Kontroversi Ancaman Pasal Karet UU ITE, Memakan Banyak “Korban”

Telset.id – Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE menimbulkan kontroversi di masyarakat, karena dituding mengandung pasal karet. Sudah banyak orang yang diseret ke pengadilan karena terlalu “melarnya” pasal-pasal di UU ITE. Benarkah?

Sejak disahkan pada tahun 2008 dan direvisi tahun 2016, UU ITE telah menjerat banyak orang. Muncul anggapan, ada dua pasal karet dalam UU ITE yakni pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2).

Desakan dari berbagai kalangan pun bermunculan supaya pemerintah merevisi kembali Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena telah banyak memakan korban.

Apa itu Pasal Karet?

UU ITE dituding banyak pasal karet (Google) 

Sejatinya UU ITE diharapkan bisa lebih mengatur perilaku masyarakat supaya tidak menyalahgunakan kecanggihan teknologi. Menariknya, UU ITE selalu ramai diperbincangkan masyarakat sejak pertama kali disahkan.

Kontroversi timbul karena undang-undang ini telah banyak menjerat berbagai kasus yang terjadi di internet atau media sosial, seperti pencemaran nama baik, pornografi ataupun penipuan.

Tudingan miring pun diberikan pada UU ITE. Banyak pengamat dan penggiat hak asasi manusia menuding banyak pasal karet di UU ITE. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan pasal karet?

Menurut Kepala Divisi Akses Atas Informasi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) Unggul Sagena, pasal karet adalah pasal yang tidak memiliki tolak ukur yang jelas sehingga cenderung multitafsir

“Pasal karet pada intinya istilah untuk pasal-pasal yang tidak jelas tolok ukurnya, dan berpotensi implementasi yang salah pula dikarenakan multitafsir,” kata Unggul.

“Istilah tafsir memang setiap pasal yg dikenakan akan ada tafsir hanya saja, dalam hal pasal karet, tafsir penggunaannya dapat dan banyak terjadi, salah kaprah,” tambahnya.

Di dunia, pasal karet identik dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap raja atau negara.

Pasal tersebut dianggap pasal karet karena tidak memiliki tolak ukur yang jelas mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap raja atau pemerintah.

“Pasal karet di banyak peraturan/UU di seluruh dunia adalah jika ada pasal-pasal mengenai penghinaan, pencemaran nama baik,susila, kebencian, ancaman. Misalnya terhadap raja/ratu, istana di beberapa negara,” tambah Unggul.

Kemudian terdapat 4 pasal yang memiliki kecenderungan sebagai pasal karet. Pertama adalah pasal 27 ayat 1 mengenai  konten melanggar kesusilaan.

Berikut isi Pasal 27 ayat (1): “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Dokumen Elektronik sendiri menurut UU ITE adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik.

Dokumen termasuk tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Ancaman pidana dari pasal 27 ayat (1) tertuang dalam pasal 45 ayat (1) yaitu pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

{Baca juga: Kupas Tuntas UU ITE, Pasal Apa Saja yang Wajib Diketahui}

Kedua adalah pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik. Pasal ini menjelaskan mengenai tindakan penghinaan dalam bentuk informasi elektronik atau dokumen elektronik.

Berikut isi Pasal 27 ayat (3): “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Bagi yang melanggar pasal ini maka dapat akan mendapat hukuman dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta seperti tertulis pada pasal 45 ayat 3.

Ketiga adalah pasal 28 ayat (2). Pasal UU ITE ini mengatur tentang ujaran kebencian yang menimbulkan permusuhan antar suku, agama, ras (SARA).

Berikut isi Pasal 28 ayat (2): “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

Ancaman pidana dalam pasal ini diatur di pasal 45A ayat (2) dengan dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Keempat adalah pasal 29 mengenai ancaman kekerasan.

Berikut ini isi Pasal 29: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi”.

Ancaman pidana pasal 29 diatur dalam pasal 45 ayat (3) yakni pidana penjara Setiap
paling lama 12 tahun dan atau denda paling banyak Rp 2 miliar.

Menurut Unggul keempat pasal tersebut yang memiliki kecenderungan sebagai pasal karet karena sering disalahgunakan.

“Kecenderungan pasal-pasal ini disalahgunakan yang membuat ini menjadi karet,” kata Unggul.

Unggul menjelaskan bahwa keempat pasal tersebut justru sering disalahgunakan untuk membungkam kritik. Masyarakat yang awalnya ingin mengkritik pemerintah atau swasta justru dijerat oleh UU ITE.

“Dalam banyak kasus, terjadi pembungkaman kritik misalnya, baik terhadap pemerintah maupun institusi swasta,” ucap Unggul.

Serupa dengan Unggul, pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar justru menilai pasal karet yang ada dalam UU ITE adalah pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2).

Pasal tersebut dinilai multitafsir khususnya pasal 28 ayat (2) khususnya pada istilah “antargolongan” yang dinilai terlalu luas dan multitafsir.

Infografis jumlah kasus UU ITE (Tempo)

Apalagi saat Mahkamah Konstitusi (MK) membuat Putusan No. 76/PUU-X/2017 yang mengatakan istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama dan RAS melainkan meliputi lebih dari itu.

