Beranda blog Halaman 75

Redmi K80 Ultra Resmi Dirilis: Spesifikasi Monster dengan Harga Terjangkau

Telset.id – Jika Anda mencari smartphone dengan performa tinggi namun tetap ramah di kantong, Redmi K80 Ultra mungkin jawabannya. Baru saja diluncurkan di China, ponsel ini membawa sejumlah peningkatan signifikan di berbagai aspek, mulai dari layar, pendinginan, audio, hingga baterai.

Redmi K80 Ultra hadir dengan layar OLED 6,83 inci beresolusi 1,5K yang mendukung refresh rate 144Hz dan touch sampling rate 480Hz. Menggunakan material M9 luminescent, layar ini mampu mencapai puncak kecerahan hingga 3200 nits. Tak hanya itu, Xiaomi juga melengkapinya dengan 2560Hz ultra-high frequency PWM dimming, full-brightness DC dimming, serta sertifikasi Dolby Vision dan HDR10+.

Redmi K80 Ultra

Dari segi performa, Redmi K80 Ultra mengandalkan chipset MediaTek Dimensity 9400+ berproses 3nm yang dipadukan dengan GPU Immortalis-G925. Hasil tes AnTuTu menunjukkan angka mencengangkan: lebih dari 3,24 juta poin! Ini menjadikannya salah satu ponsel terkuat yang menggunakan chipset tersebut. Xiaomi juga menyematkan D2 AI Display Chip yang mendukung frame interpolation dan game upscaling.

Untuk mengatasi masalah panas, Redmi menggunakan vapor chamber 6500mm² 3D IceLoop dengan desain dua tingkat. Sistem pendinginan ini didukung oleh Fury Engine generasi keempat yang membantu mengoptimalkan performa perangkat. Sistem operasinya adalah HyperOS 2 berbasis Android 15, menawarkan berbagai optimasi sistem dan fitur AI canggih.

Di sektor kamera, Redmi K80 Ultra memiliki konfigurasi ganda di bagian belakang: sensor utama 50MP Light Hunter 800 (1/1,55″) dengan OIS dan lensa ultra-wide 8MP 119°. Kamera depan beresolusi 20MP mampu merekam video 1080p pada 60fps, sementara kamera belakang mendukung rekaman hingga 8K.

Redmi K80 Ultra

Yang mengejutkan adalah kapasitas baterainya yang mencapai 7410mAh dengan komposisi sel berenergi tinggi mengandung 10% silikon (827Wh/L). Dukungan pengisian cepat 100W dengan teknologi Bypass Charging Plus membuatnya ideal untuk penggunaan berat seperti gaming. Xiaomi mengklaim baterai ini bisa bertahan hingga 2,26 hari pemakaian normal berdasarkan metrik DOU.

Untuk pengalaman multimedia, Redmi menyematkan dual speaker 1115 coaxial simetris dan motor haptic 0916C ultra-wideband dengan closed-loop driver IC. Fitur konektivitas lengkap termasuk Wi-Fi 7, Bluetooth 5.4, NFC, IR blaster, dan USB Type-C audio. Tak ketinggalan, sertifikasi tahan air dan debu IP68/IP69 serta sensor sidik jari ultrasonik 3D di bawah layar.

Redmi K80 Ultra tersedia dalam empat pilihan warna: Sandstone Grey, Moonstone White, Spruce Green, dan Ice Peak Blue. Harganya mulai dari 2.599 yuan (~Rp5,9 juta) untuk varian 12GB/256GB, hingga 3.799 yuan (~Rp8,6 juta) untuk versi 16GB/1TB. Dengan spesifikasi sekuat ini dan harga yang relatif terjangkau, Redmi K80 Ultra siap menjadi pesaing serius di kelas flagship.

Redmi K80 Ultra

Bagi yang penasaran dengan performa nyata perangkat ini, kami telah membahas beberapa bocoran sebelumnya yang bisa Anda baca di artikel terkait. Dengan kombinasi chipset Dimensity 9400+ dan optimasi sistem yang matang, Redmi K80 Ultra berpotensi menjadi salah satu smartphone gaming terbaik tahun ini.

Bocoran Baru: Microsoft Akan PHK 2.000 Karyawan Xbox?

Telset.id – Kabar buruk kembali menghantui industri gaming. Bocoran terbaru mengindikasikan Microsoft bersiap melakukan gelombang PHK besar-besaran di divisi Xbox, dengan perkiraan mencapai 2.000 karyawan. Jika benar, ini akan menjadi pemangkasan ketiga dalam 18 bulan terakhir—sebuah tren yang mulai mengkhawatirkan.

George Broussard, legenda industri gaming dan co-founder Apogee Software (kini 3D Realms), menjadi sumber utama rumor ini. Dalam cuitannya, ia menyebut angka 2.000 karyawan—sekitar 10% total pekerja Xbox jika menghitung tim Activision Blizzard dan Bethesda yang kini berada di bawah payung Microsoft. Persis seperti yang terjadi pada gelombang PHK Februari 2024 lalu, di mana 1.900 posisi dihapus pasca-akuisisi Activision Blizzard.

Sejarah Kelam yang Berulang

Microsoft memang memiliki rekam jejak suram dalam hal stabilitas tenaga kerja. Januari 2023, mereka memecat 10.000 karyawan secara global, termasuk dari studio-game seperti Bethesda, The Coalition, dan 343 Industries. Mei 2024, giliran Arkane Austin (pengembang Prey dan Redfall), Tango Gameworks, Alpha Dog Games, dan Roundhouse Studios yang ditutup—meski Tango akhirnya dihidupkan kembali oleh KRAFTON.

Yang membuat situasi kali ini lebih mencemaskan adalah desas-desus tentang penutupan studio tambahan. “Ini bukan sekadar efisiensi, tapi pertanda restrukturisasi radikal,” ujar seorang analis yang enggan disebutkan namanya kepada Telset.id. Spekulasi ini muncul bersamaan dengan laporan bahwa beberapa operasi Xbox di wilayah tertentu akan dihentikan.

Kuarter Keuangan dan Masa Depan Xbox

Waktu pengumuman resmi diprediksi akan jatuh sebelum akhir Juni 2024—bertepatan dengan penutupan kuarter keuangan Microsoft. Beberapa pengamat menghubungkan langkah ini dengan strategi baru Microsoft yang mulai menggeser fokus dari eksklusivitas platform, seperti terlihat dari rencana porting game Bethesda ke PlayStation 5.

