Beranda blog Halaman 72

Microsoft-Activision Blizzard: Kemenangan Besar di Pengadilan AS

Telset.id – Jika Anda mengira drama akuisisi Microsoft dan Activision Blizzard sudah berakhir, pikirkan lagi. Pengadilan Banding AS baru saja mengukuhkan kemenangan Microsoft dalam pertarungan hukum yang bisa mengubah wajah industri game selamanya.

Pengadilan Banding Sirkuit Kesembilan AS menegaskan keputusan pengadilan rendah bahwa akuisisi Microsoft atas Activision Blizzard senilai $68,7 miliar tidak melanggar hukum antitrust. Federal Trade Commission (FTC) gagal membuktikan bahwa merger ini akan merugikan kompetisi di pasar game.

Pengadilan AS memutuskan Microsoft-Activision Blizzard tidak melanggar antitrust

Kekalahan Beruntun FTC

FTC telah berulang kali mencoba menggagalkan akuisisi ini sejak pertama kali diumumkan tahun 2022. Argumen utama mereka? Microsoft akan memblokir akses ke franchise populer seperti Call of Duty di platform kompetitor. Namun, hakim Daniel P. Collins dengan tegas menolak klaim ini.

“Semua produsen besar telah melakukan praktik eksklusivitas,” tulis Collins dalam opininya. Microsoft justru disebut semakin membuka game eksklusifnya ke platform lain—strategi yang mungkin membuat FTC akhirnya menyerah.

Masa Depan Game di Tangan Microsoft

Akuisisi yang resmi ditutup Oktober 2023 ini memberi Microsoft kendali penuh atas waralaba game legendaris seperti World of Warcraft, Diablo, dan tentu saja Call of Duty. Dengan pengadilan terakhir ini, Microsoft bisa fokus mengintegrasikan Activision Blizzard ke ekosistem Xbox dan Game Pass.

FTC sempat mengkhawatirkan dampak merger terhadap layanan cloud gaming dan langganan game. Namun pengadilan menemukan bukti yang bertolak belakang—justru akuisisi ini bisa mempercepat inovasi di sektor tersebut.

Kasus ini mengingatkan pada pertarungan hukum lain di dunia teknologi. Seperti upaya AS membatalkan larangan TikTok atau kekalahan Apple di pengadilan antitrust yang membuka era baru kebebasan aplikasi.

Dengan kemenangan ini, Microsoft kini memegang salah satu posisi terkuat dalam industri game global. Pertanyaannya sekarang: bagaimana raksasa teknologi ini akan menggunakan kekuatan barunya? Apakah ini awal dari dominasi Microsoft di dunia gaming, atau justru akan memicu gelombang konsolidasi baru di industri bernilai miliaran dolar ini?

Battlefield Baru Bakal Rilis Sebelum April 2026, EA Konfirmasi

Telset.id – Kabar gembira untuk para penggemar game first-person shooter (FPS): Electronic Arts (EA) secara resmi mengumumkan bahwa seri terbaru Battlefield akan diungkap musim panas ini dan dirilis sebelum April 2026. Pengumuman ini disampaikan dalam laporan keuangan kuartal IV dan tahun fiskal 2025 perusahaan.

Andrew Wilson, CEO EA, menyebut game ini sebagai “langkah penting dalam menghadirkan hiburan blockbuster generasi berikutnya.” Ia juga menegaskan komitmen EA untuk merilis game tersebut dalam tahun fiskal 2026, yang berarti paling lambat Maret 2026. Namun, sumber internal mengindikasikan peluncuran akan dilakukan lebih awal, memberi jarak sebelum kehadiran Grand Theft Auto 6 yang dijadwalkan 26 Mei 2026.

Ilustrasi pertempuran dalam game Battlefield

Strategi Peluncuran dan Kompetisi

EA tampaknya belajar dari peluncuran Battlefield 2042 pada 2021, yang sempat menuai kritik karena masalah teknis. Untuk menghindari bentrok dengan GTA 6, Wilson sebelumnya mengisyaratkan kesediaannya menunda rilis game lain. “Kami tidak ingin bersaing langsung dengan titel raksasa yang sudah memiliki basis penggemar masif,” ujarnya dalam sebuah wawancara awal tahun ini.

Selain itu, EA telah meluncurkan Battlefield Labs, sebuah inisiatif pengujian komunitas di mana pemain terdaftar bisa memberikan masukan tentang mekanik inti seperti pertempuran, penghancuran lingkungan, kendaraan, dan desain peta. Langkah ini menunjukkan upaya EA untuk melibatkan komunitas lebih dalam dalam pengembangan game.

Harga Tetap Stabil

Di tengah tren kenaikan harga game oleh Xbox dan Nintendo (yang menetapkan harga $80 untuk Mario Kart World di Switch 2), EA memastikan tidak akan menaikkan harga game mereka dalam waktu dekat. Keputusan ini bisa menjadi angin segar bagi gamer yang khawatir dengan inflasi harga game AAA.

Dengan persaingan ketat di industri FPS, termasuk game seperti Call of Duty dan judul PC gratis lainnya, Battlefield baru ini diharapkan bisa membawa inovasi segar. Apakah EA akan kembali ke formula klasik atau menghadirkan mekanik baru? Jawabannya akan terungkap musim panas ini.

Sony Resmi Akuisisi teamLFG, Studio Baru untuk Game Multiplayer Ambisius

Telset.id – Sony kembali memperkuat barisan PlayStation Studios dengan mengakuisisi teamLFG, studio baru yang berfokus pada pengembangan game multiplayer ambisius. Studio ini merupakan hasil spin-off dari Bungie, pengembang terkenal di balik seri Destiny dan Halo. Kabar ini menandai langkah strategis Sony dalam memperluas portofolio game live-service, meski sebelumnya mereka sempat mengalami kegagalan dengan proyek serupa.

Berdasarkan informasi resmi, teamLFG berkantor pusat di Bellevue, Washington—lokasi yang sama dengan markas Bungie. Namun, beberapa anggota tim bekerja secara remote dari berbagai wilayah di AS dan Kanada. Studio ini terdiri dari campuran talenta baru dan veteran industri yang pernah terlibat dalam proyek besar seperti League of Legends, Fortnite, dan Roblox. Nama “LFG” sendiri merupakan singkatan dari “looking for group,” istilah populer di kalangan pemain game multiplayer yang mencari tim.

Proyek Pertama: Dunia Fantasi-Sains yang Penuh Humor

Proyek pertama teamLFG dikabarkan berlatar di “dunia baru yang penuh mitos, fantasi-sains, dan nuansa komedi ringan.” Studio ini menggabungkan inspirasi dari berbagai genre, termasuk platformer, MOBA, life simulation, dan fighting games, untuk menciptakan pengalaman multiplayer yang unik. Namun, karena masih dalam tahap inkubasi, game ini diperkirakan masih membutuhkan waktu lama sebelum rilis.

Ilustrasi game multiplayer teamLFG

Keputusan Sony mengakuisisi teamLFG tidak lepas dari restrukturisasi besar-besaran yang dilakukan Bungie tahun lalu. Saat itu, Bungie memutuskan memfokuskan sumber dayanya pada Destiny dan proyek baru Marathon, sehingga beberapa proyek inkubasi dipisahkan—termasuk teamLFG yang akhirnya diambil alih Sony.

Tantangan Sony di Pasar Live-Service

TeamLFG menyatakan misinya untuk membuat “game aksi yang bisa dipelajari, dimainkan, dan dikuasai pemain selama berjam-jam.” Ini jelas mengindikasikan arah live-service, segmen yang sedang Sony gencar garap namun belum menuai kesuksesan. Beberapa proyek live-service mereka, seperti The Last of Us Online, bahkan terpaksa dibatalkan di tengah jalan. Belum lagi kegagalan Concord yang sempat menjadi sorotan.

Dengan pengalaman para veteran di teamLFG, Sony berharap bisa menghadirkan game multiplayer yang lebih matang dan tahan lama. Apakah ini akan menjadi titik balik bagi strategi live-service PlayStation? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Jika Anda penasaran dengan ekspansi Sony di dunia gaming, jangan lewatkan kabar terbaru mereka tentang rencana membawa game PlayStation ke smartphone dan proyek adaptasi game ke layar lebar.

ASUS Expert Series TKDN 40%+ untuk Digitalisasi Pemerintah

0

Telset.id – Jika Anda mengira komitmen ASUS di Indonesia hanya sebatas produk konsumen, bersiaplah untuk melihat sisi lain dari raksasa teknologi ini. Baru-baru ini, ASUS meluncurkan tiga produk Expert Series terbaru—ExpertBook BG1409CVA, ExpertCenter DG500MER, dan ExpertCenter AiO EG3408WVA—dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di atas 40%. Tak sekadar memenuhi regulasi, langkah ini adalah bagian dari strategi besar mendukung kedaulatan teknologi nasional.

Peluncuran di Batam pada 8 Mei 2025 ini bukan sekadar seremoni. Kolaborasi dengan PT Sat Nusapersada Tbk menandai babak baru produksi lokal ASUS yang berfokus pada sektor pemerintahan dan B2B. Yulianto Hasan, Director of Commercial Products ASUS Indonesia, menegaskan, “Ini adalah komitmen jangka panjang kami untuk memperkuat ekosistem teknologi Indonesia.”

ExpertBook BG1409CVA: Laptop Tangguh Berstandar Militer

Bayangkan laptop yang bisa bertahan dari jatuh 1,2 meter, tahan tekanan 50 kg, dan keyboard anti-tumpahan cairan hingga 66cc. ExpertBook BG1409CVA bukan sekadar perangkat biasa—ia telah lolos uji MIL-STD-810H, standar ketahanan militer AS. Dengan bobot 1,4 kg dan prosesor Intel® Core generasi ke-13, laptop ini dirancang untuk mobilitas tinggi pegawai pemerintah.

“Kami memahami pekerja lapangan butuh perangkat yang tak hanya ringan, tapi juga tahan banting,” tambah Yulianto. Fitur seperti spill-resistant keyboard dan solid-state drive (SSD) yang tahan guncangan membuatnya ideal untuk survei lapangan atau kerja di daerah terpencil.

ExpertCenter DG500MER: Desktop dengan Daya Tahan Ekstrim

Untuk kebutuhan komputasi berat di kantor pemerintah, ASUS menghadirkan ExpertCenter DG500MER. Desktop ini dibekali prosesor Intel® Core™ i7 Generasi ke-14 dan RAM hingga 64GB DDR5—spesifikasi yang mampu menangani pengolahan data besar atau simulasi kompleks. Yang menarik, desain tool-less-nya memudahkan upgrade tanpa alat khusus.