“Menurut saya pandangan MK tersebut telalu luas dan multitafsir atau karet karena bisa ditafsir semaunya,” ujar Abdul.

“MK rumuskan hukum pidana harus pasti dan ketat dan karena tidak boleh ditafsirkan secara luas,” jelas Abdul.

Abdul juga menilai kalau multitafsir berbahaya karena undang-undang justru bisa dijadikan alat politik untuk menjatuhkan seseorang atau kelompok.

“Penafsiran yang terlalu meluas bisa berdampak pada kemungkinan penggunaan hukum pidana diluar batas-batas kewajaran yang dapat diterima bahkan hukum pidana bisa jadi alat politik,” tutur Abdul.

Ratusan Orang Terseret Kasus UU ITE 

Prita adalah salah satu dari ratusan orang yang pernah terseret kasus pelanggaran UU ITE. Melansir Telset dari laporan SafeNet sejak tahun 2008 hingga April 2020 ada 325 orang yang terseret pasal UU ITE.

Mayoritas masyarakat terjerat pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) mengenai kasus pencemaran nama baik, pornografi dan ujaran kebencian. Masyarakat yang terjerat berasal dari berbagai kalangan.

Mulai dari ibu rumah tangga, wartawan, supir taksi dan lain sebagainya. Masih melalui laporan tersebut, tercatat bahwa ada ratusan kasus tersebut ada yang berakhir dengan putusan pengadilan ada juga yang dihentikan penyelidikannya oleh kepolisian.

Di luar catatan SafeNet kasus pelanggaran hukum UU ITE adalah kasus pencemaran nama baik dengan terdakwa musisi asal Bali, I Gede Ari Astina lebih dikenal dengan nama Jerinx.

Majelis Hakim  Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, memutuskan Jerinx bersalah dan melanggar UU ITE dengan pidana penjara 1 tahun 2 bulan dan denda sebesar Rp 10 juta atau subsider pidana 1 bulan kurungan.

Jerinx terbukti melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 54A ayat (2) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

I Gede Ari Astina atau Jerinx ditahan polisi karena melanggar UU ITE (foto : CNN Indonesia)

Jerinx harus mendekam di penjara karena melakukan ujaran kebencian kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di media sosial.

Unggul mengatakan sebenarnya sempat terjadi penurunan kasus UU ITE pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018 yakni dari 25 kasus menjadi 24 kasus. Namun masyarakat yang terjerat UU ITE semakin beragam yakni kalangan tenaga pendidik, aktivis dan wartawan.

“Sempat terjadi penurunan secara total kasus tahun lalu tapi peningkatan dari sisi korban aktivis/jurnalis dan juga tenaga pendidik dimana kedua profesi ini adalah krusial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutur Unggul.

Peran Penegak Hukum 

Unggul berpendapat bahwa untuk mengatasi pasal karet UU ITE adalah dengan mengedukasi para penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim Pengadilan.

Para penegak hukum harus diberikan edukasi mengenai UU ITE supaya bisa menegakan aturan dengan maksimal. Maksudnya ketika menerima aduan, penegak hukum dapat menganalisa aduan tersebut dan memberikan putusan dengan bijaksana.

“Untuk saat ini, Perlu edukasi ke penegak hukum agar menerima aduan dapat menganalisis dengan baik. saat ini perlu penegak hukum yang paham sehingga upaya-upaya kriminalisasi dan penggunaan pasal karet dapat diminimalisir,” tutur Unggul.

Selain itu Unggul juga menilai bahwa UU ITE memang harus direvisi kembali dan disertai pengesahan undang-undang pendukung seperti RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP), RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (Kamsiber) dan lain sebagainya.

“Tetap perlu revisi hanya saja UU terkait perlu dibuat dan disahkan agar iklim perundangan terkait dunia siber yang dinamis dan cepat berubah perlu disegerakan,” tutup Unggul.

Sedangkan Abdul menilai revisi harus dilakukan dan pasal karet yang berada di dalam UU ITE harus segera dicabut.

“Ya harus dicabut 2 pasal itu yakni pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) terutama tafsir yang luas tentang golongan dalam masyarakat,” tutup Abdul.

Jaga Jari dan Ucapan 

Masyarakat diharapkan dapat menjaga jari dan ucapannya, karena kasus-kasus pelanggaran UU ITE bermula dari perilaku jari dan ucapan (Foto: Kominfo)

Saat ini pemerintah belum memberikan sinyal akan merevisi UU ITE. Terlepas dari kontroversial yang terjadi, revisi UU ITE sudah disahkan dan masyarakat harus bijak saat mengakses media sosial dan teknologi supaya tidak melanggar UU ITE.

{Baca juga: Sebar Video Syur Mirip Gisel Terancam Kena UU ITE}

Masyarakat dapat menjaga jari dan ucapan karena kasus-kasus pelanggaran UU ITE bermula dari perilaku jari dan ucapan kita. Selain itu peran penegak hukum juga penting dalam penerapan undang-undang ini.

Penegak hukum diharapkan bisa menganalisa aduan yang diterima dan mengedepankan mediasi supaya kasus pelanggaran UU ITE tidak terus bertambah.

 

SourceSafeNet

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKAIT

REKOMENDASI
ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI