Telset.id, Jakarta – Menkominfo Rudiantara akan segera meluncurkan aturan baru untuk menurunkan tarif interkonekasi sebesar 25%, yang diharapkan memangkas biaya panggilan telepon lintas operator (off-net) mendekati panggilan ke sesama operator. Namun rencana ini justru dianggap akan menghambat pembangunan jaringan.
Pasalnya pemerintah disarankan harus tegas dalam penetapan penurunan biaya interkoneksi dengan mempertimbangkan komitmen pembangunan jaringan dari setiap operator.
“Akhir-akhir ini, isu interkoneksi murah yang diusung pemerintah ramai dibicarakan. Sebagai veteran praktisi seluler, saya justru menghimbau agar Pemerintah menugaskan Operator memenuhi janjinya membangun jaringan sesuai lisensinya. Lisensi adalah kewajiban bukan hak,” tegas Anggota Dewan TIK Nas Garuda Sugardo, di Jakarta, Selasa (28/6/2016).
Menurutnya, semua operator harus membangun jaringan secara nasional, baru setelah itu menuntut interkoneksi murah secara resiprokal.
“Begitu baru adil dan bijaksana. Jangan lupa, bahwa makna interkoneksi adalah “siapa berbuat apa dan mendapatkan apa”. Telkomsel yang membangun jaringan di seluruh pelosok Nusantara, pantas menikmati hasilnya secara sejahtera. Siapa yang membangun jaringan diirit-irit, pantaslah dapatnya sedikit,” tukasnya.
Ditambahkannya, rahasia kekuatan Telkomsel sehingga bisa menguasai pangsa pasar lumayan besar karena konsisten mengembangkan jaringan.
Sebagai penguasa pasar, Telkomsel sejak dulu menerapkan strategi universal “RPA”. Retention berarti mempertahankan pelanggannya dengan program customer loyality. Penetrasi artinya ngerangsek pasar dengan penggelaran BTS ke segala penjuru berpopulasi. Dan Akuisisi, merebut pasar dengan cara membujuk pelanggan dari pesaing untuk berpaling.
Menurutnya, Indosat sebenarnya punya dua kesempatan mengimbangi Telkomsel, tapi disia-siakan. Pertama saat produk IM3 diluncurkan pada 2001. Kedua saat Satelindo merger dengan Indosat. Jumlah BTS dan pelanggan gabungan IM3 Indosat ditambah Matrix dan Mentari (Satelindo) sebenarnya hampir sama dengan Telkomsel.
“Bila saja manajemen Indosat saat itu paham doktrin seluler dan menggeber bisnisnya, pastilah kondisinya gak kedodoran seperti sekarang. Sayang sebagian besar saham Indosat sekitar 2014 dijual ke investor asing, maka jadilah pusing. Nasi telah menjadi bubur,” tandasnya.
Seperti diketahui, salah satu pemicu perang terbuka antara Telkomsel dan Indosat adalah belum kelarnya pembahasan biaya interkoneksi. Telkomsel meminta penurunan dengan mempertimbangkan komitmen pembangunan jaringan dan perhitungan berbasis biaya. Sementara kubu Indosat menyakini biaya interkoneksi bisa turun lebih di atas 50% karena belanja jaringan makin murah.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi mengingatkan jika penurunan biaya interkoneksi terlalu besar, akan terjadi nanti fenomena operator ogah membangun jaringan dan memilih menumpang di milik pemain lain.
“Sementara cost recovery operator dominan tidak akan mencapai titik impas. Soalnya mereka menderita kerugian karena dibayar dibawah biaya produksi. Ini jangka panjangnya yang dirugikan pelanggan juga,” katanya. (MS/HBS)