Telset.id – Dunia musik digital kembali diguncang kontroversi. Kali ini, Spotify menjadi pusat badai setelah sejumlah musisi menarik karya mereka dari platform streaming terbesar di dunia itu. Penyebabnya? Investasi CEO Spotify Daniel Ek dalam teknologi drone militer berbasis AI yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Band psychedelic rock asal Australia, King Gizzard & the Lizard Wizard, menjadi yang terbaru memboikot Spotify. Mereka secara resmi menghapus seluruh 27 album studio, plus album live dan kompilasi dari platform tersebut. Langkah ini diikuti oleh band eksperimental Xiu Xiu, yang juga mengumumkan rencana penarikan katalog musik mereka.
Protes terhadap Investasi Kontroversial
Dalam pernyataan resminya, King Gizzard & the Lizard Wizard secara terbuka mengkritik Daniel Ek. “CEO Spotify berinvestasi jutaan dolar dalam teknologi drone militer AI. Kami baru saja menghapus musik kami dari platform. Bisakah kami menekan para teknisi Dr. Evil ini untuk berbuat lebih baik?” tulis mereka di akun media sosial, Jumat (25/7/2025).
Protes ini merujuk pada keterlibatan Ek dengan Helsing, perusahaan pertahanan Eropa yang mengembangkan perangkat lunak AI untuk keputusan militer. Perusahaan ini diketahui beroperasi di Inggris, Jerman, dan Prancis. Prima Materia, perusahaan investasi milik Ek, baru saja mengumpulkan dana lebih dari 600 juta dolar AS untuk mendukung proyek-proyek kontroversial semacam ini.
Baca Juga:
Reaksi Keras dari Komunitas Musik
Jamie Stewart, pendiri Xiu Xiu, bahkan lebih keras dalam kritiknya. “Spotify menggunakan uang musik untuk berinvestasi dalam drone perang AI. Meskipun praktik keuangan semua layanan streaming sangat tidak berpihak pada musisi, tapi tindakan Spotify yang menggunakan keuntungan dari pencurian musik untuk membunuh orang demi menghasilkan lebih banyak uang, hampir tidak dapat dipahami,” tegas Stewart.
Band-band ini tidak hanya menarik musik mereka, tetapi juga secara terbuka mendorong penggemar untuk beralih ke platform lain. King Gizzard bahkan dengan sarkasme menulis di Instagram, “Lagu-lagu kami sudah ada di mana-mana kecuali Spotify (persetan Spotify). Kalian bisa membajaknya kalau mau.”
Kontroversi ini memicu perdebatan luas tentang etika bisnis di industri teknologi dan hiburan. Di satu sisi, perusahaan seperti Spotify berhak mengembangkan diversifikasi investasi. Di sisi lain, musisi dan kreator merasa hak moral mereka dilanggar ketika hasil karya mereka secara tidak langsung mendanai proyek-proyek yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sementara itu, platform streaming lokal seperti MAXstream justru mencatat pertumbuhan signifikan dengan pendekatan yang lebih berfokus pada konten lokal dan kolaborasi kreatif. Ini membuktikan bahwa ada alternatif model bisnis yang lebih beretika di industri digital.
Bagaimana Spotify akan merespons gelombang protes ini masih menjadi tanda tanya besar. Yang jelas, insiden ini telah membuka mata banyak pihak tentang kompleksnya hubungan antara seni, teknologi, dan etika bisnis di era digital.