Di sisi lain, upaya Microsoft dalam pengembangan alat berbasis AI untuk Xbox—seperti kolaborasi dengan Inworld AI yang kami liput di sini—menunjukkan arah yang berbeda: otomatisasi. Apakah ini pertanda industri gaming sedang bergerak menuju era baru dengan lebih sedikit SDM manusia? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Satu hal yang pasti: gelombang PHK ini berpotensi mengganggu layanan seperti Xbox Cloud Gaming yang sudah bermasalah dengan loading lama. Para penggemar gaming pantas menanti kabar resmi dengan was-was.

DeepSeek Terhambat Larangan AS: R2 AI Tertunda Akibat Kekurangan Chip NVIDIA

0

Telset.id – Jika Anda berpikir persaingan AI antara AS dan China hanya soal algoritma, bersiaplah untuk melihat sisi lain yang lebih keras: perang chip. DeepSeek, salah satu perusahaan AI terdepan China, dikabarkan menghadapi kendala serius dalam meluncurkan model terbarunya, R2, akibat pembatasan ekspor chip NVIDIA oleh pemerintah AS.

Menurut laporan eksklusif dari The Information, CEO DeepSeek Liang Wenfeng tidak puas dengan performa model bahasa besar (LLM) terbaru mereka. Penyebabnya? Keterbatasan akses terhadap chip AI NVIDIA H20, yang kini semakin sulit didapat di China setelah serangkaian kebijakan ketat dari Washington. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan pertaruhan geopolitik yang menentukan masa depan industri AI global.

Dampak Langsung Pembatasan Ekspor AS

Sejak era pemerintahan Trump, AS secara sistematis memperketat aliran teknologi tinggi ke China, dengan chip AI sebagai target utama. NVIDIA H20, akselerator AI andalan yang sebelumnya mudah diakses perusahaan China, kini termasuk dalam daftar hitam. Efeknya langsung terasa: DeepSeek, yang sebelumnya sukses dengan model R1, terpaksa menunda peluncuran R2 karena kurangnya daya komputasi.

NVIDIA's AI Chip Renting Services In China Are Much Cheaper Compared To The US, For As Little As $6/Hr 1

“Cloud service provider (CSP) lokal kesulitan mengumpulkan sumber daya komputasi yang cukup untuk menjalankan R2,” ungkap sumber dalam laporan tersebut. Masalahnya diperparah oleh fakta bahwa stok H20 yang ada di pasar domestik sudah habis dipakai untuk menjalankan DeepSeek R1. Tanpa akses ke chip baru, upgrade menjadi mustahil.

Upaya China dan Jalan Terjal di Depan

China tidak tinggal diam. Laporan sebelumnya menyebut DeepSeek mencoba mengakses chip melalui “perusahaan shell” di Asia, bahkan diduga bekerja sama dengan militer. Namun, upaya ini tampaknya belum cukup. Alternatif seperti chip Huawei memang ada, tetapi untuk skala besar, performanya masih di bawah NVIDIA.

Seperti diungkap dalam rencana pengembangan chip 3nm Huawei, kemandirian semikonduktor China masih membutuhkan waktu. Sementara itu, ketergantungan pada teknologi AS terus menjadi batu sandungan. Jika situasi ini berlanjut, jarak 3-6 bulan yang disebut “AI Czar” David Sacks sebagai ketertinggalan China bisa melebar.

Pertanyaannya sekarang: apakah China bisa menemukan solusi sebelum AS semakin memperlebar gap? Atau justru kebijakan proteksionis ini akan memicu inovasi yang lebih radikal dari raksasa teknologi seperti DeepSeek? Jawabannya mungkin akan menentukan peta kekuatan AI global dalam dekade mendatang.

Review Samsung Galaxy S25 Edge: Lebih dari Sekadar Tipis

0

Telset.id – Bayangkan sebuah smartphone yang menggabungkan ketipisan 5,8 mm dengan performa setara laptop gaming. Itulah yang ditawarkan Samsung Galaxy S25 Edge, flagship terbaru yang siap mengubah standar industri. Dengan harga pasar Rp 17,5 juta per Juni 2025, perangkat ini bukan sekadar evolusi, melainkan lompatan teknologi signifikan.

Di tengah persaingan sengit antara Apple, Xiaomi, dan Huawei, Samsung memilih jalan berbeda dengan fokus pada tiga pilar: desain minimalis, fotografi profesional, dan daya tahan sistem. Hasilnya? Sebuah perangkat yang mampu merekam video 8K sambil tetap nyaman digenggam seharian.

Mari kita kupas tuntas keunggulan Galaxy S25 Edge, dari chipset Snapdragon 8 Elite yang revolusioner hingga sistem kamera dual sensor yang mengancam dominasi kamera mirrorless.

Desain Revolusioner: Tipis tapi Tangguh

Samsung Galaxy S25 Edge hadir dengan pendekatan “design over function” yang justru menjadi kekuatannya. Bukan sekadar tentang menjadi yang paling tipis (5.8mm) atau paling ringan (163g), melainkan bagaimana Samsung sebagai brand premium mampu menghadirkan feel eksklusif melalui paduan material titanium, desain flat-back yang elegan, dan tata letak kamera yang terukur. Galaxy S25 Edge tidak perlu menjadi yang paling canggih dalam segala hal—ia hadir untuk pengguna yang mengutamakan portabilitas tanpa kompromi pada kesan premium.

Di balik ketipisannya, Samsung membuktikan legitimasinya sebagai pembuat flagship melalui detail seperti frame titanium, Gorilla Glass Ceramic 2 (depan), lapisan Gorilla Glass Victus 2 (belakang), sertifikasi IP68 dan finishing warna yang konsisten dengan lini Ultra. Ini bukan sekadar smartphone tipis, tapi pernyataan bahwa Samsung paham betul cara menyeimbangkan desain minimalis dengan brand prestige. Galaxy S25 Edge mungkin tidak untuk semua orang, tapi bagi yang mencari kombinasi portabilitas, kemewahan material, dan kepercayaan terhadap brand, inilah pilihan yang tepat—tanpa perlu berteriak tentang spesifikasi.

Layar, Audio dan Baterai

Samsung Galaxy S25 Edge hadir dengan layar LTPO OLED yang memukau, resolusi 1440 x 3120 piksel, dan refresh rate hingga 120Hz. Meski diagonalnya 0,2 inci lebih kecil dari S25 Ultra, performanya tak kalah mengesankan. Namun, apakah perangkat ini benar-benar seimbang antara tampilan dan daya tahan baterai?

