Membuktikan Inovasi
Berbeda dengan Xiaomi dan OnePlus yang bukan anggota dari OHA (Open Handset Alliance), yakni gabungan perusahaan-perusahaan teknologi, baik pengembang software, hardware, dan operator yang bersama-sama mengembangkan patform terbuka perangkat mobile, Oppo dan Huawei termasuk sebagai anggotanya. OHA ini cikal bakal platform OS Android berkembang. Kebanyakan brand global adalah anggota OHA, bahkan sebagai barisan awal pendiri.
Mungkin karena anggota OHA, Huawei dilibatkan dalam proyek smartphone Google Nexus. Setidaknya ketika memiliki proyek khusus dengan Google, kemungkinan ada banyak bertukar insight dan transfer teknologi dari Google.
Xiaomi sendiri sempat bekerjasama dengan Google, tapi bukan dalam bidang smartphone, melainkan set-top box Google TV. Sayang, gaungnya tidak terlalu terdengar.
Entah ke depan apakah Oppo bisa bekerjasama dengan Google, tetapi sepertinya Oppo harus menunjukkan terlebih dahulu kemampuan inovasinya, terutama yang menonjol dalam produk hi-end.
Setelah berhasil merangsek ke-5 besar penjualan, Oppo juga mulai terlihat ambisius untuk menjadi pemain global dengan menunjukkan inovasi yang di capainya. Inovasi dari Oppo yang menarik sempat diperlihatkan di ajang MWC 2017, berupa teknologi kamera optical zoom 5x dengan memimik cara periskop bekerja, tidak membutuhkan ketebalan kamera yang lebih atau lensa yang bisa maju mundur seperti pada DSLR. Konsep yang menarik.
Hanya saja Oppo masih harus menunjukkan apakah memang teknologi ini bisa diterapkan dalam produk nyata yang diterima konsumen. Saat MWC 2017, memang sudah diperlihatkan mockup produk yang bisa di test dan berfungsi. Namun tetap butuh waktu sampai tekonologi tersebut memang matang, dan nyata bisa diterapkan pada produk yang dijual secara masal ke masyarakat. Kali ini, Oppo belum memberikan time-frame, kapan produk dengan teknologi kamera optical zoom 5x bisa diterima masyarakat.
Pasalnya, pada MWC 2016 sebelumnya, Oppo pernah memperkenalkan inovasi teknologi baru, smart sensor, diaman sensor kamera ini untuk menggantikan cara OIS (Optical Image Stabilization) konvensional bekerja. Pada OIS standar, butuh motor yang menggerakkan lensa untuk mengantisipasi goyangan. Sedangkan pada smart sensor, lensanya diam, dan sensornya yang bergerak.
Secara teori smart sensor ini akan lebih cepat bekerja dibanding OIS konvensional. Sayangnya sudah setahun lebih berlalu, smart sensor ini masih belum menunjukkan tanda perkembangan atau contoh dalam produk yang layak jual.
Memang setelah Oppo menemukan racikan marketing kamera sebagai nilai jual utama yang gencar digaungkan, inovasi-inovasi kamera ini akan jadi kekuatan menarik, karena teknologi kamera merupakan salah satu fitur utama yang dicari pembeli smartphone saat ini.
Bahkan, terkadang banyak orang hanya melihat fitur kamera saja untuk menilai bagus tidaknya sebuah smartphone. Hanya saja karena kebanyakan vendor sama-sama bertarung di sisi teknologi smartphone kamera, inovasi harus segera dibuktikan, kalau terlalu lama, akan bisa didahului teknologi lain.
Yang perlu diperhatikan dalam marketing masif Oppo akan teknologi kameranya adalah pembuktian hasilnya, karena kebanyakan perbandingan hasil kamera lebih ke brand-brand global sebagai barometer, misal vs Samsung, vs Apple, vs Google Pixel, vs LG, dll. Dan entah mengapa, tidak ada atau belum ada satupun hasil test kamera Oppo muncul dalam skor DxOmark yang sering menjadi acuan benchmark hasil kamera smartphone.