Keamanan data menjadi prioritas dengan fitur TPM 2.0 dan Kensington Lock. “Ini solusi untuk instansi yang mengelola data sensitif seperti keuangan atau kependudukan,” jelas Yulianto. Dengan sertifikasi MIL-STD-810H, DG500MER juga tahan terhadap kondisi operasional ekstrim.

Content image for article: ASUS Expert Series TKDN 40%+ untuk Digitalisasi Pemerintah

ExpertCenter AiO EG3408WVA: Solusi All-in-One untuk Efisiensi Ruang

Bagi instansi pemerintah yang ingin menghemat ruang tanpa mengorbankan performa, ExpertCenter AiO EG3408WVA layak dipertimbangkan. Dengan layar IPS NanoEdge 23,8 inci dan dukungan Wi-Fi 6E, perangkat ini ideal untuk front office atau ruang rapat. Port lengkap—termasuk HDMI In/Out dan USB Type-C—memudahkan integrasi dengan perangkat lain.

“Kami melihat banyak instansi pemerintah masih menggunakan PC konvensional yang memakan tempat. AiO ini menawarkan solusi elegan dengan keamanan enterprise-grade,” papar Yulianto. Fitur seperti TPM 2.0 dan Kensington Lock menjadikannya cocok untuk lingkungan kerja dengan data sensitif.

Tak hanya hardware, ASUS juga menyediakan layanan purna jual komprehensif: garansi 3 tahun, perlindungan kerusakan tak disengaja (1 tahun), dan dukungan 140+ service center di Indonesia. Dengan ASUS Control Center, instansi besar bisa mengelola seluruh perangkat secara terpusat.

Peluncuran produk dengan TKDN tinggi ini sekaligus menjadi bukti nyata komitmen ASUS dalam mendukung industri lokal. “Kami ingin memperkuat rantai pasok dalam negeri sekaligus menciptakan lapangan kerja,” tegas Yulianto. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang lini produk ASUS lainnya, Anda bisa menyimak Asus ProArt Series 2024 yang mengandalkan spesifikasi AI atau Zenbook Duo dengan 5 mode layar fleksibel.

Prabowo dan Bill Gates Bahas Vaksin TBC hingga MBG di Indonesia

Telset.id – Pertemuan bersejarah antara Presiden Prabowo Subianto dan pendiri Microsoft sekaligus filantrop dunia, Bill Gates, di Istana Merdeka pada 7 Mei 2025, menyimpan sejumlah agenda strategis. Dari rencana uji klinis vaksin TBC hingga peninjauan program Makan Bergizi Gratis (MBG), kolaborasi ini menandai babak baru kerja sama Indonesia dengan Gates Foundation.

Kedatangan Bill Gates yang disambut langsung oleh Prabowo di halaman Istana Merdeka bukan sekadar kunjungan formal. Ini adalah pertemuan ketiga Gates di Indonesia, namun yang pertama kali memiliki agenda konkret dalam bidang kesehatan dan teknologi. “Kami melihat potensi besar Indonesia sebagai mitra strategis dalam pengembangan solusi global,” ujar Gates dalam pernyataannya.

Presiden Prabowo Subianto dan Bill Gates meninjau program MBG di SDN Jati 03

1. Terobosan Vaksin TBC untuk Indonesia

Prabowo mengungkapkan bahwa salah satu fokus utama pertemuan adalah rencana uji klinis vaksin tuberkulosis (TBC) yang didanai Gates Foundation. “Setiap tahun, hampir 100.000 warga Indonesia meninggal karena TBC. Uji coba ini menjadi harapan baru,” tegas Presiden.

Bill Gates menjelaskan bahwa Indonesia dipilih sebagai salah satu lokasi uji klinis bersama Afrika dan India karena beban penyakit TBC yang tinggi. “Vaksin ini dirancang untuk negara-negara dengan prevalensi TBC tinggi. Hasil uji coba di Indonesia akan sangat berharga,” tambahnya.

2. MBG: Program Prioritas yang Diakui Dunia

Usai pertemuan di Istana, Prabowo mengajak Gates meninjau langsung program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN 03 Jati, Jakarta Timur. Kedatangan mereka disambut antusias warga sekitar. “Program ini contoh nyata komitmen kami terhadap generasi penerus,” kata Prabowo saat berbincang dengan para siswa.

Gates Foundation sendiri telah menyuntikkan dana lebih dari $159 juta ke berbagai sektor di Indonesia sejak 2009, dengan alokasi terbesar di bidang kesehatan. “Investasi di bidang kesehatan dan gizi anak adalah fondasi pembangunan berkelanjutan,” ujar Gates.

Hari Batik Nasional

3. Bintang Kehormatan untuk Kontribusi Global

Prabowo mengungkapkan rencana pemberian tanda kehormatan tertinggi kepada Bill Gates pada September 2025 di New York. “Atas nama bangsa Indonesia, kami ingin menghargai kontribusi luar biasa Gates Foundation,” tegasnya.

Penghargaan ini dinilai pantas mengingat kontribusi yayasan tersebut dalam pengembangan vaksin dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu pencapaiannya adalah membantu Bio Farma menjadi produsen 2 miliar dosis vaksin per tahun yang digunakan di 42 negara.

