akan benar-benar mengimplementasikan perubahan ini, atau akan mencari celah untuk mempertahankan status quo?

Bagi Anda sebagai pengguna, keputusan ini mungkin terasa seperti kemenangan kecil. Setidaknya, ada pengakuan hukum bahwa Anda berhak memilih bagaimana Anda ingin berinteraksi dengan platform digital. Namun, perjalanan masih panjang. Banding dari Meta berarti pertarungan hukum ini belum berakhir. Sementara itu, di belakang layar, mesin-mesin algoritma terus berputar, mengumpulkan data, dan menyusun realitas digital sesuai logika mereka sendiri.

Yang jelas, kasus ini menandai babak baru dalam hubungan antara regulator, perusahaan teknologi, dan pengguna. Ini bukan sekadar perselisihan hukum antara Meta dan pengadilan Belanda, melainkan bagian dari pertarungan global tentang masa depan internet—apakah kita menginginkan internet yang dikendalikan oleh algoritma tertutup, atau platform yang transparan dan memberi kendali nyata kepada penggunanya? Jawabannya mungkin akan menentukan tidak hanya bagaimana kita menggunakan Facebook dan Instagram, tetapi bagaimana generasi mendatang akan mengalami dunia digital.

Xiaomi 15T vs POCO F6: Duel Saudara dengan Filosofi Berbeda

0

Telset.id – Bayangkan Anda berdiri di depan dua ponsel yang berasal dari rahim perusahaan yang sama, namun keduanya menawarkan janji yang sama sekali berbeda. Di satu sisi, Xiaomi 15T hadir dengan segel premium dan kamera Leica yang menggoda. Di sisi lain, POCO F6 datang dengan jargon “performance monster” dengan harga yang membuat Anda mengerutkan dahi. Mana yang sebenarnya layak menjadi pendamping harian Anda?

Bocoran terbaru mengindikasikan bahwa meski berbagi DNA yang sama, kedua ponsel ini memang dirancang untuk menyasar segmen pasar yang berbeda. Xiaomi 15T jelas-jelas mengincar mereka yang mengutamakan pengalaman flagship menyeluruh, sementara POCO F6 fokus pada performa gaming dan harga terjangkau. Pertanyaannya, apakah selisih harga yang mencapai tiga kali lipat benar-benar sebanding dengan pengalaman yang ditawarkan?

Perbedaan filosofi ini terlihat jelas dari desain fisik kedua perangkat. Xiaomi 15T menggunakan material premium dengan proteksi Gorilla Glass 7i di bagian depan dan fiber glass di belakang, dilengkapi sertifikasi IP68 yang membuatnya tahan terhadap debu dan rendaman air. Bandingkan dengan POCO F6 yang mengandalkan Gorilla Glass Victus di depan namun menggunakan bodi plastik dengan perlindungan sebatas IP64 untuk percikan air. Bagi Anda yang sering bekerja di lingkungan outdoor atau rentan terhadap kecelakaan tumpahan, keunggulan Xiaomi 15T dalam hal ketahanan jelas menjadi pertimbangan serius.

Layar menjadi medan pertarungan berikutnya. Xiaomi 15T membawa panel AMOLED 6,83 inci dengan teknologi Dolby Vision, HDR10+, dan tingkat kecerahan puncak yang mencapai 3200 nits. Angka ini bukan sekadar gimmick – dalam kondisi terik matahari, Anda masih bisa membaca konten dengan nyaman. POCO F6 tidak kalah menarik dengan layar 6,67 inci yang juga mendukung HDR10+ dan refresh rate 120Hz, meski kecerahan maksimalnya berada di angka 2400 nits. Untuk penggunaan sehari-hari, keduanya memberikan pengalaman visual yang memuaskan, namun Xiaomi 15T unggul dalam hal detail dan kenyamanan mata berkat teknologi PWM dimming 3840Hz.

Performa: Kekuatan Mentah vs Optimisasi Cerdas

Di balik bodi yang elegan, Xiaomi 15T mengandalkan chipset MediaTek Dimensity 8400 Ultra yang dipadukan dengan GPU Mali-G720 dan storage UFS 4.1. Kombinasi ini fokus pada efisiensi daya dan performa sehari-hari yang mulus, didukung fitur AI dalam HyperOS 2. Bagi Anda yang menginginkan smartphone yang responsif untuk multitasking dan produktivitas, pilihan ini cukup masuk akal.

