Telset.id, Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Informatika akan mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai tarif interkoneksi. Meski penetapan tarif interkoneksi merupakan domainnya Menkominfo, namun perhitungan tarif interkoneksi harus jelas dan adil.
Interkoneksi adalah kewajiban bagi semua operator untuk menjamin hak pelanggan untuk dapat saling berkomunikasi satu sama lain di seluruh wilayah Indonesia. Dalam draft Kepmen yang rencananya akan ditandatanganin Menkominfo tersebut, pemerintah berencana menurunkan tarif interkoneksi.
Seperti kita ketahui bersama bahwa Kominfo telah membuat Draft Penyempurnaan Regulasi Tarif Dan Interkoneksi pada tahun 2015. Di dalam draft tersebut dijelaskan bahwa biaya jaringan setiap operator akan berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan coverage, biaya investasi dan utilisasi.
Namun draft yang kala itu dibuat oleh Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kalamullah Ramli, diabaikan oleh Menteri Kominfo, yang akhirnya tetap menginginkan tarif interkoneksi turun tanpa melihat biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing operator telekomunikasi.
Menurut Dr. Ian Yosef M Edward, M.T, Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung, meskipun penetapan tarif interkoneksi merupakan domainnya Menkominfo, namun bukan berarti bisa menetapkan tarif tanpa adanya perhitungan yang jelas.
Ian menegaskan, bahwa seharusnya pemerintah dalam menetapkan tarif interkoneksi, pemerintah memasukan komponen biaya investasi, operasional dan perawatan jaringan.
“Di dalam prinsip perhitungan tarif interkoneksi itu tidak boleh ada operator yang mengambil untung dan tidak boleh ada operator yang dirugikan. Namun seharunya pemerintah juga harus menghitung komponen investasi. Jika ada operator yang tidak pernah bangun namun tiba-tiba minta interkoneksi dengan biaya yang sama saya rasa tidak fair,” ujar Ian.
Menurut Ian pemberlakuan tarif interkoneksi yang berbeda-beda adalah suatu keniscayaan yang berkeadilan, karena demi kepentingan pelanggan dalam interkoneksi tidak ada operator yang dirugikan maupun diuntungkan.
“Yang paling fair dalam menetapkan tarif interkoneksi adalah dengan menggunakan metode cost base seperti yang tertuang di dalam Draft Penyempurnaan Regulasi Tarif Dan Interkoneksi pada tahun 2015,” terang Ian.
Jika pemerintah ‘ngotot’ memberlakukan tarif interkoneksi tanpa menggunakan perhitungan yang jelas, bisa membuat operator yang malas membangun jaringan tambah malas membangun. Sedangkan operator yang rajin membangun akan kesulitan untuk mengembangkan jaringannya.
Ian menyebutkan, sebelum menetapkan tarif interkoneksi, seharusnya pemerintah terlebih dahulu membuat keseimbangan dengan memaksa para operator memenuhi komitment pembangunan yang telah tertuang di dalam modern licensing telekomunikasi.
“Jika tak ada operator yang membangun jaringan dan pemerintah terus menekan tarif interkoneksi, lalu siapa yang akan melakukan pengembangan dan perawatan jaringan dikemudian hari,” tanya Ian.
Equal Treatment
Hal senada juga diutarakan Mundar Wiyarso, pengamat telekomunikasi. Menurutnya filosofi interkoneksi adalah equal treatment, baik itu menyediakan network maupun jasanya. Jangan ada satu operator saja yang membuat jaringan namun operator lainnya hanya memberikan service saja. Jaringan hanya ‘nebeng’ dan meminta harga murah.
Mundar memberikan contoh equal treatment yang dilakukan antara Telkom Grup dengan XL. Saat ini XL memiliki jaringan yang sangat kuat di Sumatera, sedangkan Telkom Grup memiliki kekuatan jaringan di Indonesia Timur.
“Mereka saling membangun dan saling melakukan interkoneksi. Itu yang dinamakan equal,” jelas Mundar.
Jika sudah ada equal treatment dalam pembangunan jaringan, perhitungan tarif interkoneksi dengan menggunakan metode simetris bisa dilakukan. Namun jika pembangunan jaringan tidak setara, menurut Ian perhitungan secara simetris itu tidak bisa dilakukan.
“Jika tak ada operator yang membangun jaringan dan pemerintah terus menekan tarif interkoneksi, lalu siapa yang akan melakukan pengembangan dan perawatan jaringan dikemudian hari,” tanya Mundar.
Ia menyarankan Menteri Kominfo seharusnya bisa menggunakan perhitungan tarif yang telah dibuat oleh dirjen sebelumnya.
Sementara itu, H. Ahmad Hanafi Rais, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI menilai selama ini banyak kebijakkan Kominfo yang dinilai Komisi I kurang adil, dan tidak proposional yang condong memihak kepentingan sekelompok industri.
“Indikasi kurang adil dan tidak proposional Kominfo ini sudah menjadi kegelisahan teman-teman di Komisi I. Seharunya pemerintah bisa menjadi wasit yang benar. Dengan kondisi tersebut dalam waktu dekat kami akan meminta penjelasan dari Menkominfo,” kata Hanafi di Gedung Parlemen beberapa waktu lalu. [HBS]