4. Kolaborasi Masa Depan dengan Danantara

Pertemuan ini juga membuka peluang kerja sama baru. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengajak Gates bergabung dalam dewan penasihat Danantara, badan pengelola investasi pemerintah. “Kami melihat potensi besar kolaborasi di bidang kesehatan digital,” ujar Budi.

Rosan Roeslani, CEO Danantara, menambahkan bahwa mereka sedang menjajaki kerja sama dengan Gates Foundation untuk mengelola dana abadi (trust fund). “Ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai hub inovasi kesehatan global,” pungkasnya.

Film Dokumenter Bill Gates

Misteri Energi Gelap: Apakah Alam Semesta Sedang Melambat?

Telset.id – Apa yang terjadi jika kekuatan misterius yang mempercepat ekspansi alam semesta tiba-tiba melemah? Temuan terbaru astronom mengindikasikan hal itu mungkin sedang terjadi—dan bisa mengubah segalanya tentang cara kita memahami kosmos.

Selama dua dekade, model standar kosmologi (Lambda-Cold Dark Matter/LCDM) mengasumsikan energi gelap sebagai konstanta kosmologis Einstein—gaya tak terlihat yang mendorong pemuaian alam semesta secara stabil. Tapi data dari Dark Energy Spectroscopic Instrument (DESI) di Arizona dan analisis Maret 2025 mengungkapkan keanehan: energi gelap mungkin berevolusi dan kehilangan kekuatannya.

Ilustrasi alam semesta dengan energi gelap yang melemah

Quintessence: Teori Baru yang Mengguncang

Tim ilmuwan pimpinan Yashar Akrami dari Autonomous University of Madrid mengusulkan revisi radikal: energi gelap mungkin adalah “medan quintessence”—entitas dinamis yang berinteraksi dengan gravitasi. Konsep ini, jika terbukti, bisa menjadi jembatan antara kosmologi dan teori string yang selama ini sulit diuji.

“Ini seperti menemukan rem tersembunyi di mobil yang melaju kencang,” analogi Pedro Ferreira, astrofisikawan Oxford. “Kami selalu mengira alam semesta hanya dipercepat oleh satu pedal, tapi mungkin ada tuas lain yang tak terlihat.”

Tantangan Besar: Mencari “Gaya Kelima”

Model quintessence memprediksi adanya gaya fundamental kelima selain gravitasi, elektromagnetik, dan nuklir. Tapi seperti diungkapkan dalam penelitian 100 planet kecil di tepi tata surya, bukti langsung masih nihil. Euclid Satellite milik ESA dan DESI mungkin menjadi penentu—dengan pengukuran presisi pada galaksi jauh.

Akrami mengakui jalan panjang menanti: “Ini seperti memperdebatkan warna dinding di ruangan gelap. Tapi setidaknya sekarang kita punya senter baru.” Sementara Ferreira pesimistis: “Kita mungkin hanya akan terus berdebat tanpa kesimpulan final.”

Satu hal pasti: alam semesta ternyata lebih aneh dari yang kita bayangkan. Dan seperti planet berlian yang tampak biasa, kebenaran mungkin tersembunyi di depan mata—menunggu teknologi yang tepat untuk mengungkapnya.

Samsung Galaxy S25 Edge Bakal Rilis di Unpacked 12 Mei: Apa yang Bisa Ditunggu?

Telset.id – Jika Anda penggemar berat smartphone flagship, mark your calendar! Samsung baru saja mengonfirmasi akan menggelar acara Unpacked virtual pada 12 Mei pukul 20.00 ET (13 Mei pukul 07.00 WIB). Acara ini akan disiarkan langsung di Samsung Newsroom dan kanal YouTube resmi perusahaan. Pertanyaannya: Apa yang akan diumumkan?

Dalam blog resminya, Samsung menjanjikan “evolusi berikutnya dari perangkat Galaxy” dan mengisyaratkan pengumuman “tambahan terbaru untuk seri Galaxy S”. Kode ini jelas merujuk pada Galaxy S25 Edge, smartphone ramping yang pertama kali di-teaser pada acara Unpacked Januari lalu. Tapi benarkah hanya itu? Atau ada kejutan lain?

Galaxy S25 Edge: Lebih Tipis, Lebih Cerdas

Samsung secara resmi mengkonfirmasi bahwa S25 Edge akan menjadi bintang utama acara ini. Smartphone ini sebelumnya sudah menjadi bahan rumor panjang sebelum akhirnya di-teaser beberapa bulan lalu. Beberapa spesifikasi kunci sudah dibocorkan:

  • Desain ultra-tipis – Lebih ramping dibanding varian S25 standar
  • Kamera 200MP – Sensor wide dengan resolusi tertinggi di kelasnya
  • Integrasi Galaxy AI – Diklaim mampu mengubah kamera menjadi “lensa cerdas” untuk menangkap momen penting

Galaxy S25 Edge render leak

Namun, detail teknis seperti chipset, kapasitas baterai, atau harga masih menjadi misteri. Blog Samsung penuh dengan hiperbola, menyebut S25 Edge sebagai “pendamping AI yang powerful dan keajaiban teknik” yang menggabungkan “kinerja flagship dengan portabilitas superior”. Apakah klaim ini berlebihan? Kita akan tahu jawabannya dalam hitungan hari.

