Beranda blog Halaman 123

Bocoran Samsung Galaxy S26: Sensor Kamera Utama Bakal Dirombak Total

Telset.id – Jika Anda berpikir Samsung akan bermain aman dengan upgrade kamera di Galaxy S26, bocoran terbaru ini mungkin membuat Anda berpikir ulang. Seri flagship 2026 ini dikabarkan akan membawa perubahan signifikan pada sensor kamera utamanya—yang pertama dalam tiga tahun terakhir.

Menurut laporan terbaru dari GalaxyClub, Galaxy S26 akan menggunakan sensor ISOCELL GN seri baru beresolusi 50MP. Kabar ini muncul setelah sebelumnya beredar rumor tentang penyegaran setup telephoto yang lebih ambisius. Namun, sebelum Anda terlalu bersemangat, ada beberapa catatan penting yang perlu dipertimbangkan.

Sensor GN Baru: Upgrade atau Sekadar Ganti Nama?

Sejarah sensor ISOCELL GN Samsung memang menarik untuk ditelusuri. Data dari Samsung Semiconductor menunjukkan bahwa ukuran sensor dalam seri ini justru mengecil dalam beberapa generasi terakhir:

  • GN1: 1/1.31″
  • GN2: 1/1.12″
  • GN3: 1/1.57″
  • GN5: 1/1.57″

“Klaim tentang pixel yang lebih besar pada sensor baru ini agak mengherankan melihat tren terakhir,” kata seorang analis fotografi smartphone yang enggan disebutkan namanya. “Kecuali Samsung benar-benar membuat lompatan teknologi, kita mungkin hanya melihat perubahan inkremental.”

Pertarungan Chipset dan Strategi Model

Menariknya, bocoran ini sama sekali tidak menyebut model Plus—menguatkan rumor sebelumnya bahwa Samsung akan menggantinya dengan varian Edge. Model Edge ini diperkirakan akan mempertahankan sensor 200MP seperti pendahulunya, menciptakan diferensiasi yang jelas dengan model dasar.

Dengan kemungkinan menggunakan chipset Exynos 2600 atau Snapdragon 8 Elite 2, serta sistem operasi One UI 8 berbasis Android 16, Galaxy S26 tampaknya ingin menawarkan paket yang seimbang antara peningkatan hardware dan harga kompetitif.

Pertanyaan besarnya: Apakah upgrade kamera ini cukup untuk menyaingi flagship China yang semakin agresif? Jawabannya mungkin akan kita dapatkan dalam bocoran-bocoran mendatang. Sementara itu, seperti yang kami laporkan sebelumnya di artikel terkait, Samsung tampaknya serius ingin membuat terobosan di bidang fotografi mobile.

Bagaimana pendapat Anda tentang rencana upgrade kamera Galaxy S26 ini? Apakah perubahan pada sensor utama cukup berarti, atau Anda lebih menantikan inovasi di bidang lain? Diskusikan di kolom komentar!

Suara Mark Brown Direplikasi AI Tanpa Izin, YouTuber Protes ke YouTube

0

Telset.id – Konten kreator ternama Mark Brown melaporkan kasus penggunaan suaranya yang direplikasi AI tanpa izin di platform YouTube. Brown, yang dikenal dengan kanal Game Maker’s Toolkit, menemukan video berjudul “Doom: The Dark Ages” di kanal Game Offline Lore menggunakan suara mirip dirinya yang diduga hasil AI.

Brown mengaku tidak terlibat dalam pembuatan video tersebut. “Ini sangat aneh dan invasif. Seperti plagiarisme, tapi lebih personal karena menyangkut identitas saya,” ujarnya kepada WIRED. Ia telah mengajukan keluhan privasi ke YouTube, namun video masih tetap tayang setelah 48 jam.

YouTube melalui juru bicara Jack Malon menyatakan telah memperluas kebijakan permintaan penghapusan konten untuk mencakup konten sintetis yang meniru wajah atau suara seseorang. “Kami sedang meninjau konten ini dan akan mengambil tindakan jika melanggar kebijakan,” kata Malon.

