Gempa M 7,5 Jepang Lukai 30 Orang, 969 WNI di Pusat Gempa Aman

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Telset.id – Bumi kembali berguncang dengan keras di kawasan yang akrab dengan gempa. Senin (8/12) malam, gempa berkekuatan magnitudo 7,5 mengguncang wilayah utara Jepang, tepatnya di lepas pesisir Prefektur Aomori. Getaran dahsyat yang berlangsung puluhan detik itu bukan hanya meninggalkan retakan di jalan dan memicu tsunami kecil, tetapi juga melukai puluhan orang. Namun, di tengah kekacauan itu, ada kabar yang menenangkan bagi kita di Indonesia: ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di episentrum gempa dilaporkan dalam keadaan aman.

Bayangkan Anda sedang bersantai di rumah pada malam yang dingin, tiba-tiba bumi bergoyang dengan kekuatan yang belum pernah Anda rasakan sebelumnya. Alarm peringatan di ponsel berbunyi bersahutan. Itulah yang dialami warga di Aomori dan Hokkaido. Perdana Menteri Sanae Takaichi mengonfirmasi, korban luka akibat bencana ini telah bertambah menjadi 30 orang. Satu di antaranya mengalami cedera serius di Pulau Hokkaido. Guncangan yang begitu kuat bahkan memicu gelombang tsunami setinggi 70 sentimeter, mengingatkan semua orang pada trauma gempa dan tsunami besar tahun 2011.

Lalu, bagaimana dengan ratusan WNI yang membangun kehidupan di sana? Apakah mereka selamat? Pertanyaan itu pasti terlintas di benak keluarga di tanah air. Beruntung, respons cepat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo memberikan jawaban yang melegakan. Meski berada di wilayah yang terdampak langsung, tidak ada laporan WNI yang menjadi korban. Kabar ini menjadi secercah cahaya di tengah berita duka dari gempa Jepang yang mengguncang itu.

Dampak dan Kekacauan di Lokasi Gempa

Rekaman visual dari lokasi gempa menggambarkan situasi yang mencemaskan. Retakan besar terlihat membelah beberapa ruas jalan, dan sebuah mobil dilaporkan terperosok ke dalam lubang yang menganga. Pecahan kaca dari jendela-jendela yang pecah berserakan di trotoar, menjadi saksi bisu kekuatan guncangan. Daiki Shimohata, seorang pegawai negeri berusia 33 tahun di Hashikami, Aomori, menceritakan pengalamannya kepada AFP. “Guncangannya belum pernah kami rasakan sebelumnya. Mungkin berlangsung sekitar 20 detik,” ujarnya. Ia dan keluarganya terpaksa bergegas keluar rumah, menggendong kedua anak mereka yang masih balita. “Guncangan ini mengingatkan saya pada bencana (tahun 2011),” tambahnya, menyiratkan betapa dalam trauma yang kembali dihidupkan.

Guncangan yang berlangsung sekitar 30 detik itu memaksa sekitar 28.000 warga untuk mengungsi. Tempat-tempat pengungsian darurat dilaporkan penuh, sebuah tantangan tambahan mengingat gempa terjadi di musim dingin dengan suhu yang mendekati titik beku. Sekitar 2.700 rumah di Aomori sempat mengalami pemadaman listrik, menambah kesulitan di malam yang gelap dan dingin. Namun, upaya pemulihan berjalan relatif cepat. Pada Selasa (9/12) pagi, listrik telah dipulihkan di sebagian besar wilayah, dengan kurang dari 40 rumah yang masih gelap.

WNI di Bawah Bayang-Bayang Gempa: Aman dan Terpantau

Di balik laporan korban dan kerusakan, perhatian khusus tertuju pada keselamatan WNI. KBRI Tokyo dengan sigap memantau situasi dan mengeluarkan pernyataan resmi. “Jumlah WNI di Aomori diperkirakan sekitar 969 orang. Hingga saat ini Selasa, 9 Desember 2025, pukul 08.30 JST belum terdapat laporan WNI yang menjadi korban,” bunyi pernyataan tersebut. Angka 969 bukanlah jumlah yang sedikit. Bayangkan, hampir seribu warga Indonesia hidup, bekerja, dan menetap di wilayah yang baru saja diguncang gempa besar. Fakta bahwa mereka semua selamat hingga laporan pertama diterbitkan adalah sebuah keberuntungan dan mungkin juga cerminan dari kesiapsiagaan.

