Telset.id, Jakarta – Potensi kerugian negara akibat perang tarif seluler antar operator telekomunikasi membuat sejumlah pihak meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Direktorat Jenderal Pajak segera turun tangan.
Komisioner Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan bahwa revisi PP 52/53 tahun 2000 ini malah akan menciptakan inefisiensi, dan bahkan berpotensi merugikan negara.
Alamsyah mengungkapkan, revisi PP ini memang seolah-olah membuat efisiensi. Padahal, efisiensi ini hanya terjadi pada sebagian operator saja. Namun di sisi lain bisa membawa kerugian multiplier effect bagi industri telekomunikasi.
“Jadi secara agregat tidak menguntungkan sektor telekomunikasi. Itu yang menjadi perhatian dari Ombudsman,” terang Alamsyah dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Bahkan, menurutnya, revisi PP 52/53 tahun 2000 ini cenderung berpotensi merugikan keuangan negara dan dapat menimbulkan maladministrasi.
Salah satu bukti mal administrasi yang akan terjadi adalah adanya perang tarif antar operator telekomunikasi. Alamsyah melihat indikasi perang harga antar operator telekomunikasi sudah mulai terlihat dari tarif promosi yang mereka keluarkan.
Memang tarif promosi diperbolehkan dalam regulasi telekomunikasi. Namun promosi yang tidak memiliki batas waktu yang jelas dan selalu diperpanjang oleh operator, menurut Alamsyah, bisa dikatagorikan sebagai perang harga.
“Jika perang harga ini terus terjadi maka potensi penerimaan negara dari PPn akan berkurang,” katanya.
Beberapa waktu yang lalu, XL Axiata mengeluarkan promosi Rp 59 per menit untuk tarif telepon antar-operator. Sebelumnya, Indosat Ooredoo mengeluarkan tarif promosi Rp 1 per detik untuk tarif telepon antar-operator.
Selain mengeluarkan tarif promosi, Indosat dan XL juga mengeluarkan paket bicara antar-operator yang dijual di bawah harga pokok produksinya. Indosat mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dibanderol Rp 135 ribu atau setiap menit Rp 225 per menit.
Sementara XL mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit seharga Rp 120 ribu atau Rp 200 per menit.
“Jika merujuk penetapan tarif interkoneksi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 250 per menit, ini artinya kedua operator itu melakukan dumping atau menjual produknya di bawah harga pokok penjualan,” tegas Alamsyah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, KPPU dan Ditjen Pajak harus segera memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif.
“Sebab perang tarif yang dilakukan oleh operator telekomunikasi tersebut mengarah ke predatory pricing yang berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak,” katanya.
Ketika operator menjual harga produknya di bawah harga pokok penjualan, akan membuat operator merugi. Jika merugi maka operator tak membayar pajak. Akibatnya negara tidak bisa melakukan belanja publik.
Yustinus menjelaskan, saat ini hanya satu operator telekomunikasi saja yang membayar PPh badan. Operator yang lain selalu rugi fiskal karena rugi selisih kurs dan biaya bunga. Seharusnya jika untung, maka operator tersebut masing-masing bisa membayar PPh badan sebesar Rp 2 triliun per tahun.
“Modus-modus seperti ini seharusnya diperiksa KPK dan Ditjen Pajak. Apalagi operator yang menggunakan nama Ooredoo, sudah pasti mereka membayar biaya lisensi dan mengurangi pendapatan negara lagi,” katanya.
“Di dalam pajak ada istilah pajak substance over form. Harus diuji apakah penggunaan merek akan meningkatkan kinerja atau profitabilitas. Kalau tidak ada kontribusinya itu tidak boleh dibayarkan,” tegas Yustinus.[HBS]