Telset.id – Bayangkan sebuah perusahaan teknologi yang selama ini dikenal dengan smartphone terjangkau, tiba-tiba mengumumkan rencana investasi raksasa senilai 200 miliar yuan atau sekitar Rp 200 triliun. Itulah langkah berani yang diambil Xiaomi, menandai pergeseran strategis dari pemain pasar massal menjadi pemburu kepemimpinan di teknologi inti. Apakah ini sinyal bahwa perang teknologi global memasuki babak baru yang lebih sengit?
Pada Konferensi Mitra Ekosistem Human Car Home 2025 yang digelar 17 Desember lalu, Presiden Grup Xiaomi, Lu Weibing, secara resmi mengonfirmasi komitmen finansial monumental tersebut. Dana sebesar Rp 200 triliun itu akan digelontorkan khusus untuk penelitian dan pengembangan (R&D) dalam kurun lima tahun ke depan. Angka ini bukan sekadar gimmick marketing, melainkan cerminan dari ambisi yang sudah mulai terlihat dari lompatan inovasi perusahaan belakangan ini. Jika ditarik ke belakang, investasi R&D Xiaomi antara 2021 dan 2025 “hanya” mencapai 105 miliar yuan. Artinya, dalam lima tahun mendatang, belanja riset mereka hampir akan berlipat ganda. Sebuah peningkatan yang tajam dan penuh makna.
Lalu, bagaimana realisasinya tahun ini? Xiaomi memproyeksikan pengeluaran R&D untuk tahun berjalan akan mencapai 32 hingga 33 miliar yuan (sekitar Rp 32-33 triliun). Dan itu belum puncaknya. Tahun depan, angka tersebut diproyeksikan melonjak lagi menjadi sekitar 40 miliar yuan (Rp 40 triliun). Aliran dana segar ini bukan mengendap di kas perusahaan, melainkan langsung disalurkan ke terobosan-terobosan nyata. Anda bisa melihat hasilnya dalam dua bidang utama: kecerdasan buatan (AI) dan pengembangan chipset mandiri.
MiMo: AI Kecil yang Berambisi Besar
Di tengah hiruk-pikuk model AI raksasa dengan parameter triliunan, Xiaomi justru mengambil jalur berbeda dengan memperkenalkan MiMo. Ini adalah model fondasi AI yang dikembangkan sendiri, dirancang khusus untuk inferensi yang efisien di berbagai perangkat, mulai dari smartphone, perangkat rumah pintar, hingga mobil. Meski ukuran parameternya lebih kecil dibandingkan para raksasa industri, posisi MiMo adalah sebagai solusi berkinerja tinggi untuk aplikasi dunia nyata. Strategi ini cerdas. Daripada terjebak dalam perlombaan parameter yang boros sumber daya, Xiaomi fokus pada efisiensi dan implementasi praktis di ekosistemnya sendiri. Pendekatan ini sejalan dengan upaya membangun posisi kuat di peta AI China yang semakin kompetitif.
Baca Juga:
Proyek Xring: Ketahanan Teknologi di Tengah Geopolitik
Sementara di front AI mereka bermain dengan strategi efisiensi, di bidang chipset Xiaomi menunjukkan keteguhan hati. Perusahaan telah menginvestasikan lebih dari 13,5 miliar yuan (sekitar Rp 13,5 triliun) ke dalam proyek chip Xring-nya. Tim R&D-nya kini diperkuat oleh lebih dari 2.500 insinyur, sebuah pasukan khusus yang terus bertambah. Fokus mereka sekarang adalah mempercepat produksi massal chip Xring O2 generasi berikutnya. Namun, ada tantangan geopolitik yang tak terelakkan. Karena pembatasan teknologi dari AS, chip tersebut akan tetap bertahan pada node proses 3nm, alih-alih melompat ke 2nm yang lebih maju. Ini adalah realitas pahit yang dihadapi banyak perusahaan teknologi China, memaksa mereka berinovasi dalam batasan yang ada. Komitmen ini menunjukkan bahwa Xiaomi serius membangun ketahanan teknologi jangka panjang, tidak ingin selamanya bergantung pada pemasok eksternal.
Ekspansi tim riset Xiaomi sendiri adalah cerita yang menarik. Laporan keuangan kuartal ketiga perusahaan mengungkapkan bahwa tim R&D mereka telah membengkak menjadi 24.871 orang, mencetak rekor baru. Manusia-manusia inilah yang menjadi motor penggerak inovasi di bidang-bidang yang dianggap kritis oleh Xiaomi: pencitraan (imaging), pengisian daya cepat (fast charging), AI, dan tentu saja, integrasi seluruhnya ke dalam ekosistem Human Car Home yang mereka gembar-gemborkan. Ekosistem ini bukan lagi sekadar konsep, melainkan sudah mulai terwujud, dengan mobil listrik sebagai salah satu pilar utamanya.
Jadi, apa arti semua ini bagi konsumen dan pasar? Investasi Rp 200 triliun adalah taruhan besar bahwa masa depan teknologi terletak pada integrasi mendalam antar perangkat, didorong oleh AI dan chipset yang dikustomisasi. Xiaomi tidak lagi puas hanya menjual hardware dengan margin tipis. Mereka membangun sebuah platform teknologi tertutup yang saling terhubung, di mana smartphone, mobil, dan perangkat rumah Anda berbicara dalam bahasa yang sama, diproses oleh chip yang dirancang sendiri, dan ditingkatkan kecerdasannya oleh model AI yang efisien. Ambisi ini juga menjadi fondasi bagi pertumbuhan bisnis mereka, sebagaimana terlihat dari rekor pendapatan baru yang dicatat Xiaomi di 2024.
Langkah Xiaomi ini ibaratnya seperti siswa berprestasi di kelas yang tiba-tiba mendaftar ke banyak les tambahan dan membeli buku referensi termahal. Sinyalnya jelas: persiapan untuk ujian yang lebih berat, yaitu persaingan global melawan Apple, Samsung, dan raksasa teknologi lainnya yang sudah lama berinvestasi besar di R&D. Dengan gelontoran dana segini besar, harapannya adalah tercipta diferensiasi yang nyata, bukan sekadar mengejar spesifikasi. Pertanyaannya sekarang, apakah strategi “quantity to quality” ini akan berbuah manis? Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal pasti: peta persaingan teknologi, terutama yang melibatkan perusahaan China, semakin panas dan menarik untuk diikuti.