Namun, KBRI tidak hanya berhenti pada pengumuman. Mereka aktif menyampaikan imbauan penting kepada WNI di seluruh Jepang. Imbauan itu mencakup instruksi praktis yang bisa menyelamatkan nyawa: terus memantau perkembangan situasi, mengikuti perintah evakuasi dari otoritas setempat, mempelajari rute evakuasi terdekat, dan yang tak kalah penting—mempersiapkan tas darurat. Tas darurat itu harus berisi dokumen penting, uang tunai, dan kebutuhan dasar. KBRI juga membuka hotline untuk dihubungi jika warga membutuhkan bantuan. Langkah proaktif ini menunjukkan bahwa perlindungan WNI di luar negeri tidak hanya reaktif saat bencana terjadi, tetapi juga preventif.

Kesiapsiagaan seperti ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua, di mana pun berada. Seperti yang pernah dibahas dalam analisis mengenai penyebab gempa Turki dan Suriah yang mematikan, mitigasi dan edukasi adalah kunci mengurangi korban jiwa. Jepang, dengan semua teknologinya, tetap mengandalkan kesiapan individu dan masyarakat. Apalagi negara-negara yang rawan gempa seperti Indonesia.

Respons Nasional dan Peringatan Lanjutan

Pascagempa, aktivitas publik sempat lumpuh. Layanan kereta cepat Shinkansen dihentikan sementara di beberapa area untuk pemeriksaan keselamatan rel. Kekhawatiran lain yang selalu muncul setiap kali gempa besar mengguncang Jepang adalah kondisi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Berita baiknya, tidak ditemukan kelainan di PLTN Higashidori di Aomori maupun fasilitas Onagawa di Prefektur Miyagi, menurut operator Tohoku Electric Power. Ini meredakan kecemasan akan repetisi bencana nuklir Fukushima.

Perdana Menteri Takaichi, dalam konferensi pers pada Selasa pagi, tidak serta merta menyatakan keadaan aman. Ia justru mengimbau warga untuk tetap waspada selama sekitar satu minggu ke depan. “Tolong dengarkan informasi dari JMA (Badan Meteorologi Jepang) atau pemerintah daerah… periksa apakah perabotan rumah sudah dipasang kuat… dan bersiaplah untuk mengungsi saat merasakan guncangan,” pesannya. Imbauan ini realistis, mengingat gempa susulan selalu mungkin terjadi. Kita masih ingat bagaimana Malang diguncang gempa susulan yang membuat warganet serukan #PrayforMalang.

Gempa di Jepang ini sekali lagi mengingatkan kita tentang betapa dinamisnya planet kita. Bumi di Cincin Api Pasifik tidak pernah benar-benar tidur. Seperti yang diungkap dalam laporan tentang gempa dahsyat Rusia sebagai peringatan untuk Indonesia, aktivitas seismik di satu titik bisa menjadi pertanda atau sekadar pengingat akan potensi serupa di titik lain. Teknologi pendeteksian pun terus berkembang, bahkan Google mengoprek smartphone Android jadi alat sensor gempa, menunjukkan upaya manusia untuk selalu selangkah lebih depan.

Jadi, apa yang bisa kita ambil dari peristiwa ini? Pertama, keselamatan ratusan WNI di Aomori adalah kabar yang patut disyukuri, sekaligus bukti pentingnya komunikasi dan pendataan yang baik oleh perwakilan diplomatik. Kedua, gempa M 7,5 di Jepang memperlihatkan bahwa bahkan negara paling siap sekalipun tetap rentan terhadap amukam alam. Ketiga, peringatan untuk tetap waspada pascagempa adalah hal yang bijak, baik untuk warga Jepang maupun kita di Indonesia yang hidup di garis gempa yang sama. Bencana mungkin tidak bisa dihindari, tetapi korban jiwa bisa diminimalisir dengan pengetahuan, persiapan, dan kewaspadaan yang tak kenal lelah.

TINGGALKAN KOMENTAR
Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TERKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI