Beranda blog Halaman 38

Vodafone Gunakan AI Avatar di Iklan, Respons Publik Terbelah

0

Telset.id – Bayangkan menonton iklan dengan seorang wanita yang tampak nyata, berbicara dengan lancar, namun ada sesuatu yang terasa aneh. Rambutnya bergerak tak wajar, ekspresinya datar, dan tahi lalat di wajahnya bergeser sendiri. Itulah yang terjadi dalam iklan terbaru Vodafone, yang memakai avatar AI sebagai bintang utamanya. Bukan sekadar eksperimen teknologi, langkah ini memicu perdebatan serius: sejauh mana brand global boleh “menipu” audiens dengan AI yang menyamar sebagai manusia?

Vodafone, raksasa telekomunikasi global, bukan startup kecil yang coba-coba membuat deepfake lucu untuk konten media sosial. Ini perusahaan dengan reputasi internasional, dan keputusannya menggunakan AI avatar dalam kampanye iklan resmi patut dicermati. Alih-alih menyembunyikan fakta bahwa itu bukan manusia sungguhan, Vodafone justru membiarkan “kekurangan” AI terlihat jelas—seolah ingin menguji seberapa jauh penerimaan publik terhadap teknologi ini dalam dunia pemasaran.

Respons perusahaan terhadap kritik di forum online justru mengungkapkan strategi yang lebih dalam. Ketika ditanya mengapa tidak menggunakan manusia sungguhan, Vodafone menjawab bahwa ini adalah bagian dari eksperimen untuk menguji berbagai gaya iklan. Mereka berargumen bahwa AI sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, jadi wajar jika dicoba dalam iklan. Namun, apakah alasan itu cukup untuk membenarkan penggunaan avatar AI yang masih memiliki kejanggalan visual dan audio?

AI Avatar Vodafone dalam Iklan Terbaru

Ini bukan pertama kalinya Vodafone bereksperimen dengan AI. Tahun lalu, mereka meluncurkan iklan yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI, yang menuai kontroversi meski kualitas visualnya dinilai buruk. Tren ini sejalan dengan maraknya influencer virtual yang membanjiri platform media sosial. Namun, yang membedakan adalah keberanian Vodafone sebagai brand mapan untuk menjadikan AI sebagai wajah utama kampanye mereka—bukan sekadar tambahan atau efek spesial.

Dari sisi teknis, kelemahan avatar AI dalam iklan Vodafone cukup mudah dikenali. Rambut yang terlihat tidak alami, gerakan fisik yang kaku, nada bicara yang datar, dan bahkan tahi lalat yang berpindah posisi. Semua itu adalah “tells” atau tanda-tanda yang biasa ditemui dalam konten AI generatif. Bagi mata yang terlatih, ini adalah pengingat bahwa kita sedang tidak berinteraksi dengan manusia sungguhan.

Pertanyaan besarnya adalah: apakah konsumen siap menerima iklan yang menggunakan AI avatar sebagai pengganti manusia? Di satu sisi, teknologi ini menawarkan efisiensi dan fleksibilitas—tidak perlu menyewa model, mengatur jadwal syuting, atau khawatir dengan konflik kontrak. Di sisi lain, ada risiko kehilangan sentuhan manusiawi yang justru menjadi inti dari iklan yang persuasif.

Vodafone mungkin sedang bermain di area abu-abu antara inovasi dan etika. Dengan menyebut ini sebagai “eksperimen”, mereka seolah memiliki pembenaran untuk mencoba hal baru tanpa harus berkomitmen penuh. Namun, sebagai brand besar, tanggung jawab mereka lebih besar daripada sekadar mencoba-coba. Audiens berharap transparansi, bukan kejutan yang membuat mereka merasa diperdaya.

Lalu, bagaimana masa depan iklan dengan AI? Jika Vodafone terus melanjutkan jalan ini, bukan tidak mungkin brand lain akan mengikuti. Tapi, penting untuk diingat bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan menggantikannya secara sembunyi-sembunyi. Keamanan digital dan transparansi menjadi kunci, terutama dalam era di mana teknologi semakin canggih dan sulit dibedakan dari kenyataan.

Vodafone telah membuka kotak Pandora dengan iklan AI avatar mereka. Sekarang, terserah pada konsumen dan regulator untuk menentukan sejauh mana praktik ini dapat diterima. Satu hal yang pasti: percakapan tentang etika AI dalam pemasaran baru saja dimulai, dan kita semua perlu waspada agar tidak tertinggal dalam pusaran teknologinya yang semakin deras. Seperti yang dilakukan IM3 dalam kampanye mereka, kolaborasi antara manusia dan teknologi bisa menjadi jalan tengah yang lebih beretika.

Google AI Mode Kini Dukung 5 Bahasa Baru, Termasuk Indonesia!

0

Telset.id – Bayangkan jika mesin pencari favorit Anda tak hanya paham bahasa Inggris, tapi juga mengerti nuansa lokal dalam bahasa Indonesia. Itulah yang kini ditawarkan Google dengan ekspansi besar-besaran AI Mode ke lima bahasa baru, termasuk bahasa kita. Apakah ini kabar gembira atau justru ancaman bagi trafik web lokal?

Google secara resmi mengumumkan bahwa AI Mode, fitur chatbot cerdas yang terintegrasi dengan Google Search, kini mendukung lima bahasa tambahan: Hindi, Indonesia, Jepang, Korea, dan Portugis Brasil. Ini adalah pertama kalinya sejak diluncurkan bahwa AI Mode tersedia dalam bahasa selain Inggris, menandai babak baru dalam upaya Google menciptakan mesin pencari yang benar-benar global.

Ekspansi bahasa ini bukan sekadar masalah terjemahan. Seperti diungkapkan Hema Budaraju, Wakil Presiden Manajemen Produk Penelusuran Google, membangun mesin pencari global memerlukan pemahaman mendalam terhadap informasi lokal. Dengan kemampuan multimodal dan penalaran dari versi kustom Gemini 2.5, Google mengklaim telah membuat lompatan besar dalam pemahaman bahasa, sehingga kemampuan pencarian AI paling mutakhir mereka menjadi relevan dan berguna di setiap bahasa baru yang didukung.

Perluasan ini merupakan bagian dari strategi ekspansi agresif Google. Sejak mulai diuji coba publik pada Maret lalu, AI Mode telah tersedia untuk semua pengguna di AS pada Mei, kemudian menyusul Inggris dan India. Pada Juli, Google menambahkan lebih banyak fitur termasuk dukungan untuk model Gemini 2.5 Pro dan Deep Search. Hingga bulan lalu, AI Mode telah hadir di lebih dari 180 negara, namun dengan keterbatasan hanya dalam bahasa Inggris.

Dampak pada Ekosistem Digital Lokal

Ekspansi bahasa AI Mode membawa implikasi signifikan bagi publisher dan konten kreator lokal. Di satu sisi, pengguna Indonesia kini dapat berinteraksi dengan AI Mode dalam bahasa mereka sendiri, mendapatkan jawaban yang lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan lokal. Namun di sisi lain, kekhawatiran tentang penurunan trafik web semakin mengemuka.

Google baru-baru ini mengklaim bahwa trafik ke website dari Search “relatif stabil” sejak peluncuran AI Overviews, dan bahwa “web sedang berkembang.” Namun, pengakuan yang sangat berbeda muncul dalam dokumen pengadilan pekan lalu, dimana pengacara Google menyatakan bahwa “web terbuka sudah dalam penurunan cepat.” Kontradiksi ini tentu mengundang pertanyaan: apakah ekspansi AI Mode justru akan mempercepat penurunan trafik web?

