Telset.id, Jakarta – Sebagian dari kita mungkin pernah bertanya-tanya, bisakah manusia bertahan hidup tanpa apendiks, limpa, atau ginjal? Jawabannya adalah bisa meski dalam kondisi tertentu. Tapi, apakah manusia bisa hidup dengan hanya separuh otak?
Seperti dikutip Telset.id dari New York Post, Kamis (21/11/2019), pemindaian baru nan luar biasa dari enam pasien mengungkapkan bahwa manusia ternyata masih bisa hidup dengan separuh otak. Begini penjelasan ilmiahnya.
{Baca juga: Manusia Selama Ini Salah Gambarkan Kehidupan “Aneh” Alien}
Satu hemisfer otak enam pasien itu dihapus selama masa kanak-kanak untuk mengurangi kejang epilepsi parah. Pemindaian terhadap mereka menunjukkan bagaimana otak secara ajaib dapat memutar ulang dirinya sendiri.
Tujuannya untuk membantu tubuh berfungsi seolah-olah otak tidak utuh. Studi kasus tersebut, mengungkapkan bahwa otak membuat hubungan yang luar biasa kuat dia antara jaringan fungsional otak yang berbeda-beda.
Dan petugas medis telah terkejut melihat seberapa mampu pasien hidup dengan setengah otak.
“Mereka memiliki kemampuan bahasa yang utuh, ”kata penulis studi Dorit Kliemann, posdoktoral di California Institute of Technology.
Enam pasien yang dilibatkan dalam penelitian berusia 20-an tahun dan awal 30-an tahun. Mereka berusia tiga bulan sampai 11 tahun manakala mengalami penghapusan setengah otak untuk mengurangi kejang epilepsi parah.
Dokter mengira pemindaian akan menemukan koneksi yang lebih lemah dalam jaringan tertentu di orang yang hanya punya satu belahan otak. Ternyata, konektivitas global mereka normal. Koneksi antara jaringan berbeda cukup kuat.
Teknologi di dunia media memang semakin maju. Seperti penemuan para ilmuwan di Singapura yang bisa membuat sepotong kulit buatan yang dicetak printer 3D dalam waktu kurang dari satu menit.
{Baca juga: Hiii… Ilmuwan Singapura Cetak Kulit Manusia Pakai Printer}
Kulit manusia buatan seukuran kuku ibu jari itu merupakan hasil pengujian non-hewani untuk kosmetik dan produk lain.
“Terbuat dari sel-sel kulit dari donor dan kolagen, kulit in-vitro memiliki sifat kimia dan biologis yang sama dengan kulit manusia,” demikian kata John Koh, manajer laboratorium di perusahaan DeNova Sciences.
Dalam melakukan pengujian tersebut, DeNova Sciences bekerja sama dengan Nanyang Technological University Singapura. [SN/IF]