Rupiah Terpuruk: Tak Hanya Dolar, Euro & Sterling Juga Hantam Nilainya

REKOMENDASI
ARTIKEL TERKAIT

Pernahkah Anda merasa uang di dompet tiba-tiba terasa lebih tipis? Bagi Indonesia, itu bukan sekadar perasaan. Nilai rupiah terus merosot, bukan hanya terhadap dolar AS, tetapi juga di hadapan mata uang utama dunia seperti euro dan pound sterling. Data terbaru Bloomberg menunjukkan rupiah mencapai level terlemah sepanjang sejarah terhadap euro, menyentuh Rp18.432 per €1. Ini bukan sekadar fluktuasi biasa, melainkan tanda krisis yang lebih dalam.

Kondisi ini terjadi di tengah turbulensi ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump dan eskalasi perang dagang. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah lemahnya fundamental ekonomi domestik untuk menahan gempuran tersebut. Sebagai perbandingan, pada penutupan perdagangan Jumat lalu, rupiah hanya sedikit menguat ke Rp18.315 per euro—level yang masih jauh lebih buruk dibandingkan masa resesi pandemi atau krisis finansial 2008.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dengan rupiah? Mengapa mata uang kita tak hanya kalah dari dolar, tetapi juga tersungkur di hadapan euro dan sterling?

Dolar Bukan Satu-Satunya Musuh

Selama ini, perhatian publik sering tertuju pada kurs rupiah terhadap dolar AS. Padahal, pelemahan terhadap mata uang lain seperti euro dan pound sterling justru menunjukkan kerentanan yang lebih sistemik. Euro, misalnya, kini menjadi ancaman serius dengan kenaikan tajam nilainya terhadap rupiah. Ini mencerminkan ketidakseimbangan perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa dan lemahnya daya saing ekspor.

Analisis Bloomberg menunjukkan, pelemahan rupiah terhadap euro telah mencapai rekor terburuk dalam hampir 40 tahun. Situasi ini diperparah oleh kebijakan moneter Bank Sentral Eropa (ECB) yang lebih agresif dibandingkan Bank Indonesia (BI), membuat euro semakin kuat di pasar global.

Pound Sterling dan Beban Utang Luar Negeri

Tidak hanya euro, pound sterling Inggris juga memberikan tekanan tambahan. Nilai rupiah yang melemah terhadap sterling memperberat beban utang luar negeri Indonesia, yang sebagian besar denominasinya dalam mata uang tersebut. Dengan suku bunga Bank of England yang tetap tinggi, investor cenderung memindahkan aset mereka ke instrumen berbasis sterling, mengalirkan modal keluar dari pasar emerging seperti Indonesia.

Faktor lain yang turut berkontribusi adalah ketidakpastian politik global, termasuk Brexit dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Ketika pasar keuangan global dilanda ketidakpastian, mata uang safe-haven seperti euro dan sterling cenderung menguat, sementara mata uang emerging market seperti rupiah terjepit.

Dampak bagi Masyarakat dan Pasar Domestik

Pelemahan rupiah terhadap euro dan sterling bukan hanya masalah teknis di pasar valas. Dampaknya langsung terasa di kehidupan sehari-hari. Harga barang impor dari Eropa, mulai dari produk mewah hingga mesin industri, akan semakin mahal. Bagi pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku impor, biaya produksi akan melonjak, berpotensi memicu inflasi.

Di sisi lain, eksportir mungkin diuntungkan dengan rupiah yang lebih murah. Namun, tanpa peningkatan produktivitas dan daya saing, keuntungan ini bisa sia-sia. Apalagi, permintaan global sedang melemah akibat perlambatan ekonomi di Eropa dan AS.

Bank Indonesia telah berupaya menstabilkan nilai rupiah melalui intervensi pasar dan kebijakan moneter. Namun, tanpa perbaikan fundamental—seperti defisit transaksi berjalan yang terkendali dan iklim investasi yang lebih baik—rupiah akan tetap rentan terhadap gejolak eksternal.

Jadi, apa solusinya? Selain kebijakan moneter yang hati-hati, pemerintah perlu memperkuat fundamental ekonomi dengan mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan daya saing ekspor. Tanpa langkah konkret, rupiah bisa terus menjadi bulan-bulanan mata uang global.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ARTIKEL TEKINI
HARGA DAN SPESIFIKASI