Bagi publisher Indonesia yang sudah merasakan dampak penurunan trafik, ekspansi AI Mode ke bahasa Indonesia mungkin diterima dengan perasaan ambivalen. Di satu sisi, ini membuka peluang baru untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Di sisi lain, kekhawatiran bahwa AI akan semakin mengurangi klik ke website asli semakin nyata.

Masa Depan Pencarian yang Lebih Personal

Dukungan bahasa lokal dalam AI Mode menandai evolusi fundamental dalam cara kita berinteraksi dengan informasi digital. Ini bukan sekadar tentang memahami kata-kata, tetapi tentang memahami konteks budaya, idiom lokal, dan nuansa bahasa yang membuat komunikasi manusia begitu kaya.

Fitur ini sejalan dengan tren ekspansi global AI Mode yang semakin memperkuat posisi Google dalam percaturan AI. Dengan kemampuan memahami bahasa lokal, Google tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi memberikan solusi yang benar-benar sesuai dengan konteks geografis dan budaya pengguna.

Pengembangan AI Mode yang terus menerus, termasuk penambahan fitur Canvas untuk perencanaan yang lebih mudah, menunjukkan komitmen Google untuk menciptakan pengalaman pencarian yang lebih intuitif dan membantu. Dukungan bahasa lokal adalah langkah logis berikutnya dalam menjadikan AI sebagai asisten digital yang benar-benar personal.

Lalu, bagaimana dengan masa depan konten web dalam bahasa Indonesia? Apakah publisher perlu khawatir atau justru melihat ini sebagai peluang? Jawabannya mungkin terletak pada adaptasi. Daripada melawan arus, publisher mungkin perlu memikirkan strategi baru bagaimana konten mereka dapat diintegrasikan dengan lebih baik dalam ekosistem AI, sambil tetap mempertahankan nilai unik yang hanya bisa didapat dengan mengunjungi website mereka langsung.

Ekspansi bahasa AI Mode juga membuka pertanyaan tentang bagaimana Google akan menangani konten dalam bahasa Indonesia. Apakah algoritma mereka sudah cukup memahami kualitas konten dalam bahasa kita? Bagaimana dengan dialek daerah dan variasi bahasa yang begitu kaya di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan seberapa sukses implementasi AI Mode dalam bahasa Indonesia benar-benar bisa memenuhi kebutuhan pengguna lokal.

Yang pasti, dengan dukungan bahasa Indonesia di AI Mode, pengalaman pencarian kita akan berubah selamanya. Pertanyaan sekarang adalah: sudah siapkah kita menyambut era baru dimana mesin pencari tidak hanya menemukan informasi, tetapi benar-benar memahami kita dalam bahasa kita sendiri?

Acer Perbarui Lini Nitro dengan Laptop, Desktop, dan Monitor Gaming Terbaru

0

Telset.id – Acer meluncurkan jajaran perangkat gaming seri Nitro terbaru, termasuk laptop, desktop, dan monitor berdefinisi tinggi, pada ajang next@acer di IFA 2025 di Berlin, Jerman. Peluncuran ini menghadirkan performa bertenaga AI, visual memukau, dan desain yang lebih tangguh untuk memenuhi kebutuhan gamer dan konten kreator.

Seri Nitro terbaru ini memadukan perangkat keras bertenaga, perangkat lunak pintar, dan visual imersif untuk meningkatkan pengalaman bermain game maupun produktivitas kreatif. Produk-produk yang diperkenalkan mencakup Acer Nitro V 16, Nitro V 16S, desktop gaming Nitro 70 dan Nitro 50, serta empat model monitor gaming baru.

Peluncuran ini menandai komitmen Acer dalam menghadirkan inovasi terdepan di industri gaming, sekaligus memperkuat posisinya sebagai salah satu pemain utama di pasar teknologi Indonesia. Seperti diketahui, Acer telah lama dikenal dengan lini produk gaming-nya yang kompetitif, termasuk laptop gaming dengan harga terjangkau dan performa andal.

Acer Nitro V 16: Performa AI dan Visual Sinematik

Acer Nitro V 16 (ANV16-72) dirancang untuk gamer dan konten kreator yang membutuhkan kecepatan, kejernihan, serta kemampuan multitasking yang dapat diandalkan. Laptop ini ditenagai prosesor Intel® Core™ 9 270H dan GPU NVIDIA® GeForce RTX 5070, yang menghadirkan gameplay sinematik yang mulus sekaligus pengalaman streaming yang lancar.

Dengan GPU GeForce RTX™ Seri 50 berbasis arsitektur NVIDIA Blackwell, perangkat ini telah ditingkatkan dengan tenaga AI yang tangguh sehingga visual menjadi lebih canggih dengan peningkatan performa dan frame rate. Perangkat juga dibekali software NVIDIA Studio serta fitur NVIDIA NIM Microservices, model AI mutakhir yang bisa digunakan sebagai asisten, dan mendukung alur kerja berbasis AI.

Layar laptop gaming ini mendukung resolusi WQXGA (2560×1600) dengan cakupan color gamut mencapai 100% sRGB dan refresh rate hingga 180 Hz, menghadirkan visual yang tampak lebih hidup dan super mulus. Sistem pendingin dengan dua kipas, empat saluran masuk (quad-intake), dan empat saluran keluar (quad-exhaust) memastikan performa tetap stabil bahkan saat digunakan dalam jangka waktu panjang.

Acer Nitro V 16S: Desain Portabel untuk Mobilitas Tinggi

Acer Nitro V 16S (ANV16S-71) hadir sebagai laptop gaming dengan dimensi yang ramping dan ringkas, memungkinkan para gamer bermain di mana saja. Dengan ketebalan kurang dari 19,9 mm dan berat hanya 2,1 kg, perangkat ini menawarkan portabilitas tanpa mengorbankan performa.

Laptop ini juga ditenagai prosesor Intel® Core™ 9 270H dan GPU NVIDIA GeForce RTX 5070, yang mendukung fitur DLSS 4 dan neural rendering untuk gameplay responsif dan pembuatan konten yang lebih cepat. Layarnya mendukung resolusi WQXGA (2560×1600) dengan cakupan color gamut 100% sRGB dan refresh rate 180 Hz.

Desain metal dengan ketebalan minimalis dan keyboard RGB 4-zona memberikan sentuhan modern dan stylish. Seperti varian Nitro lainnya, laptop ini dilengkapi aplikasi NitroSense untuk memantau performa secara real-time serta mengatur kecepatan kipas.

Content image for article: Acer Perbarui Lini Nitro dengan Laptop, Desktop, dan Monitor Gaming Terbaru

Desktop Gaming Nitro: Kekuatan dan Pendinginan Optimal

Desktop gaming terbaru Nitro 70 dan Nitro 50 dirancang untuk gamer hardcore yang menginginkan performa kompetitif. Acer Nitro 70 (N70X3D-100) menggunakan prosesor AMD Ryzen™ 9 9950X3D dan GPU NVIDIA GeForce RTX 5090 yang dapat memberikan performa AI hingga 3.352 AI TOPS.