Kasus Pencurian Identitas Digital yang Semakin Marak

Ini bukan pertama kalinya kasus penyalahgunaan teknologi AI untuk meniru identitas seseorang terjadi. Sebelumnya, FBI telah memperingatkan tentang penipuan AI yang menyamar sebagai pejabat pemerintah. Industri hiburan juga mulai memanfaatkan teknologi ini, seperti NBC yang menghidupkan kembali suara Jim Fagan untuk siaran NBA.

Dampak bagi Kreator Konten

Brown mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak jangka panjang kasus semacam ini. Setiap video buatannya membutuhkan lebih dari 100 jam kerja, mulai dari riset, penulisan naskah, hingga editing. “Tidak ada jalan pintas menggunakan AI,” tegasnya.

Kanal Game Offline Lore sendiri memiliki 744.000 subscriber dengan 259 video. Video yang menggunakan suara mirip Brown telah ditonton lebih dari 60.000 kali dan diduga menghasilkan pendapatan iklan. Brown menemukan video ini setelah diberitahu oleh penonton yang curiga.

Kasus ini menambah daftar panjang penyalahgunaan teknologi AI di berbagai bidang. Seperti headphone penerjemah dengan suara asli, teknologi ini memiliki potensi besar namun juga risiko penyalahgunaan yang serius.

YouTube belum memberikan update lebih lanjut mengenai tindakan terhadap video tersebut. Brown berharap platform dapat lebih proaktif melindungi kreator dari pencurian identitas digital semacam ini.

Google Umumkan Desktop Mode Native untuk Android 16 di I/O 2025

0

Telset.id – Google akhirnya mengumumkan kehadiran desktop mode native untuk Android 16 dalam acara Google I/O 2025. Fitur ini dikembangkan bersama Samsung, memanfaatkan pengalaman perusahaan Korea Selatan tersebut dengan DeX yang pertama kali diperkenalkan pada Galaxy S8 tahun 2017.

Dalam presentasi utama Google I/O 2025, perusahaan memberikan cuplikan singkat antarmuka desktop mode yang terlihat mirip dengan Chrome OS. Sebuah taskbar di bagian bawah layar menampilkan deretan aplikasi seperti Gmail, Chrome, YouTube, dan Google Photos.

Google menyebutkan bahwa desktop mode ini akan dilengkapi dengan “kemampuan windowing yang ditingkatkan”. Selain itu, aplikasi adaptif secara otomatis akan menyesuaikan tampilan untuk desktop mode, Android Automotive, dan Android XR.

Kolaborasi dengan Samsung dinilai sebagai langkah strategis mengingat pengalaman panjang Samsung dalam pengembangan solusi desktop melalui DeX. Fitur ini diharapkan dapat memberikan pengalaman komputasi desktop yang lebih mulus bagi pengguna Android.

Android 16 desktop mode diperkirakan akan mulai tersedia ketika sistem operasi tersebut dirilis secara resmi. Pengguna dapat menghubungkan perangkat mereka ke monitor eksternal untuk mengakses antarmuka desktop ini.

Sebelumnya, Android 16 juga dikabarkan akan membebaskan penyimpanan untuk Linux Terminal di perangkat Pixel, menunjukkan komitmen Google untuk meningkatkan kemampuan produktivitas pada platform mobile mereka.

Dengan hadirnya fitur ini, Android semakin memperkuat posisinya sebagai sistem operasi serbaguna yang tidak hanya untuk perangkat mobile tetapi juga mampu menangani kebutuhan komputasi desktop.

Samsung Galaxy S26 Bakal Ganti Sensor Kamera Utama

0

Telset.id – Samsung dikabarkan akan menghadirkan pembaruan signifikan pada kamera utama Galaxy S26. Menurut rumor terbaru, seri flagship 2026 ini akan mengganti sensor ISOCELL GN3 yang digunakan sejak Galaxy S23 dengan sensor baru dari keluarga ISOCELL GN.

Sensor baru tersebut masih memiliki resolusi 50 MP, tetapi identitas pastinya belum terungkap. Sensor ini diduga merupakan model terbaru yang belum diumumkan secara resmi oleh Samsung. Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas foto, terutama dalam kondisi pencahayaan rendah.

Galaxy S26 diperkirakan akan meluncur pada Januari 2026, dengan atau tanpa varian Plus. Kabar ini muncul setelah Samsung konsisten menggunakan ISOCELL GN3 selama tiga generasi, dimulai dari Galaxy S23 hingga S25. Perubahan sensor kamera menjadi salah satu sorotan utama dalam rumor spesifikasi Galaxy S26.

