Telset.id, Jakarta – Pemerintah berencana akan menurunkan tarif interkoneksi lewat aturan baru yang tak lama lagi digulirkan. Namun rencana ini banyak dipertanyakan, karena tidak memiliki dampak apa-apa bagi pelanggan.
Para pelaku industri meragukan rencana Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang ingin menurunkan tarif interkoneksi sebesar 25%, akan berdampak langsung pada turunnya tarif ritel untuk percakapan lintas operator seluler yang ditawarkan kepada pelanggan.
Seperti diketahui, biaya interkoneksi adalah biaya yang harus dibayarkan oleh operator asal atas penggunaan jaringan ke operator lain, ketika pelanggan melakukan panggilan lintas operator. Misalnya dari Telkomsel ke operator lain seperti ke XL atau Indosat.
Sebagai ilustrasi perhitungan, saat ini tarif ritel yang dibebankan operator kepada pelanggan berkisar di angka Rp 1.500 – Rp 2.000 per panggilan off-net (panggilan lintas operator) per menit.
Menurut Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, tarif interkoneksi sebenarnya hanya sebagian kecil, yakni sekitar 15%, dari variable komponen tarif retail secara keseluruhan, yang terdiri dari beberapa variable biaya. Seperti misalnya service activation fee, marketing fee, dan margin.
Ririek berpendapat bahwa jika pemerintah ingin menurunkan tarif ritel, tidak harus memangkas biaya interkoneksi, karena dampaknya tidak akan signifikan. Karena, sejak tahun 2008, penurunan biaya interkoneksi itu tidak pernah berdampak signifikan kepada penurunan tarif ritel off-net.
“Perhitungan tarif interkoneksi sebenarnya harus berdasarkan cost based. Hal ini menjadi common practice di perhitungan interkoneksi sebelumnya maupun benchmark di berbagai negara lain,” ujar Ririek kepada Telset.id, Selasa (7/6/2016).
Lebih jauh dia menjelaskan, bahwa urutannya adalah setiap operator memberikan data biaya penggelaran jaringan masing-masing kepada regulator, dimana setelah itu regulator akan melakukan audit terhadap angka yang diserahkan dari operator.
Ia menegaskan, bahwa perhitungan tarif interkoneksi harus dilakukan secara komprehensif dan bersifat adil untuk semua pihak. Tidak boleh ada operator yang diuntungkan dan dirugikan dalam berinterkoneksi.
“Kami berharap agar tarif interkoneksi yang baru memberikan dampak yang lebih baik kepada perusahaan maupun industri, dengan perhitungan yang fair dan transparan,” tandasnya.
Ririek juga mengingatkan, pemerintah sebagai regulator seharusnya dapat menjaga iklim industri, sehingga operator telekomunikasi tetap bisa sustainable dan tetap bisa memberikan tarif yang affordable (terjangkau). Dengan begitu, operator tersebut dapat terus membangun dan memperbaiki kualitas layanannya.
Rencana penurunan tarif interkoneksi yang akan dilakukan pemerintah ini juga mendapat sorotan dari Muhammad Ridwan Effendi, yang saat ini menjabat sebagai Sekjen Pusat Kajian kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB.
Ridwan berpendapat, jika pemerintah tetap menurunkan tarif interkoneksi secara drastis tanpa memperhitungan biaya yang mencerminkan kondisi biaya jaringan industri sebenarnya, ia memprediksi dalam jangka panjang akan berdampak kepada tidak mampunya operator melakukan reinvestasi.
“Yang disebut biaya interkoneksi itu kan recovery cost dari jaringan atau harga dasarnya dari jaringan. Nah, kalau dibayar di bawah biaya, mana bisa operator balik modal. Dalam jangka panjang operator akan tidak mampu melakukan reinvestasi jaringan,” ujar Ridwan saat berbincang dengan Telset.id.
Beberapa waktu lalu, pendapat senada juga pernah disampaikan oleh Ketua Program Studi Telekomunikasi ITB Ian Yosef, yang mewanti-wanti pemerintah jangan asal menurunkan tarik interkoneksi secara signifikan.
Yosef mengingatkan, regulasi yang ketat di bidang retail dan keinginan pemerintah untuk menurunkan tarif interkoneksi secara signifikan jangan sampai justru membuat kemampuan operator menjadi berkurang untuk membangun jaringan ke daerah baru dan memperbaiki kualitas layanannya.
“Hal tersebut hanya bisa dicapai apabila kebijakan tersebut betul-betul berdasarkan biaya dari masing-masing operator,” tuturnya. (MS/HBS)