POCO F6 justru mengambil jalur berbeda dengan Snapdragon 8s Gen 3 dan Adreno 735. Konfigurasi ini jelas lebih agresif dalam menangani tugas-tugas berat seperti gaming dan rendering. Jika Anda termasuk gamer mobile yang kerap menghabiskan waktu dengan game AAA seperti Genshin Impact atau Call of Duty Mobile, POCO F6 menawarkan pengalaman yang lebih memuaskan. Namun, Xiaomi 15T memiliki keunggulan dalam hal dukungan software jangka panjang dan stabilitas yang lebih terjamin.

Pertarungan berlanjut ke sektor daya. Xiaomi 15T mengusung baterai 5500 mAh dengan dukungan fast charging 67W yang bisa mengisi penuh dalam sekitar 50 menit. POCO F6 memiliki kapasitas lebih kecil di 5000 mAh namun mendukung charging 90W yang mampu mengisi baterai dari kosong hingga penuh hanya dalam 35 menit. Pilihan di sini tergantung gaya hidup Anda – apakah Anda lebih memprioritaskan ketahanan baterai seharian penuh atau kemudahan pengisian cepat di sela-sela aktivitas?

Kamera: Senjata Rahasia Fotografer

Inilah bidang dimana Xiaomi 15T benar-benar menunjukkan taringnya. Sistem triple kamera dengan dukungan Leica menghadirkan kombinasi 50MP utama, 50MP telephoto 2x, dan 12MP ultrawide. Tidak main-main, ponsel ini mendukung video 10-bit dan fitur profesional yang membuatnya layak menjadi alat kreatif serius. Seperti yang diungkap dalam peluncuran resmi Xiaomi 15T series di Indonesia, kolaborasi dengan Leica memang membawa pendekatan baru dalam fotografi mobile.

POCO F6 mengambil pendekatan lebih praktis dengan setup dual kamera: 50MP utama dan 8MP ultrawide. Hasilnya cukup baik untuk kebutuhan dokumentasi sehari-hari, namun jelas tertinggal dalam hal fleksibilitas dan kualitas hasil akhir. Perbedaan semakin terlihat di kamera selfie – Xiaomi 15T menawarkan 32MP dengan rekaman 4K HDR10+, sementara POCO F6 terbatas pada 20MP dengan video 1080p.

Bagi Anda yang serius dengan konten kreatif atau sekadar ingin mengabadikan momen dengan kualitas terbaik, keunggulan Xiaomi 15T di sektor kamera sulit ditandingi. Namun jika kamera bukan prioritas utama, POCO F6 masih mampu menghasilkan foto yang cukup memuaskan untuk media sosial.

Pertimbangan Harga dan Nilai

Di sinilah segalanya menjadi menarik. Dengan harga sekitar $760, Xiaomi 15T jelas berada di liga yang berbeda dibandingkan POCO F6 yang hanya dibanderol $250. Selisih lebih dari $500 ini tentu bukan angka kecil, dan Anda perlu bertanya: apa yang sebenarnya Anda bayar?

Uang ekstra tersebut membeli Anda kamera Leica yang lebih versatile, konstruksi premium dengan ketahanan IP68, layar lebih terang dan tajam, baterai lebih besar, serta pengalaman flagship secara keseluruhan. Sementara POCO F6 memberikan performa gaming terbaik di kelasnya, charging super cepat, dan nilai luar biasa untuk uang yang Anda keluarkan.

Seperti yang terlihat dalam perbandingan Xiaomi 15T dengan Realme GT 7 Pro, pilihan smartphone flagship seringkali tentang kompromi dan prioritas. Di sisi lain, bagi yang khawatir dengan biaya perbaikan, bocoran harga spare part Xiaomi 17 Pro bisa menjadi pertimbangan tambahan.

Jadi, mana yang harus Anda pilih? Jawabannya kembali kepada kebutuhan dan anggaran. Jika kamera premium, ketahanan ekstrem, dan pengalaman menyeluruh adalah prioritas, Xiaomi 15T layak dipertimbangkan meski dengan harga premium. Namun jika yang Anda cari adalah performa gaming maksimal dengan harga terjangkau, POCO F6 adalah pilihan yang sulit ditolak. Keduanya adalah produk berkualitas – hanya dengan filosofi dan target pasar yang berbeda.