Telset.id, Jakarta – Sepatu Nike Vaporfly telah membantu atlet profesional berlari lebih cepat dan memecahkan rekor sejak 2017. Pelari Olimpiade bernama Eliud Kipchoge menjadi orang pertama yang berlari sejauh 26,2 mil dalam waktu kurang dari dua jam.
“Eliud Kipchoge lebih cepat dari siapapun. Saya heran melihat ada pelari mampu menggerakkan kaki secepat itu,” kata seorang jurnalis bernama Alex Hutchinson kepada pembawa acara Arielle Duhaime-Ross, dikutip Telset.id dari Vox, Senin (4/11/2019).
{Baca juga: Nike Kembali Rilis Sneakers Playstation}
Kipchoge kemudian berhasil mengalahkan rekor berlari jarak jauh dalam waktu di bawah dua jam pada 12 Oktober 2019, di Wina, Austria. Untuk kali kedua setelah 2017, dia memecahkan rekor pada 2019, juga dengan mengenakan sepatu yang sama.
Nike memperkirakan bahwa pelari yang memakai sepatu tersebut bisa empat persen lebih cepat. Bahkan, New York Times menegaskan bahwa pelari maraton amatir yang menggunakan sepatu itu benar-benar mampu berlari beberapa persen lebih cepat.
Pertanyaannya, jika sepatu itu membantu atlet seperti Kipchoge mendorong batas yang mungkin dianggap manusiawi, haruskah regulator khawatir? Apakah sepatu tersebut memberi pelari keuntungan negatif? Haruskah sepatu buatan Nike itu dilarang untuk dipakai?
“Jika Vaporfly meningkatkan kinerja karena lebih ringan dan punya busa sangat bagus, menurut saya tidak ada yang salah. Jika sepatu itu meningkatkan kinerja karena pelat serat karbon untuk meningkatkan pantulan, saya tidak tahu,” ujar editor Nick Thompson.
{Baca juga: Nike Bikin Sepatu Lari dengan Ribuan Manik-manik, Gunanya?}
Sejumlah atlet mengadukan Nike Vaporfly kepada IAAF karena dianggap memberi bantuan tak wajar kepada pelati marathon. Padahal, sepatu itu digunakan oleh Kipchoge ketika memecahkan rekor dunia marathon 2019, menggulingkan catatan Dennis Kimetto. [SN/HBS]
Sumber: VOX