Telset.id, Jakarta – Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto menilai tarif interkoneksi yang telah ditetapkan oleh Plt. Dirjen Postel lebih menguntungkan operator asing.
Penegasan itu disampaikan Adhi Wuryanto untuk menyikapi adanya kebijakan baru Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang menurunkan tarif interkoneksi sebesar 26% dari Rp 250 per menit menjadi Rp 204 per menit dan akan diberlakukan mulai 1 September 2016 nanti.
“Kami harap DPR yang telah membentuk Panja Interkoneksi dapat menghentikan Keputusan tersebut agar tidak merugikan bangsa ini lebih besar lagi,” kata Wisnu di Jakarta, Kamis (25/8/2016).
Wisnu menyayangkan sikap Kominfo yang terkesan terburu-buru dalam menetapkan tarif interkoneksi tanpa mendengarkan masukan dari operator, khususnya Telkomsel. “Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar bagi kami,” ujarnya menyesalkan.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom Asep Mulyana mengatakan bahwa kebijakan penurunan tarif interkoneksi akan menguntungkan operator asing. Di lain pihak, Telkomsel terancam kehilangan keuntungan yang signifikan karena harus mensubsidi cost interkoneksi-nya.
“Bila itu yang terjadi, maka sama saja bangsa Indonesia ini memberikan subsidi kepada asing,” ketus Asep Mulyana.
Hal itu, menurut Asep, sangat ironis jika mengingat maksud pemerintah mengundang investor asing ke dalam negeri justru agar ada percepatan pembanguan. “Jadi kami menolak keputusan tersebut, sebelum diadakan perhitungan yang make sense,” tambahnya.
Telkomsel selaku operator terbesar di Indonsia yang mayoritas sahamnya dimiliki Indonesia adalah operator yang paling dirugikan atas kebijakan tarif tersebut. Hal itu sangat logis mengingat jaringan Telkomsel yang sangat luas dengan pelanggan lebih dari 130 juta dan jumlah BTS 120 ribu.
Seperti diketahui, bahwa Telkomsel sudah menunjukan komitmennya membangun negeri melalui ekspansi coverage mencapai 95% wilayah NKRI. Jaringan yang sangat luas itu tentu membutuhkan investasi, biaya pemeliharaan, biaya operasi, biaya pengembangan jaringan yang luar biasa besar.
Biaya-biaya itulah yang seharusnya menjadi basis dari perhitungan biaya interkoneksi, sesuai dengan amanah Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999.[MS/HBS]