Sementara itu, Acer Nitro 50 (N50-100) menggunakan prosesor AMD Ryzen™ 7 8700G dan GPU NVIDIA RTX 5080. Kedua desktop ini dilengkapi dengan sistem pendingin Acer Nitro CycloneX 360 dengan aliran udara yang 15% lebih baik, serta varian Nitro 70 yang memiliki sistem pendingin cair CPU 360 mm.

Keduanya juga sudah mendukung koneksi Wi-Fi 7, Acer Intelligence Space, dan casing dengan material tempered glass berstandar EMI dengan pencahayaan ARGB yang bisa dikustomisasi. Chassis 45L terbuat dari 65% plastik daur ulang PCR, menunjukkan komitmen Acer terhadap keberlanjutan lingkungan.

Monitor Gaming: Visual Imersif dengan Refresh Rate Tinggi

Acer memperluas lini monitor Nitro dengan empat model resolusi tinggi dan refresh rate cepat. Nitro XV275K V6 adalah monitor gaming 27 inci dengan resolusi 4K UHD (3840×2160), refresh rate 180 Hz, dan fitur AMD FreeSync Premium.

Content image for article: Acer Perbarui Lini Nitro dengan Laptop, Desktop, dan Monitor Gaming Terbaru

Nitro XV273U W1 menawarkan panel 27 inci beresolusi WQHD (2560×1440) dengan refresh rate yang bisa di-overclock hingga 275 Hz. Sementara Nitro XV270X menghadirkan resolusi hingga 5K (5120×2880) dengan rasio kontras 2000:1.

Yang paling mencolok adalah Nitro XZ403CKR, monitor layar lengkung dengan ukuran masif 39,7 inci dan curvature 1000R. Monitor ini menawarkan resolusi 5K WUHD (5120×2160), refresh rate hingga 288 Hz, dan speaker bawaan 5W.

Peluncuran seri Nitro terbaru ini semakin mengukuhkan posisi Acer di pasar gaming Indonesia. Produk-produk tersebut tidak hanya ditujukan untuk gaming, tetapi juga untuk konten kreator yang membutuhkan performa tinggi dan visual yang akurat. Seperti Predator Helios 300 SpatialLabs, lini Nitro juga menghadirkan teknologi terkini untuk pengalaman yang lebih imersif.

Spesifikasi produk, harga, dan ketersediaan akan bervariasi di masing-masing kawasan. Untuk informasi lebih lanjut mengenai ketersediaan produk Acer terbaru di Indonesia, masyarakat dapat mengunjungi laman www.acerid.com.

Dengan inovasi yang terus dilakukan, Acer membuktikan komitmennya dalam menghadirkan produk-produk gaming yang tidak hanya powerful tetapi juga ramah lingkungan. Seperti halnya Predator Helios 300 SpatialLabs Edition, seri Nitro terbaru ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gaming dan kreatif yang semakin berkembang di Indonesia.

Perbandingan Bezel Samsung Galaxy S26 Pro, S26 Edge, dan Xiaomi 16 Pro

0

Telset.id – Bocoran terbaru dari Ice Universe mengungkap perbandingan bezel layar antara Samsung Galaxy S26 Pro, S26 Edge, dan Xiaomi 16 Pro. Gambar yang dibagikan menunjukkan perbedaan signifikan dalam desain bezel ketiga ponsel flagship tersebut.

Ice Universe, leaker ternama, memposting serangkaian gambar yang membandingkan ketiga model secara berdampingan. Dalam gambar pertama, terlihat Galaxy S26 Edge di sebelah kiri, Xiaomi 16 Pro di tengah, dan Galaxy S26 Pro di sebelah kanan. Perbedaan ketebalan bezel langsung terlihat, dengan Xiaomi 16 Pro menunjukkan bezel paling tipis di antara ketiganya.

Samsung Galaxy S26 Pro, S26 Edge, and Xiaomi 16 Pro's bezels compared

Menurut Ice Universe, bezel Samsung Galaxy S26 Pro memiliki ukuran yang identik dengan pendahulunya, Galaxy S25. Samsung dikabarkan memilih untuk tidak lagi mengecilkan bezel, mengikuti strategi Apple dalam upaya penghematan biaya produksi.

Gambar close-up antara Xiaomi 16 Pro (kiri) dan Galaxy S26 Pro (kanan) semakin memperjelas perbedaan tersebut. Xiaomi 16 Pro menunjukkan bezel yang jauh lebih tipis pada semua sisi layar, sementara Galaxy S26 Pro mempertahankan bezel yang lebih lebar.

Samsung Galaxy S26 Pro, S26 Edge, and Xiaomi 16 Pro's bezels compared

Ice Universe menyatakan bahwa Xiaomi 16 Pro akan menggunakan teknologi layar paling mutakhir di industri, yang memungkinkan reduksi signifikan pada lebar bezel. Kombinasi bezel ultra-tipis dengan kelengkungan sudut yang ekstrem akan memberikan tampilan yang sangat mencolok pada ponsel flagship Xiaomi tersebut.

Perbandingan khusus antara dua model Samsung juga ditampilkan dalam gambar terpisah, dengan S26 Edge di kiri dan S26 Pro di kanan. Perbedaan desain antara model Edge dan Pro series Samsung tetap terlihat, meskipun keduanya berbagi filosofi bezel yang sama.

Samsung Galaxy S26 Pro, S26 Edge, and Xiaomi 16 Pro's bezels compared

Kebijakan Samsung dalam mempertahankan desain bezel Galaxy S26 Pro mirip dengan pendahulunya mengingatkan pada strategi yang diterapkan pada seri sebelumnya. Sementara itu, langkah agresif Xiaomi dalam mengurangi bezel menunjukkan komitmen mereka dalam inovasi desain layar.

Keberhasilan Xiaomi dalam menciptakan bezel ultra-tipis pada Xiaomi 16 Pro dapat menjadi penanda tren baru dalam industri smartphone. Seperti yang terlihat dalam perkembangan teknologi ponsel flagship sebelumnya, persaingan dalam hal rasio layar-ke-body terus menjadi fokus utama produsen.

Samsung Galaxy S26 Pro, S26 Edge, and Xiaomi 16 Pro's bezels compared

Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah apakah Xiaomi akan meluncurkan 16 Pro dan 16 Pro Max secara internasional. Model Pro sebelumnya hanya tersedia di China, namun dengan perubahan strategi tahun ini yang menawarkan dua model Pro dalam dua ukuran berbeda, kemungkinan distribusi global menjadi lebih terbuka.

Perbandingan bezel ini memberikan gambaran awal tentang arah desain smartphone flagship 2025. Seperti dalam perbandingan model Pro versus regular series, perbedaan desain sering kali menjadi pembeda utama antara varian dalam satu seri yang sama.

Industri smartphone terus menunjukkan evolusi dalam hal desain layar, dengan bezel menjadi salah satu aspek yang paling kompetitif. Bocoran ini memberikan insight berharga tentang bagaimana Samsung dan Xiaomi akan bersaing dalam hal estetika visual dan pengalaman pengguna pada produk flagship mereka mendatang.

PlayStation 6 Bakal Hadir dengan Disc Drive yang Bisa Dilepas?