Galaxy S25 Edge membawa panel LTPO OLED 6,7 inci dengan HDR10+ dan kontrol refresh rate granular. Sayangnya, Samsung masih enggan mengadopsi Dolby Vision, dan kedalaman warnanya tetap 8-bit. Meski begitu, bagi kebanyakan pengguna, ini bukan masalah besar. Kecerahan layar mencapai 768 nits (manual) dan 1.416 nits (auto), cukup untuk penggunaan di bawah sinar matahari langsung.

Mode refresh rate di S25 Edge terbagi menjadi Standard (60Hz) dan Adaptive (1-120Hz). Yang menarik, Adaptive mode menyesuaikan refresh rate dengan konten, termasuk video 24fps dan 48fps. Fitur ini membuat pengalaman menonton lebih mulus tanpa boros daya.

Dengan kapasitas 3.900 mAh, banyak yang meragukan daya tahan S25 Edge. Namun, hasil pengujian menunjukkan skor Active Use 12:06 jam. S25 Edge mendukung pengisian 25W (kabel) dan 15W (nirkabel). Tanpa charger dalam kotak, pengguna harus membeli adaptor kompatibel. Waktu pengisian ke 100% sekitar 1 jam 4 menit—hampir menyamai S25+ dengan charger 45W.

Menariknya, Samsung menyertakan fitur pelindung baterai, seperti pembatasan kapasitas (80-95%) dan opsi non-fast charging. Ini berguna untuk memperpanjang umur baterai dalam jangka panjang.

Dari segi audio, S25 Edge menghasilkan suara yang jernih berkat speaker stereo hybrid, meski desain ultra-tipisnya membatasi kedalaman bass. Namun, ini bukan masalah besar berkat dukungan konektivitas Bluetooth mutakhir. Well, Galaxy S25 Edge bukan sekadar tentang angka-angka spesifikasi, melainkan bukti bahwa Samsung mampu menciptakan flagship premium yang seimbang—tipis tanpa mengorbankan performa, elegan tanpa melupakan fungsionalitas. Pilihan tepat bagi mereka yang menginginkan perangkat berkelas dengan portabilitas maksimal.

AI Lebih Cerdas dengan Performa Elite

Tidak sekadar mengandalkan desain elegan dan layar melengkung ikonik, ponsel ini membawa kecerdasan buatan (AI) ke level lebih tinggi. Yup, Ditenagai Android 15 dengan lapisan One UI 7, Galaxy S25 Edge menjanjikan pembaruan sistem operasi hingga 7 tahun. Bagi versi enterprise, bahkan bisa mendapatkan 8 pembaruan utama. One UI 7 sendiri mengalami perubahan signifikan, baik dari segi visual maupun fitur AI. Jika Anda pengguna setia Samsung, antarmuka ini akan terasa familiar namun lebih cerdas.

Salah satu fitur unggulan yang diperkenalkan adalah Multimodal AI Agents dengan kemampuan visual engine. Fitur ini memungkinkan Anda berinteraksi secara visual dengan asisten AI. Cukup arahkan kamera ke suatu objek, lalu ajukan pertanyaan. Misalnya, Anda bisa menanyakan suhu cuci yang tepat untuk pakaian tertentu. Kecanggihan ini didukung oleh teknologi Gemini AI dari Google.

Untuk mendukung fitur AI mutakhir tersebut, Samsung memilih Snapdragon 8 Elite for Galaxy sebagai otaknya. Chipset ini memiliki konfigurasi unik dengan dua inti Prime berkecepatan 4.47GHz dan enam inti Performance berkecepatan 3.53GHz. Tidak seperti chipset lain yang menggunakan desain Cortex, Qualcomm memilih Oryon cores yang dikustomisasi khusus.

Di sisi grafis, Adreno 830 hadir dengan arsitektur terbaru yang dibagi menjadi tiga slice, masing-masing dengan memori khusus. Meski demikian, performa GPU tidak jauh berbeda dengan varian non-Galaxy, dengan perbedaan hanya sekitar 7% dalam tes multi-core. Untuk kebutuhan sehari-hari, perbedaan ini hampir tidak terasa.

Dengan kombinasi AI canggih, chipset elite, dan dukungan pembaruan jangka panjang, Samsung Galaxy S25 Edge layak dipertimbangkan bagi mereka yang mencari smartphone premium dengan fokus pada kecerdasan buatan. Meski ada beberapa kompromi di bagian termal, pengalaman pengguna secara keseluruhan tetap memuaskan.

Nightography Pakai Galaxy S25 Edge, Hasilnya Bisa Sejernih Ini!
Eksperimen langsung memotret malam hari dengan Galaxy S25 Edge, buktikan kualitas nightography-nya setara flagship Ultra dalam desain super tipis dan ringan.

Kamera 200MP: Game Changer Fotografi Mobile

Samsung Galaxy S25 Edge tampil berani dengan pendekatan berbeda: hanya dua kamera belakang tanpa lensa telephoto. Di tengah tren flagship yang berlomba menjejalkan tiga hingga lima kamera, keputusan Samsung ini terasa minimalis tapi penuh pertimbangan. Sensor utama 200MP ISOCELL HP5 dan kamera ultrawide 12MP dengan autofocus menjadi kombinasi yang tidak hanya sederhana, tapi juga efektif. Samsung tampaknya ingin menyampaikan satu pesan: kualitas bisa mengalahkan kuantitas—dan pada banyak aspek, pesan itu berhasil disampaikan dengan meyakinkan.

Performa fotografi di siang hari sangat memuaskan. Detail tajam, warna akurat, dan dynamic range yang luas menunjukkan kemampuan pengolahan gambar yang solid. Bahkan tanpa lensa telephoto, crop digital 2x dari sensor 200MP mampu menghasilkan foto setara zoom optik. Di malam hari, tantangan mulai terasa, terutama saat mode malam tidak aktif otomatis. Namun begitu diaktifkan, hasilnya meningkat drastis—menunjukkan bahwa software Samsung punya andil besar dalam menyempurnakan pengalaman fotografi. Kamera ultrawide memang belum istimewa, tapi kehadiran autofocus memberi nilai tambah lewat hasil makro yang layak.

