Telset.id, Jakarta – Merebaknya wabah virus Corona (Covid-19) berdampak pada kegiatan ekonomi, khususnya industri telko yang menjadi salah satu motor bisnis dan perdagangan negara. Bagaimana pemerintah harus bersikap?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan virus Corona (Covid-19) sebagai pandemi global karena luasnya penyebarannya saat ini.
{Baca juga: Kominfo Dukung Seruan Presiden untuk Bekerja di Rumah}
Sejumlah negara pun terlihat fokus untuk mengelola dampak dari penyebaran Covid-19 dengan mengambil langkah Lockdown dan Social Distancing seperti penutupan penerbangan, pembatalan public events, peningkatan biosecurity, dan penjagaan lintas batas.
Tentu semua aksi itu berdampak ke kegiatan ekonomi. Khususnya bisnis dan perdagangan sebagai motor negara.
Bank Dunia memperkirakan pada 2014 bahwa endemi dengan skala dan dampak yang serupa dengan flu 1918 akan menurunkan 5% dari produk domestik bruto global. Penyakit tersebut tersebar luas dan mungkin lebih ganas dan membunuh lebih dari 50 juta orang dan itu adalah skenario terburuk.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan kembali memerintahkan jajarannya untuk menghitung ulang risiko pelemahan ekonomi global akibat merebaknya Covid-19 yang berpotensi merembet ke Indonesia.
{Baca juga: Sekolah Diliburkan, Kelas Pintar Berikan Layanan Belajar Online Gratis}
Bahkan, dalam sambutan rapat terbatas, Senin (9/3), Jokowi juga menyampaikan peluang dampak ekonomi lanjutan yang lebih panjang hingga 2021 nanti. Sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pun diyakini akan terkena dampak dari Covid-19.
Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto Darwin melihat bagi pemain TIK, pencegahan penyebaran dampak Covid-19 bisa mendatangkan peluang usaha tetapi juga ancaman bagi pelaku usaha di sektor tersebut.
“Social Distancing yang dilakukan pemerintah tentu mengubah perilaku sosial dan kerja masyarakat. Istilah Working For Home (WFH) atau Distance Learning menjadi familiar dan dianggap peluang bagi operator telekomunikasi di sisi trafik data,” kata Doni ketika membuka Diskusi Media “Nasib Industri Telko di Tengah Disrupsi Teknologi dan Covid-19”, di Jakarta, Senin (16/3/2020).
“Bagi pemain solusi ini menjadi berkah mengembangkan inovasi Unified Communication (UC) yang cocok bagi perusahan untuk WFH atau startup yang mengembangkan platform belajar online bagi kalangan pendidikan,” tambahnya.
{Baca juga: Antisipasi Corona, 7 Aplikasi Belajar Online Berikan Layanan Gratis}
Doni mengungkapkan, tantangan yang harus dihadapi oleh pemain TIK di tengah Covid-19 adalah soal suplay chain global khususnya untuk infrastruktur yang banyak tergantung dengan Tiongkok.
“Pemain besar infrastruktur jaringan itu kalau tidak dari Tiongkok, pabriknya ada di sana. Adanya pembatasan pergerakan manusia tentu berakibat bagi operator dalam upgrade kualitas untuk jaringannya, minimal untuk mendatangkan ahli asing,” ungkapnya.
Menurut Doni, kondisi sekarang tentunya operator membutuhkan sejumlah insentif atau suplemen seperti keringanan regulasi untuk mendukung pengembangan jaringan hingga kemudahan dalam melakukan transformasi digital.
“Sejatinya, regulasi baru yang menjadi beban bagi operator ditunda dulu. Kita semua harus fokus memperkuat pemain TIK agar mampu mendukung Indonesia keluar dari penyebaran Covid-19 ini,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) Andi Budimansyah mengungkapkan lonjakan penggunaan internet pasca-anjuran bekerja dan sekolah dari rumah akibat Covid-19, merupakan bentuk tanggung jawab operator seluler untuk tetap bisa melayani masyarakat.
“Dalam kondisi seperti sekarang ini, semua butuh internet dan internet butuh infrastruktur telekomunikasi. Untuk menghadapi Covid-19, perlu regulasi sederhana yang cepat dengan biaya yang wajar dalam hal ini,” ujar Andi.
“Termasuk untuk operator telekomunikasi, jangan ada biaya-biaya yang membebani sampai ke tingkat Pemerintah Daerah. Karena tanpa operator telekomunikasi, kita tidak bisa melayani kebutuhan internet untuk bekerja dan sekolah dari rumah,” tegas Andi lagi.
{Baca juga: Jokowi Imbau Masyarakat Kerja, Belajar, dan Ibadah dari Rumah}
Ia mengilustrasikan, saat ini pendapatan operator seluler hanya dari menjual paket data. Sementara pendapatan dari penggunaan panggilan telepon dan pesan singkat (SMS) dipastikan menurun karena layanan OTT yang disediakan aplikator asing.
“Sayangnya biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi minimal sebesar Rp1,2 triliun tetap harus dibayarkan ke pemerintah setiap tahun, entah operator itu untung atau rugi tetap harus dibayar. Kan lucu seperti ini, sementara operator harus berinvestasi juga menggelar kabel optik, menambah jaringan dan bandwith,” jelasnya. [HBS]