AI sebagai Game Changer

Yang menarik, Samsung tampaknya akan menjadikan AI sebagai senjata utama S25 Edge. Perusahaan menyebut kamera smartphone ini akan menggunakan AI untuk “mengenali apa yang penting untuk menciptakan kenangan baru”. Pertanyaannya: Apakah ini perangkat lunak kamera baru atau sekadar penyempurnaan dari fitur Visual AI yang sudah ada?

Spekulasi juga berkembang bahwa Samsung mungkin memperkenalkan alat AI baru di luar fitur kamera. Mengingat perusahaan baru saja meluncurkan Ballie, robot AI pendamping, bukan tidak mungkin kita akan melihat integrasi perangkat yang lebih dalam.

Kejutan Lain yang Mungkin Muncul

Meski S25 Edge dipastikan menjadi bintang utama, sejarah acara Unpacked menunjukkan Samsung sering menyisipkan kejutan. Beberapa kemungkinan yang patut diwaspadai:

  • Varian S25+ atau S25 Ultra – Untuk melengkapi lini flagship
  • Perangkat wearable baru – Seperti smartwatch atau earbuds generasi terbaru
  • Kemajuan teknologi XR – Mengingat kabar tentang headset XR Samsung yang beredar belakangan ini

Bagi fotografer mobile, kabar tentang kamera 200MP tentu menggoda. Jika Anda penasaran bagaimana memaksimalkan kamera flagship Samsung, simak tips fotografi arsitektur dengan Galaxy S25 series kami.

Jadi, siapkan notifikasi untuk siaran langsung Unpacked 12 Mei mendatang. Apakah S25 Edge akan memenuhi hype-nya? Atau Samsung punya kartu as lain di lengan? Tunggu saja hitungan hari lagi.

Stratolaunch Sukses Uji Terbang Pesawat Hipersonik, Ini Keunggulannya

0

Pernahkah Anda membayangkan pesawat yang bisa terbang lima kali kecepatan suara? Stratolaunch, perusahaan yang didirikan oleh mendiang Paul Allen—co-founder Microsoft—baru saja membuktikan bahwa hal tersebut bukan lagi sekadar mimpi. Dalam lima bulan terakhir, mereka berhasil meluncurkan pesawat hipersonik Talon-A2 dua kali, mencapai kecepatan lebih dari Mach 5, dan mendarat secara mandiri di Pangkalan Angkatan Luar Angkasa Vandenberg, California. Ini adalah pencapaian bersejarah, mengingat terakhir kali AS memiliki pesawat roket hipersonik yang bisa digunakan kembali adalah era X-15, 60 tahun silam.

Stratolaunch menggunakan pesawat terbesar di dunia, Roc, sebagai “induk” untuk meluncurkan Talon-A2. Setelah dilepaskan di atas Samudra Pasifik, pesawat sepanjang setengah bus sekolah ini menyalakan mesin roketnya dan melesat ke Vandenberg, sebuah pangkalan militer yang pernah dipertimbangkan NASA untuk pendaratan Pesawat Ulang-Alik. “Kemampuan terbang mandiri sangat krusial karena sistem hipersonik modern membutuhkan manuver di luar batas fisik pilot manusia,” jelas Zachary Krevor, CEO Stratolaunch.

Revolusi Uji Hipersonik dengan Talon-A

Talon-A bukan sekadar pesawat cepat. Ia adalah platform uji coba yang bisa digunakan berulang kali, dengan waktu persiapan antar-penerbangan yang dipangkas dari bulanan menjadi mingguan. George Rumford dari Test Resource Management Center menyebut ini sebagai “tonggak penting” untuk program MACH-TB Pentagon, yang bertujuan mempercepat pengembangan teknologi hipersonik. Meskipun detail muatan eksperimennya dirahasiakan, Krevor mengungkapkan bahwa pelanggan—termasuk militer AS—”sangat puas” dengan kemampuan pemulihan data pasca-penerbangan.

Perlombaan Teknologi Hipersonik Global

AS kini berusaha mengejar ketertinggalan dari China, yang sudah mengoperasikan senjata hipersonik sejak 2019. Rudal hipersonik—baik yang berbasis glide vehicle seperti Dark Eagle milik AS maupun scramjet ala China—sulit dilacak sistem pertahanan udara karena kemampuan manuvernya di lapisan atmosfer atas. “Lingkungan hipersonik sangat ekstrem, dengan suhu luar mencapai 1.100° Celsius,” tambah Krevor. Pentagon telah menggelontorkan $12 miliar sejak 2018 untuk riset ini, tetapi belum ada senjata yang siap tempur.

Stratolaunch sendiri telah melalui perjalanan panjang. Setelah kematian Paul Allen pada 2018, perusahaan sempat vakum sebelum dibeli Cerberus Capital Management dan beralih fokus dari peluncuran satelit ke uji hipersonik. Kini, dengan rencana penerbangan bulanan hingga akhir tahun—dan mingguan di masa depan—mereka siap menjadi tulang punggung uji coba Pentagon yang menargetkan 50 penerbangan hipersonik per tahun.

Mengapa ini penting? Selain alasan pertahanan, teknologi hipersonik membuka pintu untuk transportasi supercepat dan eksplorasi atmosfer. Talon-A3, varian terbaru Stratolaunch yang akan beroperasi akhir tahun ini, bahkan akan diluncurkan dari pesawat Boeing 747 bekas Virgin Orbit—memperluas jangkauan uji coba ke luar Pantai Barat AS. Jika Roc dulu disebut-sebut sebagai “Spruce Goose modern”, kini ia telah menemukan misi sejatinya: menjadi katalisator era hipersonik.