Selain pembaruan kamera, Galaxy S26 juga dikabarkan akan menggunakan chipset Exynos 2600 berbasis proses 2nm. Namun, Samsung belum memberikan konfirmasi resmi terkait rumor ini. Jika benar, upgrade ini akan menjadi lompatan besar dalam performa dan efisiensi daya.

Sebelumnya, Samsung sempat mengganti Exynos 2500 dengan Snapdragon 8 Elite di Galaxy S25 karena masalah performa. Keputusan ini menelan biaya hingga Rp6 triliun. Kini, dengan pengembangan Exynos 2600, Samsung berharap dapat kembali bersaing di pasar chipset flagship.

Perubahan sensor kamera dan chipset ini menunjukkan upaya Samsung untuk terus meningkatkan kualitas seri Galaxy S. Dengan kompetisi yang semakin ketat dari merek seperti Apple dan Google, Samsung perlu menghadirkan inovasi yang signifikan untuk mempertahankan posisinya di pasar premium.

Google Umumkan Ketersediaan Headset Android XR Samsung, Project Moohan

0

Telset.id – Google secara resmi mengumumkan bahwa headset Android XR pertama dari Samsung, Project Moohan, akan tersedia untuk dibeli pada tahun ini. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh perusahaan asal Mountain View dalam acara Google I/O 2025 kemarin.

Dalam keynote-nya, Google menyebut bahwa Project Moohan – yang mungkin bukan nama resminya – akan menjadi perangkat Android XR pertama di pasaran. Headset ini akan didukung oleh kecerdasan buatan “Gemini by your side”.

Google juga mengungkap bahwa Android XR dikembangkan bersama Samsung sebagai satu tim. Platform ini dioptimalkan untuk chipset Snapdragon bekerja sama dengan Qualcomm. Ratusan pengembang telah membangun aplikasi untuk platform ini sejak rilis preview untuk pengembang tahun lalu.

Samsung pertama kali mengumumkan Project Moohan pada Desember tahun lalu dan memamerkannya di acara Galaxy Unpacked Januari 2025. Namun, perusahaan Korea Selatan itu belum memberikan timeline pasti untuk peluncurannya hingga Google memberikan klarifikasi.

Meski belum banyak detail yang diungkap, Project Moohan dipastikan akan ditenagai oleh chipset Snapdragon XR2+ Gen 2. Ini menandakan langkah besar Samsung dalam bersaing di pasar perangkat extended reality (XR) yang semakin berkembang.

Kehadiran Project Moohan juga menjadi penanda kolaborasi lebih dalam antara Google dan Samsung di ekosistem Android XR. Sebelumnya, kedua perusahaan telah bekerja sama dalam berbagai proyek, termasuk integrasi Google Gemini di berbagai platform.

Google reveals when Samsung's Project Moohan Android XR headset will be available

Peluncuran Project Moohan akan menjadi tantangan tersendiri bagi Samsung di tengah persaingan ketat dengan Apple Vision Pro. Sebelumnya, Samsung sempat menunda produksi headset VR menyusul peluncuran produk Apple tersebut.

Dengan dukungan ekosistem Android XR dan kolaborasi dengan Google, Project Moohan diharapkan bisa menjadi alternatif menarik di pasar perangkat XR yang masih terus berkembang.

Pasar TWS Global Tumbuh 18%, Apple Tetap Pemimpin Pasar

0

Telset.id – Pasar perangkat audio True Wireless Stereo (TWS) global mencatat pertumbuhan 18% pada kuartal pertama 2025, menurut laporan terbaru dari Canalys. Ini menjadi tingkat pertumbuhan tahunan tertinggi sejak 2021, dengan pengiriman mencapai 78 juta unit. Apple tetap memimpin dengan 18,2 juta unit terjual, dua kali lipat lebih banyak dari Xiaomi yang berada di posisi kedua.

