Telset.id, Jakarta – Penelitian terbaru dari GSMA Intelligence mengungkapkan biaya spektrum frekuensi di Indonesia yang semakin mahal bisa menjadi ancaman besar bagi operator seluler yang ingin berinvestasi dan merugikan Pemerintah Indonesia hingga Rp 216 triliun.
Laporan yang diluncurkan hari ini dengan judul “Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia”, menunjukkan bahwa sejak tahun 2010, perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler telah meningkat lebih dari 5 kali lipat di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi yang terkait dengan perpanjangan perizinan. Sebaliknya, pertumbuhan pendapatan industri tidak seiring dengan pendapatan rata-rata per pengguna layanan seluler di mana terjadi penurunan sebesar 48% selama periode yang sama (dalam USD).
GSMA, mengungkapkan bahwa rencana Pemerintah Indonesia untuk mendorong transformasi digital bisa terhambat, kecuali dilakukan peninjauan kembali terhadap penetapan harga spektrum seluler 5G.
BACA JUGA:
- GSMA Ungkap 4,3 Miliar Orang di Dunia Sudah Punya Smartphone
- OpenSignal: Kecepatan Download Indonesia di Bawah 10 Mbps
Analisis GSMA memperkirakan dalam skenario paling buruk, sekitar sepertiga dari manfaat sosioekonomi 5G, atau sekitar Rp216 triliun, bisa hilang dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2024-2030 jika harga pita spektrum baru masih mengikuti harga lama.
Selain itu biaya yang berkaitan dengan spektrum frekuensi di Indonesia kini sudah tinggi. Berdasarkan keterangan resmi yang diterima pada Kammis (09/11/2023), rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini berada pada 12,2%.
Sementara rasio rata-rata di kawasan APAC dan global masing-masing hanya sebesar 8,7% dan 7,0%. Dengan pasokan spektrum frekuensi yang akan berkembang secara signifikan di Indonesia, analisis GSMA menyatakan bahwa pengurangan harga satuan spektrum frekuensi sangat penting dilakukan guna menghindari total biaya yang melonjak.
Jika tidak, operator akan kesulitan melakukan investasi yang signifikan dalam pengembangan 5G. Kesulitan ini akan berdampak buruk seperti penyebaran jaringan yang lebih lambat, pengalaman seluler konsumen yang kurang baik, dan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi yang yang hadir dari aplikasi yang menggunakan 5G terbaru.
Untuk mencegah hal ini terjadi, laporan GSMA telah memberikan tiga rekomendasi penting untuk Pemerintah Indonesia, menjelang lelang spektrum frekuensi 5G mendatang. Pertama GSMA menyarankan penetapan harga tawar minimum yang lebih rendah untuk lelang pita spektrum frekuensi mendatang.
Kedua, mengevaluasi dan menyesuaikan formula yang mengatur biaya tahunan spektrum frekuensi. Pemerintah harus mempertimbangkan bagaimana parameter-parameter yang ada di kerangka formula saat ini bisa disesuaikan untuk memberikan insentif jangka panjang yang tepat.
BACA JUGA:
- ATSI Dorong Skema Insentif untuk Menjaga Bisnis Telekomunikasi
- Langkah Kominfo Supaya Industri Telekomunikasi Terus Tumbuh
Ketiga Indonesia seharusnya membentuk landasan yang kuat bagi ekosistem selulernya dengan merancang rencana spektrum frekuensi yang jelas dan komprehensif. Landasan ini tidak hanya perlu mempertimbangkan pita yang ada saat ini tetapi juga kebutuhan akan pita dalam jangka panjang, khususnya untuk spektrum frekuensi menengah.
“Dengan lelang spektrum frekuensi 5G yang akan datang, kami mendorong pemerintah untuk terus memberikan insentif bagi industri untuk berinvestasi dalam infrastruktur digital yang akan datang dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan manfaat sosial yang besar bagi masyarakat Indonesia,” kata Head of Asia Pacific GSMA, Julian Gorman.