Telset.id, Jakarta – Foxconn menyebutkan bahwa pemerintah Amerika Serikat (AS) dan China sedang terlibat dalam perang teknologi, bukan perang dagang. Produsen kontrak elektronik terbesar di dunia ini menggambarkan perselisihan kedua raksasa ekonomi dunia itu sebagai tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan Taiwan.
Awal pekan ini Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa Washington akan mematok tarif impor China yang mencapai US200 miliar atau Rp 2.816 triliun hingga 10 persen jika Beijing membalas kebijakan Amerika sebelumnya yang menargetkan impor senilai US $ 50 miliar atau sekitar Rp 704 triliun.
Amerika menuduh China mencuri kekayaan intelektual mereka. Namun tuduhan tersebut terus dibantah Beijing.
“Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah perang dagang AS-China. Dalam hal bagaimana kami mengelola dan beradaptasi, ini adalah landasan berbagai rencana yang dibuat semua manajer tingkat tinggi kami,” kata Chairman Foxconn Terry Gou, seperti dilansir channelnewsasia.com, Jumat (22/6/2018).
Kendati demikian Gou tidak menjelaskan rencana yang sedang dipertimbangkannya. Amerika Serikat dan Cina adalah pasar ekspor utama Taiwan.
Berita Terkait: China Ungguli AS dan Eropa dalam ‘Pertempuran’ 5G
“Apa yang mereka perjuangkan sebenarnya bukan perang dagang, ini adalah perang teknologi. Perang teknologi juga merupakan perang manufaktur,” kata dia.
Foxconn juga dikenal sebagai Hon Hai Precision Industry Co Ltd. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari satu juta pekerja dan memiliki klien termasuk Apple Inc.
Analis mengatakan perang perdagangan Sino-AS bisa mengganggu rantai pasokan untuk teknologi dan industri otomotif, sektor yang sangat bergantung pada komponen yang di outsource seperti yang dipasok Foxconn dan menggagalkan pertumbuhan ekonomi global.
Baca juga: Tak Cuma 5G, China Juga akan Menangkan Persaingan AI
Rabu lalu, penasihat pemegang saham Foxconn Hermes EOS mendesak perusahaan untuk memberikan rincian lebih lanjut kepada investor tentang perencanaan suksesi eksekutif senior dan mempertimbangkan untuk memisahkan peran ketua dan kepala eksekutif.
Gou, yang baru-baru ini merayakan 30 tahun bisnis Foxconn di China, mengatakan dirinya tidak punya rencana untuk pensiun dalam lima tahun ke depan, tahun-tahun yang dia gambarkan sebagai tahun penting, tanpa merinci alasnya.
Awal bulan ini China Labour Watch mengkritik Foxconn karena menerapkan kondisi kerja yang keras. Gou berkilah dengan mengatakan masalahnya seperti waktu lembur yang lama adalah produk hukum Tiongkok.
Baca juga: Jenuh, Penjualan Ponsel China Merosot ke Level Terendah
Untuk 2018, Gou mengatakan hal yang penting dilakukan adalah memerhatikan ketidakpastian mengenai inflasi, laju kenaikan suku bunga dan bahwa ekonomi China terus dipengaruhi oleh “penyesuaian struktural”.
Sumber: Channel News Asia