Oppo juga mengklaim sebagai yang pertama menemukan teknologi “six strings” antenna line. Teknologi ini berupa garis antenna yang biasanya tebal pada casing smartphone dari metal, digantikan dua bagian atas-bawah garis antenna, yang masing-masing terdiri dari tiga baris garis tipis hanya setebal 0.3mm.
Enam garis antenna ini dikatakan menangkap sinyal yang lebih baik untuk telepon dan WiFi. Secara kosmetik enam garis tipis ini lebih samar dibanding satu garis tebal, dan Oppo pertama kali menggunakannya untuk seri Oppo R9s, yang kemudian digunakan juga di seri F3 Plus.
Yang agak membingungkan, enam garis antenna ini juga digunakan Samsung Galaxy C9 Pro, seri smartphone yang pertama diluncurkan untuk negara China, yang kemudian juga masuk ke Indonesia. Jika melihat timele-nya, baik Oppo R9s dan Samsung Galaxy C9 Pro diumumkan di waktu yang sama, Oktober 2016. Jadi sebenarnya ide siapa 6 garis antenna ini?
Satu teknologi bagus yang sudah dibuktikan Oppo dan digunakan secara umum adalah VOOC Charger, yakni charging cepat yang menyaingi teknologi fast atau quick charge dari Qualcomm yang banyak digunakan pada smartphone brand lain.
Teknologi VOOC ini ditanamkan pada charger, sehingga tidak membuat smartphone lebih panas saat proses charging cepat. Dan terbukti lebih cepat proses charging-nya pada saat awal, sehingga menguntungkan untuk smartphone yang mulai kehabisan baterai. Teknologi ini bisa memungkinkan mendapatkan baterai yang cukup, dalam waktu charging yang singkat.
Teknologi VOOC ini tidak sepenuhnya unggul dibanding teknologi quick charging, walau angka-angka skor dan waktunya terlihat meyakinkan. Seperti seorang sprinter atau pelari cepat, teknologi VOOC akan mengisi cepat di awal, tetapi setelah jarak tempuh tertentu kecepatan si pelari mulai melambat. Jadi VOOC ini hanya cepat di awal, dan setelah baterai setengah penuh, pengisiannya mulai akan melambat.
Sedangkan teknologi quick charging memang tidak secepat VOOC di bagian awal, tetapi kecepatan pengisiannya lebih konstan. Sehingga seringkali pada akhirnya jika mengisi dari 0-100%, waktu pengisian antara teknologi VOOC dan Quick charging tidak berbeda.
Kekurangan teknologi VOOC adalah karena proses charging cepat dilakukan pada unit charger, sehingga smartphone tidak bisa menggunakan charger pihak ke-3 untuk memperoleh keuntungan charging cepat. Sementara quick charging bisa menggunakan charger dari pihak ke-3 yang memiliki teknologi yang sama, dan bisa juga menggunakan power bank yang mendukung teknologi quick charging.
Sementara Oppo berbenah dengan inovasi kamera pada bagian sensor kamera dan cara optical zoom yang baru, Vivo sendiri juga mulai mengembangkan inovasi teknologi kamera dari sisi lain, yaitu post processing dengan mencoba membuat chip DSP (Digital Signal Processor) sendiri.
Biasanya DSP ini sudah menyatu dengan SoC dari chipset yang digunakan, yang salah satu fungsinya bekerjasama dengan ISP (Image Signal Processor) dalam pengolahan gambar. Misalnya menghasilkan tingkat HDR (High Dynamic Range) yang lebih baik, menerangi bagian gambar yang terlalu gelap, membuat efek bokeh, dll. Chipset DSP rancangan Vivo sendiri masih menunggu untuk diterapkan pada produk yang bisa diterima konsumen.