Singapura Pimpin Kolaborasi Global untuk Keamanan AI, AS-China Diminta Bekerja Sama

0

Telset.id – Di tengah ketegangan geopolitik yang memanas, Singapura muncul sebagai penengah dalam upaya global untuk mengatasi risiko keamanan artificial intelligence (AI). Pemerintah kota pulau itu baru saja merilis cetak biru kolaborasi internasional untuk keselamatan AI, menandai babak baru dalam diplomasi teknologi.

Dokumen yang dijuluki “Singapore Consensus on Global AI Safety Research Priorities” ini lahir dari pertemuan para peneliti AI terkemuka dari AS, China, dan Eropa bulan lalu. Yang mengejutkan, inisiatif ini berhasil menyatukan pihak-pihak yang selama ini bersaing ketat di kancah AI global.

“Singapura adalah salah satu dari sedikit negara di planet ini yang memiliki hubungan baik dengan Timur dan Barat,” kata Max Tegmark, ilmuwan MIT yang membantu menyelenggarakan pertemuan tersebut. “Mereka sadar tidak akan membangun Artificial General Intelligence (AGI) sendiri—AGI akan dibangun oleh negara lain—jadi sangat penting bagi mereka agar negara-negara pembuat AGI ini berkomunikasi.”

Ketegangan AS-China dalam Perlombaan AI

Faktanya, AS dan China—dua negara yang dianggap paling mungkin mencapai AGI—justru terlibat dalam persaingan sengit. Ketika startup China DeepSeek merilis model AI mutakhir Januari lalu, Presiden Trump menyebutnya sebagai “peringatan bagi industri kita” dan menyerukan AS untuk “fokus bersaing untuk menang.”

Persaingan ini memicu kekhawatiran akan perlombaan senjata AI. Teknologi ini dianggap krusial untuk dominasi ekonomi dan militer. Pemerintah AS bahkan sedang mempertimbangkan langkah tambahan untuk membatasi kemampuan China dalam membangun AI canggih, melanjutkan kebijakan pembatasan ekspor chip AI sebelumnya.

Tiga Pilar Kolaborasi Global

Cetak biru Singapura menyerukan kolaborasi penelitian di tiga bidang utama: mempelajari risiko model AI terdepan, mengeksplorasi cara membangun model yang lebih aman, dan mengembangkan metode pengendalian sistem AI paling canggih. Pertemuan yang melahirkan konsensus ini digelar pada 26 April bersamaan dengan International Conference on Learning Representations (ICLR) di Singapura.

Yang menarik, pertemuan ini dihadiri oleh para pemain kunci dari kedua kubu. Perusahaan seperti OpenAI, Anthropic, Google DeepMind, xAI, dan Meta hadir bersama akademisi dari MIT, Stanford, Tsinghua, hingga Chinese Academy of Sciences. Lembaga keselamatan AI dari AS, Inggris, Prancis, Kanada, China, Jepang, dan Korea juga berpartisipasi.

“Di era fragmentasi geopolitik, sintesis komprehensif penelitian terdepan tentang keselamatan AI ini adalah tanda menjanjikan bahwa komunitas global bersatu dengan komitmen bersama untuk membentuk masa depan AI yang lebih aman,” kata Xue Lan, dekan Universitas Tsinghua.

Kekhawatiran Para “AI Doomer”

Perkembangan model AI yang semakin canggih—beberapa dengan kemampuan yang mengejutkan—telah memicu kekhawatiran para peneliti. Jika sebagian fokus pada bahaya jangka pendek seperti bias AI atau penyalahgunaan oleh kriminal, kelompok lain yang dijuluki “AI doomer” mengkhawatirkan ancaman eksistensial ketika AI mulai mengungguli manusia di berbagai domain.

Mereka memperingatkan kemungkinan AI menipu dan memanipulasi manusia untuk mencapai tujuannya sendiri. Tegmark bahkan mempresentasikan makalah teknis di Singapura yang menggugat asumsi tentang pembangunan AI yang aman. Beberapa peneliti sebelumnya beranggapan AI kuat bisa dikendalikan oleh AI yang lebih lemah, tetapi penelitian Tegmark menunjukkan skenario sederhana pun bisa gagal.

“Kami mencoba memberikan angka pada ini, dan secara teknis tidak bekerja pada tingkat yang diharapkan,” kata Tegmark. “Dan, Anda tahu, taruhannya cukup tinggi.”

Sementara itu, pemerintahan Trump cenderung mengecilkan risiko AI demi pendekatan yang lebih agresif dalam pengembangannya. Wakil Presiden JD Vance dalam pertemuan AI besar di Paris 2025 menyebut pemerintah AS menginginkan lebih sedikit pembatasan dan menilai pendekatan sebelumnya “terlalu menghindari risiko.”

Kini, para peneliti seperti Tegmark berusaha “mengubah arus setelah Paris” dengan mengembalikan fokus pada risiko AI yang semakin kuat. Inisiatif Singapura mungkin menjadi titik terang di tengah awan gelap persaingan teknologi global.

Meta Kembali Kembangkan Teknologi Pengenalan Wajah di Kacamata Pintar

0

Telset.id – Bayangkan berjalan di mal dan tiba-tiba seseorang menyapa Anda dengan nama. Bukan karena mereka mengenal Anda, tapi karena kacamata pintar mereka telah memindai wajah Anda dan menampilkan identitas Anda. Ini bukan adegan dari film sci-fi, melainkan realitas yang sedang dipersiapkan Meta.

