Bayangkan bisa mengetik hanya dengan pikiran—tanpa perlu menggerakkan jari atau mengucapkan sepatah kata pun. Bagi Bradford Smith, pasien amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang telah kehilangan kemampuan berbicara, mimpi itu kini menjadi kenyataan berkat implan chip otak Neuralink milik Elon Musk. Namun yang lebih mengejutkan, Smith menggunakan chatbot kontroversial Grok untuk mempercepat komunikasinya di platform X.
“Saya mengetik ini dengan otak saya,” cuit Smith akhir bulan lalu. “Ini adalah komunikasi utama saya. Tanyakan apa saja! Saya akan menjawab setidaknya semua pengguna terverifikasi!” Ungkapan syukur kepada Musk pun tak lupa diselipkan. Tapi di balik kemajuan teknologi yang memukau ini, tersembunyi dilema etis yang pelik: sejauh mana kata-kata yang dihasilkan benar-benar mewakili pikiran Smith?
Ketika Otak Manusia Berkolaborasi dengan AI
Menurut laporan MIT Technology Review, strategi Smith menggunakan Grok sebagai asisten penulisan menuai pro-kontra. Di satu sisi, teknologi ini memungkinkannya berkomunikasi dengan kecepatan yang sebelumnya mustahil. Di sisi lain, kecerdasan buatan generatif berpotensi mengaburkan batas antara apa yang ingin diungkapkan Smith dengan saran yang diberikan Grok.
“Ada pertukaran antara kecepatan dan akurasi,” jelas Eran Klein, ahli neurologi dari University of Washington. “Janji antarmuka otak-komputer adalah jika Anda bisa menggabungkannya dengan AI, prosesnya bisa jauh lebih cepat.”
Buktinya? Dalam balasan ke pengguna X Adrian Dittmann—yang diduga akun palsu Musk—Smith menggunakan beberapa tanda pisah (em-dash), ciri khas respons chatbot AI. “Hei Adrian, ini Brad—mengetik langsung dari otak saya! Rasanya aneh, seperti saya cyborg dari film fiksi ilmiah,” tulis Smith.
Baca Juga:
Dilema Etis di Balik Kemajuan Teknologi
Smith mengakui peran Grok dalam menyusun responsnya. “Saya meminta Grok menggunakan teks itu untuk memberikan jawaban lengkap atas pertanyaan,” katanya kepada MIT Tech. “Saya bertanggung jawab atas kontennya, tapi saya menggunakan AI untuk menyusun draf.” Namun, ia enggan membahas lebih jauh dilema etis tentang chatbot AI yang berpotensi berhalusinasi.
Situasi ini semakin rumit karena Musk memegang kendali atas Neuralink, xAI (pembuat Grok), dan platform X. Pertanyaan kritis muncul: mungkinkah miliarder itu memengaruhi jawaban Smith? Fakta bahwa Smith nonverbal membuat garis batas ini semakin kabur.
Meski demikian, chip kecil di kepala Smith telah memberinya kebebasan personal yang luar biasa. Ia bahkan mulai berbagi konten di YouTube, mengedit video di MacBook Pro dengan mengendalikan kursor menggunakan pikirannya. “Ini video pertama yang diedit dengan Neuralink dan mungkin yang pertama diedit dengan BCI,” ujar suara AI-nya yang menakjubkan natural dalam video berjudul “Elon Musk makes ALS TALK AGAIN”.
Suara yang Hilang, Identitas yang Dipertanyakan
Smith menggunakan layanan ElevenLabs untuk mengklon suaranya dari rekaman sebelum kehilangan kemampuan bicara. Namun dengan mengandalkan alat seperti Grok dan ChatGPT, kemampuan Smith “berbicara” kembali memunculkan pertanyaan mendasar tentang hakikat kepenulisan dan kebebasan berekspresi bagi mereka yang kehilangan suara.
Ia sendiri mengakui bahwa terkadang ide yang diungkapkan bukan sepenuhnya berasal darinya. “Teman saya meminta ide untuk pacarnya yang mencintai kuda,” cerita Smith. “Saya memilih opsi yang menyuruhnya memberi karangan wortel. Ide yang kreatif dan lucu.”
Kisah Smith menjadi bukti nyata potensi revolusioner teknologi Neuralink yang kini membuka pendaftaran implan chip. Namun di saat yang sama, kolaborasi manusia-AI ini memaksa kita mempertanyakan: di mana batas antara bantuan teknologi dengan pengambilalihan identitas?
Dengan uji klinis Neuralink yang telah mendapat lampu hijau, pertanyaan-pertanyaan filosofis ini akan semakin relevan. Bagaimana kita memastikan teknologi yang dirancang untuk memberdayakan justru tidak secara halus mencabut hak paling dasar manusia: suara asli mereka sendiri?