0

Telset.id – Bayangkan jika Anda bisa membeli PlayStation 6 tanpa disc drive, lalu menambahkannya kapan saja sesuai kebutuhan. Bocoran terbaru mengindikasikan bahwa masa depan konsol PlayStation akan lebih fleksibel dari yang pernah kita bayangkan. Menurut laporan eksklusif dari Insider-Gaming, Sony dikabarkan akan meluncurkan PlayStation 6 dengan disc drive yang dapat dilepas—sebuah langkah yang tidak hanya praktis, tetapi juga penuh strategi.

Jika Anda mengikuti perkembangan PlayStation 5, Anda mungkin sudah familiar dengan opsi ini. Sejak 2023, Sony telah menjual PS5 dengan drive disc eksternal yang terpisah. Ternyata, langkah itu bukan sekadar eksperimen, melainkan fondasi untuk generasi berikutnya. Dengan PS6, Sony dikabarkan akan mempertahankan pendekatan yang sama: konsol tersedia dalam dua varian, dengan atau tanpa disc drive, dan drive tambahan dapat dibeli terpisah.

Sony PlayStation 5 console shown with a removable panel on a white background.

Mengapa Sony mempertahankan model ini? Salah satu alasannya adalah efisiensi manufaktur. Dengan menggunakan proses produksi yang sudah mapan, Sony dapat mengurangi biaya dan kompleksitas. Selain itu, ini adalah cara cerdas untuk memenuhi kebutuhan beragam gamer. Meskipun tren digital terus meningkat, masih banyak pemain yang setia pada fisik disc—entah untuk koleksi, resale value, atau sekadar nostalgia.

Namun, jangan salah: langkah ini juga menunjukkan bahwa Sony belum sepenuhnya siap untuk beralih ke konsol serba digital. Seperti yang pernah kami bahas dalam artikel tentang rilis PlayStation 5 Pro, Sony selalu berusaha menyeimbangkan inovasi dengan kenyamanan pengguna. Di sisi lain, handheld PlayStation yang sedang dikabarkan—seperti yang kami ulas dalam bocoran PlayStation 6 Handheld—tidak akan memiliki disc drive, menandakan bahwa masa depan gaming memang bergerak ke arah digital.

Lalu, bagaimana dengan tanggal peluncuran? Meskipun PS6 masih beberapa tahun lagi, anniversary PS5 Pro pada 7 November 2025 menandai titik tengah generasi PS5. Artinya, kita perlahan tapi pasti mendekati era PlayStation 6. Spekulasi tentang rilis game besar seperti Far Cry 6 yang tersedia gratis di berbagai platform juga menunjukkan bagaimana landscape gaming terus berubah, dan Sony ingin tetap relevan.

Gambar ilustrasi konsep PlayStation 6 dengan desain modular.

Jadi, apa artinya ini untuk Anda? Jika Anda adalah gamer yang masih mengoleksi disc, kabar ini tentu menggembirakan. Anda tidak akan dipaksa beralih ke digital sebelum siap. Sebaliknya, jika Anda lebih suka kemudahan digital, opsi tanpa drive tetap tersedia. Fleksibilitas adalah kuncinya—dan Sony tampaknya paham betul.

Dengan semua ini, apakah PlayStation 6 akan menjadi konsol terbaik yang pernah dibuat? Masih terlalu dini untuk mengatakan, tetapi satu hal pasti: Sony sedang membentuk masa depan gaming dengan cara yang inklusif dan cerdas. Tinggal tunggu bagaimana pesaing seperti Xbox merespons langkah strategis ini.

CEO Intel Lip-Bu Tan Ubah Strategi, Fokus AI dan Foundry

0

Telset.id – Apa yang terjadi ketika seorang CEO baru mengambil alih perusahaan teknologi sebesar Intel? Jawabannya mungkin lebih revolusioner dari yang Anda bayangkan. Lip-Bu Tan, sang CEO baru, tidak hanya melakukan pemotongan biaya biasa, tetapi melakukan transformasi budaya dan struktur yang mendalam. Dalam konferensi Goldman Sachs Communacopia + Technology, Wakil Presiden Perencanaan Perusahaan dan Hubungan Investor Intel, John Pitzer, mengungkap strategi Tan yang disebutnya “sangat berbeda” dari pendahulunya.

Yang menarik, perubahan ini bukan sekadar soal angka dan efisiensi, melainkan menyentuh inti bagaimana Intel beroperasi. Menurut Pitzer, restrukturisasi yang dilakukan setahun lalu hanya berupa pemotongan biaya tanpa mengubah cara bisnis dijalankan. Namun, yang dilakukan Tan di kuartal kedua tahun ini jauh lebih radikal: memotong 11 lapisan manajemen menjadi separuhnya, menciptakan organisasi yang lebih datar dengan akuntabilitas lebih tinggi.

Intel CEO Lip-Bu Tan at a tech conference with logos in the background.

Pitzer menjelaskan bahwa target utama Tan adalah birokrasi Intel yang dianggapnya menghambat pengambilan keputusan. “Budaya organisasi lama dinilai terlalu lambat dan menghasilkan keputusan yang buruk,” ujarnya. Sebagai bagian dari perubahan budaya ini, Tan bahkan memberlakukan kebijakan kembali ke kantor yang mulai diterapkan pekan lalu.

Lalu, apa prioritas Intel ke depan? Menurut Pitzer, ada empat fokus utama: memperbaiki bisnis chip x86, mengembangkan strategi AI, membuat bisnis foundry operational, dan memperkuat neraca keuangan. Keempatnya saling terkait dan menjadi pondasi transformasi Intel di era AI.

Strategi AI: Bukan Sekedar Ikut Tren

Dalam paparannya, Pitzer menyebut Intel berhutang kepada investor untuk memberikan pandangan lebih mendalam tentang strategi AI mereka. Rincian lebih lengkap dijanjikan akan dibagikan pada laporan kuartal ketiga. Namun yang jelas, ambisi Tan untuk pertumbuhan melebihi kisaran 3-5% yang mungkin dicapai dari perbaikan bisnis x86 intel.

“Untuk mencapai aspirasi tersebut, kami harus memiliki footprint yang lebih besar di AI,” tegas Pitzer. Menariknya, Intel percaya bahwa ekosistem x86 mereka membawa nilai tambah di pasar AI, khususnya dalam inferensi dan efisiensi daya. Ini menjadi area dimana Intel merasa bisa menjadi disruptif.

Perkembangan AI memang sedang panas diperbincangkan. Seperti yang kami laporkan sebelumnya, AI coding assistant picu 10x lebih banyak masalah keamanan, menunjukkan bahwa adopsi AI tidak selalu mulus. Namun Intel tampaknya mengambil pendekatan berbeda dengan memanfaatkan kekuatan existing mereka.

14A: Teknologi Baru dari Nol

Salah satu pengumuman paling menarik adalah tentang proses manufaktur 14A Intel. Pitzer menegaskan bahwa 14A adalah teknologi yang benar-benar berbeda dari awal, karena melibatkan pelanggan eksternal sejak tahap pertama pengembangan. Pendekatan ini kontras dengan 18A dimana Intel baru melibatkan pelanggan eksternal di fase development.

Intel foundry revenue and loss chart with Intel 18A progress updates and a person holding a wafer.

“Kami aktif terlibat dengan pelanggan eksternal untuk mendefinisikan node tersebut dalam fase definisi,” jelas Pitzer. Hasilnya, Intel tidak hanya mungkin membuat 14A cocok untuk pelanggan eksternal, tetapi juga bisa mendiskusikan pilihan desain dengan pelanggan untuk produk yang akan dirilis pada H2 2026 atau H1 2027.

Keyakinan ini didasarkan pada dua faktor utama: kesiapan dan kematangan PDK (Process Design Kit), serta kurva hasil. Pitzer menyatakan Intel merasa sangat baik tentang perkembangan 14A mereka.

Bisnis Foundry: Break Even Tahun 2027

Target ambisius lainnya adalah membuat bisnis foundry mencapai break even pada akhir 2027. Strateginya adalah dengan meningkatkan produksi menggunakan teknologi manufaktur 18A, terutama dengan mengandalkan volume dari Intel Products sendiri.

“Kami tidak perlu melihat banyak pendapatan foundry eksternal untuk mencapai break even operasional pada akhir 2027,” kata Pitzer. Pernyataan ini penting karena menunjukkan keyakinan Intel pada kemampuan internal mereka, sekaligus strategi yang lebih realistis dibandingkan hanya mengandalkan pelanggan eksternal.

Transformasi digital dan adopsi teknologi AI memang sedang terjadi di berbagai sektor. Seperti yang terjadi di Telkomsel Solution Day 2025, inovasi AI dan 5G menjadi pendorong transformasi digital Indonesia. Intel, dengan strategi barunya, berusaha mengambil peran penting dalam ekosistem ini.

Strategi integrasi digital juga menjadi kunci, mirip dengan yang dilakukan Telkom Indonesia dalam memacu market share B2B ICT. Pendekatan holistic yang melihat dari hulu ke hilir menjadi tren yang diadopsi banyak perusahaan teknologi besar.

Dengan semua perubahan ini, pertanyaan besarnya adalah: apakah strategi Lip-Bu Tan akan membawa Intel kembali ke puncak? Jawabannya mungkin belum bisa dipastikan, tetapi yang jelas, Intel sedang melakukan transformasi paling radikal dalam sejarah recent mereka. Dari birokrasi yang lambat hingga organisasi yang gesit, dari ketergantungan pada x86 hingga diversifikasi ke AI dan foundry – semua bergerak simultan.

Yang pasti, dunia teknologi pantas menantikan chapter baru Intel di bawah kepemimpinan Tan. Apakah ini akan menjadi comeback story of the decade? Waktu yang akan menjawabnya.

Samsung Galaxy Tri-Fold Bocor, Punya Desain Unik dengan Layar Cover di Tengah

0

Telset.id – Bayangkan ponsel lipat yang tak hanya membuka satu kali, tapi dua kali. Itulah yang sedang dipersiapkan Samsung dengan Galaxy Tri-Fold, dan bocoran terbaru menunjukkan desain yang sama sekali tak terduga. Berbeda dari Huawei Mate XT atau Mate XTs yang mengadopsi layout berbentuk Z, Samsung justru memilih pendekatan unik dengan menempatkan layar penutup di bagian tengah. Sebuah langkah berani yang bisa mengubah cara kita berinteraksi dengan perangkat lipat.

Bocoran ini datang dari akun @TechHighest di X, yang membagikan animasi One UI resmi milik Samsung. Animasi tersebut memperlihatkan dengan jelas bagaimana Galaxy Tri-Fold melipat di sekitar layar penutup sentral. Artinya, ketika perangkat dalam keadaan tertutup, layar yang bisa digunakan justru berada di panel tengah, bukan di panel terluar seperti yang selama ini diasumsikan banyak orang.

Animasi One UI menunjukkan mekanisme lipat Samsung Galaxy Tri-Fold

Lantas, apa keuntungan dari desain semacam ini? Pertama, pengguna akan lebih mudah mengambil foto selfie menggunakan kamera utama. Mengapa? Karena kamera utama tersebut terletak persis di samping layar penutup. Anda tak perlu lagi membuka ponsel sepenuhnya hanya untuk mengambil gambar dengan kualitas terbaik. Cukup gunakan layar penutup yang sudah tersedia.

Kedua, posisi sentral ini juga meningkatkan ergonomi. Pengguna dapat memegang perangkat yang terlipat dengan memegang panel yang tidak aktif, sehingga menghindari noda pada layar penutup. Desain ini tampaknya dirancang untuk kenyamanan sehari-hari, bukan sekadar untuk pamer teknologi.

Untuk urusan pengisian daya, Samsung juga tak lupa menyisipkan fitur wireless dan reverse wireless charging. Kumparan pengisian nirkabel ditempatkan di bawah modul kamera, memungkinkan ponsel digunakan seperti ponsel biasa saat sedang mengisi daya atau berbagi daya dengan perangkat lain. Detail kecil seperti ini menunjukkan bahwa Samsung serius membuat Tri-Fold tidak hanya inovatif, tetapi juga praktis.

Spesifikasi dan Pesaing

Meski ukuran layar utama belum dikonfirmasi secara resmi, laporan sebelumnya menyebutkan bahwa Galaxy Tri-Fold akan memiliki layar hampir 10 inci ketika dibuka sepenuhnya. Ukuran ini menempatkannya dalam jangkauan yang sama dengan Huawei Mate XTs, pesaing utamanya di segmen ponsel lipat besar.

Samsung juga dikabarkan akan tetap mempertahankan lini Fold tradisional mereka. Artinya, Galaxy Z Fold7 tetap akan hadir sebagai opsi bagi mereka yang lebih menyukai desain dua panel klasik. Keputusan ini menunjukkan bahwa Samsung tidak ingin meninggalkan pasar yang sudah ada, sambil secara bersamaan menjelajahi teritori baru dengan Tri-Fold.

Animasi One UI yang bocor ini juga mengindikasikan bahwa Samsung tidak sekadar mengikuti jejak Huawei. Mereka sedang berusaha menciptakan identitas sendiri di ruang ponsel lipat tiga. Sebuah langkah strategis yang mungkin akan membuahkan hasil positif, mengingat Samsung sudah mengkonfirmasi bahwa Galaxy Z TriFold akan debut sebelum 2026. Bocoran terbaru bahkan menunjuk pada peluncuran Oktober mendatang.

Dengan semua informasi ini, apakah Samsung akan berhasil mencuri perhatian? Atau justru Huawei yang tetap memimpin dengan desain Z-nya? Jawabannya tentu masih harus ditunggu. Namun satu hal yang pasti: persaingan di dunia ponsel lipat semakin panas, dan konsumenlah yang akan diuntungkan.

Bagi penggemar setia Samsung, kehadiran Tri-Fold mungkin menjadi angin segar. Tapi bagi mereka yang masih setia dengan desain klasik, dukungan software yang panjang untuk perangkat lama tetap menjadi pertimbangan penting. Apapun pilihannya, tahun depan akan menjadi tahun yang menarik untuk teknologi ponsel lipat.

Xiaomi 15T dan 15T Pro Siap Rilis Global, Tawarkan Spesifikasi Gahar!

0

Telset.id – Apakah Anda siap menyambut duo flagship terbaru dari Xiaomi? Setelah sukses dengan seri 14T tahun lalu, Xiaomi kini bersiap meluncurkan penerusnya: Xiaomi 15T dan 15T Pro. Tanggal 24 September telah ditetapkan sebagai momen peluncuran global, dan bocoran spesifikasinya sungguh menggiurkan. Seperti apa kejutan yang dibawa oleh kedua ponsel ini?

Xiaomi secara resmi mengumumkan tanggal peluncuran melalui platform X, meski belum merinci seluruh jajaran produknya. Namun, berbagai bocoran dan laporan dari sumber terpercaya mengindikasikan bahwa seri 15T akan hadir dalam dua varian: standar dan Pro. Keduanya dijanjikan membawa peningkatan signifikan baik dari segi perangkat keras maupun desain. Tidak main-main, Xiaomi sepertinya ingin benar-benar mengguncang pasar premium Android dengan tawaran yang sulit ditolak.

Varian Pro, khususnya, diprediksi menjadi bintang utama dengan fitur kamera periskop telephoto yang menawarkan zoom optik 5x (setara 115 mm). Ini adalah langkah berani yang jelas ditujukan untuk menarik para penggemar fotografi. Belum lagi dukungan chipset flagship MediaTek Dimensity 9400+ yang dijamin menghadirkan performa maksimal. Sementara itu, varian standar tak kalah menarik dengan Dimensity 8400 di dalamnya.

Bocoran desain Xiaomi 15T series dengan layar lebih besar

Layar kedua ponsel ini juga mengalami peningkatan ukuran menjadi 6,83 inci, lebih besar dibanding pendahulunya yang 6,67 inci. Bocoran juga menyebutkan bahwa RAM 12 GB dan penyimpanan 256 GB akan menjadi standar untuk kedua model. Dengan baterai 5.500 mAh dan ketahanan air serta debu berperingkat IP69, Xiaomi 15T series siap menemani aktivitas harian Anda tanpa khawatir.

Di sektor kamera, kolaborasi dengan Leica kembali dihadirkan. Konfigurasi triple camera terdiri dari sensor utama 50 MP, ultra-wide 13 MP, dan telephoto 50 MP. Perbedaan mencolok antara varian standar dan Pro terletak pada kecepatan pengisian daya: 67W untuk 15T dan 90W untuk 15T Pro. Harga yang diisukan mulai dari €649 (sekitar Rp 11,5 juta) untuk 15T dan €799 (sekitar Rp 14,2 juta) untuk Pro.

Dengan spesifikasi seperti ini, wajar jika Xiaomi 15T series diprediksi menjadi pesaing kuat bagi flagship lain di pasaran, termasuk dari Samsung. Kombinasi kamera Leica, chipset terkini, dan harga yang kompetitif memang sulit diabaikan. Apalagi, bocoran harga dan spesifikasi Xiaomi 15T semakin mengukuhkan posisinya sebagai alternatif serius.

Perbandingan kamera Xiaomi 15T Pro dengan fitur periskop zoom

Desain pun tak luput dari pembaruan. Bocoran CAD render menunjukkan perubahan signifikan pada tampilan fisik kedua ponsel. Meski tetap mempertahankan elemen khas Xiaomi, sentuhan modern dan ergonomis jelas terlihat. Kemunculan Xiaomi 15T and 15T Pro memang dinanti banyak kalangan, terutama mereka yang menginginkan ponsel dengan fitur lengkap tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.

Jadi, apakah Xiaomi 15T dan 15T Pro akan menjadi game changer? Jawabannya mungkin terletak pada bagaimana Xiaomi memposisikan kedua ponsel ini di tengah persaingan yang semakin ketat. Yang pasti, dengan segala keunggulan yang diusung, seri 15T berpotensi besar melanjutkan kesuksesan pendahulunya. Tinggal menunggu tanggal 24 September untuk membuktikannya sendiri!

Nah, bagi Anda yang penasaran dengan perkembangan teknologi terbaru, jangan lupa untuk bergabung dengan komunitas Telegram kami untuk update instan dan dapatkan newsletter harian gratis berita teknologi terbaik! Untuk update harian lainnya, kunjungi bagian Berita kami.

Mark Zuckerberg Tersandung Hot Mic Saat Bertemu Trump

0

Telset.id – CEO Meta Mark Zuckerberg tertangkap hot mic meminta maaf kepada Presiden Donald Trump usai menyebut angka investasi AI sebesar $600 miliar dalam acara makan malam di Gedung Putih, Kamis (5/9/2025). Insiden ini memicu sorotan atas hubungan dekat antara pemimpin teknologi dengan pemerintahan Trump.

Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah CEO teknologi terkemuka, termasuk Sam Altman dari OpenAI, Tim Cook dari Apple, dan Sundar Pichai dari Google. Mereka dipanggil Trump untuk menyatakan komitmen investasi dalam pembangunan infrastruktur AI di Amerika Serikat.

Saat giliran Zuckerberg, ia tampak tidak siap ketika Trump bertanya, “Berapa banyak yang akan Anda habiskan, kira-kira, dalam beberapa tahun ke depan?” Zuckerberg menjawab, “Ya ampun. Maksud saya, saya pikir mungkin sesuatu seperti, saya tidak tahu, setidaknya $600 miliar hingga tahun 2028 di AS. Ya.”

Setelah formalitas berakhir, Zuckerberg diduga mengira tidak sedang direkam dan meminta maaf kepada Trump. “Maaf, saya tidak siap untuk… Saya tidak yakin angka apa yang Anda inginkan!” ujarnya dalam rekaman yang kemudian viral di media sosial.

Momen ini menyoroti dua hal: kecenderungan industri teknologi untuk menyebut angka investasi tanpa persiapan matang, terutama di era AI, serta upaya mereka untuk berdamai dengan pemerintahan Trump setelah sebelumnya mengalami ketegangan politik.

Latar Belakang Ketegangan Trump-Zuckerberg

Trump telah lama menuduh Facebook, yang dimiliki Meta milik Zuckerberg, bersekongkol melawannya untuk menggagalkan kampanye presiden 2020. Pada Agustus tahun lalu, Trump mengatakan bahwa ia “memperhatikan Zuckerberg dengan saksama,” dan bahwa CEO Meta itu “akan menghabiskan sisa hidupnya di penjara” jika kembali bersekongkol melawannya.

Sejak itu, Zuckerberg dan eksekutif teknologi lainnya berusaha keras menunjukkan kesediaan mereka untuk bekerja sama. Upaya ini berhasil mengubah sikap Trump terhadap Zuckerberg, yang mulai berbicara lebih positif tentangnya.

Trump bahkan bercerita tentang bagaimana Zuckerberg terus meneleponnya untuk meminta maaf karena AI Meta melaporkan informasi tentang upaya pembunuhan yang dihadapinya. Tak lama sebelumnya, Zuckerberg menggambarkan respons Trump terhadap upaya pembunuhan yang gagal sebagai “salah satu hal paling keren yang pernah saya lihat.”

Pada November lalu, Trump mengundang Zuckerberg untuk makan malam di resor Mar-a-Lago miliknya. Kemudian pada Januari, Zuckerberg membuat salah satu pendekatan paling terbuka dengan melonggarkan standar Meta tentang ujaran kebencian, terutama pada topik seperti identitas gender dan imigrasi – dua isu yang sering dikritik Trump.

Perubahan Kebijakan Meta

Meta juga mengganti pemeriksa fakta pihak ketiga dengan fungsi catatan komunitas yang dilaporkan banyak mengalami kegagalan. Perubahan kebijakan ini dianggap sebagai bagian dari upaya Zuckerberg untuk mendekatkan diri dengan pemerintahan Trump.

Bibit pendekatan ini sebenarnya sudah ditanam sejak 2022, ketika Zuckerberg berjanji tidak akan lagi memberikan sumbangan politik. Sumbangan ratusan juta dolar selama pemilu 2020 dianggap oleh sebagian pendukung Trump membantu “mencuri” pemilu dari Trump.