Pada aspek video, Galaxy S25 Edge membawa kualitas sinematik ke level baru. Dukungan 8K, HDR10+, dan fitur Galaxy Log membuka ruang eksplorasi luas untuk content creator. Tambahan fitur AI audio eraser menjadi nilai jual yang menarik—menunjukkan fokus Samsung bukan hanya pada visual, tapi juga audio. Meski rekaman malam dengan kamera ultrawide masih perlu perbaikan, stabilisasi yang stabil di segala kondisi tetap menjadi kekuatan utama. Samsung Galaxy S25 Edge mungkin tak bermain di angka lensa yang tinggi, tapi ia berbicara lantang lewat hasil dan fitur yang relevan. Untuk info lengkapnya, baca review kamera Samsung Galaxy S25 Edge.

Masterpiece yang Berani Tampil Beda

Samsung Galaxy S25 Edge hadir bukan sebagai sekadar evolusi, melainkan sebagai manifesto baru dalam dunia smartphone premium. Dengan desain revolusioner setipis 5,8 mm yang dibalut material titanium, performa Snapdragon 8 Elite yang setara laptop gaming, dan sistem kamera dual lensa berkinerja profesional, perangkat ini menantang konvensi industri dengan berani. Di tengah pasar yang terjebak dalam perlombaan “lebih banyak kamera, lebih besar baterai”, S25 Edge justru unggul dengan filosofi minimalis yang cerdas—setiap kompromi yang diambil justru melahirkan harmoni antara portabilitas ekstrem dan fungsionalitas tanpa kompromi.

Keunggulan S25 Edge terletak pada kemampuannya mentransformasi keterbatasan fisik menjadi keunggulan kompetitif. Layar LTPO 120Hz yang memukau, daya tahan baterai 12 jam yang mengejutkan untuk kapasitas 3.900 mAh, dan kecerdasan AI berbasis Gemini—semua bekerja sama dalam balutan desain yang nyaris tak tertandingi. Inilah smartphone untuk mereka yang memahami bahwa premium tidak diukur dari ketebalan spesifikasi sheet, melainkan dari presisi eksekusi. Dengan harga Rp 17,5 juta, Samsung tidak menjual Anda teknologi semata, melainkan sebuah pernyataan gaya hidup: bahwa kecanggihan sejati bisa hadir dalam bentuk yang ramping, cerdas, dan penuh kejutan. Galaxy S25 Edge mungkin bukan untuk semua orang, tapi bagi mereka yang mencari, inilah masterpiece yang akan membuat Anda bertanya: mengapa smartphone lain harus tebal?

Tesla PHK Kepala Operasi Eropa & Amerika Utara, Penjualan Anjlok 27,9%

Telset.id – Badai krisis mulai menerpa Tesla. Setelah penjualan kendaraan listriknya anjlok di Eropa dan Amerika Utara, Elon Musk dikabarkan telah memecat kepala operasinya di dua wilayah tersebut. Langkah drastis ini diambil menyusul penurunan kinerja penjualan yang terus berlanjut hingga kuartal kedua 2024.

Menurut laporan eksklusif Forbes, Omead Afshar yang sebelumnya dianggap sebagai sekutu dekat Musk harus meninggalkan posisinya menjelang penutupan kuartal kedua. Afshar bertanggung jawab atas operasi Tesla di dua pasar terbesarnya – wilayah yang justru mengalami penurunan penjualan paling signifikan.

Data Menyedihkan dari Pasar Eropa

Badan Asosiasi Produsen Mobil Eropa (ACEA) baru saja merilis data yang membuat investor Tesla merinding. Pangsa pasar Tesla di benua biru anjlok ke level 1,2% pada Mei 2024 – turun 0,6 poin persentase dibanding tahun sebelumnya. Yang lebih memprihatinkan, penjualan Tesla di Eropa merosot 27,9% di bulan yang sama, sementara pasar mobil listrik secara keseluruhan justru tumbuh 27,2%.

Grafik Penjualan Tesla di Eropa

“Ini sudah bulan kelima berturut-turut Tesla mengalami penurunan penjualan di Eropa,” ujar seorang analis industri otomotif yang enggan disebutkan namanya. “Persaingan dengan produsen China yang menawarkan harga lebih murah dengan kualitas setara benar-benar menggerus dominasi Tesla.”

Masalah Beruntun Tesla

Bukan hanya di Eropa, pasar Amerika Utara juga menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Laporan Baird memperkirakan pengiriman kendaraan Tesla di kuartal kedua hanya mencapai 377.000 unit – jauh di bawah perkiraan konsensus sebesar 392.800 unit. Analis menyoroti beberapa faktor penyebab, termasuk data pengecer yang lemah dan dampak peluncuran Model Y yang kurang menggembirakan.

Masalah bertambah dengan peluncuran layanan robotaxi yang penuh tantangan. Meski saham Tesla sempat melonjak 8% setelah acara peluncuran robotaxi pada Minggu lalu, namun sejak itu nilai sahamnya telah turun 5,8%. Secara tahunan, saham Tesla telah kehilangan 13% nilainya seiring ketidakpastian dalam strategi ride-sharing perusahaan.

Beberapa analis menyebut penurunan penjualan Tesla tak lepas dari kontroversi politik Elon Musk yang kerap menjadi sorotan. Namun, pihak eksekutif Tesla bersikeras bahwa proses retooling di pabrik-pabrik mereka juga berkontribusi pada penurunan angka penjualan.

Dengan situasi seperti ini, pertanyaan besar menggantung: Akankah pemecatan kepala operasi menjadi solusi, atau justru awal dari krisis kepemimpinan yang lebih dalam di Tesla? Satu hal yang pasti, tekanan terhadap Musk dan tim eksekutifnya akan semakin besar di kuartal-kuartal mendatang.

iPhone Lipat Apple Bakal Punya Kamera Ganda 48MP, Canggih Tapi Mahal?

Telset.id – Jika Anda mengira iPhone Lipat Apple hanya akan mengandalkan layar fleksibelnya, bersiaplah untuk terkejut. Bocoran terbaru mengungkap bahwa perangkat ini akan dibekali kamera ganda 48MP—spesifikasi yang sama dengan lini iPhone 16 saat ini. Pertanyaannya: bisakah fitur ini membenarkan harga yang diprediksi mencapai $2.000?

Menurut analis ternama Ming-Chi Kuo, iPhone Fold (sebutan sementara) akan mengusung konfigurasi kamera belakang dual-lens. Meski tidak dijelaskan detail teknisnya, sumber lain seperti Digital Chat Station di Weibo mengklaim kedua lensa tersebut memiliki resolusi 48MP. Angka ini mungkin terdengar biasa bagi pengguna iPhone 16, tapi Apple dikabarkan akan menyuntikkan peningkatan signifikan pada sensor yang sama di tahun-tahun mendatang.

Spesifikasi Kamera: Antara Harapan dan Realita

Dari bocoran yang beredar, kamera utama iPhone Lipat kemungkinan akan menggunakan lensa 24mm dengan aperture f/1.78 dan teknologi stabilisasi gambar optik generasi kedua. Fitur “Fusion” dari iPhone 16e juga disebut-sebut akan diadopsi. Namun, absennya lensa telefoto menjadi pertanda bahwa Apple ingin membedakan produk lipatnya dengan seri “Pro”.

Lantas, bagaimana dengan kualitas fotonya? Meski megapikselnya sama, optimasi perangkat lunak dan peningkatan hardware bisa membuat hasil jepretan iPhone Fold lebih unggul. Tapi di sisi lain, dengan harga yang hampir dua kali lipat iPhone 16 Pro Max, apakah konsumen akan rela merogoh kocek lebih dalam hanya untuk kamera yang—secara spesifikasi—tidak jauh berbeda?

Strategi Pemasaran: Bermain di Segmen Premium

Apple tampaknya sengaja membatasi fitur kamera iPhone Fold untuk menjaga eksklusivitas seri “Pro”. Langkah ini mirip dengan pendekatan mereka di iPad Pro versus iPad biasa. Dengan demikian, perusahaan bisa mempertahankan segmen pasar premium tanpa cannibalizing penjualan lini utama.

Menariknya, rilis iPhone Fold dikabarkan akan bertepatan dengan ulang tahun ke-20 iPhone. Momentum spesial ini bisa menjadi senjata pemasaran ampuh, seperti yang pernah dilakukan Apple dengan iPhone X di perayaan 10 tahun pertama. Apalagi jika mereka menyisipkan kejutan desain atau teknologi hinge revolusioner seperti liquid metal yang sebelumnya bocor.

Meski demikian, tantangan terbesar tetap pada harga. Di pasar yang sudah diisi kompetitor seperti Samsung Galaxy Z Fold dengan harga lebih terjangkau, Apple harus bisa meyakinkan konsumen bahwa pengalaman menggunakan iPhone Fold—termasuk kamera dan layarnya—benar-benar setara dengan premium yang mereka bayar.

Bagaimana pendapat Anda? Apakah kamera 48MP di iPhone Lipat sudah cukup untuk membuatnya layak dibeli, atau Anda lebih memilih menunggu versi “Pro” di masa depan? Sampaikan di kolom komentar!

iPhone 17 Air Bakal Jadi yang Tertipis, Tapi Ada Kompromi Besar

Telset.id – Jika Anda mengira Apple akan bermain aman dengan desain iPhone terbarunya, bersiaplah untuk terkejut. Bocoran terbaru mengungkap bahwa iPhone 17 Air akan menjadi smartphone tertipis yang pernah dibuat perusahaan asal Cupertino tersebut. Namun, di balik desain yang ramping ini, ada trade-off yang mungkin membuat Anda berpikir dua kali.

Menurut informasi dari tipster ternama Majin Bu, Apple memutuskan untuk menggeser posisi kamera depan iPhone 17 Air ke sisi kiri—sebuah perubahan yang tidak terjadi pada model lainnya dalam seri iPhone 17. Apa alasan di balik keputusan ini? Ternyata, desain ultra-tipis memaksa para insinyur Apple untuk mengatur ulang komponen internal, termasuk modul Face ID dan kamera.

Desain Tipis, Performa Terbatas?

Dengan ketebalan yang diperkecil, iPhone 17 Air dikabarkan hanya akan membawa baterai berkapasitas 2.800mAh—jauh lebih kecil dibandingkan model lainnya. Ini jelas akan berdampak pada daya tahan baterai, yang menjadi salah satu kekhawatiran terbesar pengguna. Selain itu, kamera belakang juga dikurangi, membuatnya kurang fleksibel dibandingkan iPhone 17, iPhone 17 Pro, atau iPhone 17 Pro Max.

Meski begitu, Apple tampaknya berkomitmen untuk mempertahankan kualitas gambar. Tipster menyebut bahwa pergeseran kamera depan ke kiri bisa memberikan pengalaman video call yang lebih baik, meski hal ini masih perlu dibuktikan. Yang pasti, selama kualitas gambar tidak terganggu, posisi kamera mungkin bukan masalah besar bagi sebagian pengguna.

Layar Lebih Besar, Tapi Baterai Lebih Kecil

Menariknya, meski lebih tipis, iPhone 17 Air dikabarkan akan memiliki layar lebih besar, yaitu 6,7 inci. Namun, dengan baterai yang lebih kecil, apakah Apple bisa mempertahankan performa yang optimal? Ini menjadi pertanyaan besar, terutama bagi pengguna yang mengandalkan perangkat mereka sepanjang hari.

Jika Anda penasaran dengan perkembangan terbaru iPhone 17 Air, pastikan untuk mengikuti terus update di Telset.id. Kami akan memberikan informasi terbaru seputar bocoran dan rilis resmi dari Apple.

Redmi K80 Ultra dan K Pad Resmi Diluncurkan dengan Spesifikasi Monster

0

Telset.id – Xiaomi dan Redmi baru saja mengumumkan sejumlah perangkat terbaru dalam acara peluncuran di China. Dua produk unggulan yang diperkenalkan adalah smartphone flagship Redmi K80 Ultra dan tablet gaming Redmi K Pad. Keduanya dibekali chipset Dimensity 9400+ dan baterai berkapasitas besar.

Redmi K80 Ultra hadir sebagai varian paling gahar dalam seri K80. Perangkat ini menawarkan layar OLED 6,83 inci dengan resolusi 1280p+, refresh rate 144Hz, dan kecerahan puncak 3.200 nits. Fitur keamanannya meliputi pemindai sidik jari ultrasonik dan kamera depan 20MP.

Redmi K80 Ultra and Redmi K Pad unveiled

Ditenagai chipset MediaTek Dimensity 9400+, Redmi K80 Ultra bisa dikonfigurasi dengan RAM hingga 16GB dan penyimpanan 1TB. Perangkat ini juga sudah dilengkapi sertifikasi IP68 dan menjalankan Xiaomi HyperOS 2 berbasis Android 15. Untuk fotografi, terdapat kamera utama 50MP dengan sensor OV Light Fusion 800 dan lensa ultrawide 8MP.

Redmi K80 Ultra dibekali baterai 7.410mAh dengan dukungan pengisian cepat 100W dan fitur bypass charging. Harga di China dimulai dari CNY 2.599 (sekitar Rp 5,9 juta) untuk varian 12/256GB, sedangkan versi 16/1TB dijual seharga CNY 3.799 (sekitar Rp 8,6 juta).

Redmi K Pad: Tablet Gaming Pertama Redmi

Redmi K Pad menjadi tablet pertama dari Redmi yang berfokus pada gaming. Perangkat ini memiliki layar IPS LCD 8,8 inci dengan resolusi 3.008 x 1.880 piksel dan refresh rate 165Hz. Desainnya ramping dengan ketebalan hanya 6,46mm dan bobot 336 gram.

Redmi K80 Ultra and Redmi K Pad unveiled

Seperti Redmi K80 Ultra, K Pad juga menggunakan chipset Dimensity 9400+ dengan konfigurasi RAM hingga 16GB dan penyimpanan 1TB. Untuk pendinginan, tablet ini dilengkapi vapor chamber seluas 12.050mm². Fitur uniknya adalah dual port USB-C yang memungkinkan pengguna bermain game sambil mengisi daya.

Redmi K Pad dibekali baterai 7.500mAh dengan dukungan pengisian cepat 67W. Harga di China dimulai dari CNY 2.799 (sekitar Rp 6,3 juta) untuk varian 12/256GB, sedangkan versi 16/1TB dijual seharga CNY 4.199 (sekitar Rp 9,5 juta).

Kedua perangkat ini menandai langkah agresif Redmi dalam segmen gaming. Dengan spesifikasi tinggi dan harga kompetitif, Redmi K80 Ultra dan K Pad siap bersaing di pasar global.

AI Makin Jago Temukan Bug Software, Ancaman atau Solusi?

0

Pernahkah Anda membayangkan sebuah teknologi yang bisa menemukan celah keamanan dalam kode program sebelum hacker memanfaatkannya? Itulah yang kini mulai dilakukan oleh kecerdasan buatan (AI) terbaru. Penelitian terbaru dari UC Berkeley menunjukkan, model AI mutakhir tidak hanya mahir menulis kode—tapi juga semakin canggih dalam mendeteksi kerentanan software.

Tim peneliti yang dipimpin Profesor Dawn Song menguji kemampuan beberapa model AI frontier—termasuk dari OpenAI, Google, dan Anthropic—serta solusi open source seperti Qwen2.5 dari Alibaba. Mereka menggunakan benchmark baru bernama CyberGym untuk menganalisis 188 basis kode open source. Hasilnya? AI berhasil mengidentifikasi 17 bug, 15 di antaranya adalah kerentanan “zero-day” yang sebelumnya tidak diketahui.

“Banyak dari kerentanan ini bersifat kritis,” ungkap Song. Yang lebih mengejutkan, tim menyatakan ini baru permulaan. “Kami bahkan tidak berusaha terlalu keras. Jika anggaran ditingkatkan dan agen dijalankan lebih lama, hasilnya bisa lebih baik lagi,” tambahnya.

Revolusi dalam Keamanan Siber

Kemampuan AI dalam menemukan bug tidak lagi sekadar teori. Startup seperti Xbow sudah membuktikannya dengan menempati posisi teratas di papan peringkat HackerOne untuk perburuan bug. Perusahaan ini baru saja mengantongi pendanaan segar $75 juta.

Menurut Song, kombinasi antara kemampuan pemrograman AI yang terus membaik dan peningkatan daya nalar model-model terbaru mulai mengubah lanskap keamanan siber. “Ini momen penting,” katanya. “AI benar-benar melampaui ekspektasi kami.”

Dua Sisi Mata Pisau

Di satu sisi, otomatisasi pencarian bug bisa menjadi berkah bagi perusahaan yang ingin mengamankan sistem mereka. Namun di sisi lain, teknologi yang sama bisa menjadi senjata ampuh di tangan peretas. “Kami tidak perlu berusaha keras untuk menemukan kerentanan ini,” kata Song. “Bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh aktor jahat dengan sumber daya lebih besar.”

Tim UC Berkeley menggunakan beberapa agen khusus seperti OpenHands, Cybench, dan EnIGMA yang digerakkan oleh model AI mutakhir. Mereka memberi deskripsi kerentanan yang sudah diketahui kepada agen-agen ini, lalu meminta mereka mencari celah serupa dalam basis kode baru. Hasilnya, AI menghasilkan ratusan eksploit konsep—15 di antaranya adalah kerentanan zero-day yang benar-benar baru.

AI vs Manusia: Siapa yang Lebih Unggul?

Meski hasilnya mengesankan, AI masih jauh dari sempurna. Sistem ini gagal menemukan sebagian besar kerentanan dan benar-benar mentok menghadapi bug yang kompleks. Katie Moussouris dari Luta Security menyatakan, kombinasi terbaik (Claude dan OpenHands) hanya mampu menemukan sekitar 2% kerentanan. “Jangan ganti pemburu bug manusia Anda dulu,” candanya.

Brendan Dolan-Gavitt dari NYU dan Xbow memprediksi AI akan meningkatkan serangan menggunakan eksploit zero-day. “Saat ini serangan semacam itu jarang, karena hanya sedikit yang punya keahlian menemukan kerentanan baru dan membuat eksploitnya,” jelasnya. “AI akan mengubah itu.”

Di tengah perkembangan ini, Song dan peneliti lain telah mendirikan AI Frontiers CyberSecurity Observatory untuk memantau kemampuan berbagai model dan alat AI melalui beberapa benchmark. “Di antara semua domain risiko AI, keamanan siber akan menjadi salah satu yang pertama menjadi masalah besar,” tegas Song.

Lantas, bagaimana pendapat Anda? Apakah manfaat AI dalam pengujian keamanan software sepadan dengan risikonya? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar atau melalui email ke hello@wired.com.

Vivo X200 FE Rilis Global: Kompak Tapi Bertenaga

0

Pernahkah Anda merasa smartphone flagship saat ini terlalu besar dan berat? vivo menjawab keluhan itu dengan menghadirkan vivo X200 FE—sebuah ponsel kompak yang tak kalah bertenaga. Setelah sukses di Taiwan dan bersiap meluncur di India, vivo akhirnya mengumumkan kehadiran X200 FE di pasar global. Dengan desain ramping dan spesifikasi mumpuni, ponsel ini siap menjadi andalan bagi penggemar perangkat kecil yang powerful.

vivo X200 FE bukan sekadar ponsel kecil biasa. Di balik bodinya yang hanya setebal 8 mm dan berat 186 gram, tersembunyi baterai berkapasitas besar 6.500 mAh dengan teknologi canggih BlueVolt. Baterai ini mengusung Silicon Anode 3.0, semi-solid electrolyte, dan dukungan pengisian cepat 90W. Namun, perlu dicatat bahwa versi yang dijual di Hungaria dan Austria akan memiliki kapasitas lebih kecil, yaitu 5.300 mAh.

Desain dan Ketahanan

vivo X200 FE hadir dalam empat pilihan warna menarik: Yellow Glow, Black Luxe, Blue Breeze, dan Pink Vibe. Dengan dimensi 150.8mm x 71.7mm x 8mm, ponsel ini mudah digenggam dan nyaman digunakan sehari-hari. Tak hanya itu, vivo juga membekali X200 FE dengan sertifikasi ketahanan IP68 dan IP69, membuatnya tahan terhadap debu dan air.

Mini powerhouse vivo X200 FE goes global, shipping from June 27

Kamera Profesional dengan Sentuhan Zeiss

Sebagai bagian dari seri X200, X200 FE tidak main-main dalam hal fotografi. Ponsel ini dilengkapi dengan kamera utama 50MP (1/1.56-inch IMX921) dengan lensa wide-angle f/1.9 dan stabilisasi optik (OIS). Ditemani oleh kamera telephoto 50mm f/2.7 Zeiss Super Telephoto dan ultrawide 8MP f/2.2, X200 FE siap menangkap momen apa pun dengan detail maksimal. Di bagian depan, terdapat kamera selfie 50MP dengan aperture f/2.0.

Tak hanya itu, vivo juga menghadirkan aplikasi Street Camera dengan mode khusus seperti Classic Negative Film yang meniru nuansa film vintage. Fitur ini sangat cocok bagi pecinta fotografi yang ingin bereksperimen dengan gaya berbeda.

Layar LTPO AMOLED dengan Kualitas Tinggi

vivo X200 FE mengusung layar 6.31-inch LTPO AMOLED dengan resolusi 1216×2640 piksel dan refresh rate 120Hz. Yang mengejutkan, layar ini mampu mencapai kecerahan puncak hingga 4.500 nit, membuatnya tetap jelas terlihat di bawah sinar matahari langsung. Dukungan Zeiss Master Color Display juga memastikan reproduksi warna yang akurat dan natural.

Mini powerhouse vivo X200 FE goes global, shipping from June 27

Kinerja dan Fitur AI

Di bawah kap mesin, vivo X200 FE ditenagai oleh chipset Dimensity 9300+ berproses 4nm, dipadukan dengan RAM 12GB atau 16GB. Ponsel ini menjalankan Funtouch OS dengan integrasi Google Gemini AI, menawarkan fitur seperti Circle to Search, AI Caption, Live Text, dan AI Screen Translation. Kombinasi hardware dan software ini menjadikan X200 FE sangat responsif dan efisien dalam menangani multitasking.

vivo X200 FE akan tersedia dalam tiga varian penyimpanan: 12/256GB, 12/512GB, dan 16/512GB. Menurut vivo, ponsel ini siap dikirim mulai 27 Juni, meskipun harga resminya belum diumumkan.

Dengan segala keunggulannya, vivo X200 FE berpotensi menjadi “flagship killer” di segmen ponsel kompak. Apakah Anda tertarik memilikinya?

Xiaomi Watch S4 41mm dan Smart Band 10 Resmi Dirilis: Fitur dan Harga

0

Pernahkah Anda merasa smartwatch atau fitness band yang Anda gunakan saat ini kurang memenuhi kebutuhan? Xiaomi baru saja mengumumkan dua produk terbarunya yang mungkin bisa menjadi solusi: Xiaomi Watch S4 41mm dan Smart Band 10. Kedua wearable ini hadir dengan peningkatan signifikan dibanding pendahulunya, mulai dari layar lebih cemerlang hingga teknologi pelacakan kesehatan yang lebih akurat.

Peluncuran ini merupakan bagian dari strategi Xiaomi untuk memperkuat posisinya di pasar wearable global. Seperti diketahui, Xiaomi telah menjadi salah satu pemain utama di segmen ini, berkat kombinasi antara fitur canggih dan harga terjangkau. Kedua produk ini diumumkan bersamaan dengan beberapa perangkat lain dalam acara peluncuran pada 26 Juni 2025.

Lantas, apa saja yang ditawarkan oleh Xiaomi Watch S4 41mm dan Smart Band 10? Mari kita telusuri lebih dalam.

Xiaomi Watch S4 41mm: Smartwatch Kompak dengan Performa Tangguh

Xiaomi Watch S4 41mm hadir sebagai varian lebih kecil dari seri Watch S4 yang sudah ada sebelumnya. Dengan bobot hanya 32 gram, smartwatch ini menawarkan kenyamanan ekstra untuk penggunaan sehari-hari. Layarnya menggunakan panel AMOLED round berukuran 1,32 inci dengan resolusi 466 x 466 piksel dan refresh rate 60Hz.

Yang menarik, Xiaomi mengklaim layar ini mampu mencapai kecerahan puncak hingga 2.200 nits, membuatnya tetap mudah dibaca bahkan di bawah sinar matahari langsung. Untuk ketahanan, smartwatch ini sudah bersertifikasi 5ATM, artinya tahan terhadap tekanan air setara dengan kedalaman 50 meter.

Xiaomi Watch S4 41mm and Smart Band 10 announced

Di bagian dalam, Xiaomi membekali Watch S4 41mm dengan chipset Xring T1 yang dimodifikasi. Menurut perusahaan, chipset ini memiliki modem 35% lebih efisien dibanding versi sebelumnya. Untuk pelacakan kesehatan, smartwatch ini menggunakan modul 4-LED + 4PD yang diklaim memberikan pembacaan detak jantung lebih akurat, termasuk saat berenang.

Baterai Watch S4 41mm diklaim mampu bertahan hingga 8 hari sekali pengisian. Smartwatch ini tersedia dalam tiga varian warna dan strap: hitam dengan strap TPU (CNY 999 atau sekitar $140), cokelat dengan strap kulit (CNY 1.199 atau $167), dan versi Milanese strap seharga CNY 1.499 ($209).