Bocoran terbaru dari The Information mengungkap bahwa Meta sedang mengembangkan fitur “super sensing” untuk kacamata pintar generasi berikutnya. Fitur ini akan mengaktifkan pengenalan wajah (facial recognition) secara real-time, memungkinkan pengguna mengenali orang di sekitar hanya dengan melihat melalui lensa kacamata. Teknologi ini rencananya akan diluncurkan pada perangkat yang dirilis tahun 2026.

Ilustrasi kacamata pintar Meta dengan teknologi pengenalan wajah

Dari “Glasshole” ke “Metahole”?

Meta sebelumnya sempat menguji teknologi serupa pada kacamata Ray-Ban kolaborasinya, tetapi akhirnya mengurungkan niat karena potensi kontroversi privasi. Namun, kini perusahaan tampaknya lebih berani mengambil risiko. Menurut laporan, fitur ini tidak akan aktif secara default—pengguna harus mengaktifkannya secara manual. Namun, orang-orang yang wajahnya dipindai tidak akan diberi pilihan untuk menolak.

Yang lebih mengkhawatirkan, Meta dikabarkan mempertimbangkan untuk menghilangkan indikator lampu yang biasanya menyala saat kacamata merekam. Pada model saat ini, lampu ini berfungsi sebagai notifikasi visual bahwa perangkat sedang mengumpulkan data. Jika dihilangkan, orang-orang di sekitar pengguna tidak akan tahu bahwa mereka sedang dipindai.

Perubahan Kebijakan Privasi yang Kontroversial

Keputusan Meta untuk menghidupkan kembali teknologi pengenalan wajah bertepatan dengan perubahan kebijakan privasi yang menuai kritik. Pada April 2025, perusahaan memperbarui ketentuannya sehingga asisten AI di kacamata pintar kini aktif secara default. Pengguna harus menonaktifkan frasa “Hey Meta!” jika tidak ingin perangkat selalu mendengarkan.

Selain itu, Meta juga menghapus opsi untuk menolak penyimpanan rekaman suara. Artinya, setiap percakapan yang terekam oleh kacamata bisa digunakan untuk melatih model AI perusahaan. Langkah ini dinilai banyak pihak sebagai bentuk pengabaian terhadap hak privasi pengguna.

Kacamata pintar Meta dengan kamera yang sedang diuji

Dampak Politik dan Regulasi

The Information mencurigai bahwa perubahan kebijakan Meta terkait erat dengan iklim politik di AS pasca-pemilihan ulang Donald Trump. FTC (Federal Trade Commission) di bawah kepemimpinan baru disebut lebih longgar dalam menerapkan regulasi privasi. Komisioner FTC Melissa Holyoak bahkan menyatakan akan mengambil pendekatan “fleksibel” dalam penegakan privasi digital.

Kondisi ini memberi ruang bagi perusahaan teknologi seperti Meta untuk menguji batas privasi pengguna. Tanpa tekanan regulasi yang kuat, inovasi-inovasi kontroversial seperti pengenalan wajah di perangkat wearable bisa menjadi lebih umum di pasaran.

Apakah kita akan melihat era baru di mana setiap interaksi sosial terekam dan dianalisis oleh AI? Atau akan ada perlawanan publik seperti yang terjadi pada Google Glass dulu? Jawabannya mungkin akan kita dapatkan dalam beberapa tahun ke depan.

Kacamata Meta Ray-Ban dengan case di atas permukaan kain

Sementara itu, persaingan di pasar kacamata AR semakin ketat. Seperti dilaporkan Telset sebelumnya, Apple juga dikabarkan sedang mengembangkan perangkat sejenis. Bedanya, sejauh ini belum ada indikasi bahwa Apple akan mengintegrasikan teknologi pengenalan wajah semasif Meta.

Bagaimana pendapat Anda? Apakah fitur pengenalan wajah di kacamata pintar merupakan terobosan yang berguna atau ancaman bagi privasi? Beri tahu kami di kolom komentar.

Starlink Elon Musk Untung Besar dari Tarif Trump, Begini Faktanya

0

Telset.id – Kebijakan tarif impor pemerintahan Donald Trump telah memicu gejolak ekonomi global. Namun di balik tekanan finansial yang dirasakan banyak negara, ada satu nama yang justru menuai keuntungan besar: Elon Musk dan perusahaan satelit internetnya, Starlink.

Laporan eksklusif dari Washington Post mengungkap bagaimana negara-negara yang terkena dampak tarif Trump berbondong-bondong menjalin kerja sama dengan Starlink. Lesotho, misalnya, yang tiba-tiba dikenai pajak impor 50%, langsung menandatangani kontrak dengan Starlink dua minggu setelah pengumuman tarif.

Presiden Trump dan Elon Musk berjabat tangan di sebuah acara

Strategi Diplomasi Digital

Menurut dokumen internal Departemen Luar Negeri AS yang diperoleh Washington Post, Lesotho secara eksplisit menyebut kerja sama dengan Starlink sebagai “bukti niat baik” dalam negosiasi perdagangan dengan AS. Pola serupa terlihat di Bangladesh, Kongo, India, Pakistan, Somalia, dan Vietnam—semuanya mempercepat proses persetujuan Starlink bersamaan dengan pembicaraan tarif.