Perkembangan terbaru menunjukkan bagaimana strategi AI Meta mengalami pergeseran yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk dalam hal pendekatan terhadap pemerintah.

Acara makan malam tersebut digambarkan sebagai ajang sikap menjilat yang memuakkan. CEO OpenAI Sam Altman, misalnya, memuji Trump karena “menjadi presiden yang sangat pro-bisnis, pro-inovasi.”

“Ini perubahan yang sangat menyegarkan,” kata Altman seperti dilaporkan Axios. “Saya pikir ini akan mempersiapkan kita untuk periode panjang memimpin dunia, dan itu tidak akan terjadi tanpa kepemimpinan Anda.”

CEO Apple Tim Cook juga mengucapkan terima kasih secara berlebihan kepada Trump, begitu pula dengan yang lainnya. CEO Google Sundar Pichai menyatakan kelegaan bahwa perusahaannya tidak harus dibubarkan setelah memenangkan putusan yang menguntungkan dalam kasus anti-trust besar.

“Anda mengalami hari yang sangat baik kemarin,” kata Trump kepada Pichai seperti dikutip CNBC, mengacu pada putusan baru-baru ini. “Saya senang ini sudah berakhir,” kata Pichai. “Menghargai bahwa administrasi Anda memiliki dialog konstruktif, dan kami dapat menyelesaikannya.”

Dinamika hubungan antara pemimpin teknologi dan Trump ini menunjukkan bagaimana pendekatan Zuckerberg terhadap platform tertutup telah berkembang seiring waktu, menyesuaikan dengan iklim politik yang berubah.

Insiden hot mic Zuckerberg bukan pertama kalinya CEO teknologi menjadi bahan bahan humor dan kritikan di Silicon Valley, tetapi kali ini terjadi dalam konteks politik yang sangat sensitif.

Pertemuan ini terjadi di tengah meningkatnya pengawasan regulator terhadap perusahaan teknologi besar. Investasi besar-besaran dalam AI yang dijanjikan para CEO ini akan memiliki implikasi signifikan bagi masa depan teknologi dan ekonomi digital Amerika Serikat.

Objek Misterius 3I/ATLAS Berubah Bentuk Saat Masuk Tata Surya

0

Telset.id – Sebuah objek misterius bernama 3I/ATLAS yang memasuki tata surya kita dari ruang antarbintang menunjukkan perubahan bentuk yang signifikan, dengan ekornya yang terus memanjang. Pengamatan terbaru menggunakan teleskop Gemini South di Chile mengungkapkan bahwa komposisi kimiawinya semakin mirip dengan komet lokal di tata surya, menantang asumsi awal para astronom.

Objek antarbintang ketiga yang pernah dikonfirmasi ini awalnya diamati memiliki proporsi karbon dioksida yang tidak biasa melalui empat teleskop NASA. Namun, data spektroskopi terbaru justru menunjukkan kemiripan mencolok dengan komet yang terbentuk dalam tata surya kita. “Kami senang melihat pertumbuhan ekornya, yang menunjukkan perubahan partikel dari gambar Gemini sebelumnya,” ujar Karen Meech, astronom dari University of Hawai‘i Institute for Astronomy yang memimpin program Gemini South.

Meech menambahkan bahwa tim berhasil mendapatkan gambaran pertama tentang komposisi kimia dari spektrum yang diambil. Pengamatan ini tidak hanya memberikan wawasan tentang komposisi 3I/ATLAS, tetapi juga tentang proses evolusi yang mungkin dibaginya dengan komet-komet lain di alam semesta.

Perubahan Signifikan dalam Perjalanan Antariksa

3I/ATLAS, yang sering dijuluki “bola salju kotor” oleh para astronom, merupakan tubuh es yang melepaskan gas saat mendekati Matahari. Semakin dekat objek ini dengan perihelionnya—titik terdekat dengan Matahari dalam orbitnya—aktivitasnya semakin meningkat, terkadang menghasilkan semburan epik.

Gambar yang diambil oleh Multi-Object Spectrograph (GMOS) pada teleskop Gemini tidak hanya menunjukkan ekor yang memanjang, tetapi juga koma yang luas dan bercahaya. Koma adalah atmosfer besar gas dan debu yang mengelilingi inti komet. Penemuan ini mengindikasikan bahwa debu dan es yang membentuk batuan antariksa ini menyerupai material yang menyusun komet lain dalam tata surya kita.

Penemuan objek antarbintang seperti 3I/ATLAS memberikan kesempatan langka bagi para ilmuwan untuk mempelajari material dari sistem bintang lain. Sebelumnya, objek serupa seperti Oumuamua juga telah memicu berbagai spekulasi, termasuk kemungkinan sebagai pesawat alien, meskipun akhirnya teridentifikasi sebagai fenomena alam.

Implikasi untuk Pemahaman tentang Alam Semesta

Data terbaru ini menunjukkan bahwa objek antarbintang seperti 3I/ATLAS mungkin berbagi banyak proses evolusi dengan komet yang lebih lokal dan familiar. Kesimpulan menarik ini dapat memiliki implikasi signifikan terhadap pemahaman kita tentang gumpalan es dan debu yang kesepian ini.

“Saat 3I/ATLAS melesat kembali ke kedalaman ruang antarbintang, gambar ini merupakan tonggak ilmiah sekaligus sumber keajaiban,” kata Meech. “Ini mengingatkan kita bahwa tata surya kita hanyalah bagian dari galaksi yang luas dan dinamis—dan bahwa bahkan pengunjung yang paling singkat pun dapat meninggalkan dampak yang langgeng.”

3I/ATLAS diperkirakan akan mencapai perihelionnya pada akhir Oktober, membawanya sangat dekat dengan Mars. Kedekatan ini memberikan kesempatan emas bagi para astronom untuk melakukan pengamatan lebih detail. Objek ini merupakan contoh langka dari material antarbintang yang dapat dipelajari secara langsung.

Penemuan objek-objek antarbintang seperti 3I/ATLAS dan eksoplanet lainnya terus memperkaya pemahaman kita tentang keragaman sistem planet di alam semesta. Masing-masing penemuan ini memberikan petunjuk tentang bagaimana planet dan komet terbentuk di berbagai lingkungan bintang.

Pengamatan berkelanjutan terhadap 3I/ATLAS akan terus memberikan data berharga tentang komposisi dan perilaku objek antarbintang. Para astronom di seluruh dunia terus memantau pergerakan objek langka ini sebelum akhirnya meninggalkan tata surya kita dan melanjutkan perjalanannya melalui ruang antarbintang.

AI Coding Assistant Picu 10x Lebih Banyak Masalah Keamanan

0

Telset.id – Penggunaan asisten kecerdasan buatan (AI) untuk coding ternyata menciptakan sepuluh kali lebih banyak masalah keamanan dibandingkan pengembangan tanpa bantuan AI. Temuan mengejutkan ini diungkap oleh firma keamanan Apiiro berdasarkan penelitian terhadap ribuan developer dan puluhan ribu repositori kode.

Menurut Itay Nussbaum, Product Manager Apiiro, developer yang menggunakan AI memang menghasilkan tiga hingga empat kali lebih banyak kode. Namun, kecepatan tinggi ini justru memicu celah keamanan yang signifikan. “AI tidak hanya menggandakan satu jenis kerentanan, tetapi semua jenis kerentanan sekaligus,” tulis Nussbaum dalam laporannya.

