Telset.id – Bayangkan ini: Anda sedang menelusuri media sosial, lalu tiba-tiba muncul konten influencer yang terasa terlalu dipaksakan. Apakah Anda langsung scroll atau justru tertarik? Jika jawabannya yang pertama, Anda tidak sendirian. Laporan terbaru dari impact.com dan Cube mengungkap perubahan drastis dalam lanskap influencer marketing di Asia Tenggara—di mana otentisitas kini menjadi raja, sementara kepercayaan pada influencer besar terus merosot.
Laporan bertajuk E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia 2025 ini menganalisis respons lebih dari 2.400 konsumen, kreator, dan pakar industri di enam negara, termasuk Indonesia. Temuannya jelas: affiliate marketing dan konten berbasis nilai (bukan sekadar promosi) sedang mengubah cara brand berkolaborasi dengan kreator. Facebook (91%) dan YouTube (89%) masih mendominasi penetrasi, tetapi YouTube unggul dalam hal engagement—terutama untuk konten influencer dan selebritas.
Kepercayaan Menurun, Kreator Kecil Bersinar
Data paling mencolok? Hanya 59% responden yang mengaku terpengaruh oleh mega influencer (pemilik lebih dari 1 juta followers), turun 7% dari 2024. Sebaliknya, micro dan nano influencer mengalami penurunan kepercayaan yang lebih kecil. Adam Furness, Managing Director APAC impact.com, menjelaskan: “Brand harus beralih dari metrik semu seperti jumlah followers, ke kemitraan jangka panjang yang benar-benar berdampak pada perilaku beli.”
Fenomena ini sejalan dengan prediksi iBooming tentang tren influencer marketing yang terus berkembang, tetapi dengan pendekatan lebih selektif. Konsumen kini lebih tertarik pada konten edukatif (64%) dibandingkan sekadar hiburan (77%), serta menginginkan transparansi—seperti tautan afiliasi langsung (31% lebih efektif daripada promosi tanpa link).

Baca Juga:
Affiliate Marketing: Senjata Rahasia Brand
Lebih dari 83% responden mengaku pernah membeli produk melalui tautan afiliasi—dengan kategori kecantikan (62%) dan fesyen (54%) sebagai yang terpopuler. Marketplace seperti TikTok Shop, Shopee, dan Lazada juga menjadi katalis, menawarkan komisi 4-13% bagi kreator. “KOS (Key Opinion Sellers) adalah segmen baru yang tumbuh pesat, terutama di TikTok Shop Thailand,” ungkap laporan tersebut.
Strategi ini selaras dengan kesuksesan program seperti afiliasi berbasis kinerja, di mana kreator dan brand sama-sama diuntungkan. Namun, tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara promosi dan konten organik—sebab 34% konsumen menemukan produk via marketplace, mengalahkan channel influencer (31%).
Langkah Brand Menghadapi Perubahan
Laporan ini memberikan tiga rekomendasi kunci: (1) prioritaskan kolaborasi dengan kreator yang memiliki audiens spesifik, (2) manfaatkan teknologi shoppable content, dan (3) bangun relasi jangka panjang alih-alih kampanye sekali pakai. Seperti diungkapkan dalam diskusi tentang kepercayaan digital, transparansi adalah kunci mempertahankan loyalitas konsumen.
Jadi, apa artinya bagi Anda? Jika Anda seorang kreator, fokuslah pada nilai dan relevansi. Jika Anda pemasar, tinggalkan metrik usang dan berinvestasilah pada hubungan otentik. Sebab di era ini, influencer bukan lagi sekadar wajah—melainkan mitra strategis yang membangun cerita bersama audiens.