Smart Band 10: Desain Lebih Tipis dengan Fitur Lebih Canggih

Sementara itu, Xiaomi Smart Band 10 hadir sebagai penerus Smart Band 9 yang populer. Secara desain, produk ini mempertahankan bentuk dasar seri sebelumnya, tetapi dengan bezel yang lebih tipis. Yang menarik, kali ini Xiaomi menghadirkan varian edisi keramik yang akan tersedia di luar China untuk pertama kalinya.

Layar Smart Band 10 kini lebih besar, yakni 1,72 inci dengan panel AMOLED dan refresh rate 60Hz. Kecerahan puncaknya mencapai 1.500 nits, menjadikannya salah satu fitness band dengan layar tercerah di pasaran. Untuk sensor, Xiaomi membekali produk ini dengan 9-axis sensor yang diklaim meningkatkan akurasi pelacakan aktivitas.

Xiaomi Watch S4 41mm and Smart Band 10 announced

Fitur unggulan lainnya adalah pemantauan tidur dengan rencana peningkatan terpandu. Xiaomi juga meningkatkan motor getar pada Smart Band 10 untuk notifikasi yang lebih terasa. Meski memiliki baterai berkapasitas sama dengan pendahulunya (233mAh), perusahaan mengklaim produk ini bisa bertahan hingga 21 hari dalam penggunaan tipikal atau 9 hari dengan mode Always-On aktif.

Smart Band 10 dibanderol mulai CNY 269 (sekitar $38) untuk versi reguler dan CNY 379 ($52) untuk edisi keramik. Dengan harga ini, Xiaomi jelas ingin bersaing ketat dengan produk sejenis dari merek lain seperti Apple dan Samsung yang mendominasi pasar wearable premium.

Kapan Tersedia di Pasar Global?

Sayangnya, Xiaomi belum memberikan informasi detail mengenai ketersediaan global kedua produk ini. Namun, melihat track record perusahaan, biasanya produk baru Xiaomi mulai memasuki pasar internasional dalam waktu 1-2 bulan setelah peluncuran di China.

Bagi Anda yang tertarik dengan smartwatch dengan desain flip, mungkin Xiaomi Mix Flip 2 bisa menjadi alternatif menarik. Atau jika mencari solusi keamanan rumah pintar, Xiaomi Smart Door Lock 2 dengan teknologi pembuluh darah patut dipertimbangkan.

Dengan peluncuran Watch S4 41mm dan Smart Band 10, Xiaomi semakin memperkuat posisinya di pasar wearable. Kedua produk ini menawarkan kombinasi menarik antara fitur canggih dan harga kompetitif, membuatnya layak dipertimbangkan bagi Anda yang ingin upgrade perangkat wearable.

Disney vs AI: Pertarungan Sengit Hak Cipta di Era Generatif

0

Bayangkan dunia di mana karakter ikonik seperti Mickey Mouse atau Darth Vader bisa diciptakan ulang oleh siapa saja hanya dengan mengetik beberapa kata. Inilah realitas yang dihadapi Disney dan Universal dalam gugatan terbaru mereka terhadap Midjourney, startup AI generatif yang dituduh menjadi “lubang tanpa dasar plagiarisme”.

Gugatan ini bukan sekadar pertengkaran hukum biasa. Ini adalah pertempuran eksistensial antara raksasa hiburan tradisional dan gelombang baru teknologi yang mengancam fondasi kekayaan intelektual. Disney, yang dikenal sangat protektif terhadap hak ciptanya, kini menghadapi tantangan paling serius dalam sejarah perlindungan IP.

Kasus ini bermula ketika Midjourney dengan terbuka mengakui menggunakan jutaan gambar dari internet—termasuk karya berhak cipta Disney—untuk melatih model AI-nya. Yang membuat situasi semakin rumit, platform ini memungkinkan pengguna dengan mudah menghasilkan konten yang menampilkan karakter Disney tanpa izin, bahkan dalam situasi yang tidak pantas.

Mengapa Disney Berani Melawan?

Disney bukanlah pemain baru dalam pertempuran hak cipta. Perusahaan ini memiliki sejarah panjang dalam mempertahankan kekayaan intelektualnya, termasuk kasus terkenal melawan taman hiburan yang menggunakan karakter mirip Disney. Namun, gugatan terhadap Midjourney berbeda karena menyentuh isu teknologi terkini yang belum memiliki regulasi jelas.

Yang membuat gugatan ini istimewa adalah dokumen setebal 200 halaman yang berisi ratusan contoh pelanggaran. Mulai dari Wall-E memegang senjata hingga Yoda merokok ganja, Disney menunjukkan betapa mudahnya karakter mereka disalahgunakan melalui teknologi generatif ini.

Dilema Teknologi vs Kreativitas

Di satu sisi, perusahaan AI berargumen bahwa penggunaan konten untuk pelatihan model termasuk dalam “fair use”. Mereka mengklaim teknologi ini sebagai bentuk transformasi kreatif, bukan plagiarisme. Namun, Disney dan Universal menegaskan bahwa reproduksi karakter mereka—apalagi dalam konteks yang merusak citra—jelas merupakan pelanggaran hak cipta.

Kasus ini menjadi lebih menarik karena Disney sendiri sebenarnya sedang mengeksplorasi penggunaan AI. Perusahaan baru saja melisensikan suara Darth Vader untuk chatbot di Fortnite, yang memicu protes dari serikat pekerja. Ironisnya, sambil menggugat Midjourney, Disney juga berkolaborasi dengan OpenAI untuk proyek-proyek tertentu.

Dampak Jangka Panjang Industri

Hasil gugatan ini akan menentukan masa depan hak cipta di era AI. Jika Disney menang, perusahaan teknologi mungkin harus membayar royalti besar-besaran atau bahkan menghapus model yang sudah dilatih. Sebaliknya, kemenangan Midjourney bisa membuka pintu bagi penggunaan bebas konten berhak cipta sebagai bahan pelatihan AI.

Industri kreatif sedang menanti dengan cemas. Bagi seniman, penulis, dan musisi, kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam melindungi karya mereka dari “AI slop”—konten generatif berkualitas rendah yang membanjiri internet.

Di tengah ketidakpastian ini, satu hal yang pasti: pertarungan Disney vs Midjourney hanyalah babak pertama dari revolusi hak cipta di era kecerdasan buatan. Hasilnya akan menentukan apakah kreativitas manusia masih memiliki tempat di dunia yang semakin dikuasai algoritma.