Ironisnya, beberapa “keuntungan” dari coding berbasis AI justru menjadi penyebab masalah ini. Apiiro menemukan bahwa error sintaks turun 76 persen dan bug logika – kode salah yang menyebabkan program beroperasi tidak benar – berkurang 60 persen. Namun, trade-off-nya sangat serius: privilege escalation (kode yang memungkinkan penyerang mendapatkan akses lebih tinggi ke sistem) meningkat 322 persen, sementara masalah desain arsitektur naik 153 persen.

“Dengan kata lain,” tulis Nussbaum, “AI memperbaiki typo tetapi menciptakan timebomb.”

Riset Terbaru Konfirmasi Tren Berbahaya

Temuan Apiiro ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh University of San Francisco, Vector Institute for Artificial Intelligence Canada, dan University of Massachusetts Boston. Meskipun belum melalui peer-review, studi tersebut menunjukkan bahwa “perbaikan” coding AI justru secara major menurunkan keamanan secara keseluruhan.

Data baru ini memperlihatkan betapa masifnya masalah keamanan AI. Dengan perusahaan seperti Coinbase, Shopify, dan Duolingo yang sekarang mewajibkan penggunaan AI untuk pekerja mereka, isu ini tidak hanya menciptakan lebih banyak kerentanan keamanan, tetapi juga menambah beban kerja bagi tim yang bertugas memperbaiki masalah tersebut.

Transformation terbesar AI di tempat kerja sejauh ini justru dalam menciptakan lebih banyak perbaikan yang harus disaring oleh pekerja manusia yang tersisa. Meskipun demikian, integrasi AI ke dalam coding – serta penulisan, audio, dan video – tidak menunjukkan perlambatan, yang berarti masalah ini akan menjadi jauh lebih buruk sebelum membaik.

Sebagaimana dilaporkan dalam riset sebelumnya, ancaman kode berbahaya yang dihasilkan AI semakin nyata. Perusahaan perlu waspada terhadap dampak jangka panjang dari adopsi AI yang terlalu agresif tanpa pertimbangan keamanan yang memadai.

Sementara itu, perkembangan strategi AI perusahaan teknologi besar seperti Meta juga patut diperhatikan. Pergeseran strategi AI Meta yang mulai menjauh dari open source mungkin menjadi indikasi bagaimana perusahaan menyikapi kompleksitas dan risiko keamanan AI.

Meskipun demikian, solusi untuk masalah keamanan AI coding masih dalam tahap pengembangan. Para ahli menyarankan pendekatan yang lebih hati-hati dan implementasi framework keamanan yang robust sebelum mengadopsi AI secara luas dalam proses development.

OpenAI Garap Film Animasi AI “Critterz” untuk Hemat Biaya dan Waktu

0

Telset.id – OpenAI telah bermitra dengan perusahaan produksi di London dan Los Angeles untuk membuat film animasi panjang yang sebagian besar dikerjakan dengan bantuan kecerdasan buatan. Film berjudul “Critterz” ini bertujuan mempercepat proses produksi sekaligus menghemat biaya, sekaligus menjadi demonstrasi teknologi AI bagi para eksekutif film di seluruh dunia.

Menurut laporan Wall Street Journal, film ini akan mengundang perbandingan dengan era awal film animasi CGI pada pertengahan 1990-an. Saat itu, Pixar—yang didanai besar-besaran oleh pendiri Apple Steve Jobs—berubah menjadi kekuatan besar dengan menghasilkan sederet film fitur yang sukses secara kritik dan komersial seperti “Toy Story” dan “Monsters Inc.”

Namun, apakah AI generatif akan menjadi revolusi besar berikutnya di industri animasi—apalagi menghemat waktu dan biaya produksi—masih harus dibuktikan. Banyak keanehan teknis masih perlu diatasi, dan seringkali memerlukan intervensi kreatif manusia untuk memperbaiki output yang cacat.

Film “Critterz” dikabarkan bercerita tentang makhluk hutan yang melakukan petualangan. Ide ini pertama kali digagas oleh spesialis kreatif OpenAI Chad Nelson tiga tahun lalu. Nelson sebelumnya telah membuat film pendek dengan judul sama, yang dirilis pada 2023 dengan pendanaan OpenAI.

James Richardson, salah satu pendiri Vertigo Films asal London yang bermitra dengan OpenAI untuk film ini, mengatakan kepada WSJ bahwa tujuannya adalah memangkas waktu produksi visi Nelson untuk “Critterz” dari tiga tahun menjadi hanya sembilan bulan. Anggaran film fitur ini kurang dari $30 juta, jauh lebih rendah dibanding film animasi lainnya.

Berita ini muncul ketika adopsi AI generatif—dengan berbagai tingkat keberhasilan—mencapai puncaknya di Hollywood. Perusahaan hiburan besar seperti Disney dan Netflix sudah bereksperimen dengan teknologi ini.

Dorongan penggunaan AI ini bisa memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi para kreator. Para ahli telah lama memperingatkan bahwa teknologi ini dapat menghapus pekerjaan manusia di industri animasi, terutama karena alat seperti generator gambar dan video semakin mampu menghasilkan materi yang terlihat meyakinkan.

Menanggapi kekhawatiran luas tentang animator manusia yang kehilangan pekerjaan, Nelson meyakinkan WSJ bahwa film ini tidak akan sepenuhnya bergantung pada AI. Aktor manusia masih akan memberikan suara mereka untuk karakter film. Seniman manusia juga akan memasukkan sketsa mereka ke dalam alat OpenAI.

Namun, apakah “Critterz” akan menjadi sukses masih jauh dari jaminan. Terutama mengingat reaksi balik luas yang telah diterima perusahaan karena menggunakan AI, penonton jelas telah menjadi waspada terhadap teknologi ini.

Menariknya, meskipun konten yang dihasilkan AI secara teknis tidak dapat diberi hak cipta, suara karakter yang dibuat manusia dan karya seni asli yang menjadi dasarnya masih dapat membuatnya memenuhi syarat untuk perlindungan hak cipta, kata para ahli kepada WSJ. Subjek ini telah menjadi titik pertentangan utama, dengan pemegang hak mengajukan gugatan terhadap OpenAI dan perusahaan AI lainnya karena mengizinkan alat mereka menghasilkan gambar dan klip karakter berhak cipta.

Baru pekan lalu, startup AI Anthropic setuju membayar $1,5 miliar sebagai bagian dari penyelesaian class action setelah ketahuan melatih model AI-nya pada ratusan ribu buku bajakan. Tren penggunaan AI dalam produksi konten terus berkembang, termasuk dalam pembuatan video AI seperti Veo 3 dari Google Photos yang mampu mengubah foto menjadi klip bergerak.

Perkembangan teknologi AI juga mempengaruhi perangkat yang digunakan para kreator. Sebagai contoh, laptop seperti Acer Aspire 7 Pro yang dirancang untuk bekerja dan bermain menjadi semakin penting dalam mendukung proses kreatif yang membutuhkan komputasi tinggi untuk rendering konten AI.

Industri film dan animasi terus berubah dengan cepat, dan “Critterz” dari OpenAI mungkin akan menjadi penanda penting dalam evolusi bagaimana teknologi AI mengubah cara kita menciptakan dan menikmati konten visual.