Telset.id, Jakarta – Pembubaran BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) membuat wewenangnya di bawah Kementerian Kominfo. Pembubaran lembaga “wasit” di industri telekomunikasi itu dikhawatirkan membuat industri telko jadi monopolistik.
Presiden Jokowi melalui Perpers Nomor 112 tahun 2020, telah resmi membubarkan 10 dewan, badan, dan komite bentukan pemerintah nonstruktural, salah satunya adalah BRTI.
Rencana pembubaran BRTI mendapat tentangan sejumlah pihak. Karena independensi Kominfo dipertanyakan karena bagian dari pemerintah.
Menurut Director Executive ICT Institute, Heru Sutadi, bahwa pembubaran BRTI akan membuat Indonesia mundur ke 20 tahun lalu tepatnya saat industri telekomunikasi bersifat monopolistik.
{Baca juga: Presiden Jokowi Bubarkan BRTI dan 9 Lembaga Lainnya}
“Regulator dipegang pemerintah artinya kita set back ke 20 tahun lalu ketika industri telekomunikasi dikembangkan secara monopolistik. Badan regulasi independen diperlukan agar kompetisi sektor telekomunikasi terjaga,” kata Heru saat dihubungi Tim Telset, Senin (30/11/2020).
Pengawasan dan pengendalian idealnya dilakukan oleh lembaga independen seperti negara-negara lain di dunia. Untuk itu akan tampak aneh kalau Indonesia tidak memiliki lembaga independen mengenai telekomunikasi.
“Ini kan isunya banyak, dari tarif, interkoneksi, penomoran, spektrum frekuensi, kualitas layanan, kemudian pengawasan dan pengendaliannya. Ini konsep dunia dan semua negara membentuknya,” tutur Heru.
Heru khawatir investor akan pergi dari Indonesia karena tidak ada wasit sehingga industri telko akan dikuasai oleh satu pihak atau bersifat monopolistik.
“Karena kembali ke era seperti jaman monopoli dulu, pemain telekomunikasi atau investor internasional ketar-ketir karena kompetisi tidak berjalan fair karena wasitnya tidak ada lagi,” tambah Heru.
Kominfo Jadi Wasit dan Pemain
Sementara itu, Ketua LPPMII Kamilov Sagala menilai bahwa BRTI layaknya seorang wasit di pertandingan sepak bola. Jika pemerintah berperan memiliki fungsi dan wewenang seperti BRTI maka Kominfo akan bermain sebagai seorang wasit dan pemain.
“Dalam sepak bola itu ada wasit, ada pemainnya. Kalau peran kedua itu dijalankan bersama oleh eksekutif sulit untuk menegakkan independensinya,” kata Kamilov.
Itu sebabnya, dia tidak setuju jika BRTI dibubarkan, dan kewenangannya masuk di bawah Kominfo, karena masyarakat dan industri telekomunikasi akan kehilangan wasit yang independen.
{Baca juga: Jokowi Diminta Jangan Bubarkan BRTI, Ini Alasannya}
“Penghilangan BRTI sangatlah kurang tepat dan kerugiannya sangat banyak terutama kepada konsumen dan pelaku industri,” jelas Kamilov.
Kamilov tidak menutup mata kalau selama ini muncul isu miring terhadap BRTI, tetapi bukan berarti lembaga tersebut harus dibubarkan.
“Memang belakangan ini banyak kabar miring terkait peran dari BRTI, tetap itu semua kembali ke personal di badan tersebut, tapi bukan berarti BRTI dibubarkan.” tegasnya.
Pendapat senada diungkapkan Sekjen Pusat Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, Ridwan Effendi. Menurutnya, sulit untuk menggantikan peran BRTI karena lembaga tersebut memiliki independensi yang kuat.
“Peran serta masyarakat sebagai regulator independen agak sulit digantikan setelah BRTI dibubarkan, kecuali nanti akan dibentuk lembaga baru,” kata Ridwan.
Selain itu, menurutnya, kehadiran BRTI juga merupakan komitmen Indonesia terhadap lembaga Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO dimana salah satu komitmennya adalah menghadirkan lembaga independen.
“BRTI itu dibentuk sebagai salah satu jawaban atas komitmen Indonesia ikut WTO,” tambah Ridwan.
Ridwan menegaskan, bahwa kalau Indonesia tetap menjadi anggota WTO, maka badan regulasi independen harus tetap ada. “Sesungguhnya kalau Indonesia tetap ikut WTO, badan regulasi independen tetap harus ada,” jelasnya.
{Baca juga: Regulasi ‘Konsolidasi Operator’ jadi Tugas Pertama BRTI}
Namun Ridwan tidak mau berkomentar terlalu jauh soal keputusan pembubaran BRTI oleh presiden, karena dia akan mengamati transisi pembubaran BRTI untuk satu tahun ke depan.
“Semua tentunya harus mulus transfer pekerjaannya supaya fungsi tetap berjalan. Ada masa transisi 1 tahun, kita lihat saja,” tutur Ridwan. [NM/HBS]