Samsung menempati posisi ketiga, diikuti oleh Huawei dan boAt. Pasar AS juga tumbuh dua digit pada Q1 2025, meskipun Canalys menyebutkan hal ini disebabkan oleh pembangunan stok antisipasi terkait ketidakpastian tarif. Apple menguasai lebih dari 50% pangsa pasar di Amerika Utara, sementara produsen kecil mulai mengurangi ekspansi karena permintaan konsumen yang melambat dan ketidakpastian regulasi.

Pasar TWS Masuki Fase Baru

Analis Canalys menyatakan bahwa pasar TWS sedang memasuki fase baru. Dalam jangka pendek, produsen berfokus pada inovasi desain dan kasus penggunaan berbasis skenario. Namun, kemampuan vendor untuk melampaui persaingan harga akan menentukan kesuksesan jangka panjang.

Pengguna kini menginginkan fitur seperti terjemahan real-time, pelacakan kebugaran, dan interaksi berbasis AI, yang membutuhkan pendekatan ekosistem yang lebih holistik. TWS juga akan tetap menjadi fokus utama sepanjang 2025, memungkinkan perusahaan melengkapi portofolio mereka dan menjangkau konsumen baru.

Meskipun Apple masih mendominasi, Xiaomi dan Samsung terus menunjukkan pertumbuhan signifikan. Xiaomi, misalnya, telah memperkuat posisinya di pasar Asia, termasuk Indonesia, dengan produk TWS yang terjangkau namun kaya fitur. Sementara itu, Samsung mengandalkan integrasi ekosistem perangkatnya untuk menarik pengguna setia.

Canalys: Global TWS market grows 18% as Apple remains undisputed leader

Perkembangan ini juga mendorong produsen lain seperti Ugreen dan Vivo untuk menghadirkan inovasi baru, seperti dukungan kodec Qualcomm aptX dan fitur noise cancellation.

Dengan tren ini, pasar TWS diperkirakan akan terus tumbuh sepanjang tahun, meskipun tantangan seperti ketidakpastian ekonomi dan persaingan ketat tetap menjadi faktor yang perlu diwaspadai.

Realme Neo7 Turbo Segera Rilis dengan Chipset Dimensity 9400e

0

Telset.id – Realme mengonfirmasi peluncuran Realme Neo7 Turbo pada 29 Mei mendatang di China. Smartphone terbaru ini akan menjadi anggota keempat dari seri Neo7, mengikuti Neo7, Neo7 SE, dan Neo7x yang dirilis sebelumnya. Acara peluncuran dijadwalkan pukul 14.00 waktu setempat.

Meski belum merilis spesifikasi lengkap, Realme memastikan Neo7 Turbo akan menggunakan chipset MediaTek Dimensity 9400e. Prosesor ini baru saja diumumkan oleh MediaTek dan diharapkan menawarkan performa tinggi dengan efisiensi daya yang optimal. Sebuah poster yang dibagikan Realme juga mengisyaratkan desain belakang dengan tampilan semi-transparan, mirip dengan model sebelumnya yang telah dibocorkan.

Seri Neo7 sendiri telah mendapatkan respons positif di pasar China. Neo7 SE, yang dirilis Februari lalu, sukses menarik perhatian berkat kombinasi performa dan harga kompetitif. Dengan kehadiran Neo7 Turbo, Realme semakin memperkuat posisinya di segmen mid-range.

Realme belum memberikan detail tambahan seperti harga atau varian warna. Namun, dengan jadwal peluncuran yang masih lebih dari seminggu lagi, kemungkinan brand akan mengungkap informasi lebih lanjut secara bertahap. Penggemar Realme bisa menantikan update resmi melalui platform media sosial perusahaan.

Kehadiran Neo7 Turbo juga menambah persaingan di pasar smartphone mid-range, di mana pesaing seperti Red Magic juga terus menghadirkan inovasi. Sebagai perbandingan, Red Magic 9S Pro+ baru-baru ini dinobatkan sebagai ponsel terbaik versi AnTuTu.

OpenAI Rekrut Jony Ive, Desainer iPhone, untuk Kembangkan Perangkat AI

0

Telset.id – Jika Anda mengira OpenAI hanya fokus pada pengembangan perangkat lunak seperti ChatGPT, bersiaplah untuk terkejut. Perusahaan kecerdasan buatan (AI) ini baru saja mengumumkan langkah besar dengan merekrut Jony Ive, desainer legendaris di balik iPhone, iMac, dan iPad, untuk memimpin proyek perangkat keras AI baru. Nilai kesepakatannya? Hampir $6,5 miliar!