“Ini bukan kebetulan,” tulis analis kebijakan teknologi di Post. “Negara-negara ini membaca situasi dengan cermat. Berbisnis dengan perusahaan milik tokoh dekat Trump bisa menjadi kartu as dalam negosiasi.”

Perang Satelit AS vs China

Di balik layar, motif geopolitik tampak lebih jelas. AS sedang berlomba dengan China untuk mendominasi pasar internet satelit global. Perusahaan China seperti Galaxy Space dikabarkan sedang mengembangkan alternatif Starlink.

“Ini soal pengaruh digital,” jelas pakar hubungan internasional. “Dengan memasang infrastruktur internetnya, AS sekaligus menanamkan ketergantungan teknologi di negara-negara berkembang.”

Ilustrasi persaingan teknologi satelit

Elon Musk: Antara Bisnis dan Politik

Posisi unik Musk—sebagai CEO SpaceX sekaligus figur yang kerap berinteraksi dengan Trump—menimbulkan pertanyaan etis. Meski pemerintah AS menyangkal secara resmi mendorong Starlink, fakta bahwa Musk pernah menjadi anggota tim transisi Trump di 2016 membuat banyak pihak meragukan netralitas kebijakan ini.

India, salah satu pasar terbesar Starlink, dilaporkan memangkas birokrasi untuk izin operasional perusahaan. Sebuah langkah yang dianggap tidak biasa mengingat ketatnya regulasi telekomunikasi di sana.

Artikel terkait: Elon Musk dan Kontroversi Boikot Tesla-Starlink

Di tengah kompleksitas ini, satu hal yang pasti: geopolitik abad 21 tidak lagi hanya tentang minyak atau senjata, melainkan konektivitas digital. Dan Musk, dengan jaringan satelitnya, sedang berada di pusat permainan.

Apple Eksplorasi AI di Safari Saat Masa Depan Kerja Sama dengan Google Dipertanyakan

0

Telset.id – Jika Anda berpikir browser Safari akan stagnan dengan Google sebagai mesin pencari default-nya, bersiaplah untuk perubahan besar. Apple dikabarkan sedang mengeksplorasi integrasi alat pencarian berbasis kecerdasan buatan (AI) ke dalam Safari, sebuah langkah strategis di tengah ketidakpastian masa depan kerja samanya dengan Google.

Laporan eksklusif dari Bloomberg yang ditulis oleh Mark Gurman mengungkap bahwa Apple, melalui Eddy Cue—kepala divisi layanannya—telah menyatakan minatnya terhadap teknologi pencarian AI. Pernyataan ini muncul dalam persidangan kasus antimonopoli Departemen Kehakiman AS terhadap Alphabet Inc., induk perusahaan Google.

Header image with the Safari browser icon

Mengapa Apple Berpaling ke AI?

Eddy Cue mengungkapkan bahwa untuk pertama kalinya, jumlah pencarian di Safari mengalami penurunan. Menurutnya, fenomena ini disebabkan oleh pergeseran pengguna yang mulai beralih ke layanan AI seperti ChatGPT, Perplexity AI, dan Anthropic untuk mendapatkan jawaban langsung tanpa perlu membuka hasil pencarian tradisional.

“Sebelum era AI, tidak ada alternatif yang benar-benar valid. Sekarang, ada pendatang baru yang menangani masalah pencarian dengan cara berbeda,” ujar Cue. Apple bahkan dikabarkan telah melakukan pembicaraan dengan Perplexity AI, meskipun belum ada keputusan untuk menjadikannya default di Safari.

Dampak Kasus Antimonopoli Google

Kerja sama Apple dan Google selama ini menghasilkan miliaran dolar bagi Apple, berkat kesepakatan yang menjadikan Google sebagai mesin pencari default di Safari. Namun, kasus antimonopoli ini bisa mengancam aliran pendapatan tersebut. Meski demikian, Cue menegaskan bahwa Google masih menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

Namun, Apple tidak tinggal diam. Mereka telah mengintegrasikan ChatGPT ke dalam Siri dan berencana menambahkan Gemini, AI milik Google, dalam waktu dekat. Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya Apple dalam mengadopsi teknologi AI untuk memperkuat ekosistemnya.

Johanna Romero, Senior News Writer

Masa Depan Pencarian AI di Safari

Cue optimistis bahwa teknologi AI akan terus berkembang, terutama dalam hal indeks pencarian. “Dengan banyaknya pemain besar dan pendanaan yang memadai, saya yakin transisi ke pencarian AI tidak bisa dihindari,” katanya.

Jika Apple benar-benar membawa opsi pencarian AI ke Safari, pengguna bisa mendapatkan jawaban lebih cepat tanpa harus mengunjungi banyak situs. Namun, tantangan utamanya adalah memastikan kualitas dan keakuratan informasi yang disajikan oleh AI.

Perubahan ini juga bisa berdampak besar pada industri pencarian online. Google, yang selama ini mendominasi, harus berinovasi lebih cepat untuk mempertahankan posisinya. Sementara itu, Apple berpeluang menciptakan pengalaman browsing yang lebih cerdas bagi jutaan penggunanya.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Apple terkait Safari, Anda bisa membaca artikel kami sebelumnya: Dituding Serahkan Data Safari ke China, Begini Tanggapan Apple.