OpenAI mengakuisisi perusahaan produk dan rekayasa bernama io, yang didirikan oleh Ive bersama Scott Cannon, Evans Hankey, dan Tang Tan. Ini bukan kerja sama biasa—Ive dan CEO OpenAI Sam Altman telah berkolaborasi secara diam-diam sejak 2023 melalui firma desain Ive, LoveFrom. Dalam surat terbuka di situs web OpenAI, keduanya menyatakan bahwa ambisi mereka untuk mengembangkan produk baru membutuhkan pendirian perusahaan terpisah.

Meski Ive tidak akan menjadi karyawan OpenAI, LoveFrom akan memegang tanggung jawab besar dalam desain dan kreativitas untuk OpenAI dan io. Ini adalah langkah strategis yang menunjukkan betapa seriusnya OpenAI dalam berekspansi ke ranah perangkat keras. Dengan pengalaman Ive di Apple selama lebih dari dua dekade, proyek ini berpotensi mengubah wajah perangkat AI selamanya.

Mengapa Jony Ive?

Jony Ive bukan sekadar desainer—ia adalah otak di balik beberapa produk paling ikonik di dunia teknologi. Dari iPhone yang mengubah cara kita berkomunikasi hingga iMac yang mendefinisikan ulang estetika komputer, karyanya selalu menetapkan standar baru. Setelah meninggalkan Apple pada 2019, Ive mendirikan LoveFrom, yang telah bekerja dengan klien seperti Airbnb dan Ferrari.

Kolaborasi dengan OpenAI bukanlah kebetulan. Sam Altman, yang sebelumnya juga terlibat dalam proyek perangkat keras seperti OpenAI Codex, tampaknya melihat peluang besar dalam menggabungkan keahlian Ive dengan visi OpenAI di bidang AI. Peter Welinder, wakil presiden tim eksplorasi produk baru OpenAI, akan memimpin divisi io, menandakan fokus kuat pada inovasi hardware.

Masa Depan Perangkat AI

Lalu, seperti apa perangkat AI yang dirancang Ive ini? Meski detailnya masih dirahasiakan, kolaborasi ini bisa mengarah pada perangkat yang menggabungkan kecanggihan AI dengan desain minimalis dan fungsional. Apakah ini akan menjadi saingan proyek lain OpenAI atau justru pelengkap?

Yang pasti, langkah ini menegaskan bahwa OpenAI tidak ingin hanya menjadi pemain di dunia software. Dengan menggandeng Ive, mereka berambisi menciptakan ekosistem AI yang lebih holistik—mulai dari chip hingga antarmuka pengguna. Apakah ini akan menjadi “iPhone-nya AI”? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Sementara itu, kompetitor seperti DeepSeek dan lainnya mungkin perlu memikirkan strategi baru. Dengan $6,5 miliar di meja dan desainer terbaik di dunia, OpenAI sedang bermain di liga yang berbeda.

AI Baru Tiru Sistem Penciuman Otak untuk Olah Data Sensorik Secara Efisien

0

Telset.id – Bayangkan Anda masuk ke restoran ramai dan langsung bisa mengenali aroma saus tomat di antara bau-bau lain. Kemampuan manusia memproses informasi sensorik yang kacau ini kini menginspirasi terobosan baru di dunia kecerdasan buatan.

Para peneliti dari Cornell University telah mengembangkan model AI yang meniru cara kerja sistem penciuman otak manusia. Teknologi ini memungkinkan mesin memproses data sensorik yang berantakan dengan efisiensi energi rendah, mirip bagaimana otak kita bekerja.

Brain-inspired AI model learns sensory data efficiently

Belajar dari Keajaiban Otak

Thomas Cleland, profesor psikologi di Cornell, menjelaskan bahwa otak mamalia memiliki kemampuan luar biasa dalam mengorganisir input sensorik yang kacau. “Otak melakukan prestasi kognitif yang menakjubkan secara real-time dengan konsumsi energi yang sangat rendah,” ujarnya.

Roy Moyal, peneliti postdoctoral dan penulis utama studi ini, menambahkan bahwa teknologi saat ini masih bergantung pada model besar yang membutuhkan daya pemrosesan tinggi. “Bayangkan jika kita bisa membuat perangkat AI ringan yang bisa beradaptasi secara lokal tanpa mengirim data sensitif melalui jaringan,” katanya.

Mekanisme Pintar Sistem Penciuman

Penelitian ini berfokus pada bagaimana lapisan luar sistem penciuman biologis – epitel penciuman dan lapisan luar bulbus olfaktorius – melakukan komputasi yang menciptakan “firewall antara dunia dan otak”.

“Input sensorik yang berantakan perlu diorganisir dan dibentuk menjadi format yang bisa diproses oleh area otak yang lebih dalam tanpa kehilangan informasi penting,” jelas Cleland.

Model ini juga memberikan wawasan teoretis tentang spike-phase coding di otak – metode di mana neuron mengirim informasi dengan mengatur ketat waktu pulsa komunikasi mereka. Strategi penghematan energi ini ternyata juga bisa digunakan untuk pembelajaran stabil dalam skenario praktis.

Aplikasi Luas di Dunia Nyata

Meski penelitian ini berfokus pada sirkuit bulbus olfaktorius, temuan ini tidak terbatas pada penciuman saja. “Ini adalah mekanisme regularisasi generik untuk segala jenis data yang memiliki struktur serupa,” kata Cleland.

Potensi aplikasinya sangat luas, mulai dari robotika hingga berbagai jenis pemrosesan AI lainnya. Seperti yang ditunjukkan dalam CausVid: Model AI Hybrid yang Bikin Video Kualitas Tinggi dalam Sekejap, pendekatan berbasis biologi ini membuka pintu bagi inovasi baru.

Penelitian ini juga sejalan dengan perkembangan model AI bahasa seperti yang terlihat pada Alibaba Rilis Qwen3 dan Model AI Bahasa Arab Terbaik di Kawasan, yang menunjukkan tren kuat menuju AI yang lebih efisien dan spesifik.

Dengan pendekatan neuromorfik ini, masa depan AI mungkin akan didominasi oleh sistem yang lebih ringan, lebih efisien, dan lebih mirip cara kerja otak biologis kita.

UAE Luncurkan Model AI Bahasa Arab Terbaik di Kawasan

0

Telset.id – Jika Anda mengira inovasi kecerdasan buatan (AI) hanya didominasi oleh negara-negara Barat, bersiaplah untuk terkejut. Uni Emirat Arab (UAE) baru saja meluncurkan model AI berbahasa Arab yang diklaim sebagai yang terbaik di kawasan Timur Tengah.

Negara kaya minyak ini terus menunjukkan ambisinya untuk menjadi pemimpin di sektor teknologi mutakhir. Setelah sebelumnya memperkenalkan Falcon pada 2023—model open-source yang dikembangkan oleh Technology Innovation Institute di Abu Dhabi—kini mereka menghadirkan varian khusus untuk bahasa Arab.

“Kami bangga akhirnya bisa menghadirkan bahasa Arab ke Falcon, dan lebih bangga lagi bahwa model bahasa besar berkinerja terbaik di dunia Arab dibangun di UAE,” ujar Faisal Al-Bannai, Sekretaris Jenderal Dewan Penelitian Teknologi Tinggi Abu Dhabi yang mengawasi proyek ini.

Keunggulan Falcon Arabic

Falcon Arabic bukan sekadar terjemahan dari model bahasa Inggris. Sistem ini dilatih menggunakan data berbahasa Arab yang mencakup berbagai dialek di seluruh kawasan. Menurut pernyataan resmi, model ini mampu “menyamai kinerja model yang ukurannya 10 kali lebih besar.”

Ini merupakan terobosan signifikan mengingat bahasa Arab memiliki kompleksitas tinggi dengan banyaknya dialek regional dan struktur gramatikal yang unik. Seperti yang terjadi pada Gemini yang kini mendukung lebih dari 45 bahasa, adaptasi AI untuk bahasa non-Inggris membutuhkan pendekatan khusus.

Falcon H1: Solusi Efisiensi Komputasi

Tidak hanya Falcon Arabic, UAE juga memperkenalkan Falcon H1—model baru yang dirancang untuk mengurangi kebutuhan daya komputasi dan keahlian teknis yang biasanya diperlukan untuk menjalankan sistem canggih. Ini bisa menjadi game changer bagi pengembang di kawasan yang memiliki sumber daya terbatas.

Inovasi ini sejalan dengan tren perangkat AI yang semakin terjangkau, seperti yang terlihat pada Apple Watch Series 10 dengan fitur AI canggih atau smartwatch bertenaga Android.

Kemitraan strategis antara UAE dan Amerika Serikat dalam bidang AI juga semakin menguat. Selama kunjungan Presiden Donald Trump ke Abu Dhabi pekan lalu, kedua negara menandatangani perjanjian AI yang mencakup investasi Emirat di pusat data Amerika.

Dengan langkah-langkah ini, UAE tidak hanya ingin menjadi konsumen teknologi AI, tetapi pemain utama yang berkontribusi pada perkembangan global. Falcon Arabic mungkin baru permulaan dari ambisi besar negara teluk ini di dunia kecerdasan buatan.

Google Masukkan Iklan ke Pencarian AI, Hadapi Persaingan dengan ChatGPT

0

Telset.id – Jika Anda berpikir pertarungan antara Google dan ChatGPT hanya soal kecanggihan teknologi, bersiaplah untuk melihat babak baru yang lebih sengit. Google baru saja mengumumkan langkah strategis dengan memasukkan iklan ke dalam mode pencarian berbasis AI, sebuah langkah yang dinilai sebagai respons langsung terhadap ancaman ChatGPT sebagai sumber utama jawaban online.

Integrasi iklan ini menjadi pertanyaan besar seiring popularitas chatbot AI generatif yang selama ini cenderung menghindari interupsi pengalaman pengguna dengan iklan. Namun bagi Google, iklan tetap menjadi tulang punggung finansial, menyumbang lebih dari dua pertiga pendapatannya. Popularitas chatbot yang melonjak telah memicu kekhawatiran di Wall Street tentang masa depan pendapatan Google.

AI Mode: Senjata Baru Google

AI Mode yang diluncurkan Google pada Selasa (20/5/2025) dipandang sebagai jawaban langsung terhadap ancaman ChatGPT yang mulai menyedot trafik pencarian dan menggerus model bisnis mapan Google. Mode baru ini memungkinkan interaksi lebih konversasional dengan Google saat melakukan pencarian, dengan jawaban yang disajikan dalam berbagai format seperti video, audio, atau grafik.

Raksasa internet ini mengungkapkan sedang menguji integrasi iklan dalam respons AI Mode, membangun dari wawasan yang diperoleh dari ringkasan berbasis AI atau “Overviews” yang diperkenalkan ke hasil pencarian setahun lalu. Overviews ini sudah menampilkan respons komprehensif berbasis AI di atas tautan situs web dan iklan tradisional.

Masa Depan Iklan yang Dibantu AI

“Masa depan periklanan yang digerakkan oleh AI tidak akan datang—itu sudah ada di sini,” tegas Vidhya Srinivasan, Wakil Presiden Google untuk Ads & Commerce. “Kami membayangkan kembali masa depan iklan dan belanja: Iklan yang tidak mengganggu, tetapi membantu pelanggan menemukan produk atau layanan.”

Sejak debutnya di konferensi pengembang Google setahun lalu, AI Overviews telah menjangkau lebih dari 1,5 miliar pengguna di berbagai negara, menurut perusahaan. Google juga mengumumkan perluasan iklan dalam AI Overviews ke desktop di AS, menyusul implementasi sukses di perangkat mobile.

Dorongan agresif Google ke dalam AI generatif semakin memanaskan persaingannya dengan ChatGPT milik OpenAI, yang juga telah memasukkan fungsi mesin pencari ke dalam chatbot populer tersebut. Persaingan ini mengingatkan pada upaya Apple Maps yang mulai mempertimbangkan iklan untuk bersaing dengan Google Maps.

Alat AI untuk Pengiklan

Selain itu, Google mengumumkan ketersediaan alat AI bagi pengiklan untuk menyederhanakan pembuatan konten pemasaran online, meniru inisiatif serupa oleh Meta, pemilik Facebook yang merupakan pesaing utama Google dalam periklanan online. Fitur baru yang tersedia di Amerika Serikat ini akan memungkinkan pedagang memanfaatkan AI untuk kampanye pemasaran efektif dan “memberdayakan algoritma yang mampu menargetkan pencarian baru dan menghasilkan konversi tambahan,” kata Google.

Langkah ini muncul di tengah kontroversi penggunaan data pengguna oleh Google untuk iklan dan kebijakan terbarunya yang melarang iklan terkait kripto. Pertanyaannya sekarang: Akankah pengguna menerima kehadiran iklan dalam pengalaman pencarian AI mereka, atau justru akan beralih ke alternatif yang lebih bersih seperti ChatGPT?

Pertarungan antara Google dan ChatGPT kini memasuki babak baru yang lebih kompleks, di mana kecanggihan teknologi harus berdamai dengan realitas bisnis. Bagi pengguna internet, ini berarti era baru di mana setiap jawaban dari mesin pencari mungkin datang dengan embel-embel komersial. Bagaimana reaksi Anda?

Microsoft Aurora: AI Ini Ubah Cara Prediksi Cuaca dan Badai

0

Telset.id – Bayangkan jika kita bisa memprediksi jalur badai dengan akurasi hampir sempurna, atau mengetahui pola cuaca ekstrem sebelum terjadi. Itulah yang ditawarkan oleh Aurora, model AI terbaru dari Microsoft yang disebut-sebut sebagai terobosan dalam dunia prediksi cuaca.

Menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Nature, Aurora tidak hanya lebih cepat dan murah dibanding metode tradisional, tapi juga lebih akurat. Sistem ini berhasil memprediksi seluruh badai di tahun 2023 dengan presisi yang mengalahkan pusat prediksi cuaca konvensional, termasuk National Hurricane Center AS.

Revolusi dalam Prediksi Cuaca

Aurora bekerja dengan cara yang berbeda dari model prediksi cuaca tradisional. Alih-alih mengandalkan prinsip fisika dasar, AI ini belajar dari data historis. Hasilnya? Biaya komputasi yang ratusan kali lebih rendah dan kecepatan yang jauh lebih tinggi.

“Untuk pertama kalinya, sistem AI bisa mengungguli semua pusat operasional dalam prediksi badai,” ujar Paris Perdikaris, profesor teknik mesin di University of Pennsylvania yang terlibat dalam penelitian ini.

Keunggulan Aurora terlihat jelas dalam kasus Topan Doksuri tahun 2023. Sementara prediksi resmi saat itu memperkirakan topan akan menuju utara Taiwan, Aurora sudah memprediksi empat hari sebelumnya bahwa Filipina yang akan menjadi sasaran. Prediksi ini ternyata benar – Doksuri menjadi topan termahal yang pernah tercatat di Pasifik.

Persaingan Ketat di Dunia AI Cuaca

Aurora bukan satu-satunya pemain di bidang ini. Huawei sudah lebih dulu memperkenalkan model Pangu-Weather pada 2023, sementara Google mengklaim GenCast mereka mengungguli akurasi European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) dalam 97% kasus.

Namun, Aurora memiliki keunggulan khusus. Sistem ini mengalahkan model ECMWF dalam 92% kasus untuk prediksi global 10 hari, dengan resolusi sekitar 10 kilometer persegi. Padahal, ECMWF selama ini dianggap sebagai patokan global untuk akurasi cuaca.

Florence Rabier, Direktur Jenderal ECMWF, mengakui perkembangan ini. “Kami sangat serius menanggapi hal ini,” katanya. ECMWF sendiri sudah mengembangkan model pembelajaran mereka sendiri yang diklaim 1.000 kali lebih murah dalam hal waktu komputasi dibanding model fisik tradisional.

Perkembangan ini bisa menjadi titik balik dalam cara kita memprediksi cuaca, terutama di era perubahan iklim dimana badai dan cuaca ekstrem semakin sering terjadi. Dengan kemampuan prediksi yang lebih baik, kita bisa mempersiapkan diri lebih awal untuk menghadapi bencana alam.

Meski belum dikomersialkan, Aurora dan model AI sejenis berpotensi menyelamatkan ribuan nyawa dan miliaran dolar kerugian setiap tahunnya. Seperti yang diungkapkan Perdikaris, “Kita berada di awal era transformasi dalam ilmu sistem udara.”